Aurora pulang sebelum Zack datang. Ia langsung berpikir bahwa Zack pergi kencan. Padahal ingin sekali ia menunjukkan hasil karyanya hari ini.Saat makan malam, Zack belum pulang juga. Aurora meminta Jeff menyiapkan makanannya di kamar. Menurutnya lebih baik begitu daripada sendirian di ruang makan."Hai, June." Aurora memekik senang saat sahabatnya menelepon."Aurora, kamu dapat tawaran photoshoot lagi. Bersediakah?"Aurora berpikir sejenak. Ia belum cerita tentang identitas dirinya pada June. Sahabatnya itu masih berceloteh tentang kontrak yang akan didapat Aurora.Jujur, setelah mulai terkenal, Aurora menjadi risih. Terkadang, ada saja yang meminta foto atau mengarahkan kamera padanya dan ia mendapati dirinya tidak suka dengan keadaan itu."Aku harus izin pada keluarga dulu, June.""Keluarga Morgan pasti setuju. Kamu tinggal merayu Zack. Bukankah kalian sudah sangat dekat? Lagipula kamu sudah dewasa, kenapa sih masih izin segala?"June terdengar kesal. Ia juga protes karena Aurora t
Kakek Viscout terbujur lemah di ranjang. Kulitnya yang putih tampak semakin pucat. Sebuah infus tertancap di nadinya.Setelah melewati barisan bangsawan tua maupun muda yang datang menjenguk, Vigor, Aurora dan Zack kini berdiri di samping ranjang. Ketiganyta menatap sosok lelaki tua di sana.Aurora yang kemudian bergerak lebih dulu. Perlahan duduk di sisi ranjang dan mengelus pelan lengan sang kakek. “Kakek, Aurora pulang!” lirihnya.Tidak ada pergerakan. Kakek Viscout tetap terpejam. Hingga akhirnya Aurora menutup wajahnya dan menangis pelan.Zack yang paling tak tahan melihat Aurora menangis menghampiri. Ia memeluk Aurora dan mengelus punggung untuk menenangkannya.“Menurut dokter, Kakek hanya shock yang menyebabkan jantungnya melemah. Pelayan pribadi mengatakan Kakek memang sedang pusing sejak kemarin. Dokter pikir itu yang menyebabkan ia limbung saat menuruni undakan tangga.” Vigor menjelaskan panjang lebar.Aurora menatap sang kakek dengan wajah sendu. “Kakek beberapa kali menele
Zack sadar ia telah salah bicara. Aurora memasang wajah datar. Ia kesal Zack malah memintanya tinggal di kastil.Apa lelaki itu tidak juga mengerti setelah ia terus-terang? Bukankah ia sudah bilang kalau dirinya nyaman dan merasa aman bersama Zack?"Bukan begitu. Jangan salah mengerti." Zack mendekati Aurora."Tidak. Ya, sudah. Kamu pulang saja sana. Aku akan tinggal di sini." Aurora merajuk.Apa-apaan ini? Aurora mendesah dalam hati. Kenapa ia cepat sekali ngambek pada Zack?Tentu saja Zack panik. Aurora memberengut di depannya."Hey. Aku tidak akan pergi. Aku sudah berjanji menemani, bukan?" Zack mengelus kepala Aurora.Sejenak mereka bertatapan. Wajah Aurora mulai bersemu merah jambu mendengar ucapan Zack."Aku nggak akan pergi. Kecuali kamu benar-benar menginginkanku pergi." Zack mengulangi pernyataannya.Kepala Aurora mengangguk. Detik berikutnya ia memeluk Zack."Aku mau sama kamu."Perkataan itu seperti bisikan. Pelan namun terdengar jelas. Zack termangu sambil memeluk Aurora.
Dua hari kemudian, Zack berpamitan. Aurora terlihat berat melepasnya. Namun begitu, ia mengerti Zack harus mengurus perusahaannya."Aku sudah berkordinasi dengan Agnes. Ia bisa dipercaya untuk menjadi wakilku selama aku bekerja online." Aurora berkata saat Zack berkemas."Iya. Aku sudah meminta Zavian mengamati kinerja Agnes dan kami setuju ia menjadi wakilmu."Aurora mengamati Zack yang telah selesai dengan barang bawaannya. Mereka kini berdiri berhadapan.Zack setuju pada pernyataan Kakek Viscout. Ia memang tidak bisa mencintai Aurora. Meyakini diri sendiri bahwa selama ini, ia hanya perhatian karena rasa sesal sudah pernah melecehkan adik angkatnya."Aku pergi, ya." Zack tersenyum, mengusak kepala Aurora.Tanpa pelukan, hanya kecupan singkat yang diberikan Zack pada Aurora sebelum ia naik ke mobil yang akan membawanya ke bandara. Meskipun ia ingin sekali memeluk dan mencium aroma rambut Aurora. Dadanya kini terasa sesak.Kantor menjadi pelampiasan emosi Zack. Ada saja yang tidak be
Acara bangsawan selesai. Setelah mengantar Kakek Viscout ke kamarnya, Aurora pun berpamitan. Wanita itu tidak langsung ke kamar melainkan berjalan-jalan di selasar kastil.Sepertinya ini akan menjadi tempat favoritnya di kastil. Malam hari, pemandangannya sangat indah. Di perbukitan, banyak rumah-rumah penduduk yang menyalakan penerangan hingga suasana terlihat meriah.Tiba-tiba sebuah selimut tersampir melewati bahunya. Aurora menatap selimut rajutan kemudian menoleh. Vigor telah berdiri di sampingnya.“Angin di kastil ini cukup kencang karena kita berada di tempat tinggi. Zack bilang, kamu tidak terlalu tahan angin dingin.” Vigor berkata pada Aurora.“Kapan Zack bilang begitu?”“Saat kamu dirawat di rumah sakit karena maagmu kambuh.”Akh. Itu kan karena saat itu semalaman ia dikurung di balkon. Kehujanan dan kedinginan sampai menggigil. Aurora mendengus dalam hati.“Apa kamu sedang rindu dengan keluarga Morgan?”“Tidak juga. Hampir setiap hari aku atau mereka meneleponku.” Aurora me
Aurora berdandan cantik dengan balutan gaun malam dari sahabatnya, June. Akhirnya pakaian mewah itu bisa ia kenakan pada acara yang tepat. Tanpa perhiasan dan make-up berlebih, Aurora keluar dari kamar.Zack menoleh saat mendengar suara ketukan heels. Ia terpana sesaat meihat kecantikan sang adik angkat. Apalagi, sejak identitas sebagai seorang bangsawan, wajah Aurora semakin terlihat aura ningratnya.“Seperti biasa, kamu cantik sekali.” Zack memuji sambil memberikan senyum manis. “Akh, tapi, kamu pasti telah terbiasa mendengar pujian itu.”Aurora tersenyum simpul. Ia mengucapkan terima kasih dan membalas pujian Zack sambil membenahi simpul dasi dan kerah lelaki itu.“Kamu juga tampan, Winter Bear.”Sesaat wajah tampan Zack menjadi datar. “Dari mana kamu dapatkan nama panggilan itu?”“Dari para sahabatmu.”“Para pengkhianat itu!” Zack mendesah sambil menggeleng kesal.Sebenarnya, empat sekawan pun mendapat undangan tersebut. Namun hanya Zavian dan Zack yang dapat hadir. Sementara Elvi
Tubuh Aurora bergetar pelan. Ciuman dalam pertamanya diambil oleh sang kakak angkat.Berbaring lemas di ranjang, jari Aurora mengusap bibirnya yang agak bengkak akibat lumatan bibir Zack.Ada apa dengan lelaki itu? Apa ia mulai mau merayunya lagi? Apa ia tidak tau jika sikapnya itu membuat Aurora sakit hati? Aurora bermonolog dalam hati."Ia hanya sekedar bermain denganmu, Aurora. Menjauhlah." Aurora mendengar kata hatinya.""Tidak. Bukankah perhatian akhir-akhir ini sangat kentara? Ia bahkan bersedia masuk penjara karena membela kehormatanmu." Suara lain di kepalanya terdengar.Kedua tangan Aurora menutup telinga. Ia menyumpal lubang telinganya dengan earphone dan berusaha tidur dengan alunan musik.Esok paginya, dengan canggung Aurora melangkah ke ruang makan. Zack belum ada di sana. Aurora menghela napas lega.Belum lama ia duduk, suara yang amat dikenalnya menyapa."Pagi, Aurora." Zack tersenyum lalu duduk di samping Aurora."Pagi." Aurora menjawab singkat lalu melanjutkan makan.
"Tolol! Bodoh! Kenapa kau biarkan Aurora pergi?" Zack marah pada dirinya sendiri.Setelah mengantar Aurora, Zack kembali dilanda galau. Ia bahkan hanya berputar-putar keliling kota tanpa arah yang jelas. Hingga akhirnya pulang menjelang pukul sebelas malam.Bahkan saat mobilnya sudah terparkir sempurna, ia hanya duduk bersandar. Lalu, dengan emosi memukul-mukul setir di depannya.Zack membanting pintu mobil saat keluar. Berteriak pada pelayan yang tidak menyambutnya datang. Kemudian melempar kunci mobil, sepatu dan jasnya ke sembarang tempat."Cepat ke sini!" Zack menelepon Zavian dan memerintahkannya datang. Cuma Zavian yang bisa menenangkannya saat ini.Namun, Zavian menolak. Dini hari ia biasa bergantian dengan sang istri merawat bayinya yang akan terbangun. Setelah memiliki bayi, Zavian pernah meminta pengertian Zack agar ia bisa lebih memprioritaskan keluarga."Ada apa, Zack?" Dengan sabar, Zavian bertanya."Tidak ada!" Zack menutup saluran komunikasinya. Lalu berteriak kencang.