"Jangan dekat-dekat, Mas. A-aku benar-benar nggak nyaman saat ini. Eum ... aku minta tolong buatkan jahe hangat saja," kata Tania dengan suara bergetar.
Darren mengangguk, mengalah meskipun ingin sekali menangkap basah wanita itu. Langkahnya menuju dapur dan membuat secangkir teh hangat, kemudian segera membawa ke kamar.Di sana pria itu mendapati Tania sudah duduk bersandar di dipan dengan mengenakan pakaian lengkap, Darren segera mengangsurkan cangkir yang dibawanya kemudian langsung berbaring."Makasih, Mas," ucap Tania.Darren melirik sekilas, bibirnya mengulas senyum tipis dan lantas mengangguk."Aku tidur duluan, Tan. Besok pagi aku harus balik ke Jakarta, Jacob bilang investor dari Singapura mau datang.""Besok jam berapa, Mas? Biar aku siapkan bekal dan sarapannya," sahut Tania dengan enteng.Pria dalam balutan kaos oblong itu tertawa dalam hatinya. Kini Tania sudah tidak menahan kepergiannya, padahal biasanya seDarren menarik tangan Tania untuk masuk ke dalam unitnya, ia lantas menutup pintu dengan kencang. "Ada apa, Mas? Kamu terpaksa, ya? Kok kasar?" tanya Tania dengan raut bingung. "Eum, enggak." Darren melirik ke arah pintu, sambil berpikir keras bagaimana caranya agar Tania tidak curiga. "Kamu istirahat dulu, Tan, di kamar. Pasti capek habis perjalanan jauh." Wanita itu mengangguk. "Iya, sih, Mas. Aku capek banget. Ya sudah, aku mau tidur saja. Nanti tolong bangunkan jam empat, ya." Darren hanya mengangguk melihat Tania berjalan menuju kamar, detik berikutnya terdengar suara ketukan pintu yang sontak membuat Tania kembali membalik badan. "Ada tamu, Mas?" tanya wanita itu. "Mungkin staf. Biasanya 'kan memang ada pengecekan rutin. Kamu langsung masuk kamar saja, biar aku yang urus," jawab Darren, degup jantungnya berdebar tidak karuan. "Baiklah." Pria itu masih tidak bergeming, berdiri terpaku memastikan Tania benar-benar masuk kamar. Hingga suara ketukan kembali terdengar, memb
"Bu, sudahlah. Yang penting ayah sudah ada ada di sini, aku malu sama Mas Darren kalau kalian bertengkar," bisik Tania.Mella mengangguk dan lantas melenggang pergi masuk ke dalam kamar tamu, meninggalkan tiga orang itu yang masih berdiri di sana."Masuklah, Ayah. Istirahat dulu saja di kamar tamu, atau mau minum kopi?" tawar Darren."Tidak perlu, Nak Darren. Ayah sudah ngopi, sekarang mau tidur saja biar nanti malam nggak capek," sahut Toni yang sontak membuat Kening Tania mengernyit."Ayah nanti malam mau ke mana?""Ada pertemuan dengan Pak Arif, sekalian mengajak Ibumu biar nggak curiga terus."Tania mengulum senyum sambil menggigit bibir bawahnya. Itu artinya, nanti malam ia punya waktu berdua bersama Darren."Syukurlah, aku nggak kesepian. Malam nanti Raka lembur sama Kakeknya, jadi aku bisa sama Mas Darren," batin wanita dalam balutan baju tidur itu.Tania memutuskan masuk kamar Darren, ia ingin mengistirahatkan tubuhnya. Mungkin saja nanti malam ia akan melayani suaminya, tentu
"Ada apa, ya? Kalian nggak sopan banget gedor-gedor pintu!" "Arabella? Ngapain kamu di sini?" tanya Tania pada wanita pemilik wajah mungil itu, yang tak lain adalah kekasih Renaldy.Tania mengenal Arabella dengan baik karena Renaldy sempat menjalin hubungan lama dengan wanita itu, tetapi sempat putus selama beberapa bulan. Ara pergi ke luar negeri untuk melanjutkan studi sebagai desainer, keduanya terpaksa putus karena tidak kuat harus menjalani LDR.Kini keduanya kembali menjalin kasih setelah Arabella selesai dengan pendidikannya dan Renaldy juga sudah dipercaya untuk meneruskan perusahaan keluarganya."Saya menyewa apartemen Pak Darren, kebetulan saya sudah dua bulan ini pulang ke Indonesia. Sambil mengurus pernikahan, saya sementara tinggal di sini," jelas Ara.Netra coklatnya menatap bergantian Mella dan Tania, detik berikutnya Renaldy muncul dari belakang tubuhnya dan langsung memeluk pinggang mungil itu."Siapa tamunya?" bisik Renaldy."Istrinya Pak Darren, Sayang. Aku kira si
"Kami pulang dulu, Nad," ucap Ara sambil tersenyum manis.Renaldy sudah keluar unit sedari tadi setelah kepergian Mella dan Tania, sementara Ara masih harus mengajari Nadia beberapa pola baju."Terima kasih banyak, Bu." Nadia setengah membungkukkan badan, merasa berhutang budi karena Renaldy dan Ara telah menyelamatkannya."Sudah tugas kami untuk memastikanmu baik-baik saja, Nad. Darren sudah meminta kepada kami untuk menjagamu, jadi ini memang sudah kewajiban kami," jelas Ara yang membuat Nadia mengerutkan kening bingung.Gadis itu hendak meminta penjelasan, tetapi tidak jadi lantaran merasa segan. Ara harus segera pergi, ia tidak enak kalau terlalu banyak tanya.Setelah kepergian Ara, Nadia kembali masuk kamar. Pikirannya berisik sekali, berusaha mencerna ucapan Ara barusan."Kenapa sikap Kak Darren padaku terkesan berlebihan, ya? Padahal dulu dia nggak seperti ini, tapi sekarang posesif banget," gumam Nadia.Layaknya perhatian yang ditujukan kepada seorang kekasih, seperti itulah y
Hari demi hari berlalu, tetapi hubungan Darren dan Nadia semakin menjauh. Nadia berangkat pagi-pagi ke butik, sore hari gadis itu akan langsung ke kelas bela diri. Malam hari ia tidak pernah keluar, ia sibuk mengurusi pesanan online-nya.Darren sudah mengirimkan pesan untuk makan bersama, atau sekadar mampir ke unitnya. Namun, Nadia tidak merespon sama sekali. Bahkan sudah dua minggu pesannya tidak dibalas oleh Nadia."Dia ini sebenarnya kenapa? Nggak mungkin PMS lama banget sampai dua minggu, kalaupun marah ... sebelumnya juga tetep kirim makanan. Ini malah mengurung diri terus, aku sampai nggak tahu keadaannya gimana!" desis Darren.Pria itu tidak bisa fokus, bahkan ia meminta Jacob untuk mengubah jadwal meetingnya. Memikirkan Nadia sangat memeras otak.Netranya melirik jam yang terpajang di dinding, waktu sudah menunjukkan pukul dua belas siang. Darren segera meraih kunci mobil dan beranjak keluar, makan siang bersama Nadia harus berhasil kali ini!"Apa mungkin dia bad mood karena
Kedua tangannya terkepal erat, ponsel canggih itu sudah terlepas dari genggaman dan jatuh ke lantai."Bukan anakku," bisik Darren.Degup jantungnya berdetak lebih kencang, tangannya segera meraih kunci mobil dan melaju menuju salah satu club. Hari masih terang, tetapi di dalam club itu sudah banyak menawarkan kesenangan.Dua botol kaca datang beserta camilan, tetapi Darren hanya fokus pada cairan wine mahal yang ada di dalam botol tersebut.Salah satu staf membukakan botol, tanpa menuangkan ke dalam gelas, Darren langsung meminumnya."Aaargh ...!" teriaknya seraya melempar botol wine yang sudah kosong.Kelopak matanya terpejam, ia tak lagi peduli dengan penampilannya yang sudah berantakan. Yang penting sakit hatinya dapat dikeluarkan.Darren mengingat baik-baik wajah Tania, wajah polos yang telah mengkhianatinya bersama pria lain.Tubuh yang dulu selalu ia jaga, kini malah mengandung janin dari pria lain. Siapa yang tidak sakit hati?"Tambah lagi," bisik Darren.Deru napasnya naik tur
Berbeda dengan Darren yang hampir kehilangan kewarasannya, Tania malah asyik berbincang di telepon bersama Raka. Wanita itu bermanja, hatinya berbunga-bunga apalagi Raka baru saja mengirimi uang. "Lusa aku ulang tahun, Sayang. Kira-kira ... hadiah apa yang aku dapatkan darimu?" tanya Tania. "Kamu mau minta apa, Tan? Aku sudah mendapatkan semua fasilitas di sini, uangku juga banyak. Kakek ternyata baik, nggak sejahat yang ku kira saat mengajakku ke Jerman," sahut Raka dari seberang telepon. Tania berbinar bahagia mendengarnya, itu artinya jatah bulanannya akan bertambah semakin banyak. "Kemarin aku lihat kalung berlian keluaran terbaru, Sayang. Sepertinya aku akan cantik memakainya," kata Tania. "Nanti kamu pesan, ya. Aku transfer." Tania tersenyum lebar. "Terima kasih, Sayang." Sambungan telepon terputus, Tania kembali membuka salah satu situs jual beli resmi yang sering dikunjungi oleh beberapa hari ini. "Berliannya cantik sekali," gumam Tania. Tangannya bergerak meraba leher
Darren tiba di kediaman Toni dan langsung masuk ke rumah, pria itu memaksakan senyum saat berhadapan dengan Tania.Padahal kebenciannya sangat membumbung tinggi saat mengingat obrolan Tania dengan Raka di telepon kemarin malam. Namun, Darren belum ingin masuk ke permainan inti, dia masih ingin membuka dengan sesuatu yang manis."Makasih, ya, Mas. Aku kira kamu nggak akan pulang, aku sudah khawatir akan merayakan ulang tahun sendirian," kata Tania."Aku sudah berjanji, Tan. Tentu aku akan menepatinya," sahut Darren.Tania memeluk tubuh kekar itu, menyandarkan kepala pada dada bidang Darren. Ia sangat senang, dengan begini dia bisa mendengar detak jantung Darren.Namun, tidak dengan Darren. Pria itu malah semakin geram, tetapi belum mau gegabah."Aku nggak sabar ingin periksa kandungan dan mendengarkan detak jantung anak kita, Mas. Pasti rasanya bahagia sekali, kita sudah menunggunya sejak lama 'kan? Pasti anak kita juga tidak sabar untuk segera lahir ke dunia," bisik Tania yang hanya d
Hari-hari berlalu begitu cepat, berganti minggu dan bulan. Kehidupan Darren dan Nadia dipenuhi dengan kebahagiaan. Mereka menikmati setiap momen bersama, membangun bisnis bersama, dan merencanakan masa depan mereka. Suatu pagi, Nadia terbangun dengan perasaan yang berbeda. Perutnya terasa sedikit mual, dan dia merasa lebih sensitif terhadap bau. Dia langsung menuju kamar mandi dan mengambil test pack yang sudah dia beli beberapa hari sebelumnya. Dengan tangan gemetar, Nadia melakukan tes. Dia menahan napas, jantungnya berdebar kencang. Beberapa saat kemudian, hasil tes muncul. Dua garis merah terang muncul di layar test pack. Nadia terdiam, matanya berkaca-kaca. Air matanya mengalir deras, membasahi pipinya. Dia tak percaya, dia hamil. Dia akan menjadi seorang ibu. Wanita cantik itu langsung berlari keluar dari kamar mandi dan menuju kamar tidur. Darren masih tertidur pulas di ranjang. Nadia duduk di tepi ranjang, matanya menatap Darren dengan penuh kasih sayang. "Kak," bisik Nadi
Minggu-minggu berlalu begitu cepat. Nadia sudah beberapa kali kontrol ke dokter untuk memeriksa kondisi tulang pahanya setelah operasi pelepasan pen. Dokter mengatakan bahwa tulang pahanya sudah pulih dengan baik dan dia sudah bisa beraktivitas seperti biasa."Kak, aku sudah bisa jalan normal lagi, lho!" seru Nadia, matanya berbinar gembira.Darren tersenyum, matanya memancarkan kebahagiaan. "Aku senang mendengarnya, Sayang," jawabnya. "Kamu sudah bisa kembali ke butik."Nadia mengangguk, matanya berbinar-binar. "Aku sudah tidak sabar untuk kembali bekerja," katanya. "Aku ingin membantu kamu mengembangkan butik."Darren mencium kening Nadia dengan lembut. "Aku tahu kamu bisa, Nad," kata Darren. "Kamu akan jadi desainer yang berbakat."Nadia kembali bekerja di butik milik Darren. Dia sangat antusias dalam berbagai hal, mulai dari mendesain baju, memilih bahan, hingga melayani pelanggan. Kehadiran Nadia di butik membuat suasana di sana semakin hidup dan ceria."Kak, aku punya
Malam itu, udara dingin menusuk tulang. Darren dan Nadia berjalan beriringan menuju kediaman Rudi, om Darren yang terkenal kejam. Nadia melangkah dengan hati-hati, tulang pahanya masih terasa nyeri setelah operasi pelepasan pen."Kamu yakin mau ke sini?" tanya Darren, sedikit ragu."Iya, sekadar berbela sungkawa sebentar."Sesampainya di depan rumah Rudi, mereka mendengar suara teriakan yang nyaring. Suara itu berasal dari dalam rumah, terdengar seperti jeritan orang kesakitan. Nadia mengernyit, jantungnya berdebar kencang."Itu suara Om Rudi," bisik Darren.Mereka mengintip dari balik jendela. Di dalam, Rudi tampak seperti orang gila, berteriak-teriak histeris. "Mama ... Ma! Kembalilah padaku, Ma. Aku mohon jangan tinggalkan Papa ...!" teriaknya histeris, memeluk foto mendiang istrinya.Nadia merasa iba melihat Rudi yang terpuruk. "Kasian, dia kayak orang kehilangan akal," gumamnya.Darren hanya diam, matanya menatap Rudi dengan dingin. "Karma," gumamnya pelan, "Karma atas semua keja
Beberapa jam berlalu. Nadia terbangun dari tidurnya, tubuhnya masih terasa lemas akibat pengaruh obat bius. Matanya perlahan terbuka, dan pandangannya langsung tertuju pada Darren yang duduk di samping ranjang, wajahnya tampak lesu. Nadia berusaha bangkit, tetapi rasa sakit yang menusuk di perutnya membuatnya kembali terbaring."Kak ...," lirih Nadia, suaranya serak dan bergetar.Darren langsung mendekat, memegang tangan Nadia dengan lembut. "Sayang, kamu udah bangun? Kamu masih sakit?"Nadia menggeleng lemah. "Sudah nggak terlalu."Darren tidak menjawab, hanya mengelus lembut rambut istrinya. Membuat Nadia berpikir macam-macam, tak biasanya suaminya murung."Kak, apa semua baik-baik saja? Ada masalah, sampai kamu murung begitu?" tanya Nadia, sambil tangannya perlahan menekan perut meredam rasa nyeri.Darren menarik napas dalam-dalam. "Iya, Sayang. Maaf membuatmu khawatir.""Ada apa?"Darren sebenarnya belum ingin cerita, tetapi Nadia sudah terlanjur curiga. "Kakek meninggal be
Darren melangkah gontai memasuki ruangan rumah sakit tempat Nadia dirawat. Ia berharap bisa menemukan sedikit ketenangan di sini, setelah melakukan tindakan brutal terhadap Rahayu. Sayangnya, saat ia melihat wajah Nadia yang pucat dan terbaring lemah, rasa bersalah kembali menyergapnya."Sayang," lirih Darren, tangannya meraih tangan Nadia yang dingin. "Maafkan aku. Aku nggak bisa mencegah Tante Rahayu mengirimkan pesan itu, sehingga membuat pikiranmu terganggu."Namun, sebelum Darren bisa melanjutkan kata-katanya, bodyguard-nya, datang menghampiri. Wajahnya tampak muram, matanya berkaca-kaca."Tuan, ada kabar buruk," ucap Ryan, suaranya bergetar menahan tangis. "I-ini menyangkut Tuan Besar.""Apa?" tanya Darren, jantungnya berdebar kencang."Tuan Besar telah meninggal dunia, Dokter mengabarkan dua puluh menit yang lalu, dan saat ini jenazahnya masih ada di ICU karena menunggu Tuan," ucap Ryan, suaranya tercekat.Darren terpaku di tempat, matanya membelalak tak percaya. Ia tak
Darren melangkah tegap menuju kantornya, meninggalkan kekacauan di Atmajaya. Ia tak peduli dengan perusahaan yang kini terancam bangkrut, tak peduli dengan kekhawatiran staf-staf Atmajaya tadi, dan tak peduli dengan nasib Rudi. Ia memasuki ruangannya, sebuah ruangan mewah dengan pemandangan kota dari jendela besar. Namun, kemewahan itu tak lagi berarti apa-apa baginya. Ia duduk di kursi empuk, membuka laptop, dan mulai mengetik.Darren mengirim email kepada para investor Atmajaya, memerintahkan mereka untuk segera menarik investasi dari perusahaan milik omnya. Ia tahu, dengan kekuasaannya, para investor pasti lebih berpihak padanya.[Saya harap Anda semua sudah membaca berita terkini tentang Atmajaya. Saya sarankan Anda untuk segera menarik investasi Anda dari perusahaan ini. Atmajaya sudah tidak layak untuk Anda investasikan.] tulis Darren dalam emailnya.Ia menekan tombol "kirim" dengan penuh amarah. Ia tahu, dengan email itu, ia telah menghancurkan Atmajaya. Namun, ia tak
Nadia terbaring lemah di ranjang rumah sakit, matanya terpejam. Napasnya teratur, tubuhnya lemas setelah perawat menyuntikkan obat penenang. Air mata yang sebelumnya membasahi pipinya kini telah kering, meninggalkan jejak samar di kulit pucatnya. Marah, sedih, dan kecewa bercampur aduk dalam hatinya. Janin yang baru berusia dua bulan terpaksa diluruhkan, mimpi untuk menjadi seorang ibu harus ditunda.Darren duduk di kursi samping ranjang, matanya tertuju pada wajah Nadia yang tenang dalam tidurnya. Hatinya pedih melihat istrinya terbaring lemah, tetapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya bisa menggenggam erat tangan Nadia, berharap sentuhannya bisa sedikit meringankan beban yang sedang ditanggung istrinya. "Maaf, Sayang. Aku gak bisa ngelakuin apa-apa," bisik Darren lirih, suaranya bergetar menahan kesedihan. "Aku janji, kita bakal punya anak lagi."Darren terdiam sejenak, matanya berkaca-kaca. Ia teringat untuk menemani Brata, sang kakek, yang dirawat di ICU karena infek
Dokter itu meletakkan selembar kertas dan pulpen di hadapan Darren. Tangannya gemetar saat meraih pulpen, matanya menerawang ke arah pintu ruang operasi tempat Nadia terbaring."Ini, Pak Darren. Formulir persetujuan untuk tindakan medis. Saya sudah jelaskan risikonya, dan saya harap Anda bisa memahami keputusan ini." Dokter itu berkata dengan nada lembut, tetapi suaranya terasa berat di telinga Darren.Darren menatap formulir itu dengan tatapan kosong. Kata-kata dokter berputar-putar di kepalanya.Risiko tinggi.Kondisi kritis.Keputusan sulit. Ia mencoba mencari kekuatan di dalam diri, mencoba mencari jalan keluar dari dilemma yang menjeratnya."Dokter, apakah ... apakah tidak ada cara lain?" tanya Darren, suaranya terasa serak dan patah.Dokter menggeleng pelan. "Maaf, Pak Darren. Ini adalah pilihan terbaik yang bisa kita ambil saat ini. Jika kita tidak bertindak segera, kondisi Ibu Nadia akan semakin memburuk. Dan ris
Darren masih terpaku di depan pintu ruang operasi, matanya menerawang ke dalam ruangan. Kekhawatirannya belum juga mereda. Nadia, istrinya, masih belum sadar dari pengaruh obat bius. Operasi pelepasan pen berjalan lancar, tapi kondisi Nadia justru memburuk setelahnya. Tekanan darahnya terus meningkat, dan keadaan kandungannya juga melemah.Tiba-tiba, seorang perawat berlari menghampirinya. Wajahnya tampak panik. "Maaf, Pak Darren. Ada kabar buruk. Kakek Brata kritis."Darren tersentak. "Apa maksudnya? Kakek Brata kenapa?""Infeksi paru-parunya semakin parah, Pak. Batuknya semakin keras dan sulit bernapas. Saat ini, Kakek Brata kejang-kejang." Perawat itu mengusap keringat di dahinya. Darren langsung berdiri tegak. "Dimana Kakek sekarang?""Di ruang ICU, Pak." Perawat itu menunjuk arah. "Saya harus kembali ke sana. Maaf, Pak."Darren terdiam sejenak. Rasa cemas dan takut bercampur aduk dalam dirinya. Nadia masih belum sadar, dan sekarang Kakeknya kritis. Ia merasaka