Emilio pulang setelah menemui Emily. Saat sampai di rumah, Grace berada di kamar masih tidur karena pengaruh obat tidur. Emilio mendekat ke ranjang, lantas duduk di samping Grace sambil menggenggam salah satu telapak tangan wanita itu. “Maafkan semua kesalahanku, Grace.” Emilio menunduk hingga keningnya menyentuh genggaman tangannya dengan Grace. Grace ternyata mulai sadar. Dia melihat Emilio yang sedang menunduk sambil menggenggam telapak tangannya. “Di mana putriku?” tanya Grace dengan suara lirih. Emilio langsung mengangkat wajah saat mendengar suara Grace. “Kamu sudah bangun.” Emilio mengusap lembut kening Grace. “Di mana dia? Tadi dia masih di gendonganku,” ujar Grace mencari gadis kecil yang dipeluknya. Emilio menguatkan genggaman tangan mereka sambil menundukkan kepala karena air mata yang hampir luruh. “Dia bukan anak kita, Grace. Putri kita sudah tiada karena kesalahanku. Maafkan aku, Grace.” Sekali lagi Emilio mengakui kesalahannya. Dia tak ingin terus larut di masa
“Makan, ya.” Emilio berusaha membujuk agar Grace mau makan karena sejak semalam wanita itu tak mau makan sama sekali. Grace tetap tidak mau makan, tentu saja hal itu membuat Emilio cemas. “Besok, kita kembali ke Milan, ya. Aku lebih tenang di sana bersamamu,” ucap Emilio memberitahu keputusannya untuk kembali ke luar negeri agar Grace bisa berobat dengan tenang. “Aku mau anakku.” Grace menatap penuh kesedihan ke Emilio. “Kita akan mendapatkannya. Kamu bisa memiliki anak yang kamu inginkan, yang butuh orang tua. Apa mau cari sekarang? Kita adopsi anak yang tak punya orang tua agar dia merasakan kasih sayang,” ujar Emilio mencoba bicara pelan-pelan. “Aku mau Emi,” balas Grace dengan bola mata berkaca-kaca lagi. “Grace, Emi sudah memiliki orang tua yang menyayanginya. Jika kita ambil dia dari mereka, aku yakin kalau Emi malah tidak akan bahagia. Bukankah kamu bercita-cita melihat anakmu bahagia, lalu jika Emi menangis, apa kamu tega?” Emilio mencoba mematahkan keinginan Grace untu
Beberapa hari berlalu. Emily kini sedang bermain dengan Aruna dan Ansel di halaman rumah. Mereka benar-benar sudah merasa tenang karena tak ada yang mengusik kehidupan mereka lagi.Emily duduk di tikar sedang menuang teh ke gelas meski sedikit tumpah. Dia bermain seolah sedang piknik bersama kedua keluarganya.“Ini teh buat Mami.” Emily memberikan cangkir untuk Aruna. “Ini buat Papi,” ucap Emily kemudian memberikan ke Ansel.“Terima kasih,” ucap Aruna sambil memulas senyum.Mereka minum teh yang diberikan Emily, juga makan camilan yang ada di sana.Boneka pemberian Grace juga ada di sana, didudukkan di sebuah kursi kecil bersama mereka.Saat mereka sedang bercanda, sebuah mobil terlihat berhenti di depan gerbang rumah itu. Ansel dan Aruna menoleh ke gerbang, hingga mereka melihat Emilio turun dari mobil bersama Grace.Tentu saja Ansel dan Aruna sangat terkejut melihat Emilio di sana. Mereka panik ji
“Emi sudah tidur?” tanya Ansel saat Aruna masuk kamar. Aruna menganggukkan kepala, lantas naik ranjang bersama suaminya. “Akhirnya aku bisa tidur nyenyak,” ucap Aruna sambil menarik selimut setinggi dada. Ansel yang masih duduk pun langsung menatap Aruna saat mendengar ucapan istrinya itu. “Memangnya kemarin tidak bisa tidur nyenyak?” Ansel keheranan dengan maksud ucapan Aruna. Aruna menatap suaminya, lantas membalas, “Bagaimana bisa aku tidur nyenyak sedangkan aku selalu memikirkan bagaimana nasib kita kalau tiba-tiba Emi diambil Emilio. Tapi sekarang sudah lega karena akhirnya Emilio tak mau mengambil Emily.” Ansel ikut berbaring mendengar ucapan Aruna. Dia pun memeluk hingga membuat Aruna terkejut. “Tapi sepertinya kamu tetap takkan bisa tidur nyenyak,” ucap Ansel dengan nada candaan. Aruna mengerutkan alis mendengar ucapan Ansel, hingga sadar dengan maksud ucapan suaminya itu. “Ish … jangan macam-macam.” Aruna hendak mundur untuk menjauh, tapi Ansel memeluknya erat. “Pada
Genap dua bulan pernikahan Aruna dan Ansel. Keduanya masih tinggal di rumah Bintang sesuai dengan perjanjian awal mereka.“Nanti malam kita pergi makan berdua,” ajak Ansel saat Aruna sedang merapikan dasinya.“Berdua? Tidak mengajak Emi?” tanya Aruna keheranan.Ansel mengusap rambut Aruna, lantas menjawab, “Ya, hanya berdua. Aku sudah bilang ke Mommy kalau ingin mengajakmu makan berdua, jadi nanti Emi biar bersama Mommy.”Aruna mengangguk-angguk mendengar jawaban Ansel. Mereka pun keluar dari kamar untuk sarapan berdua bersama.“Mami, nanti sore Oma mau ngajak aku ke rumah Oma buyut,” ujar Emily saat bersiap sarapan.“Benarkah?” Aruna seperti terkejut padahal sebenarnya sudah tahu. Dia melirik sang mommy yang menganggukkan kepala.“Jadi anak baik saat di sana, ya.” Ansel mengingatkan meski tahu kalau Emily akan selalu berperilaku baik saat di tempat orang lain.
“Kenapa kalian cepat sekali sudah pulang?” tanya Bintang saat melihat Aruna dan Ansel.“Runa merasa kurang baik, Mom.” Ansel menjawab pertanyaan Bintang sambil memapah Aruna.Tentu saja Bintang terkejut mendengar jawaban Ansel. Dia langsung berdiri untuk mengecek kondisi Aruna.“Kurang baik kenapa? Kamu sakit?” tanya Bintang sambil menyentuh kening Aruna.“Entah, Mom. Tiba-tiba mual dan aku benar-benar pusing,” jawab Aruna.Bintang tentu saja terkejut dan cemas mendengar jawaban Aruna.Langit dan Emily pun mendekat untuk melihat kondisi Aruna.“Ya sudah, ke kamar dulu. Biar mommy ambilkan obat,” ucap Bintang lantas pergi ke dapur untuk mengambil kotak obat.Ansel membantu Aruna berjalan ke kamar. Emily ikut karena mencemaskan kondisi Aruna.“Pelan-pelan,” ucap Ansel sambil membantu Aruna duduk di ranjang. Dia juga membantu melepas sepatu sebelum mena
“Mami, Mami tidak apa-apa?” Emily mengetuk pintu kamar mandi saat mendengar suara Aruna muntah. Dia sangat cemas saat pagi hari mendengar suara Aruna yang terus muntah tanpa jeda. “Ada apa, Emi?” Ansel baru saja bangun karena mendengar suara Emily. Dia melihat putrinya itu berdiri di depan pintu kamar mandi. “Mami muntah-muntah, Papi.” Emily bicara sambil menunjuk ke pintu kamar mandi. Ansel langsung turun dari kamar mandi mendengar ucapan Emily. Dia pun mencoba mengetuk pintu untuk mengetahui kondisi Aruna. “Runa, kamu baik-baik saja?” tanya Ansel. Ansel ingin masuk tapi ternyata pintu dikunci dari dalam. “Aku baik-baik saja, tidak apa,” jawab Aruna dari dalam. Meski Aruna berkata baik-baik saja, tapi Emily dan Ansel tetap saja cemas. Tak beberapa lama kemudian, pintu kamar mandi pun terbuka. Aruna keluar dengan wajah pulas dan tubuh gemetar. “Awas, pelan-pelan.” Ansel membantu Aruna berjalan menuju ranjang. “Apa kamu yakin kalau baik-baik saja? Bagaimana kalau kita periksa
Ansel menghadiri rapat, tapi dia terlihat gelisah dan berulang kali menengok ke ponsel karena menunggu Aruna menghubunginya.“Jadi, bagaimana menurut Anda, Pak? Apa Anda ada masukan?” tanya staff yang baru saja menjelaskan detail proyek mereka.Ansel tak mendengar pertanyaan staff karena tak fokus di rapat itu.Rio sampai menoleh ke Ansel. Dia bertanya-tanya kenapa Ansel hanya diam. Semua staff yang ikut rapat itu juga menatap Ansel yang tak memberi komentar apa pun.“Pak,” bisik Rio mencoba menyadarkan Ansel.Ansel langsung menatap Rio dengan ekspresi wajah tak tahu apa-apa.“Presentasinya sudah selesai, Anda mau memberi masukan atau tidak?” tanya Rio setengah berbisik.Ansel akhirnya memandang ke para staff, hingga menyadari jika semua tatapan kini tertuju ke arahnya.“Maaf, aku kurang fokus hari ini. Apa kita bisa lanjut besok? Berkasnya letakkan di mejaku untuk aku pahami,” uc