Beberapa hari berlalu. Emily kini sedang bermain dengan Aruna dan Ansel di halaman rumah. Mereka benar-benar sudah merasa tenang karena tak ada yang mengusik kehidupan mereka lagi.Emily duduk di tikar sedang menuang teh ke gelas meski sedikit tumpah. Dia bermain seolah sedang piknik bersama kedua keluarganya.“Ini teh buat Mami.” Emily memberikan cangkir untuk Aruna. “Ini buat Papi,” ucap Emily kemudian memberikan ke Ansel.“Terima kasih,” ucap Aruna sambil memulas senyum.Mereka minum teh yang diberikan Emily, juga makan camilan yang ada di sana.Boneka pemberian Grace juga ada di sana, didudukkan di sebuah kursi kecil bersama mereka.Saat mereka sedang bercanda, sebuah mobil terlihat berhenti di depan gerbang rumah itu. Ansel dan Aruna menoleh ke gerbang, hingga mereka melihat Emilio turun dari mobil bersama Grace.Tentu saja Ansel dan Aruna sangat terkejut melihat Emilio di sana. Mereka panik ji
“Emi sudah tidur?” tanya Ansel saat Aruna masuk kamar. Aruna menganggukkan kepala, lantas naik ranjang bersama suaminya. “Akhirnya aku bisa tidur nyenyak,” ucap Aruna sambil menarik selimut setinggi dada. Ansel yang masih duduk pun langsung menatap Aruna saat mendengar ucapan istrinya itu. “Memangnya kemarin tidak bisa tidur nyenyak?” Ansel keheranan dengan maksud ucapan Aruna. Aruna menatap suaminya, lantas membalas, “Bagaimana bisa aku tidur nyenyak sedangkan aku selalu memikirkan bagaimana nasib kita kalau tiba-tiba Emi diambil Emilio. Tapi sekarang sudah lega karena akhirnya Emilio tak mau mengambil Emily.” Ansel ikut berbaring mendengar ucapan Aruna. Dia pun memeluk hingga membuat Aruna terkejut. “Tapi sepertinya kamu tetap takkan bisa tidur nyenyak,” ucap Ansel dengan nada candaan. Aruna mengerutkan alis mendengar ucapan Ansel, hingga sadar dengan maksud ucapan suaminya itu. “Ish … jangan macam-macam.” Aruna hendak mundur untuk menjauh, tapi Ansel memeluknya erat. “Pada
Genap dua bulan pernikahan Aruna dan Ansel. Keduanya masih tinggal di rumah Bintang sesuai dengan perjanjian awal mereka.“Nanti malam kita pergi makan berdua,” ajak Ansel saat Aruna sedang merapikan dasinya.“Berdua? Tidak mengajak Emi?” tanya Aruna keheranan.Ansel mengusap rambut Aruna, lantas menjawab, “Ya, hanya berdua. Aku sudah bilang ke Mommy kalau ingin mengajakmu makan berdua, jadi nanti Emi biar bersama Mommy.”Aruna mengangguk-angguk mendengar jawaban Ansel. Mereka pun keluar dari kamar untuk sarapan berdua bersama.“Mami, nanti sore Oma mau ngajak aku ke rumah Oma buyut,” ujar Emily saat bersiap sarapan.“Benarkah?” Aruna seperti terkejut padahal sebenarnya sudah tahu. Dia melirik sang mommy yang menganggukkan kepala.“Jadi anak baik saat di sana, ya.” Ansel mengingatkan meski tahu kalau Emily akan selalu berperilaku baik saat di tempat orang lain.
“Kenapa kalian cepat sekali sudah pulang?” tanya Bintang saat melihat Aruna dan Ansel.“Runa merasa kurang baik, Mom.” Ansel menjawab pertanyaan Bintang sambil memapah Aruna.Tentu saja Bintang terkejut mendengar jawaban Ansel. Dia langsung berdiri untuk mengecek kondisi Aruna.“Kurang baik kenapa? Kamu sakit?” tanya Bintang sambil menyentuh kening Aruna.“Entah, Mom. Tiba-tiba mual dan aku benar-benar pusing,” jawab Aruna.Bintang tentu saja terkejut dan cemas mendengar jawaban Aruna.Langit dan Emily pun mendekat untuk melihat kondisi Aruna.“Ya sudah, ke kamar dulu. Biar mommy ambilkan obat,” ucap Bintang lantas pergi ke dapur untuk mengambil kotak obat.Ansel membantu Aruna berjalan ke kamar. Emily ikut karena mencemaskan kondisi Aruna.“Pelan-pelan,” ucap Ansel sambil membantu Aruna duduk di ranjang. Dia juga membantu melepas sepatu sebelum mena
“Mami, Mami tidak apa-apa?” Emily mengetuk pintu kamar mandi saat mendengar suara Aruna muntah. Dia sangat cemas saat pagi hari mendengar suara Aruna yang terus muntah tanpa jeda. “Ada apa, Emi?” Ansel baru saja bangun karena mendengar suara Emily. Dia melihat putrinya itu berdiri di depan pintu kamar mandi. “Mami muntah-muntah, Papi.” Emily bicara sambil menunjuk ke pintu kamar mandi. Ansel langsung turun dari kamar mandi mendengar ucapan Emily. Dia pun mencoba mengetuk pintu untuk mengetahui kondisi Aruna. “Runa, kamu baik-baik saja?” tanya Ansel. Ansel ingin masuk tapi ternyata pintu dikunci dari dalam. “Aku baik-baik saja, tidak apa,” jawab Aruna dari dalam. Meski Aruna berkata baik-baik saja, tapi Emily dan Ansel tetap saja cemas. Tak beberapa lama kemudian, pintu kamar mandi pun terbuka. Aruna keluar dengan wajah pulas dan tubuh gemetar. “Awas, pelan-pelan.” Ansel membantu Aruna berjalan menuju ranjang. “Apa kamu yakin kalau baik-baik saja? Bagaimana kalau kita periksa
Ansel menghadiri rapat, tapi dia terlihat gelisah dan berulang kali menengok ke ponsel karena menunggu Aruna menghubunginya.“Jadi, bagaimana menurut Anda, Pak? Apa Anda ada masukan?” tanya staff yang baru saja menjelaskan detail proyek mereka.Ansel tak mendengar pertanyaan staff karena tak fokus di rapat itu.Rio sampai menoleh ke Ansel. Dia bertanya-tanya kenapa Ansel hanya diam. Semua staff yang ikut rapat itu juga menatap Ansel yang tak memberi komentar apa pun.“Pak,” bisik Rio mencoba menyadarkan Ansel.Ansel langsung menatap Rio dengan ekspresi wajah tak tahu apa-apa.“Presentasinya sudah selesai, Anda mau memberi masukan atau tidak?” tanya Rio setengah berbisik.Ansel akhirnya memandang ke para staff, hingga menyadari jika semua tatapan kini tertuju ke arahnya.“Maaf, aku kurang fokus hari ini. Apa kita bisa lanjut besok? Berkasnya letakkan di mejaku untuk aku pahami,” uc
“Kamu pulang awal sekali?” tanya Aruna saat suaminya pulang sebelum jam kerja selesai. Ansel meletakkan jas di sandaran sofa. Dia lantas berjalan menghampiri Aruna sambil memasang wajah cemas. “Aku mencemaskanmu, karena itu pulang cepat. Bagaimana bisa aku bekerja dengan tenang, sedangkan kamu sakit dan sama sekali tak memberi kabar soal kondisimu,” jawab Ansel lantas duduk di tepian ranjang sambil menatap Aruna. Aruna merasa bersalah mendengar ucapan Ansel. Dia menatap suaminya itu dengan rasa bersalah. “Kenapa tatapanmu begitu? Apa ada sesuatu yang salah?” tanya Ansel dengan tatapan begitu cemas. Aruna menggelengkan kepala sambil menunduk, lantas menatap Ansel dengan seulas senyum. “Aku tadi tidur seharian, maaf kalau membuatmu cemas,” jawab Aruna sambil tersenyum. Ansel merasa senyum Aruna tak biasa, membuatnya semakin khawatir. “Runa, apa benar tidak ada masalah? Apa kamu sakit biasa?” tanya Ansel sambil menggenggam telapak tangan Aruna. Aruna menggigit bibir bawah menden
Ansel dan Aruna saling tatap, mereka cemas jika Emily tidak senang karena reaksi Emily yang hanya diam sambil menatap mereka setelah mendengar berita itu. “Emi, Emi tidak suka kalau punya adik?” tanya Ansel memastikan. Emily menatap Ansel sambil mengedip-ngedipkan kelopak mata, lantas membalas dengan pertanyaan. “Memangnya, Mami mau punya adik?” tanya Emily lantas menatap Aruna. Aruna mengulum bibir mendengar pertanyaan Emily. Dia tak sanggup menjawab pertanyaan gadis kecil itu. “Adik itu dari mana? Apa perut? Tapi kenapa perutnya Mami kecil?” tanya Emily lantas menatap perut Aruna yang datar. Ansel dan Aruna bingung mendengar pertanyaan Emily. “Emi tidak suka kalau punya adik?” tanya Ansel memastikan karena Emily belum menjawab pertanyaannya. “Suka,” jawab Emily sambil menatap Ansel dan Aruna dengan tatapan bingung. Aruna dan Ansel langsung bernapas lega mendengar jawaban Emily. “Emily benar-benar suka kalau punya adik?” tanya Aruna memastikan. “Iya suka, nanti kayak Archie
Aruna dan yang lain buru-buru pergi ke rumah sakit setelah mendapat kabar jika Winnie mau melahirkan, tapi siapa sangka saat masuk ruangan malah melihat Hanzel juga, membuat semua orang bingung.“Hanz, kenapa kamu di sini?” tanya Aruna bingung.“Milea melahirkan,” jawab Hanzel.“Lah, bukannya ini kamar Winnie?” tanya Aruna bingung.“Ya, mereka berdua di sini. tuh!” Hanzel menunjuk ke dalam.Ternyata Bumi dan Hanzel setuju jika istri mereka satu kamar agar bisa saling bantu menjaga.Aruna, Ansel, dan kedua orang tuanya terkejut mendengar ucapan Hanzel. Mereka buru-buru masuk untuk melihat apakah yang dikatakan Hanzel benar.“Kalian benar-benar janjian. Hamil dan melahirkan bisa barengan,” cerocos Aruna sangat tak menyangka.“Kebetulan saja, aku masuk duluan baru Winnie,” balas Milea.Semua orang yang ada di sana terlihat sangat bahagia, belum lagi setelah itu datang keluarga Hanzel dan Milea karena ingin menyambut cucu mereka.“Anak kalian seperti kembar.” Aruna dan yang lain memandang
“Mama, tadi Emily bantu gambar ini, lho.” Kai memperlihatkan gambar yang dibawanya.“Mana coba lihat.” Milea mengambil buku gambar dari tangan Kai.Milea sudah ambil cuti melahirkan karena usia kandungannya memasuki sembilan bulan. Dia fokus dengan kesehatan kehamilan dan Kai yang sekarang sudah duduk di bangku sekolah dasar.“Yang mewarnai siapa?” tanya Milea sambil memperhatikan gambar itu.“Kai dong. Kai pintar ‘kan?” Kai menjawab dengan bangga.“Iya, pintar,” balas Milea.Kai sangat bangga dapat pujian dari sang mama, hingga melihat Milea yang meringis.“Mama kenapa?” tanya Kai sambil menggenggam telapak tangan Milea.“Tidak kenapa-napa,” ucap Milea sambil tersenyum meski perutnya mendadak kencang.“Mama yakin?” tanya Kai yang cemas.Belum juga Milea menjawab, dia merasa kalau perutnya semakin sakit seperti mengalami kontraksi, tentu saja hal itu membuat Kai cemas.“Bibi! Mama sakit!” teriak Kai karena di rumah itu hanya ada dirinya, kedua orang tuanya, dan pembantu.Milea dan Han
“Pernyataanmu tadi, apa bisa aku anggap benar?”Jean tertegun hingga menoleh Raja yang duduk di belakang stir. Dia mengulum bibir menunjukkan kalau sedang dalam kondisi panik dan bingung.“Aku tidak tahu harus menyebutmu apa? Adik tidak mungkin, teman terlalu aneh.”Jean mencoba sedikit mengelak dari pengakuannya ke Milea.“Berarti memang bagus pacar. Jadi, apa bisa jadi pengakuan untuk seterusnya?” tanya Raja lantas menoleh Jean.Jean benar-benar salah tingkah mendengar pertanyaan Raja. Dia memberanikan diri menoleh ke pemuda itu.“Jangan berharap banyak kepadaku. Aku memiliki banyak kekurangan termasuk mungkin takkan bisa memberikan cinta yang sempurna untukmu,” ucap Jean takut Raja kecewa.“Kamu tahu, tidak ada yang namanya cinta sempurna. Yang ada, saling melengkapi kekurangan masing-masing. Asal kamu mengizinkan, aku akan menerima semua kekurangan itu.”Raja menatap Jean penuh harap. Dia menyadari jika Jean seperti tidak tertarik dengan sebuah hubungan percintaan, tapi dia pun ta
“Apa kamu tidak merasa aneh jalan denganku?”Jean mengamati sekitar, banyak remaja memperhatikannya yang sedang jalan dengan Raja.“Kenapa aku harus merasa aneh?” tanya Raja balik dengan santai.“Karena kamu jalan dengan wanita yang layak jadi kakak, tante, mungkin mama.”Jean menjawab sambil menoleh Raja.Raja tertawa mendengar ucapan Jean, lantas membalas, “Untuk apa memikirkan pandangan orang yang tidak ada habisnya. Yang menjalani aku, kenapa mereka yang repot?”“Lagi pula sekarang kita hanya jalan, kalau kamu menerima perasaanku, aku malah akan menggandeng tanganmu lantas memberitahu mereka kalau kamu kekasihku, bukan kakakku, tanteku, atau mamaku,” ujar Raja lagi memberi clue ke Jean untuk merepon perasaan yang diungkapkan sebelumnya.Jean langsung berdeham mendengar ucapan Raja, bahkan mengulum bibir sambil memalingkan muka.Raja menoleh Jean yang memalingkan muka darinya, dia pun lantas kembali berkata, “Apa kamu yakin belum mau memutuskan? Tapi kalau belum juga tidak apa, aku
“Jean,” panggil Ive saat melihat putrinya sedang menuruni anak tangga.Jean yang sedang ingin ke dapur mengambil minum, akhirnya berbelok ke ruang keluarga untuk menghampiri sang mama dan papa.“Ada apa, Ma?” tanya Jean.“Duduklah sini,” pinta Ive sambil menepuk sofa di sampingnya.Jean menuruti ucapan sang mama, lantas menatap kedua orang tuanya bergantian.“Apa ada masalah, Ma?” tanya Jean agak cemas karena tak biasanya kedua orang tuanya memanggil sambil memperlihatkan ekspresi serius seperti itu.“Apa kamu sebelumnya menolak kencan buta karena sudah punya pacar dan pacarmu itu yang tadi pagi jemput?” tanya Ive memastikan sebelum bicara ke pembahasan lebih lanjut.Jean sangat terkejut mendengar pertanyaan Ive, membuatnya gelagapan karena bingung harus menjawab apa.Ive dan Alex saling tatap, mereka pun semakin yakin kalau memang benar pria yang menjemput Jean adalah pacar putrinya.“Sebenarnya, asal kamu suka, tidak masalah kamu mau pacaran sama siapa, mau nikah sama siapa. Mama da
“Lain kali jangan mendatanginya dengan alasan kamu merasa bersalah! Bukankah kamu seharusnya merasa bersalah karena mendekati kekasih adikmu sendiri.”Raja baru saja sampai rumah saat sang kakak juga sampai di rumah. Dia memperingatkan kakaknya itu agar tak mendekati Jean lagi.Saat Arthur hendak membalas ucapan Raja, Amanda sudah lebih menegur mereka berdua.“Kenapa kalian bersitegang lagi?” tanya Amanda sambil menatap kedua putranya itu.Raja dan Arthur menoleh bersamaan ke Amanda. Raja terlihat tak senang karena menyadari jika sang mama pasti akan membela kakaknya.Amanda menatap Arthur yang hanya diam, hingga tatapannya tertuju ke Raja.“Raja, mama mau bicara denganmu sebentar, bisa?” tanya Amanda dengan suara halus agar putranya tak salah paham kepadanya.Raja menatap sang mama, lantas mengangguk karena tak bisa menolak permintaan wanita itu.Raja pun mengikuti sang mama yang berjalan lebih dulu di depannya. Dia mengikuti hingga sang mama masuk ke ruang kerja ayahnya.“Mama mau b
“Yang ini nanti kamu kirim ke bagian marketing. Jangan lupa minta untuk dicek ulang,” perintah Jean ke sekretarisnya.“Baik, Bu.” Sekretaris Jean mengangguk.Jean memberikan berkas yang baru dicek. Dia lantas kembali mengurus berkas lainnya yang bertumpuk di mejanya.Saat sedang fokus ke berkas, tiba-tiba saja telepon kabel di mejanya berdering, membuat Jean menjawab panggilan itu lebih dulu.“Selamat siang Bu Jean, ada seseorang yang ingin menemui Anda tapi belum membuat janji. Anda ingin menemuinya atau tidak?” tanya staff resepsionis dari seberang panggilan.Jean mengerutkan alis mendengar pertanyaan resepsionis.“Siapa?” tanya Jean penasaran hingga dia terdiam mendengar nama yang disebutkan resepsionis.Jean menutup panggilan itu, lantas memilih keluar dari ruangannya untuk menemui orang yang mencarinya.Jean pergi ke lobi, hingga melihat pria yang berdiri membawa sebuah paper bag.“Mau apa kamu menemuiku?” tanya Jean sambil menatap Arthur yang datang menemuinya.Arthur membalikka
Raja tersenyum melihat Jean keluar memakai celana. Dia tidak menyangka kalau wanita itu mau berganti pakaian hanya karena dirinya memaksa ingin mengantar.“Besok aku akan membawa mobil,” ucap Raja sambil menyodorkan helm ke Jean.“Kamu tidak perlu menjemputku setiap hari,” balas Jean sambil menerima helm dari Raja lantas memakainya.Siapa sangka Raja mendekat ke Jean, lantas membantu memasang tali pengaman helm.Jean cukup terkejut dengan apa yang dilakukan Raja, tapi dia berusaha untuk tenang.“Aku suka melakukannya,” balas Raja setelah selesai memasang tali helm sambil menatap Jean.Jean mengalihkan pandangan dari pemuda itu, bahkan menggeser posisi agar tak terlalu dekat dengan Raja.“Bisa kita berangkat sekarang?” tanya Jean karena mulai salah tingkah melihat tatapan Raja.Raja hanya mengulum senyum, lantas naik ke motor disusul Jean. Pemuda itu pun melajukan motor meninggalkan rumah Jean.Di rumah, ayah Jean keheranan karena mobil putrinya masih di garasi.“Jean ke kantor naik ap
[Jill, jika ada yang menyukaiku, tapi tak sesuai ekspektasiku. Apa yang harus aku lakukan?]Jean mengirimkan pesan ke Jill karena tak tahu harus bagaimana mengatasi masalah yang sedang dialaminya.Jean duduk di kasur sambil menatap pesan yang baru saja dikirimkan ke Jill. Hingga beberapa saat kemudian pesan itu dibaca sepupunya itu.[Fokus pada keinginan awalmu, Jean. Baru kamu bisa memutuskan apa yang kamu inginkan.]Jean membaca pesan dari Jill, memang tak banyak membantu tapi setidaknya itu bisa membuatnya tenang. Dia pun mengirimkan balasan terima kasih ke sepupunya itu, lantas mengembuskan napas kasar.Hari berikutnya, Jean sarapan bersama kedua orang tuanya seperti biasa.Ive terlihat menatap Jean yang makan tanpa bicara, banyak perubahan yang membuat wanita paruh baya itu sedih.“Akhir minggu ini, bagaimana kalau kita Me Time bersama, Jean?” tanya sang mama ingin kembali mempererat hubungan keduanya.Jean memandang sang mama, lantas menganggukkan kepala sambil tersenyum tipis.