Genap dua bulan pernikahan Aruna dan Ansel. Keduanya masih tinggal di rumah Bintang sesuai dengan perjanjian awal mereka.
“Nanti malam kita pergi makan berdua,” ajak Ansel saat Aruna sedang merapikan dasinya.
“Berdua? Tidak mengajak Emi?” tanya Aruna keheranan.
Ansel mengusap rambut Aruna, lantas menjawab, “Ya, hanya berdua. Aku sudah bilang ke Mommy kalau ingin mengajakmu makan berdua, jadi nanti Emi biar bersama Mommy.”
Aruna mengangguk-angguk mendengar jawaban Ansel. Mereka pun keluar dari kamar untuk sarapan berdua bersama.
“Mami, nanti sore Oma mau ngajak aku ke rumah Oma buyut,” ujar Emily saat bersiap sarapan.
“Benarkah?” Aruna seperti terkejut padahal sebenarnya sudah tahu. Dia melirik sang mommy yang menganggukkan kepala.
“Jadi anak baik saat di sana, ya.” Ansel mengingatkan meski tahu kalau Emily akan selalu berperilaku baik saat di tempat orang lain.
“Kenapa kalian cepat sekali sudah pulang?” tanya Bintang saat melihat Aruna dan Ansel.“Runa merasa kurang baik, Mom.” Ansel menjawab pertanyaan Bintang sambil memapah Aruna.Tentu saja Bintang terkejut mendengar jawaban Ansel. Dia langsung berdiri untuk mengecek kondisi Aruna.“Kurang baik kenapa? Kamu sakit?” tanya Bintang sambil menyentuh kening Aruna.“Entah, Mom. Tiba-tiba mual dan aku benar-benar pusing,” jawab Aruna.Bintang tentu saja terkejut dan cemas mendengar jawaban Aruna.Langit dan Emily pun mendekat untuk melihat kondisi Aruna.“Ya sudah, ke kamar dulu. Biar mommy ambilkan obat,” ucap Bintang lantas pergi ke dapur untuk mengambil kotak obat.Ansel membantu Aruna berjalan ke kamar. Emily ikut karena mencemaskan kondisi Aruna.“Pelan-pelan,” ucap Ansel sambil membantu Aruna duduk di ranjang. Dia juga membantu melepas sepatu sebelum mena
“Mami, Mami tidak apa-apa?” Emily mengetuk pintu kamar mandi saat mendengar suara Aruna muntah. Dia sangat cemas saat pagi hari mendengar suara Aruna yang terus muntah tanpa jeda. “Ada apa, Emi?” Ansel baru saja bangun karena mendengar suara Emily. Dia melihat putrinya itu berdiri di depan pintu kamar mandi. “Mami muntah-muntah, Papi.” Emily bicara sambil menunjuk ke pintu kamar mandi. Ansel langsung turun dari kamar mandi mendengar ucapan Emily. Dia pun mencoba mengetuk pintu untuk mengetahui kondisi Aruna. “Runa, kamu baik-baik saja?” tanya Ansel. Ansel ingin masuk tapi ternyata pintu dikunci dari dalam. “Aku baik-baik saja, tidak apa,” jawab Aruna dari dalam. Meski Aruna berkata baik-baik saja, tapi Emily dan Ansel tetap saja cemas. Tak beberapa lama kemudian, pintu kamar mandi pun terbuka. Aruna keluar dengan wajah pulas dan tubuh gemetar. “Awas, pelan-pelan.” Ansel membantu Aruna berjalan menuju ranjang. “Apa kamu yakin kalau baik-baik saja? Bagaimana kalau kita periksa
Ansel menghadiri rapat, tapi dia terlihat gelisah dan berulang kali menengok ke ponsel karena menunggu Aruna menghubunginya.“Jadi, bagaimana menurut Anda, Pak? Apa Anda ada masukan?” tanya staff yang baru saja menjelaskan detail proyek mereka.Ansel tak mendengar pertanyaan staff karena tak fokus di rapat itu.Rio sampai menoleh ke Ansel. Dia bertanya-tanya kenapa Ansel hanya diam. Semua staff yang ikut rapat itu juga menatap Ansel yang tak memberi komentar apa pun.“Pak,” bisik Rio mencoba menyadarkan Ansel.Ansel langsung menatap Rio dengan ekspresi wajah tak tahu apa-apa.“Presentasinya sudah selesai, Anda mau memberi masukan atau tidak?” tanya Rio setengah berbisik.Ansel akhirnya memandang ke para staff, hingga menyadari jika semua tatapan kini tertuju ke arahnya.“Maaf, aku kurang fokus hari ini. Apa kita bisa lanjut besok? Berkasnya letakkan di mejaku untuk aku pahami,” uc
“Kamu pulang awal sekali?” tanya Aruna saat suaminya pulang sebelum jam kerja selesai. Ansel meletakkan jas di sandaran sofa. Dia lantas berjalan menghampiri Aruna sambil memasang wajah cemas. “Aku mencemaskanmu, karena itu pulang cepat. Bagaimana bisa aku bekerja dengan tenang, sedangkan kamu sakit dan sama sekali tak memberi kabar soal kondisimu,” jawab Ansel lantas duduk di tepian ranjang sambil menatap Aruna. Aruna merasa bersalah mendengar ucapan Ansel. Dia menatap suaminya itu dengan rasa bersalah. “Kenapa tatapanmu begitu? Apa ada sesuatu yang salah?” tanya Ansel dengan tatapan begitu cemas. Aruna menggelengkan kepala sambil menunduk, lantas menatap Ansel dengan seulas senyum. “Aku tadi tidur seharian, maaf kalau membuatmu cemas,” jawab Aruna sambil tersenyum. Ansel merasa senyum Aruna tak biasa, membuatnya semakin khawatir. “Runa, apa benar tidak ada masalah? Apa kamu sakit biasa?” tanya Ansel sambil menggenggam telapak tangan Aruna. Aruna menggigit bibir bawah menden
Ansel dan Aruna saling tatap, mereka cemas jika Emily tidak senang karena reaksi Emily yang hanya diam sambil menatap mereka setelah mendengar berita itu. “Emi, Emi tidak suka kalau punya adik?” tanya Ansel memastikan. Emily menatap Ansel sambil mengedip-ngedipkan kelopak mata, lantas membalas dengan pertanyaan. “Memangnya, Mami mau punya adik?” tanya Emily lantas menatap Aruna. Aruna mengulum bibir mendengar pertanyaan Emily. Dia tak sanggup menjawab pertanyaan gadis kecil itu. “Adik itu dari mana? Apa perut? Tapi kenapa perutnya Mami kecil?” tanya Emily lantas menatap perut Aruna yang datar. Ansel dan Aruna bingung mendengar pertanyaan Emily. “Emi tidak suka kalau punya adik?” tanya Ansel memastikan karena Emily belum menjawab pertanyaannya. “Suka,” jawab Emily sambil menatap Ansel dan Aruna dengan tatapan bingung. Aruna dan Ansel langsung bernapas lega mendengar jawaban Emily. “Emily benar-benar suka kalau punya adik?” tanya Aruna memastikan. “Iya suka, nanti kayak Archie
“Oma! Oma! Masa adiknya sekecil ini.”Saat baru saja menginjakkan kaki di rumah. Emily langsung mengadu ke Bintang soal ukuran calon adiknya yang sangat kecil. Dia sampai memperagakan menggunakan jempol dan telunjuk untuk mengukur seberapa kecil calon adiknya.Bintang tertawa mendengar celotehan Emily yang menggemaskan. Dia lantas memangku Emily untuk mendengarkan celotehan gadis kecil itu lagi.“Iya masih kecil, nanti kalau perut Mami sudah besar, adiknya ikut besar,” ujar Bintang menjelaskan.“Iya, tadi Bibi Dokter bilang gitu. Katanya aku harus jaga adik biar sehat, jaga Mami biar ga lupa makan. Aku maunya adik cepat besar,” celoteh Emily lagi.Aruna dan Ansel menatap Emily yang sedang menceritakan pengalaman di rumah sakit saat melihat calon adik. Mereka senang karena Emily bisa menerima dengan baik calon bayi mereka.“Sudah tenang, kan?” Ansel berbisik sambil merangkul lengan Aruna.
“Ans.” Aruna terbangun di malam hari. Dia mencoba membangunkan Ansel yang tertidur lelap. “Ada apa, hm?” Ansel mencoba menanggapi panggilan Aruna meski kelopak matanya sangat berat untuk dibuka. “Ans, aku mau makan mangga,” bisik Aruna sambil menatap Ansel penuh harap. Ansel mencoba membuka mata dengan sempurna. Dia melihat Aruna yang mengerucutkan bibir. “Akan aku kupaskan,” ucap Ansel sambil bangun. “Tapi ga mau mangga itu,” balas Aruna sambil mencengkram ujung selimut. Ansel mengerutkan alis mendengar ucapan Aruna. Dia menatap sang istri yang masih berbaring dengan ekspresi bingung. “Kalau bukan mangga itu? Lalu mangga mana?” tanya Ansel bingung. “Yang di dekat pos. Ada pohon mangga, kan? Aku mau mangga itu,” jawab Aruna sambil memberikan tatapan mata berkaca-kaca penuh harap. Ansel pun sangat terkejut mendengar jawaban Aruna. Dia sampai menggaruk kepala tak gatal. “Itu masih muda, Runa. Kalau mau makan, yang di dapur saja sudah matang dan siap makan,” ujar Ansel menasih
Ansel meringis melihat Aruna makan mangga muda. Apalagi istrinya itu makan tanpa sambal, hanya mangga muda saja. “Run, apa gigimu tidak ngilu?” tanya Ansel merinding sendiri. Aruna menoleh Ansel dengan mulut penuh. Dia masih mengunyah mangga muda lantas menelan perlahan. “Tidak, ini enak,” jawab Aruna lantas kembali memasukkan potongan mangga ke mulut. Ansel benar-benar ngilu melihat Aruna makan, tapi demi sang istri tak merengek membuatnya membiarkan saja. “Tadi janji ga makan banyak, kan?” Ansel mengingatkan agar Aruna tak makan terlalu banyak. Aruna menoleh Ansel lagi masih sambil mengunyah. “Ini baru makan berapa potong, mana kenyang,” keluh Aruna dengan bola mata berkaca-kaca. Ansel kehabisan kata-kata kalau melihat tatapan Aruna seperti itu. Dia pun membiarkan saja yang terpenting Aruna tak merajuk. Satu piring mangga habis. Aruna merasa kenyang hingga mengusap perut yang terasa penuh. “Ans, aku sudah selesai makan,” ucap Aruna. Aruna terkejut saat menoleh Ansel yang t