Ansel dan Aruna saling tatap, mereka cemas jika Emily tidak senang karena reaksi Emily yang hanya diam sambil menatap mereka setelah mendengar berita itu. “Emi, Emi tidak suka kalau punya adik?” tanya Ansel memastikan. Emily menatap Ansel sambil mengedip-ngedipkan kelopak mata, lantas membalas dengan pertanyaan. “Memangnya, Mami mau punya adik?” tanya Emily lantas menatap Aruna. Aruna mengulum bibir mendengar pertanyaan Emily. Dia tak sanggup menjawab pertanyaan gadis kecil itu. “Adik itu dari mana? Apa perut? Tapi kenapa perutnya Mami kecil?” tanya Emily lantas menatap perut Aruna yang datar. Ansel dan Aruna bingung mendengar pertanyaan Emily. “Emi tidak suka kalau punya adik?” tanya Ansel memastikan karena Emily belum menjawab pertanyaannya. “Suka,” jawab Emily sambil menatap Ansel dan Aruna dengan tatapan bingung. Aruna dan Ansel langsung bernapas lega mendengar jawaban Emily. “Emily benar-benar suka kalau punya adik?” tanya Aruna memastikan. “Iya suka, nanti kayak Archie
“Oma! Oma! Masa adiknya sekecil ini.”Saat baru saja menginjakkan kaki di rumah. Emily langsung mengadu ke Bintang soal ukuran calon adiknya yang sangat kecil. Dia sampai memperagakan menggunakan jempol dan telunjuk untuk mengukur seberapa kecil calon adiknya.Bintang tertawa mendengar celotehan Emily yang menggemaskan. Dia lantas memangku Emily untuk mendengarkan celotehan gadis kecil itu lagi.“Iya masih kecil, nanti kalau perut Mami sudah besar, adiknya ikut besar,” ujar Bintang menjelaskan.“Iya, tadi Bibi Dokter bilang gitu. Katanya aku harus jaga adik biar sehat, jaga Mami biar ga lupa makan. Aku maunya adik cepat besar,” celoteh Emily lagi.Aruna dan Ansel menatap Emily yang sedang menceritakan pengalaman di rumah sakit saat melihat calon adik. Mereka senang karena Emily bisa menerima dengan baik calon bayi mereka.“Sudah tenang, kan?” Ansel berbisik sambil merangkul lengan Aruna.
“Ans.” Aruna terbangun di malam hari. Dia mencoba membangunkan Ansel yang tertidur lelap. “Ada apa, hm?” Ansel mencoba menanggapi panggilan Aruna meski kelopak matanya sangat berat untuk dibuka. “Ans, aku mau makan mangga,” bisik Aruna sambil menatap Ansel penuh harap. Ansel mencoba membuka mata dengan sempurna. Dia melihat Aruna yang mengerucutkan bibir. “Akan aku kupaskan,” ucap Ansel sambil bangun. “Tapi ga mau mangga itu,” balas Aruna sambil mencengkram ujung selimut. Ansel mengerutkan alis mendengar ucapan Aruna. Dia menatap sang istri yang masih berbaring dengan ekspresi bingung. “Kalau bukan mangga itu? Lalu mangga mana?” tanya Ansel bingung. “Yang di dekat pos. Ada pohon mangga, kan? Aku mau mangga itu,” jawab Aruna sambil memberikan tatapan mata berkaca-kaca penuh harap. Ansel pun sangat terkejut mendengar jawaban Aruna. Dia sampai menggaruk kepala tak gatal. “Itu masih muda, Runa. Kalau mau makan, yang di dapur saja sudah matang dan siap makan,” ujar Ansel menasih
Ansel meringis melihat Aruna makan mangga muda. Apalagi istrinya itu makan tanpa sambal, hanya mangga muda saja. “Run, apa gigimu tidak ngilu?” tanya Ansel merinding sendiri. Aruna menoleh Ansel dengan mulut penuh. Dia masih mengunyah mangga muda lantas menelan perlahan. “Tidak, ini enak,” jawab Aruna lantas kembali memasukkan potongan mangga ke mulut. Ansel benar-benar ngilu melihat Aruna makan, tapi demi sang istri tak merengek membuatnya membiarkan saja. “Tadi janji ga makan banyak, kan?” Ansel mengingatkan agar Aruna tak makan terlalu banyak. Aruna menoleh Ansel lagi masih sambil mengunyah. “Ini baru makan berapa potong, mana kenyang,” keluh Aruna dengan bola mata berkaca-kaca. Ansel kehabisan kata-kata kalau melihat tatapan Aruna seperti itu. Dia pun membiarkan saja yang terpenting Aruna tak merajuk. Satu piring mangga habis. Aruna merasa kenyang hingga mengusap perut yang terasa penuh. “Ans, aku sudah selesai makan,” ucap Aruna. Aruna terkejut saat menoleh Ansel yang t
“Bu, apa tidak asam?” Siska meringis melihat Aruna sedang makan mangga muda ketika dia masuk ruangan untuk memberikan berkas. Aruna mengunyah lantas menelan mangga muda itu sebelum membalas ucapan Siska. “Tidak,” ucap Aruna lantas meminta berkas yang dibawa Siska. Aruna pun mengecek berkas itu, sedangkan Siska terlihat mengamati Aruna. “Bu, Anda sedikit pucat, apa sedang sakit?” tanya Siska. “Tidak,” jawab Aruna sambil fokus ke berkas. Siska mengamati Aruna yang sedang fokus melihat berkas-berkas, hingga dia bertanya, “Bu, Anda sedang hamil?” Aruna langsung mengangkat pandangan ke arah Siska. “Iya,” jawab Aruna sambil memulas senyum. Siska terkejut mendengar jawaban Aruna, tapi tentunya dia pun ikut senang. “Selamat ya, Bu. Pantas makan mangga muda, ternyata lagi ngidam,” ucap Siska. Aruna hanya memulas senyum mendengar ucapan Siska. Dia senang orang-orang ikut bahagia karena kehamilannya. ** Saat jam makan siang. Ansel datang ke perusahaan Aruna untuk mengajak makan sian
“Kenapa ekspresi wajah kalian seperti itu?” tanya Aruna curiga karena Hanzel dan Jill terkejut berlebihan. “Tidak, kami tidak pacaran,” jawab Jill mengelak. “Sudah kubilang, kami sering bersama karena memang ada keperluan bisnis saja,” timpal Hanzel. Aruna masih tak percaya, hingga dahinya berkerut halus sambil mengamati Hanzel dan Jill. Mereka pun makan siang bersama. Ansel dan Jill malah membahas proyek-proyek yang sedang digarap perusahaan. “Aku ke kamar kecil sebentar,” kata Jill sambil berdiri. “Aku juga mau ke kamar kecil.” Aruna ikut berdiri karena sejak hamil dia memang sering buang air kecil. Aruna dan Jill pun pergi ke kamar kecil, sedangkan Ansel dan Hanzel masih duduk di meja. “Kupikir dulu Runa akan benar-benar bersama Bumi, siapa sangka dia malah bucin kepadamu,” ujar Hanzel lantas memasukkan potongan daging ke mulut. “Sepertinya Runa tahu siapa yang layak untuknya, kan.” Ansel membalas dengan jemawa. “Tidak juga,” balas Hanzel. Ansel langsung menatap Hanzel sa
“Kita belum memberitahu Mama dan Papa soal kehamilanmu, bagaimana kalau malam ini kita ke sana memberitahu, sekalian menginap apalagi besok weekend?” “Boleh, lagi pula sudah lama tidak menginap di sana. Emi pasti senang kalau diajak menginap di rumah Mama,” balas Aruna sambil menoleh Ansel yang sedang mnyetir. Ansel menganggukkan kepala. Mereka pun pulang terlebih dahulu untuk bersiap sekalian menjemput Emily. “Kalian mau menginap di sana?” tanya Bintang saat Aruna menyampaikan maksud berkunjung ke rumah Ayana. “Iya, Mom. Sudah lama tidak ke sana, sekalian memberitahu soal kehamilanku,” ujar Aruna menjelaskan. “Ya sudah,” balas Bintang tak mungkin melarang. “Mau bawa mangga muda? Biar mommy kupasin jadi nanti tinggal makan di sana,” ujar Bintang kemudian. “Boleh, Mom. Buat jaga-jaga di sana ga ada,” balas Aruna senang karena Bintang sangat perhatian kepadanya. “Yei! Ke rumah Oma!” teriak Emily yang baru saja mendengar kalau akan diajak menginap di rumah Ayana. Bintang memanda
“Mama sangat senang mengetahui kamu hamil. Kalau kamu butuh sesuatu atau menginginkan sesuatu, bilang saja ke Mama,” ucap Ayana saat duduk berdua dengan Aruna. Ansel menemani Deon masak untuk Aruna, sehingga Aruna hanya berdua dengan Ayana karena Emily sibuk bermain di kamarnya. “Doakan aku sehat sampai melahirkan saja, Ma. Itu yang terpenting buatku sekarang,” balas Aruna. “Kamu bilang sejak hamil agak susah makan, apa separah itu kondisinya?” tanya Ayana penasaran karena dulu dia hanya mual tapi masih bisa makan. “Entah, Ma. Kata dokter itu biasa, apalagi setiap wanita hamil pasti memiliki kondisi berbeda. Dokter juga bilang kemungkinan aku bisa makan normal seperti dulu setelah masuk trimester kedua, jadi aku harus kuat di trimester pertama ini,” ujar Aruna menjelaskan. Ayana cemas kalau sampai Aruna tak bisa makan dan mendapat asupan makanan yang cukup. “Memang wajar, tapi sekiranya benar-benar tak sanggup dengan kondisimu, kamu harus segera memeriksanya ke dokter,” ujar Aya
Aruna dan yang lain buru-buru pergi ke rumah sakit setelah mendapat kabar jika Winnie mau melahirkan, tapi siapa sangka saat masuk ruangan malah melihat Hanzel juga, membuat semua orang bingung.“Hanz, kenapa kamu di sini?” tanya Aruna bingung.“Milea melahirkan,” jawab Hanzel.“Lah, bukannya ini kamar Winnie?” tanya Aruna bingung.“Ya, mereka berdua di sini. tuh!” Hanzel menunjuk ke dalam.Ternyata Bumi dan Hanzel setuju jika istri mereka satu kamar agar bisa saling bantu menjaga.Aruna, Ansel, dan kedua orang tuanya terkejut mendengar ucapan Hanzel. Mereka buru-buru masuk untuk melihat apakah yang dikatakan Hanzel benar.“Kalian benar-benar janjian. Hamil dan melahirkan bisa barengan,” cerocos Aruna sangat tak menyangka.“Kebetulan saja, aku masuk duluan baru Winnie,” balas Milea.Semua orang yang ada di sana terlihat sangat bahagia, belum lagi setelah itu datang keluarga Hanzel dan Milea karena ingin menyambut cucu mereka.“Anak kalian seperti kembar.” Aruna dan yang lain memandang
“Mama, tadi Emily bantu gambar ini, lho.” Kai memperlihatkan gambar yang dibawanya.“Mana coba lihat.” Milea mengambil buku gambar dari tangan Kai.Milea sudah ambil cuti melahirkan karena usia kandungannya memasuki sembilan bulan. Dia fokus dengan kesehatan kehamilan dan Kai yang sekarang sudah duduk di bangku sekolah dasar.“Yang mewarnai siapa?” tanya Milea sambil memperhatikan gambar itu.“Kai dong. Kai pintar ‘kan?” Kai menjawab dengan bangga.“Iya, pintar,” balas Milea.Kai sangat bangga dapat pujian dari sang mama, hingga melihat Milea yang meringis.“Mama kenapa?” tanya Kai sambil menggenggam telapak tangan Milea.“Tidak kenapa-napa,” ucap Milea sambil tersenyum meski perutnya mendadak kencang.“Mama yakin?” tanya Kai yang cemas.Belum juga Milea menjawab, dia merasa kalau perutnya semakin sakit seperti mengalami kontraksi, tentu saja hal itu membuat Kai cemas.“Bibi! Mama sakit!” teriak Kai karena di rumah itu hanya ada dirinya, kedua orang tuanya, dan pembantu.Milea dan Han
“Pernyataanmu tadi, apa bisa aku anggap benar?”Jean tertegun hingga menoleh Raja yang duduk di belakang stir. Dia mengulum bibir menunjukkan kalau sedang dalam kondisi panik dan bingung.“Aku tidak tahu harus menyebutmu apa? Adik tidak mungkin, teman terlalu aneh.”Jean mencoba sedikit mengelak dari pengakuannya ke Milea.“Berarti memang bagus pacar. Jadi, apa bisa jadi pengakuan untuk seterusnya?” tanya Raja lantas menoleh Jean.Jean benar-benar salah tingkah mendengar pertanyaan Raja. Dia memberanikan diri menoleh ke pemuda itu.“Jangan berharap banyak kepadaku. Aku memiliki banyak kekurangan termasuk mungkin takkan bisa memberikan cinta yang sempurna untukmu,” ucap Jean takut Raja kecewa.“Kamu tahu, tidak ada yang namanya cinta sempurna. Yang ada, saling melengkapi kekurangan masing-masing. Asal kamu mengizinkan, aku akan menerima semua kekurangan itu.”Raja menatap Jean penuh harap. Dia menyadari jika Jean seperti tidak tertarik dengan sebuah hubungan percintaan, tapi dia pun ta
“Apa kamu tidak merasa aneh jalan denganku?”Jean mengamati sekitar, banyak remaja memperhatikannya yang sedang jalan dengan Raja.“Kenapa aku harus merasa aneh?” tanya Raja balik dengan santai.“Karena kamu jalan dengan wanita yang layak jadi kakak, tante, mungkin mama.”Jean menjawab sambil menoleh Raja.Raja tertawa mendengar ucapan Jean, lantas membalas, “Untuk apa memikirkan pandangan orang yang tidak ada habisnya. Yang menjalani aku, kenapa mereka yang repot?”“Lagi pula sekarang kita hanya jalan, kalau kamu menerima perasaanku, aku malah akan menggandeng tanganmu lantas memberitahu mereka kalau kamu kekasihku, bukan kakakku, tanteku, atau mamaku,” ujar Raja lagi memberi clue ke Jean untuk merepon perasaan yang diungkapkan sebelumnya.Jean langsung berdeham mendengar ucapan Raja, bahkan mengulum bibir sambil memalingkan muka.Raja menoleh Jean yang memalingkan muka darinya, dia pun lantas kembali berkata, “Apa kamu yakin belum mau memutuskan? Tapi kalau belum juga tidak apa, aku
“Jean,” panggil Ive saat melihat putrinya sedang menuruni anak tangga.Jean yang sedang ingin ke dapur mengambil minum, akhirnya berbelok ke ruang keluarga untuk menghampiri sang mama dan papa.“Ada apa, Ma?” tanya Jean.“Duduklah sini,” pinta Ive sambil menepuk sofa di sampingnya.Jean menuruti ucapan sang mama, lantas menatap kedua orang tuanya bergantian.“Apa ada masalah, Ma?” tanya Jean agak cemas karena tak biasanya kedua orang tuanya memanggil sambil memperlihatkan ekspresi serius seperti itu.“Apa kamu sebelumnya menolak kencan buta karena sudah punya pacar dan pacarmu itu yang tadi pagi jemput?” tanya Ive memastikan sebelum bicara ke pembahasan lebih lanjut.Jean sangat terkejut mendengar pertanyaan Ive, membuatnya gelagapan karena bingung harus menjawab apa.Ive dan Alex saling tatap, mereka pun semakin yakin kalau memang benar pria yang menjemput Jean adalah pacar putrinya.“Sebenarnya, asal kamu suka, tidak masalah kamu mau pacaran sama siapa, mau nikah sama siapa. Mama da
“Lain kali jangan mendatanginya dengan alasan kamu merasa bersalah! Bukankah kamu seharusnya merasa bersalah karena mendekati kekasih adikmu sendiri.”Raja baru saja sampai rumah saat sang kakak juga sampai di rumah. Dia memperingatkan kakaknya itu agar tak mendekati Jean lagi.Saat Arthur hendak membalas ucapan Raja, Amanda sudah lebih menegur mereka berdua.“Kenapa kalian bersitegang lagi?” tanya Amanda sambil menatap kedua putranya itu.Raja dan Arthur menoleh bersamaan ke Amanda. Raja terlihat tak senang karena menyadari jika sang mama pasti akan membela kakaknya.Amanda menatap Arthur yang hanya diam, hingga tatapannya tertuju ke Raja.“Raja, mama mau bicara denganmu sebentar, bisa?” tanya Amanda dengan suara halus agar putranya tak salah paham kepadanya.Raja menatap sang mama, lantas mengangguk karena tak bisa menolak permintaan wanita itu.Raja pun mengikuti sang mama yang berjalan lebih dulu di depannya. Dia mengikuti hingga sang mama masuk ke ruang kerja ayahnya.“Mama mau b
“Yang ini nanti kamu kirim ke bagian marketing. Jangan lupa minta untuk dicek ulang,” perintah Jean ke sekretarisnya.“Baik, Bu.” Sekretaris Jean mengangguk.Jean memberikan berkas yang baru dicek. Dia lantas kembali mengurus berkas lainnya yang bertumpuk di mejanya.Saat sedang fokus ke berkas, tiba-tiba saja telepon kabel di mejanya berdering, membuat Jean menjawab panggilan itu lebih dulu.“Selamat siang Bu Jean, ada seseorang yang ingin menemui Anda tapi belum membuat janji. Anda ingin menemuinya atau tidak?” tanya staff resepsionis dari seberang panggilan.Jean mengerutkan alis mendengar pertanyaan resepsionis.“Siapa?” tanya Jean penasaran hingga dia terdiam mendengar nama yang disebutkan resepsionis.Jean menutup panggilan itu, lantas memilih keluar dari ruangannya untuk menemui orang yang mencarinya.Jean pergi ke lobi, hingga melihat pria yang berdiri membawa sebuah paper bag.“Mau apa kamu menemuiku?” tanya Jean sambil menatap Arthur yang datang menemuinya.Arthur membalikka
Raja tersenyum melihat Jean keluar memakai celana. Dia tidak menyangka kalau wanita itu mau berganti pakaian hanya karena dirinya memaksa ingin mengantar.“Besok aku akan membawa mobil,” ucap Raja sambil menyodorkan helm ke Jean.“Kamu tidak perlu menjemputku setiap hari,” balas Jean sambil menerima helm dari Raja lantas memakainya.Siapa sangka Raja mendekat ke Jean, lantas membantu memasang tali pengaman helm.Jean cukup terkejut dengan apa yang dilakukan Raja, tapi dia berusaha untuk tenang.“Aku suka melakukannya,” balas Raja setelah selesai memasang tali helm sambil menatap Jean.Jean mengalihkan pandangan dari pemuda itu, bahkan menggeser posisi agar tak terlalu dekat dengan Raja.“Bisa kita berangkat sekarang?” tanya Jean karena mulai salah tingkah melihat tatapan Raja.Raja hanya mengulum senyum, lantas naik ke motor disusul Jean. Pemuda itu pun melajukan motor meninggalkan rumah Jean.Di rumah, ayah Jean keheranan karena mobil putrinya masih di garasi.“Jean ke kantor naik ap
[Jill, jika ada yang menyukaiku, tapi tak sesuai ekspektasiku. Apa yang harus aku lakukan?]Jean mengirimkan pesan ke Jill karena tak tahu harus bagaimana mengatasi masalah yang sedang dialaminya.Jean duduk di kasur sambil menatap pesan yang baru saja dikirimkan ke Jill. Hingga beberapa saat kemudian pesan itu dibaca sepupunya itu.[Fokus pada keinginan awalmu, Jean. Baru kamu bisa memutuskan apa yang kamu inginkan.]Jean membaca pesan dari Jill, memang tak banyak membantu tapi setidaknya itu bisa membuatnya tenang. Dia pun mengirimkan balasan terima kasih ke sepupunya itu, lantas mengembuskan napas kasar.Hari berikutnya, Jean sarapan bersama kedua orang tuanya seperti biasa.Ive terlihat menatap Jean yang makan tanpa bicara, banyak perubahan yang membuat wanita paruh baya itu sedih.“Akhir minggu ini, bagaimana kalau kita Me Time bersama, Jean?” tanya sang mama ingin kembali mempererat hubungan keduanya.Jean memandang sang mama, lantas menganggukkan kepala sambil tersenyum tipis.