Kini giliran Adlia yang melangkah maju memimpin jalan. Piringan yang melayang di tangannya ia julurkan ke depan saat mulai mendekat ke gerbang. Dengan otomatis piringan melayang, melesat menuju bagian tengah gerbang yang berlubang. Lagi-lagi mekanisme yang memusingkan dan menjengkelkan karena cukup lama prosesnya. Akhirnya...Gleng!... Gerbang terbuka, menghembuskan energi dan udara hingga membuat mereka menyilangkan tangan. Mengibarkan pakaian dan rambut, lalu sirna saat gerbang sepenuhnya terbuka. Begitu menyingkapkan tangan, Akara langsung menghela napas. Ada gerbang lagi di sana dan suara mekanisme roda kembali terdengar. Kresszz... Energi dingin menyebar dari tubuhnya, membuat kedua Zur melayang karena pembekuan di lantai giok. Tempat yang cerah dan kering, seketika dilapisi kristal es, bahkan salju tipis mulai berjatuhan di udara. Jwush!... Akara muncul di depan gerbang, menjulurkan tangannya dan. Blarrr!... Energi dingin meledak, seketika membekukan gerbang dan suara mekanism
"Kalian cucuku?" Dewa Penempa muncul di depan keduanya dalam posisi membungkuk, membantu mereka berdiri. "Iya kakek!" jawab keduanya dengan wajah penuh haru saat melihat kakeknya. "Menikah dengan siapa ibu kalian?" "Ayah Adlar!" Sang Dewa Penempa langsung tertunduk menyamping, memejamkan mata hingga wajahnya terlipat. "Murid sialan!" umpatnya, lalu kembali bertanya dengan tenang. "Lalu siapa lagi?""Hanya ayah Adlar," jawab Adlia membuat kakeknya terdiam menatapnya. "Ayah Adlar menikahi keduanya," lanjutnya membuat Dewa Penempa merapatkan bibirnya dan menghirup napas dalam-dalam, hingga membuat dadanya terangkat. Kemudian menghembuskan napas sambil geleng-geleng kepala dan melihat Akara kembali."Lalu pemuda ini?" "Ini tuan Regera, yang membantu ayah dan kami tidak akan bisa sampai tempat ini tanpa bantuannya," jelas Adlia. Dewa Penempa melihatnya dengan tatapan aneh cukup lama, lalu Akara berkata. "Silahkan kalian mengakrabkan diri antara cucu dan kakek. Aku ingin menaikkan
Beberapa waktu sebelumnya di tempat Dewa Penempa. Pusaran energi tercipta, bergerak ke segala arah di dalam aula. Gadis berambut abu-abu dan adik laki-lakinya jadi terganggu latihannya. Mereka segera berdiri, melihat energi yang bergerak ke segala arah. "Sudah mulai kenaikan ranahnya." Pria tua tinggi kurus melayang mendekat, lalu secara acak mengibaskan tangannya. Swush swing!... Hembusan energi seketika mereda, disusul cahaya hijau yang menyala, membentuk ukiran di seluruh sisi dinding giok. Ia lalu melayang di atas jurang, disusul kedua cucunya. Selain cahaya hijau yang memenuhi seluruh sisi, di bawah sana ada cahaya merah menyala. Lingkaran aura naga 5 pola berputar hebat, menyebarkan listrik yang mengurut dinding. Aura mulai naik saat tubuh pemiliknya mulai melayang, duduk bersila di udara. Kesepuluh esensi surgawi muncul di depan dadanya, meluapkan berbagai elemen, tapi segera terkendali. "Kakek, energi apa yang keluar dari tubuhnya?" tanya Zur Admon.Dewa Penempa tertawa
"Cantik, kenapa bisa di sini?" Clrrt... Listrik merah muda menyebar, tertahan di udara seperti jaring laba-laba, membuat waktu di sekitar mereka terhenti. Memberikan Akara sedikit waktu untuk melihat wajah cantiknya. Lisa, mata jernihnya berwarna semburat merah muda sedikit melebar. Bibir merah mudanya yang basah tak bergeming, tak ada perubahan ekspresi di wajahnya. Listrik melebur..."Lancang!" Pendekar botak melesat. Bwushhh... Tiba-tiba Akara terjatuh ke dalam air hitam dan Blar!... Ledakan energi terjadi saat ia menahan pukulan sang pendekar, membuatnya terlempar semakin dalam. Jwush!... Ia berteleport, melayang di atas lautan hitam yang tak jauh dari reruntuhan Dewa Penempa. Langit sudah tak karuan, bukan hanya awan hitam dan badai, juga terlihat gelapnya ruang angkasa. Jubah hitamnya merumbai kering, lalu menatap tajam ke arah pria kekar di depannya. "Apa yang kau lakukan kepada Lisa?!" Ia acungkan satu peda
Di kejauhan, tepatnya di atas kawah gunung yang sudah mengering dan tandus, para Zur tengah beristirahat. Namun dari salah satu sisi kawah yang terbuka, terlihat percikan api dan ledakan energi di kejauhan. Hal yang dapat langsung mereka semua sadari di wilayah yang hanya tandus. "Regera? Apa dia bertarung dengan makhluk mutasi lainnya?" Zur bertubuh besar bangkit dan melayang lebih tinggi, disusul Zur lainnya."Adlia dan Admon memiliki artifak peninggalan kakek, kemungkinan di sana tempat yang kita tuju," jelas Adlea. Zur Ashah langsung berdiri di depan mereka dan berbicara. "Bersiaplah, kita harus segera ke sana. Kita butuh pembukaan peta lebih luas dan mencari tau informasi tentang makhluk mutasi lainnya!" ...Pendekar botak masih mengamati air lautan yang kembali menyatu, tapi segera menoleh saat ada kristal salju yang turun. Udara berubah menjadi dingin, membuat bongkahan es yang tersapu ombak. Crang!... Pedang terangkat seca
Akara terbang maju perlahan, ditambah lagi dengan aura dan energi yang masih meluap, membuat jubah yang sudah tak karuan bentuknya merumbai. Tatapannya berubah menjadi datar, tapi tetap terasa dingin dan hanya tertuju pada Baram. Swushh!... Muncul para Zur di belakang Akara. Mereka terlihat sangat kesal saat menatapnya, tapi segera menoleh ke arah para Zurrark. Zur Ashah langsung menatap ayahnya dan berkata. "Ayah, dia ..." ucapannya terhenti saat Zurrark Ashu melambaikan tangan sekilas, menyuruhnya untuk diam. Hal itu membuat para pemuda Vasto kebingungan."Regera." Zurrark Ashu melayang maju perlahan. "Aku dapat melindungimu dari Fraksi Cahaya Ilahi ..." Ia terdiam karena Akara malah tertawa, lalu menatapnya dengan tajam. "Tidak butuh!" Akara berhenti, tepat di dalam kubah pelindung. "Apa yang kalian tunggu? Bukalah kubah pelindung!" teriak Baram kepada para Zurrark dan Zurrark Ashu segera menoleh ke arah Adlar. "Adlar, bu
"Kemarilah!" Akara menantang mereka dengan tubuh diselimuti petir, serta aliran energi seperti belasan ekor raksasa yang menggeliat.Mereka langsung melesat ke arahnya, tapi Blar Gleng!... Petir meledak dan seketika tekanan gravitasi menghantam mereka, menjatuhkan mereka hingga memicu retakan di pelindung yang menyelimuti permukaan kota. Bagaimana bisa?! Belenggu kota tidak berpengaruh kepadanya?! Mereka tertahan, tapi Baram dan Zurrark Fam segera terlepas. Jwush jlar!... Mereka langsung melesat, tapi Akara juga segera melesat ke atas, meninggalkan sambaran petir yang menyebar di arah lajunya. Energi pelindung yang menyelimuti kota hancur, mengaktifkan perlindungan otomatis yang ditinggalkan Dewa Penempa sebelumnya. Magma meluap naik, menyelimuti kubah pelindung yang mengelilingi kota, tapi aliran energi masih meluap keluar. Hal itu membuat para Zurrark kesal, termasuk Zurrark Ashu yang langsung menoleh ke arah kakak iparnya."Adlar, k
Sorot cahaya merah menyala dari mata Akara, membuat luapan energi ikut terlihat berwarna merah. Sorot mata lebih besar terlihat dalam gelapnya langit, meneror mental Baram. Petarungan dengan pendekar botak tak sia-sia, menbuat Akara sedikit mempelajari teknik matanya.Jlar!... Akara meluncur bagaikan petir yang menyambar Baram, dengan satu pedang menembus tubuhnya. Bilah pedang dari kayu berwarna hitam telah ternodai cairan merah, saat itulah Baram tersadar kembali. Namun, ia sudah tak berdaya, melihat pemuda di depannya dengan tatapan bingung. Akara langsung menarik kembali pedangnya, mengibaskan darah dari bilah pedangnya. "Agk!" Baram langsung mundur satu langkah karena terhuyung, sambil memegangi luka dadanya.Akara lalu menjambak rambutnya, membuat Baram mengangkat wajah yang bibirnya sudah dipenuhi darah. "Tenang saja, akan aku pastikan jiwamu dalam penyiksaan abadi!" Jwushh!... Api hitam membakar tubuh Baram, membuat t
Tempat yang abstrak, berlatar belakang cahaya berbagai warna dari awan panas Nebula di kegelapan angkasa, Dewa Penempa membungkukkan badannya di hadapan tiga gumpalan bercahaya. Dengan sopan dan waspada, ia menjelaskan tentang pemimpin Fraksi Cahaya Ilahi yang memojokkannya. "Jadi, apa maumu?" tanya salah satu leluhur. Sambil sedikit menunduk, Dewa Penempa menjawab dengan lembut. "Mohon maaf, Fraksi Cahaya Ilahi di mata warga sudah bisa dikatakan hancur, bahkan banyak masalah yang terus terjadi. Mungkin sudah seharusnya kepemimpinan Fraksi diganti.""Kondisikan klan Vasto, kami akan segera memanggilmu kembali!" ujar salah satu leluhur, dan Dewa Penempa segera melebur, digantikan dengan seorang pria bermahkota sayap emas. "Ronas memberi salam kepada leluhur!" Ia sedikit menunduk seperti yang dilakukan Dewa Penempa sebelumnya. "Ronas, tiga lentera jiwa tetua Fraksi telah padam, apa yang terjadi?!" Ronas menjawab dengan tenang.
"Regera, kau telah mengalahkanku!" Luce kembali terkekeh, tapi ia segera tersedak saat bilah pedang kayu mengganjal mulutnya. Sebutir pil melesat begitu saja memasuki tenggorokannya. "Tidak perlu kau sembuhkan lukaku!" seru Luce saat ganjalan di mulutnya terlepas. Namun, ia segera menyadari bahwa itu bukanlah pil penyembuhan. Segel belenggu langsung menyala di jantungnya. Melihat Luce tidak menunjukkan tanda-tanda melawan, sepasang pedang kayu segera melebur di udara. Ia lalu berteleport menuju para Dewa lainnya berada, disusul oleh kilatan cahaya emas yang membawa Luce. Ternyata kegaduhan terjadi. Pria bertanduk ranting menyandera Luwang, padahal tubuhnya telah babak belur penuh luka bakar. Cakar tajam telah melingkar di leher pemuda Sheva bertanduk emas, untung ditahan oleh bilah cakar di lengannya. Tangan lain juga menahan lengan Dilvo satunya. Dewa lain nampak ragu untuk bertindak, dan kedatangan Akara menjadi harapan untuk mereka. Namun,
Cukup lama awan panas Nebula memenuhi domain, hingga akhirnya, luapan energi berhenti, bahkan malah kembali ke titik ledakan. Para Dewa hanya bisa menyapu pandangan penuh kebingungan, dan dalam hitungan detik, mereka dapat melihat kegelapan lagi. Awan panas Nebula telah sepenuhnya terhisap. Seketika para Dewa tertegun melihat apa yang menghisap semua itu. Sebuah lubang hitam raksasa, yang terlihat cahaya di pinggirnya dan menggaris, membelahnya. Itu cahaya energi yang terhisap dari kesepuluh esensi surgawi. Daya hisap yang luar biasa yang dapat menelan cahaya, tidak heran jika kesepuluh esensi mulai bergerak. Mereka terhisap, membuat Akara segera melempar dua butir pil ke mulutnya dan menyalakan seluruh auranya. Aura Naga sejati, ranah Jiwa Suci dan aura Alkemis tingkat delapan. Ia langsung melakukan segel tangan. Energi pelindung segera terbentuk di sekitar Esensi surgawi, menjadi sepuluh pilar yang puncaknya mengurung Esensi surgawi. Kesepuluh pilar juga segera saling terhubung d
"Sialan kau Dilvo! Berani-beraninya kau mengusik jasad ayahku!" Luwang sangat geram saat melihat tubuh Dewa bertanduk emas setengah sabit, yang tidak lain adalah leluhur Raja Sheva. Di samping leluhur, Sheva bertanduk ranting langsung terkekeh. "Majulah kalian semua!" Dewa Farz segera mendekati Luwang dan dengan tatapan masih tertuju pada lawan mereka, ia lalu berkata. "Kau lawan Dilvo, biar aku yang menahan leluhur Raja Sheva. Tidak perlu memaksakan diri, tahan saja sampai tuan Regera menjalankan rencananya!" Farz lalu menoleh ke arah dua Dewa Fraksi lainnya. "Jika dua Dewa Sheva lainnya tidak bergerak, kalian tidak perlu ikut campur!" "Baik Dewa Farz!"Ketegangan terjadi pada kedua belah pihak, bahkan belum sempat melesat, dimensi di sekitar mereka melebar, seakan ditarik dari kedua sisi. Dalam sekejap, mereka melesat dengan kecepatan cahaya. Memasuki lubang cacing dalam kekosongan. Pertarungan tidak terlihat dari luar, ta
Dalam dimensi yang hampa dan hanya mendapatkan cahaya dari bintang neutron, titik berkumpulnya kesepuluh energi esensi surgawi. Pusaran energi berwarna emas telah menyala di belakang Akara dan di atasnya, ada lingkaran dengan ukuran lebih besar, memiliki pola rumit berwarna hitam. Aura ranah Jiwa Suci, ditambah aura Naga sejati yang menggelegar, memutar pelan hingga dimensi seakan tertarik energinya.Namun, itu tidak sebanding dengan apa yang ada di depannya. Ia bagaikan sebuah titik kecil dibandingkan sosok Naga raksasa yang tubuhnya berselimutkan cahaya. Keempat kaki berototnya melebar, dengan cakar tajam yang mencengkram dimensi. Sayapnya membentang tak terkira, dengan lekukan-lekukan yang tak kalah tajamnya. Lehernya meliuk, menurunkan kepalanya yang garang dengan deretan gigi dan tanduk tajam. Tepat di atas tulang hidungnya, Luce duduk jegang dan bersandar penuh keangkuhan. Melihat kesepuluh Esensi surgawi dan domain yang sangat luas, Dewa
Sebelum peperangan dengan Dewa klan Sheva, Dewa berpakaian emas mendatangi sebuah tempat yang dipenuhi reruntuhan melayang. Lempengan-lempengan batu beterbangan, tapi tak pernah sekalipun bertabrakan. Di wilayah yang terisolir dari reruntuhan melayang, ada sebuah portal. Bukan pusaran yang gelap, tapi pusaran putih keemasan penuh cahaya yang indah. Begitu memasukinya, ia langsung menyipitkan mata, tersorot oleh cahaya yang lebih terang. Saat mulai bisa beradaptasi, terlihatlah sebuah titik seperti matahari, tapi dengan luapan energi yang sangat dahsyat. "Inti Cahaya Primordial?!" gumamnya cukup terkejut, tapi segera menemukan keberadaan seseorang dalam kekosongan penuh cahaya itu. Pemuda tampan yang sedang bersila, dengan pakaian minim dari cahaya hingga tubuh atletisnya yang bersih terlihat. Namun, di antara keindahan itu, berserakan mayat yang tak terhitung jumlahnya. Aliran energi dari tubuh mereka keluar, menuju ke dalam tubuh Luce. Ia menghisap ene
"Maaf!" Ronas hanya bisa tertunduk merasa bersalah, lalu mulai menjelaskan keadaannya. Mendengar penjelasan panjang lebar, Serin segera menanggapi. "Keputusan di tangan anakku Regera!" "Anak?" Ronas malah merasa bingung dan Serin langsung menyadari bahwa pemimpin Fraksi telah termakan rumor. "Ronas, tidak mungkin kau mempercayai rumor 'kan?" "Itu... Lalu kenapa bisa memasuki peninggalan Dewa Penempa dan bagaimana dengan jiwanya?" Serin tersenyum penuh ketenangan sebelum berkata. "Tenang saja, pak tua itu bersama kami, hanya saja dia belum menyadari identitas asliku."...Deretan pilar-pilar besar yang berlapis emas, menjaga jalan konblok yang semakin naik seperti tangga raksasa. Di puncaknya, berdiri sepasang singgasana emas dengan latar birunya langit dan lautan awan di bawahnya. Dewa Penempa dan sang Maharani duduk di sana. Dewa Vasto bertubuh besar berotot dengan armor emas. Ada pula mahkota yang melayang di atasnya,
"Akara adalah anak kelima dari enam anak ayah, tapi maaf Mama Serin, sepertinya anak Akara akan menjadi cucu kalian yang pertama." Ia tersenyum penuh haru saat meraih potongan rambut tipis nan lembut dari dalam kotak. "Selamat untuk kalian, itu juga peringatan untukmu agar lebih berhati-hati kedepannya. Ada mereka yang menunggu kepulanganmu," nasihat wanita bertubuh mungil dari dalam dimensi, yang juga kebahagiaam turut terpancar di wajahnya....Saat pembicaraan Luwang dan Pemimpin Fraksi Cahaya Ilahi mulai tenang di dalam ruangan, muncul kilatan listrik yang mengantar pemuda berjubah hitam. "Tuan Regera!" Pemimpin Fraksi bangkit dari sofa, tapi kedua pria Sheva langsung melesat di depan Akara, melindunginya. "Siapa dia?" tanya Akara dan segera dihawab oleh Lumpang."Pemimpin Fraksi Cahaya Ilahi!"Pandangan Akara segera menelusuri tubuh kedua Dewa Fraksi, yang bukan bertubuh dari kelima ras Dewa, tapi layaknya manusia pad
Di dalam dimensi abstrak berwarna hitam bergaris putih-putih, Fraz, Dewa Fraksi dengan jubah putih berselimut perhiasan emas mendatangi pemimpin Fraksi Cahaya Ilahi. "Farz menghadap pemimpin!" Ia menelangkupkan tangan dan membungkuk ke arah lempengan emas yang melayang di atas sana. Walau tidak menunjukkan penampilannya, pemimpin Fraksi segera menjawab. "Farz, aku dengar kau berselisih dengan Raja Sheva, Dilvo.""Benar Yang Mulia! Mereka menyandera anak saya, Zurrark Fam. Mereka tertipu oleh taktik adu domba yang dilakukan Regera!""Kau sudah mendengar kabar tentang siapa sebenarnya Regera?"Dewa Farz nampak gugup dan mengangkat wajahnya, menatap lempengan emas yang berputar dan menjawab. "Saya belum bisa memastikannya, tapi informasi yang beredar sesuai dengan dugaan.""Lalu, kau ingin menyinggung dua kekuatan besar sekaligus?""Maaf Yang Mulia! Tapi setidaknya saya harus menyelamatkan anak saya!" Energi men