Sorot cahaya merah menyala dari mata Akara, membuat luapan energi ikut terlihat berwarna merah. Sorot mata lebih besar terlihat dalam gelapnya langit, meneror mental Baram. Petarungan dengan pendekar botak tak sia-sia, menbuat Akara sedikit mempelajari teknik matanya.
Jlar!... Akara meluncur bagaikan petir yang menyambar Baram, dengan satu pedang menembus tubuhnya. Bilah pedang dari kayu berwarna hitam telah ternodai cairan merah, saat itulah Baram tersadar kembali. Namun, ia sudah tak berdaya, melihat pemuda di depannya dengan tatapan bingung.Akara langsung menarik kembali pedangnya, mengibaskan darah dari bilah pedangnya."Agk!" Baram langsung mundur satu langkah karena terhuyung, sambil memegangi luka dadanya.Akara lalu menjambak rambutnya, membuat Baram mengangkat wajah yang bibirnya sudah dipenuhi darah."Tenang saja, akan aku pastikan jiwamu dalam penyiksaan abadi!"Jwushh!... Api hitam membakar tubuh Baram, membuat tWanita dari klan Sheva lalu menghilang, disusul suara teriakan penuh kesakitan. Akara yang kesulitan berdiri karena tekanan intimidasi segera menoleh, melihat kehadiran Zurrark wanita yang membawa tubuh Zurrark Fam. Pemuda itu merintih kesakitan, dengan kedua tangan dan kaki yang sudah hancur, bergelantung bebas. "Klan Sheva akan hancur jika kau berani membunuhku!" teriaknya sambil menggigit gigit, menahan sakit.Grek!... "Agkhhhh!" Ia kembali berteriak saat rahangnya tiba-tiba patah, hingga mulutnya tidak bisa tertutup kembali. Napasnya terengah-engah penuh emosi, dengan tatapan tajam ke arah wanita bertanduk ranting. Namun, wanita itu menoleh ke arah pemuda yang tubuhnya babak belur, diselimuti kristal es darah. "Aku juga korban Fraksi Cahaya Ilahi!" ucap Akara sembari mengangkat wajahnya, dengan tubuh sedikit membungkuk karena tekanan intimidasi. "Klan Vasto juga sedang bermasalah dengan mereka!" lanjutnya. Wanita itu hanya diam saja memandanginya, sebelum akhirnya menghilang
Melihat senjata buatannya yang melayang, Akara lalu berkata. "Beruntungnya karena bertemu penempa senjata kalian." Ia menatap ke arah pria banteng yang masih memegangi jari-jari kakinya, hingga semua orang juga menoleh ke arahnya. Bukan kesal, mereka malah menatan tawa. Wush!... Akara mengibaskan tangannya, api hitam berkobar dan mengalirlah energi menuju dan menyalakan giok biru di semua senjata. "Sedikit pemberian untuk kalian." Akara lalu melangkah pergi bersama Obelia dan Komo, disusul turunnya semua senjata kepada pemiliknya. Senjataku semakin kuat! Senjataku juga!Mereka bersorak gembira, mengiringi kepergian sang penempa. Namun, Akara terhuyung hingga membuat Obelia menangkap tubuhnya. "Ada apa tuan Regera?!" Ia lalu mengeluarkannya sebuah gulungan kertas. "Carilah bahan-bahan ini!"Mereka mengantar Akara menuju ruangan altar melingkar, dan Obelia segera berkata. "Berlatihlah di sini tuan Regera, tempat ini paling dekat dengan tulang leluhur naga, energi yang sangat baik u
Karena aliran energi di kota Leluhur Naga dan kemunculan penempa Neraka Biru, kabar itu telah menyebar ke seluruh sudut alam Danirmala. Mereka membicarakan pria yang membuat kehancuran di kota Ngarai Hitam, dan melawan Zurrark dan utusan Fraksi Cahaya Ilahi sekaligus. Kabar itu juga terdengar sampai telinga salah satu Dewa klan Sheva, tepatnya ayah dari Zurrark Dila. (Pengen buat gelar, tapi otak gak jalan kalau mikir nama) Wanita Sheva bertanduk seperti ranting bonsai, kali ini menatap semburat cahaya matahari yang samar-samar menembus kegelapan. Bayangan berkumpul di depannya, berbentuk tubuh pria yang tak jelas karena energi hitam, hanya sorot mata merah dan tanduknya yang terlihat jelas. "Ayah!" Zurrark Dila menunduk sekilas.Dengan suara berat dan tertahan Sang Dewa Sheva berbicara. "Jelaskan kenapa kau menyinggung Fraksi Cahaya Ilahi, bahkan menyandera seorang Zurrark?!" "Cucumu dibunuh olehnya!" teriaknya tertahan. Dewa Sheva terdiam beberapa saat sebelum kembali berkata.
Kota Tunggul Tua, tiga orang bertudung hitam berjalan bersandingan. Suatu ketika mereka berhenti, melihat paving jalanan yang kontras berbeda warna, lalu melihat bangunan di sekitarnya yang belang. Setengah bangunan lama dan disambung bangunan baru. Mata mereka kemudian tertuju pada dinding dari kayu pohon raksasa yang masih berlubang, memperlihatkan pemandangan hutan raksasa di luar sana, dan menyisakan arang hitam di pinggirannya. Langkah kaki mereka mulai kembali melaju, tanpa sadar sudah memasuki lorong kecil hingga harus beriringan. Saat itulah tudung mereka disingkap, memperlihatkan wajahnya. Singkatnya, sampailah di ujung lorong dan memasuki gua besar. Kulit putih terlihat dari sela-sela kain tipis, tapi segera terbuka saat pahanya menempel di perut Akara. "Regera, kau benar-benar berani mengguncang Alam Danirmala... Hmph mengesankan!" Alkemis cantik melingkarkan tangan rampingnya di kerah jubah hitam, membuat dua orang di belakangnya cukup dibuat terkejut. Akara hanya me
Pilar energi membumbung tinggi hingga menyibakkan awan, tapi juga menciptakan lapisan awan yang lebih tinggi. Cahaya dari pilar energi, ditambah kilatan petir yang menyebar di awan, dspat terlihat dari ratusan mil jauhnya. Itu menerangi seorang pria tua yang bersemedi di sebuah altar melingkar dengan lebar beberapa meter, dikelilingi akar raksasa yang merajut tak karuan. Pria Sheva yang sangat tua, dengan tanduk emas yang sudah patah. Walaupun wajahnya dipenuhi jambang dan kumis putih, tapi area kecil kulitnya terlihat sangat keriput, bahkan tengkoraknya tercetak jelas di wajahnya. Dengan berat ia membuka mata, melihat sorot cahaya berasal, disusul sambaran petir yang melukis awan malam di atasnya. ...Tungku pemurnian melayang di udara, berputar hebat di pusat pilar energi dengan api hitam yang sudah padam. Sedangkan di dekatnya, Akara masih bersila dengan raut mata serius, jubah hitamnya berkibar. Gulungan kertas telah terbuka di depannya, dan dengan ukuran yang sudah menyala. T
"Pak tua, otakmu perlu dipukulkah agar normal kembali?" Alkemis putih menarik kembali pedangnya, lalu melemparnya di udara dan meraih bilahnya dengan jari. Tugg!... Ia jatuhkan pegangan pedang, tepat mengenai tanduk emas yang sudah patah, membuat kakek tua itu mengaduh kesakitan. "Bocah kurang ajar!" bukan membentak, tapi hanya teriakan kakek tua pikun. Melihat ayahnya melayang turun, Lumpang melemparkan tongkat yang ia pakai saat pertarungan sebelumnya. Menapaklah di tanah dengan postur tubuh membungkuk, yang pasti akan jatuh jika tanpa berpegangan pada tongkat. "Anak muda!" Ia menoleh ke arah Akara, terlihat jelas penyesalan di wajah keriputnya. "Maafkan pak tua ini. Semakin dekat menuju megatruh, membuat akal sehat jadi rusak!" lanjutnya. "Ya!" Akara menjawabnya acuh tak acuh dan segera menoleh ke arah gadis Alkemis, lalu bertanya."Hanya perlu aku makan pil ini bukan?""Akan saya bantu pengeluaran energi kutukannya!" jawab Myrna, membuat Akara berpikir sejenak. Namun, Alkemis
"A... Regera, sudah selesai pengangkatan kutukannya?!" Komo langsung melepaskan genggaman tangannya dan bergegas mendekat. Akara yang berdiri di ujung balkon hanya menoleh sekilas, lalu menyeruput secangkir kopi di genggamannya. "Kutukan sudah hilang, tapi aura ranahku belum kembali." Ia meraba kain hitam di dadanya dan kembali berkata. "Bekas luka ini juga tidak hilang."Obelia hanya bisa menjaga jarak, melihat punggung kedua pemuda yang sedang melihat pemandangan kota dari ketinggian. Dengan serentak mereka menoleh ke belakang, menyadari kehadiran seorang pria berselimut kain lusuh."Tuan Regera, sekali lagi saya minta maaf atas kejadian sebelumnya. Dan juga, mohon untuk membantu memurnikan pil Penerobos Megatruh setelah bahannya terkumpul," "Baiklah, tapi aku membutuhkan informasi darimu." Akara menjentikkan jarinya, seketika kubah pelindung mengurung mereka. "Katakan?" "Setelah perburuan terakhir kali, adakah perburuan lain? Atau pernahkah mendengar lokasi portal perburuan
Altar di tengah-tengah hutan raksasa yang cukup jauh dari kota. Altar yang seperti berada di dalam sumur besar, berdindingkan akar pohon raksasa. Mereka telah berkumpul, ditambah gadis Alkemis dan Alkemis berjubah putih. "Mohon untuk berhati-hati. Walaupun kalian membantu mempercepat kenaikan ranah, guncangan pasti akan segera dirasakan ranah Dewa lainnya. Mereka pasti datang dalam sekejap!" Lumpang memperingatkan mereka, sedangkan Akara segera melemparkan sesuatu ke arah pemuda berarmor kristal ungu. "Komo, sebar itu dan bentuk formasi!"Melihat cincin hitam di tangan Komo, Alkemis putih ikut mengibaskan tangannya. Benda bercahaya melesat ke arah Komo, membuat Akara menoleh dengan cepat. Empat kristal berbentuk tabung prisma yang melayang, terbuat dari giok hijau dengan nyala magma oranye di dalamnya. "Anak muda, sebar itu di empat titik yang lebih luas!" Komo segera menoleh ke arah tuannya, dan langsung melesat pergi saat Akara mengangguk pelan. "Baiklah, silahkan dimulai!" Lum