"Terima kasih karena tidak membuat nama ayahku tercoreng." Adlia memimpin jalan dan Akara mengikutinya. Tubuhnya yang sedikit lebih tinggi dari Akara, membuat pakaiannya yang penuh rumbai terlihat begitu indah. Mereka meniti jalan lantai batu yang melayang. Bukan di atas batu pencakar langit, tapi di dalam lautan magma.
Beberapa saat sebelumnya, saat para penonton terkejut dengan mata naga Akara. Adlar kembali berkata."Kita kesulitan mendapatkan bahan baku. Dengan adanya tuan Regera di sini, ada perjanjian bisnis. Jadi di masa mendatang, kita bisa menempa dengan bebas tanpa dipusingkan mencari bahan baku senjata!"Mendapatkan harapan baru, para warga bersorak gembira. Namun, membuat Adlea semakin kesal dan segera pergi. Di sisi lain, Adlar nampak ragu dan berkata kepada Akara."Kau yakin tentang ini?""Tergantung sikap kalian. Jika urusanku telah selesai di Alam Danirmala, aku akan kembali ke alam bawah dan menghubungkan bisnis kita,"Ada apa? Kenapa raut wajahmu seperti ini?" Ia segera menarik cucunya untuk duduk."Ayah membawa seorang Draking, budak itu melukai teman-teman Adlea..." Gadis itu bercerita panjang lebar kepada neneknya. "Menamparmu?!" Sang Ratu mengusap pipinya dengan lembut, lalu menoleh ke arah singgasana kosong di sampingnya. "Tunggu kakek dan pamanmu selesai berlatih!"...Penyerapan energi yang Akara lakukan menarik perhatian banyak orang. Bagaimana tidak, energi meluap semakin besar, dengan munculnya benda misterius berbentuk telur bercahaya ungu. Belasan orang berkumpul termasuk Adlia, menunggu Akara keluar dari cangkangnya. Apa memang seperti itu pelatihan klan Draking? Mereka memang kuat, apalagi generasi murni sepertinya! Tapi kenapa banyak yang dijadikan budak?Mereka langsung terdiam saat Adlia menoleh ke arahnya. Tidak lama kemudian, aliran energi melebur, hembusan energi mulai normal kembali saat cahaya ungu hilang. Kubah pelindung terbuka, me
Beberapa minggu kemudian, di sebuah aula besar di salah satu batu pencakar langit. Adlar menyambut beberapa tamu dengan ramah."Kau terlihat luar biasa seperti biasanya, Zurrark Alltar!" Adlar melayangkan kepalan tangan, sebagai salam kepada pria Vasto bertubuh kekar. Bukan kekar yang berlebih, tapi proporsional yang terlihat begitu gagah, ditambah lagi rambut abu-abu di bagian atas disisir ke belakang. Bajunya berwarna coklat yang hanya kacing bagian bawah dikaitkan, memperlihatkan otot tubuhnya. "Kau mengganggu latihanku, Adlar!" candaan ringan ia lontarkan saat memberi pukulan salam, sedangkan tangan lain menepuk lengannya. "Terlihat semakin kuat ya?" Adlar mengangkat alisnya yang tak ada bulu alis, melihat ke arah pundak Alltar. Ada lempengan logam tebal yang melayang di lengan dan atas pundaknya. "Anakku yang membuatnya!" Ia menoleh ke arah seorang pemuda dengan penampilan sama, tapi lebih rapi bernama Zur Allran. "Paman!" Allran
Afdol langsung terkekeh sambil tersenyum licik dan berkata. "Tanpa dukungan seorang Dewa, pengaruhmu semakin melemah di klan Vasto. Orang akan melakukan segala cara, bahkan menjadi penghianat ke klan lain. Sekarang kau menjilat Dewa Naga siapa?!" Suasana kian memanas saat keduanya saling menatap tajam. Saking tegangnya, dimensi di antara keduanya bergejolak. "Ada apa ini?" terdengar suara seorang wanita yang membuyarkan ketegangan. "Maharani!" Mereka serentak bangun dan membungkuk, hanya tersisa Akara yang masih duduk, bahkan tanpa menoleh sedikitpun. Tentu saja hal itu membuatnya menjadi tersorot. "Dia?" Maharani bertanya kepada gadis cantik di sampingnya. "Iya nenek!" Sang Maharani segera menoleh ke sisi lain, ada seorang pria dan pemuda di sana. Zurrark Ashu dan Zur Ashah. Pria bertubuh besar penuh otot dengan lempengan emas, melayang dan melingkar di atas pundaknya. Lewat belakang kepala dan terpotong di bagia
"Mereka minta untuk menangkapnya jika memiliki api berwarna hitam," bisik Maharani kepada Zurrark Ashu. "Memangnya siapa yang mereka cari sampai tidak bisa menangkapnya sendiri?" tanya Ashu yang berlagak seperti tidak ada apa-apa agar tidak dicurigai yang lain."Orang-orang licik itu tidak mengatakan apapun,""Jika benar, pasti ada rahasia besar darinya. Kita harus mengoreknya terlebih dahulu,"Mereka hanya saling mengangguk, lalu Maharani menoleh ke sisi lain. Melihat cucunya, Adlea sedang menoleh ke arah tribun penonton. Ada pemuda Vasto bertubuh pendek di sana. "Adlea, siapa yang kamu lihat?" Gadis itu langsung terkejut dan gugup. "Itu nenek, teman Adlea yang sebelumnya dilukai oleh budak itu!"...Akara mampu mengendalikan aliran magma dalam formasi altar, membuat Allran semakin kesal. Magma meluap-luap, tapi formasi yang Akara bentuk tak bergeming. "Baiklah!" Allran menghentikan usahanya, menoleh ke
"Sialan!" Allran langsung melompat mundur saat Bor Spiral meluncur ke arahnya. "Tempa untukku!" Ia mengibaskan tangannya, membuat bahan yang tersisa melayang ke arah Ashah. "Apa?"Pyar!... Bor Spiral hancur saat menghancurkan pelindung di sekitar Ashah. "Tolong punyaku juga." Afil ikut memberikan bahannya dan berdiri di depan Ashah. Ia mengibaskan kedua tangannya, membuat gelombang pada sepuluh rantai yang memanjang dari tangannya. Bola besi bergerigi seperti gada jatuh membentur altar, terikat di ujung rantai. Dengan begitu mudah dan ringan ia mengayunkan jari-jemarinya, menghalau Bor Spiral yang mencoba menyerang Ashah. "Jaga Ashah, aku yang akan menyerangnya!" Allran melesat dengan palu besarnya, tubuh tingginya yang terlihat proporsional melompat di udara, mengayunkan palunya penuh energi. Melihat Bor Spiral meluncur ke arahnya, ia tidak khawatir sama sekali.Sting!... Bor terhempas, terhalau bola besi, tapi beb
Tidak hanya penonton yang dipenuhi pertanyaan, tapi juga para Zurrark. Mereka menoleh ke arah Adlar dan bertanya. "Kau yakin dia bisa menempa tanpa api?" Adlar tertawa canggung dan menjawab. "Klan Draking tidak pernah bisa kita pahami."Singkat cerita, energi membumbung tinggi, membentuk pilar yang menembus kubah energi. Awan di langit dengan cepat berkumpul, membentuk pusaran hitam di sekitarnya. Budak itu telah berhasil memurnikan senjata?! Muncul secara bersamaan tiga pilar energi yang berdekatan, energi putih keemasan yang belum diketahui senjata tingkat apa."Secepat ini dan dengan kondisi altar seperti itu, aku tidak yakin hasilnya akan bagus." Afdol menggeleng pelan merasa ragu. Namun, warna pilar energi milik Akara berubah menjadi warna merah. "Tingkat Kaisar?!" Mereka menertawakannya. Dia bahkan tidak layak untuk melawan para jenius, apalagi seorang Zur!Akan tetapi, para Zurrark tidak terlihat lega, mereka
"Api hitam yang melukai dua tingkatan di atasnya, patut Fraksi Cahaya Ilahi mencarimu," gumam Zurrark Ashu, tapi Akara malah tertawa. "Kau kira mereka hanya mencari api ini?!... Kau seharusnya tau bagaimana rakusnya mereka 'kan? Bukan api ini yang mereka inginkan, tapi...."Kilatan listrik ungu bergerak ke bawah kakinya, mulai merajut pola demi pola. Mata Zurrark Ashu tanpa sadar melebar saat melihat aura indah itu, hingga akhirnya aura Alkemis sembilan pola sepenuhnya terbentuk.Ashu mengepalkan tangannya, terbentuk perangkap yang langsung mengapit Akara dari atas dan bawah. Namun, pusaran api hitam layaknya dua roda bergerak melebar, menahan perangkap magma. "Ini Aura yang diinginkan oleh Fraksi Cahaya Ilahi dan kau meremehkannya?!" Jleng!... Muncul perangkap lainnya. "Kau ingat kehancuran yang aku buat sebelumnya? Kau ingin tempat ini hancur juga?" Jleng jleng!..."Lakukanlah!" Ashu tersenyum melihat Aka
"Apa yang lebih penting dari Aura Alkemis?!" sahut Alltar dengan ketus. Adlar lalu menutup aura Alkemisnya dan duduk kembali sebelum berkata. "Kejadian di perburuan sebelumnya yang telah terjadi beberapa kali. Aku tidak ingin hal itu terjadi pada ekspedisi di reruntuhan kuno selanjutnya.""Lalu apa rencanamu?" Ashu mulai menanggapi, membuat kedua Zurrark lainnya lebih tenang."Rencana ini akan membuat ekspedisi diundur. Tapi bisa membuat generasi muda selamat, dan kita juga bisa gunakan waktu untuk mempelajari Aura Alkemis," jelas Adlar. ...Sedangkan para Zur sedang mencegat Akara yang berjalan di lorong. Zur Allran yang bertubuh tinggi proporsional melebarkan satu tangannya. "Apa yang sebelumnya kau lakukan?! Kenapa bisa tetap menempa sambil bertarung?!" Ia bertanya tanpa menatap Akara.Akara hanya melirik sekilas, lalu menepis tangannya dan lanjut berjalan. "Budak sialan!" Allran ingin melesat, tapi ada Adlia