"Mereka minta untuk menangkapnya jika memiliki api berwarna hitam," bisik Maharani kepada Zurrark Ashu.
"Memangnya siapa yang mereka cari sampai tidak bisa menangkapnya sendiri?" tanya Ashu yang berlagak seperti tidak ada apa-apa agar tidak dicurigai yang lain."Orang-orang licik itu tidak mengatakan apapun,""Jika benar, pasti ada rahasia besar darinya. Kita harus mengoreknya terlebih dahulu,"Mereka hanya saling mengangguk, lalu Maharani menoleh ke sisi lain. Melihat cucunya, Adlea sedang menoleh ke arah tribun penonton. Ada pemuda Vasto bertubuh pendek di sana."Adlea, siapa yang kamu lihat?"Gadis itu langsung terkejut dan gugup. "Itu nenek, teman Adlea yang sebelumnya dilukai oleh budak itu!"...Akara mampu mengendalikan aliran magma dalam formasi altar, membuat Allran semakin kesal. Magma meluap-luap, tapi formasi yang Akara bentuk tak bergeming."Baiklah!" Allran menghentikan usahanya, menoleh ke"Sialan!" Allran langsung melompat mundur saat Bor Spiral meluncur ke arahnya. "Tempa untukku!" Ia mengibaskan tangannya, membuat bahan yang tersisa melayang ke arah Ashah. "Apa?"Pyar!... Bor Spiral hancur saat menghancurkan pelindung di sekitar Ashah. "Tolong punyaku juga." Afil ikut memberikan bahannya dan berdiri di depan Ashah. Ia mengibaskan kedua tangannya, membuat gelombang pada sepuluh rantai yang memanjang dari tangannya. Bola besi bergerigi seperti gada jatuh membentur altar, terikat di ujung rantai. Dengan begitu mudah dan ringan ia mengayunkan jari-jemarinya, menghalau Bor Spiral yang mencoba menyerang Ashah. "Jaga Ashah, aku yang akan menyerangnya!" Allran melesat dengan palu besarnya, tubuh tingginya yang terlihat proporsional melompat di udara, mengayunkan palunya penuh energi. Melihat Bor Spiral meluncur ke arahnya, ia tidak khawatir sama sekali.Sting!... Bor terhempas, terhalau bola besi, tapi beb
Tidak hanya penonton yang dipenuhi pertanyaan, tapi juga para Zurrark. Mereka menoleh ke arah Adlar dan bertanya. "Kau yakin dia bisa menempa tanpa api?" Adlar tertawa canggung dan menjawab. "Klan Draking tidak pernah bisa kita pahami."Singkat cerita, energi membumbung tinggi, membentuk pilar yang menembus kubah energi. Awan di langit dengan cepat berkumpul, membentuk pusaran hitam di sekitarnya. Budak itu telah berhasil memurnikan senjata?! Muncul secara bersamaan tiga pilar energi yang berdekatan, energi putih keemasan yang belum diketahui senjata tingkat apa."Secepat ini dan dengan kondisi altar seperti itu, aku tidak yakin hasilnya akan bagus." Afdol menggeleng pelan merasa ragu. Namun, warna pilar energi milik Akara berubah menjadi warna merah. "Tingkat Kaisar?!" Mereka menertawakannya. Dia bahkan tidak layak untuk melawan para jenius, apalagi seorang Zur!Akan tetapi, para Zurrark tidak terlihat lega, mereka
"Api hitam yang melukai dua tingkatan di atasnya, patut Fraksi Cahaya Ilahi mencarimu," gumam Zurrark Ashu, tapi Akara malah tertawa. "Kau kira mereka hanya mencari api ini?!... Kau seharusnya tau bagaimana rakusnya mereka 'kan? Bukan api ini yang mereka inginkan, tapi...."Kilatan listrik ungu bergerak ke bawah kakinya, mulai merajut pola demi pola. Mata Zurrark Ashu tanpa sadar melebar saat melihat aura indah itu, hingga akhirnya aura Alkemis sembilan pola sepenuhnya terbentuk.Ashu mengepalkan tangannya, terbentuk perangkap yang langsung mengapit Akara dari atas dan bawah. Namun, pusaran api hitam layaknya dua roda bergerak melebar, menahan perangkap magma. "Ini Aura yang diinginkan oleh Fraksi Cahaya Ilahi dan kau meremehkannya?!" Jleng!... Muncul perangkap lainnya. "Kau ingat kehancuran yang aku buat sebelumnya? Kau ingin tempat ini hancur juga?" Jleng jleng!..."Lakukanlah!" Ashu tersenyum melihat Aka
"Apa yang lebih penting dari Aura Alkemis?!" sahut Alltar dengan ketus. Adlar lalu menutup aura Alkemisnya dan duduk kembali sebelum berkata. "Kejadian di perburuan sebelumnya yang telah terjadi beberapa kali. Aku tidak ingin hal itu terjadi pada ekspedisi di reruntuhan kuno selanjutnya.""Lalu apa rencanamu?" Ashu mulai menanggapi, membuat kedua Zurrark lainnya lebih tenang."Rencana ini akan membuat ekspedisi diundur. Tapi bisa membuat generasi muda selamat, dan kita juga bisa gunakan waktu untuk mempelajari Aura Alkemis," jelas Adlar. ...Sedangkan para Zur sedang mencegat Akara yang berjalan di lorong. Zur Allran yang bertubuh tinggi proporsional melebarkan satu tangannya. "Apa yang sebelumnya kau lakukan?! Kenapa bisa tetap menempa sambil bertarung?!" Ia bertanya tanpa menatap Akara.Akara hanya melirik sekilas, lalu menepis tangannya dan lanjut berjalan. "Budak sialan!" Allran ingin melesat, tapi ada Adlia
Para Zurrark dan Zur telah berkumpul di depan ruangan menempa yang kemudian terbuka. Keluarlah Zur Admon, pemuda Vasto yang memakai kimono hitam rapi, dan di belakangnya ada Akara yang mengikuti."Bagaimana?" tanya Adlar.Admon lalu berhenti, disusul kilatan listrik ungu menuju bawah kakinya. Aura alkemis terbentuk, belum memiliki lingkaran dan dengan 4 pola. "Tingkat empat?!" Admon cukup bangga, menepuk pundak anaknya sambil menoleh ke arah Akara. "Gunakan Aura Alkemis sesering mungkin, bisa saat bertarung, latihan dan segala hal yang menggunakan energi," jelas Akara, lalu menoleh ke arah para Zurrark dan Zur. "Kalian berlatih menempa tanpa altar, biar Adlar yang mengawasi," lanjutnya. "Budak tidak punya etika! Kau seenaknya menyuruh kami, terlebih lagi paman Zurrark Ashu?!" Allran membentaknya, tapi Akara mengabaikannya dan menoleh ke arah Adlar. "Kabari aku jika mereka ingin membentuk Aura Alkemis." Ia berjalan pergi, membuat emosi Allran memuncak. Bugk!... Akara terlempar sa
Kota Tunggul Tua. Altar teleportasi yang sangat luas, dengan lebar beberapa kilometer. Hampir setiap orang yang baru pertama mengunjunginya mendongakkan kepalanya penuh kekaguman, termasuk seorang pemuda dengan jubah dan tudung kepala hitam. "Woahh?" Ia tanpa sadar memutar tubuhnya, melihat tembok raksasa dengan bentuk tak beraturan yang mengelilingi altar. Banyak yang sepertinya, ada ribuan orang yang datang dan pergi dengan altar teleportasi. "Apa ini?!" serunya kepada gadis di sampingnya yang juga mengenakan pakaian yang sama. "Batang pohon," jawab sang gadis sambil melenggang pergi. "Pohon? Bagian atasnya saja terbuka seperti itu kok!" Ia mengejarnya sambil menunjuk langit biru dengan beberapa awan putih. Mereka berjalan memasuki satu-satunya lorong. "Kalau dilihat-lihat memang seperti kayu tua," gumam sang pemuda sambil mengamati dinding lorong yang memiliki pola serat kayu. Di saat ia asik menyapu pandangannya, sang g
"Nekat sekali dia seperti kelakuan Regera!" gumam Komo, dengan senyuman terlihat di balik tudungnya. Namun, ia tiba-tiba menoleh dengan serius, ada tiga pasukan Kerucut di sana. "Obelia, kau bilang di sini tidak ada aturan bukan?" "Ada tuan, jika merusak harus mengganti,""Baiklah!" tatapannya begitu tajam dengan senyuman menyeringai, ia berjalan mendekati pasukan kerucut. Namun, Obelia segera meraih tangannya. "Tuan Komo, pelelangan sebentar lagi, sebaiknya jangan lakukan hal yang tidak perlu,""Tapi?... Ahh baiklah ayo!" Hanya beberapa belas meter darinya, ada Akara yang juga melihat keberadaan pasukan kerucut. Ia melirik sekilas ke sisi kanan kirinya yang beberapa orang telah mengikuti secara diam-diam, lalu tanpa basa-basi mendekati pasukan kerucut. "Tuan?!" Adlia cukup khawatir dan bergegas mengejarnya, tapi Akara telah melesat. Broll!... Dua orang ia hantam ke tanan dengan cekikan, tapi satu orang be
"Kenapa kau di sini?" ketenangannya dan tatapan mata acuh tak acuh membuat Komo menunduk ke samping. Namun setelah mendengar keriuhan warga yang sedang menonton, Akara berkata."Kalian berdua ikut denganku!" "Wah wah, ternyata Zur Adlia yang datang langsung." Seorang pria paruh baya menyapa Adlia yang sudah duduk di sofa, dan mengangguk sekilas menyapanya. Pria dari klan Sheva bergerak menatap Akara yang juga sudah membuka tudung kepalanya. Lingkaran formasi mulai menyelimuti kaca matanya."Zur Adlia, kebetulan beberapa hari lagi ada pelelangan Raga, apa berkenan menjualnya? Draking murni dengan penampilan sepertinya, pasti akan banyak orang yang bermin...""Maaf, tuan Regera bukan budak, beliau tamu di Aliansi Penempa. Kedatangan saya ke sini untuk mengambil pesanan ayah," jelas Adlia, membuat pria itu mengerutkan keningnya."Loh, bukankah sudah diambil?""Diambil?" Mereka saling kebingungan, lalu pria itu kembali menjelaskan.