"Apa yang lebih penting dari Aura Alkemis?!" sahut Alltar dengan ketus.
Adlar lalu menutup aura Alkemisnya dan duduk kembali sebelum berkata. "Kejadian di perburuan sebelumnya yang telah terjadi beberapa kali. Aku tidak ingin hal itu terjadi pada ekspedisi di reruntuhan kuno selanjutnya.""Lalu apa rencanamu?" Ashu mulai menanggapi, membuat kedua Zurrark lainnya lebih tenang."Rencana ini akan membuat ekspedisi diundur. Tapi bisa membuat generasi muda selamat, dan kita juga bisa gunakan waktu untuk mempelajari Aura Alkemis," jelas Adlar....Sedangkan para Zur sedang mencegat Akara yang berjalan di lorong. Zur Allran yang bertubuh tinggi proporsional melebarkan satu tangannya."Apa yang sebelumnya kau lakukan?! Kenapa bisa tetap menempa sambil bertarung?!" Ia bertanya tanpa menatap Akara.Akara hanya melirik sekilas, lalu menepis tangannya dan lanjut berjalan."Budak sialan!" Allran ingin melesat, tapi ada AdliaPara Zurrark dan Zur telah berkumpul di depan ruangan menempa yang kemudian terbuka. Keluarlah Zur Admon, pemuda Vasto yang memakai kimono hitam rapi, dan di belakangnya ada Akara yang mengikuti."Bagaimana?" tanya Adlar.Admon lalu berhenti, disusul kilatan listrik ungu menuju bawah kakinya. Aura alkemis terbentuk, belum memiliki lingkaran dan dengan 4 pola. "Tingkat empat?!" Admon cukup bangga, menepuk pundak anaknya sambil menoleh ke arah Akara. "Gunakan Aura Alkemis sesering mungkin, bisa saat bertarung, latihan dan segala hal yang menggunakan energi," jelas Akara, lalu menoleh ke arah para Zurrark dan Zur. "Kalian berlatih menempa tanpa altar, biar Adlar yang mengawasi," lanjutnya. "Budak tidak punya etika! Kau seenaknya menyuruh kami, terlebih lagi paman Zurrark Ashu?!" Allran membentaknya, tapi Akara mengabaikannya dan menoleh ke arah Adlar. "Kabari aku jika mereka ingin membentuk Aura Alkemis." Ia berjalan pergi, membuat emosi Allran memuncak. Bugk!... Akara terlempar sa
Kota Tunggul Tua. Altar teleportasi yang sangat luas, dengan lebar beberapa kilometer. Hampir setiap orang yang baru pertama mengunjunginya mendongakkan kepalanya penuh kekaguman, termasuk seorang pemuda dengan jubah dan tudung kepala hitam. "Woahh?" Ia tanpa sadar memutar tubuhnya, melihat tembok raksasa dengan bentuk tak beraturan yang mengelilingi altar. Banyak yang sepertinya, ada ribuan orang yang datang dan pergi dengan altar teleportasi. "Apa ini?!" serunya kepada gadis di sampingnya yang juga mengenakan pakaian yang sama. "Batang pohon," jawab sang gadis sambil melenggang pergi. "Pohon? Bagian atasnya saja terbuka seperti itu kok!" Ia mengejarnya sambil menunjuk langit biru dengan beberapa awan putih. Mereka berjalan memasuki satu-satunya lorong. "Kalau dilihat-lihat memang seperti kayu tua," gumam sang pemuda sambil mengamati dinding lorong yang memiliki pola serat kayu. Di saat ia asik menyapu pandangannya, sang g
"Nekat sekali dia seperti kelakuan Regera!" gumam Komo, dengan senyuman terlihat di balik tudungnya. Namun, ia tiba-tiba menoleh dengan serius, ada tiga pasukan Kerucut di sana. "Obelia, kau bilang di sini tidak ada aturan bukan?" "Ada tuan, jika merusak harus mengganti,""Baiklah!" tatapannya begitu tajam dengan senyuman menyeringai, ia berjalan mendekati pasukan kerucut. Namun, Obelia segera meraih tangannya. "Tuan Komo, pelelangan sebentar lagi, sebaiknya jangan lakukan hal yang tidak perlu,""Tapi?... Ahh baiklah ayo!" Hanya beberapa belas meter darinya, ada Akara yang juga melihat keberadaan pasukan kerucut. Ia melirik sekilas ke sisi kanan kirinya yang beberapa orang telah mengikuti secara diam-diam, lalu tanpa basa-basi mendekati pasukan kerucut. "Tuan?!" Adlia cukup khawatir dan bergegas mengejarnya, tapi Akara telah melesat. Broll!... Dua orang ia hantam ke tanan dengan cekikan, tapi satu orang be
"Kenapa kau di sini?" ketenangannya dan tatapan mata acuh tak acuh membuat Komo menunduk ke samping. Namun setelah mendengar keriuhan warga yang sedang menonton, Akara berkata."Kalian berdua ikut denganku!" "Wah wah, ternyata Zur Adlia yang datang langsung." Seorang pria paruh baya menyapa Adlia yang sudah duduk di sofa, dan mengangguk sekilas menyapanya. Pria dari klan Sheva bergerak menatap Akara yang juga sudah membuka tudung kepalanya. Lingkaran formasi mulai menyelimuti kaca matanya."Zur Adlia, kebetulan beberapa hari lagi ada pelelangan Raga, apa berkenan menjualnya? Draking murni dengan penampilan sepertinya, pasti akan banyak orang yang bermin...""Maaf, tuan Regera bukan budak, beliau tamu di Aliansi Penempa. Kedatangan saya ke sini untuk mengambil pesanan ayah," jelas Adlia, membuat pria itu mengerutkan keningnya."Loh, bukankah sudah diambil?""Diambil?" Mereka saling kebingungan, lalu pria itu kembali menjelaskan.
"Apa tujuanmu melawan Fraksi Cahaya Ilahi?" Penguasa kota bertanya dengan tenang, sambil menghentakkan sebuah tongkat yang muncul, sebagai sandaran kedua tangannya di depan."Adakah alasan agar tidak melawan mereka?" Akara bertanya balik dengan senyuman kecut di bibirnya. Tekanan intimidasi menghilang saat penguasa kota duduk di sofa, lalu menawari keduanya untuk duduk. "Ingin mengeluarkan energi kutukan dari tubuhku?" tebak Penguasa kota setelah melihat luapan energi tipis di dadanya. "Apa tujuanmu?" Akara curiga, tapi tetap duduk tenang. "Klan Sheva hidup dengan energi gelap, jadi pak tua ini dapat merasakannya dengan mudah," jelasnya, tapi Akara tetap diam dan kurang puas akan jawabannya. Beberapa saat mereka saling pandang tanpa suara, akhirnya penguasa kota menggeleng sekilas dan berkata. "Fraksi Cahaya Ilahi sangat berhati-hati kepadamu, terlebih lagi, Aliansi Penempa terlihat sangat memihakmu." Ia melirik ke arah tangan mereka yang masih berpegang tangan. "Pak tua ini han
Melihat kejadian di depannya, terlihat kecemburuan di wajah Adlia."Mulutmu manis sekali anak muda, tapi tatapan matamu masih membuat tulangku menggigil!" Alkemis cantik mendorong dada Akara, tapi malah tubuhnya yang melayang menjauh perlahan. Ia mendarat dengan anggun di atas altar, berputar dan berdiri di tengahnya. Energinya meluap dan terdengar suara rantai berdencing, disusul suara putaran roda besi. Bagian tengah altar terbuka, lalu muncullah sebuah rak kayu. Jari-jari lentiknya terlihat sibuk memeriksa setiap lantai rak, hingga menemukan sebuah lembaran resep dari emas. Ia melebarkan jari-jari di depan resep, mengalirkan energi hingga tulisan yang terukir pada lembaran emas menyala. Ia tarik tangannya, membuat tulisan yang menyala seakan terlepas dari lembaran emas. Tulisan bergerak dan berubah, lalu muncul sebuah kertas dan langsung tercetak di sana."Carilah bahan-bahan itu!" Akara segera membuka kertas yang melayang ke arahnya, hanya hitungan detik segera masuk ke penyimp
"Hentikan! Kau hanya akan menghancurkan formasiku!" seru gadis berpakaian lingerie yang penuh kepanikan, diselimuti energi kutukan dan jiwa liar yang seakan mengaum padanya. "Tidak perlu berpura-pura, energi kutukan seperti ini tidak mungkin menyulitkanmu 'kan?""Hmph!" Alkemis cantik seketika tenang. "Salahku meremehkan orang yang dicari-cari oleh Fraksi Cahaya Ilahi!" Energi langsung meledak saat ia melebarkan kedua tangannya, rambut dan lingerie tipisnya berkobar. Tubuh indahnya yang terekspos segera tertutupi oleh energi seperti asap hitam. Cyar!... Es yang menyelimuti dinding pecah, tertembus oleh energi dari jamur bercahaya. Aliran energi yang sempat terhenti langsung menjadi begitu deras ke dalam tubuh Akara. Namun, terhalau oleh kilatan listrik ungu. "Bocah, aliran energimu akan semakin hancur jika hanya mengeluarkan energi kutukan begitu saja! Biarkan energi jamur membantumu!""Jamur yang sudah kau budidaya sangat lama, tidak mungkin tidak ada sesuatu di dalamnya. Kau jug
"Lanjutkan," ucap pendekar botak kepada gadis di ujung altar yang meleleh membentuk lubang. "Maaf, lanjutkan apa tuan?" Ia memastikan dengan ragu-ragu. "Perlu aku ulangi?" "Maaf maaf!" Ia langsung melangkah maju, lalu berdiri tepat di pinggir lubang besar pada altar. Energi meluap dari tubuhnya, disusul segel tangan yang rumit. Tidak butuh waktu lama, energi mengalir ke udara, menyebar di langit-langit gua. Sebuah lingkaran formasi terbentuk, lalu berdencing dan disusul aliran energi dari jamur di dinding gua. Energi kembali mengalir di tubuh Akara yang lemas di udara. Keraguan di wajah gadis Sheva telah berubah menjadi senyuman kepuasan. "Anak muda, takdir berpihak kepadaku," gumamnya...."Mama Serin?!" Akara berdiri tenang dalam kehampaan, tidak ada apapun dalam kegelapan. Bahkan ia tidak mendapatkan jawaban dari panggilannya kepada Serin yang seharusnya bersama dia. Ia lalu menyapu pandangan secara perlahan, sebelum akhirnya tertuju pada satu sisi. Tidak terlihat apapun, tapi
Tempat yang abstrak, berlatar belakang cahaya berbagai warna dari awan panas Nebula di kegelapan angkasa, Dewa Penempa membungkukkan badannya di hadapan tiga gumpalan bercahaya. Dengan sopan dan waspada, ia menjelaskan tentang pemimpin Fraksi Cahaya Ilahi yang memojokkannya. "Jadi, apa maumu?" tanya salah satu leluhur. Sambil sedikit menunduk, Dewa Penempa menjawab dengan lembut. "Mohon maaf, Fraksi Cahaya Ilahi di mata warga sudah bisa dikatakan hancur, bahkan banyak masalah yang terus terjadi. Mungkin sudah seharusnya kepemimpinan Fraksi diganti.""Kondisikan klan Vasto, kami akan segera memanggilmu kembali!" ujar salah satu leluhur, dan Dewa Penempa segera melebur, digantikan dengan seorang pria bermahkota sayap emas. "Ronas memberi salam kepada leluhur!" Ia sedikit menunduk seperti yang dilakukan Dewa Penempa sebelumnya. "Ronas, tiga lentera jiwa tetua Fraksi telah padam, apa yang terjadi?!" Ronas menjawab dengan tenang.
"Regera, kau telah mengalahkanku!" Luce kembali terkekeh, tapi ia segera tersedak saat bilah pedang kayu mengganjal mulutnya. Sebutir pil melesat begitu saja memasuki tenggorokannya. "Tidak perlu kau sembuhkan lukaku!" seru Luce saat ganjalan di mulutnya terlepas. Namun, ia segera menyadari bahwa itu bukanlah pil penyembuhan. Segel belenggu langsung menyala di jantungnya. Melihat Luce tidak menunjukkan tanda-tanda melawan, sepasang pedang kayu segera melebur di udara. Ia lalu berteleport menuju para Dewa lainnya berada, disusul oleh kilatan cahaya emas yang membawa Luce. Ternyata kegaduhan terjadi. Pria bertanduk ranting menyandera Luwang, padahal tubuhnya telah babak belur penuh luka bakar. Cakar tajam telah melingkar di leher pemuda Sheva bertanduk emas, untung ditahan oleh bilah cakar di lengannya. Tangan lain juga menahan lengan Dilvo satunya. Dewa lain nampak ragu untuk bertindak, dan kedatangan Akara menjadi harapan untuk mereka. Namun,
Cukup lama awan panas Nebula memenuhi domain, hingga akhirnya, luapan energi berhenti, bahkan malah kembali ke titik ledakan. Para Dewa hanya bisa menyapu pandangan penuh kebingungan, dan dalam hitungan detik, mereka dapat melihat kegelapan lagi. Awan panas Nebula telah sepenuhnya terhisap. Seketika para Dewa tertegun melihat apa yang menghisap semua itu. Sebuah lubang hitam raksasa, yang terlihat cahaya di pinggirnya dan menggaris, membelahnya. Itu cahaya energi yang terhisap dari kesepuluh esensi surgawi. Daya hisap yang luar biasa yang dapat menelan cahaya, tidak heran jika kesepuluh esensi mulai bergerak. Mereka terhisap, membuat Akara segera melempar dua butir pil ke mulutnya dan menyalakan seluruh auranya. Aura Naga sejati, ranah Jiwa Suci dan aura Alkemis tingkat delapan. Ia langsung melakukan segel tangan. Energi pelindung segera terbentuk di sekitar Esensi surgawi, menjadi sepuluh pilar yang puncaknya mengurung Esensi surgawi. Kesepuluh pilar juga segera saling terhubung d
"Sialan kau Dilvo! Berani-beraninya kau mengusik jasad ayahku!" Luwang sangat geram saat melihat tubuh Dewa bertanduk emas setengah sabit, yang tidak lain adalah leluhur Raja Sheva. Di samping leluhur, Sheva bertanduk ranting langsung terkekeh. "Majulah kalian semua!" Dewa Farz segera mendekati Luwang dan dengan tatapan masih tertuju pada lawan mereka, ia lalu berkata. "Kau lawan Dilvo, biar aku yang menahan leluhur Raja Sheva. Tidak perlu memaksakan diri, tahan saja sampai tuan Regera menjalankan rencananya!" Farz lalu menoleh ke arah dua Dewa Fraksi lainnya. "Jika dua Dewa Sheva lainnya tidak bergerak, kalian tidak perlu ikut campur!" "Baik Dewa Farz!"Ketegangan terjadi pada kedua belah pihak, bahkan belum sempat melesat, dimensi di sekitar mereka melebar, seakan ditarik dari kedua sisi. Dalam sekejap, mereka melesat dengan kecepatan cahaya. Memasuki lubang cacing dalam kekosongan. Pertarungan tidak terlihat dari luar, ta
Dalam dimensi yang hampa dan hanya mendapatkan cahaya dari bintang neutron, titik berkumpulnya kesepuluh energi esensi surgawi. Pusaran energi berwarna emas telah menyala di belakang Akara dan di atasnya, ada lingkaran dengan ukuran lebih besar, memiliki pola rumit berwarna hitam. Aura ranah Jiwa Suci, ditambah aura Naga sejati yang menggelegar, memutar pelan hingga dimensi seakan tertarik energinya.Namun, itu tidak sebanding dengan apa yang ada di depannya. Ia bagaikan sebuah titik kecil dibandingkan sosok Naga raksasa yang tubuhnya berselimutkan cahaya. Keempat kaki berototnya melebar, dengan cakar tajam yang mencengkram dimensi. Sayapnya membentang tak terkira, dengan lekukan-lekukan yang tak kalah tajamnya. Lehernya meliuk, menurunkan kepalanya yang garang dengan deretan gigi dan tanduk tajam. Tepat di atas tulang hidungnya, Luce duduk jegang dan bersandar penuh keangkuhan. Melihat kesepuluh Esensi surgawi dan domain yang sangat luas, Dewa
Sebelum peperangan dengan Dewa klan Sheva, Dewa berpakaian emas mendatangi sebuah tempat yang dipenuhi reruntuhan melayang. Lempengan-lempengan batu beterbangan, tapi tak pernah sekalipun bertabrakan. Di wilayah yang terisolir dari reruntuhan melayang, ada sebuah portal. Bukan pusaran yang gelap, tapi pusaran putih keemasan penuh cahaya yang indah. Begitu memasukinya, ia langsung menyipitkan mata, tersorot oleh cahaya yang lebih terang. Saat mulai bisa beradaptasi, terlihatlah sebuah titik seperti matahari, tapi dengan luapan energi yang sangat dahsyat. "Inti Cahaya Primordial?!" gumamnya cukup terkejut, tapi segera menemukan keberadaan seseorang dalam kekosongan penuh cahaya itu. Pemuda tampan yang sedang bersila, dengan pakaian minim dari cahaya hingga tubuh atletisnya yang bersih terlihat. Namun, di antara keindahan itu, berserakan mayat yang tak terhitung jumlahnya. Aliran energi dari tubuh mereka keluar, menuju ke dalam tubuh Luce. Ia menghisap ene
"Maaf!" Ronas hanya bisa tertunduk merasa bersalah, lalu mulai menjelaskan keadaannya. Mendengar penjelasan panjang lebar, Serin segera menanggapi. "Keputusan di tangan anakku Regera!" "Anak?" Ronas malah merasa bingung dan Serin langsung menyadari bahwa pemimpin Fraksi telah termakan rumor. "Ronas, tidak mungkin kau mempercayai rumor 'kan?" "Itu... Lalu kenapa bisa memasuki peninggalan Dewa Penempa dan bagaimana dengan jiwanya?" Serin tersenyum penuh ketenangan sebelum berkata. "Tenang saja, pak tua itu bersama kami, hanya saja dia belum menyadari identitas asliku."...Deretan pilar-pilar besar yang berlapis emas, menjaga jalan konblok yang semakin naik seperti tangga raksasa. Di puncaknya, berdiri sepasang singgasana emas dengan latar birunya langit dan lautan awan di bawahnya. Dewa Penempa dan sang Maharani duduk di sana. Dewa Vasto bertubuh besar berotot dengan armor emas. Ada pula mahkota yang melayang di atasnya,
"Akara adalah anak kelima dari enam anak ayah, tapi maaf Mama Serin, sepertinya anak Akara akan menjadi cucu kalian yang pertama." Ia tersenyum penuh haru saat meraih potongan rambut tipis nan lembut dari dalam kotak. "Selamat untuk kalian, itu juga peringatan untukmu agar lebih berhati-hati kedepannya. Ada mereka yang menunggu kepulanganmu," nasihat wanita bertubuh mungil dari dalam dimensi, yang juga kebahagiaam turut terpancar di wajahnya....Saat pembicaraan Luwang dan Pemimpin Fraksi Cahaya Ilahi mulai tenang di dalam ruangan, muncul kilatan listrik yang mengantar pemuda berjubah hitam. "Tuan Regera!" Pemimpin Fraksi bangkit dari sofa, tapi kedua pria Sheva langsung melesat di depan Akara, melindunginya. "Siapa dia?" tanya Akara dan segera dihawab oleh Lumpang."Pemimpin Fraksi Cahaya Ilahi!"Pandangan Akara segera menelusuri tubuh kedua Dewa Fraksi, yang bukan bertubuh dari kelima ras Dewa, tapi layaknya manusia pad
Di dalam dimensi abstrak berwarna hitam bergaris putih-putih, Fraz, Dewa Fraksi dengan jubah putih berselimut perhiasan emas mendatangi pemimpin Fraksi Cahaya Ilahi. "Farz menghadap pemimpin!" Ia menelangkupkan tangan dan membungkuk ke arah lempengan emas yang melayang di atas sana. Walau tidak menunjukkan penampilannya, pemimpin Fraksi segera menjawab. "Farz, aku dengar kau berselisih dengan Raja Sheva, Dilvo.""Benar Yang Mulia! Mereka menyandera anak saya, Zurrark Fam. Mereka tertipu oleh taktik adu domba yang dilakukan Regera!""Kau sudah mendengar kabar tentang siapa sebenarnya Regera?"Dewa Farz nampak gugup dan mengangkat wajahnya, menatap lempengan emas yang berputar dan menjawab. "Saya belum bisa memastikannya, tapi informasi yang beredar sesuai dengan dugaan.""Lalu, kau ingin menyinggung dua kekuatan besar sekaligus?""Maaf Yang Mulia! Tapi setidaknya saya harus menyelamatkan anak saya!" Energi men