Friss lalu membuat segel tangan dan cahaya merah menyala di bawah kakinya saat lingkaran ritual mulai terbentuk.
"Tunggu dulu!" Al yang dipapah oleh Violet mendekat, lalu meminta gadisnya melepaskannya dan mendekat sendiri."Tolong berikan portal ini untuk Rani, setelah itu akan kami bantu membuka portal untuknya!" Al terlihat memelas, sangat berbeda dengannya yang sebelumnya tegas dan berwibawa.Friss hanya menoleh sekilas dengan tatapan datar, lalu melanjutkan ritualnya."Aku mohon!" Al seperti kehilangan harapan, membuat wanita bertubuh mungil menggelengkan kepalanya."Perkataan Luce berhasil mengenainya!" gumamnya, lalu pria berpakaian putih biru yang compang-camping mendekat dengan lemas."Tidak membantunya?" ucapnya membuat wanita itu tersenyum sekilas lalu berteriak ke arah kekasihnya."Sudahlah Al!"Akan tetapi pria itu semakin mendekat ke arah Friss. "Aku mohon padamu!"Karena mulai kesal,Beberapa ratus tahun kemudian. Hamparan rumput yang dikelilingi pegunungan telah menjadi sebuah kota yang ramai penduduknya. Bangunannya sudah terbuat dari beton, dengan 3 sampai 4 lantai. Hanya ada pejalan kaki di atas jalanan kota yang terbuat dari konblok, namun ada altar teleportasi di pusat kota. Altar batu yang terukir pola rumit dan akan menyala jika ada seorang yang menggunakannya. Setengah bagian kota lainnya menjadi sebuah akademi, yang dibatasi oleh sungai dari pemukiman. Halaman yang luas dengan lantai konblok, tempat berlatih ribuan siswa dengan umur yang berbeda-beda. Mulai dari bocah, remaja hingga menjelang dewasa. Mereka semua dapat menggunakan aura ranah, aura keemasan yang ada di belakang pundaknya. Di usia bocah, aura yang mereka miliki hanya beberapa bintang kecil hingga memiliki sebuah bola energi. Di usia remaja, satu bola energi bergerak mengitari beberapa bintang, jika bintang mencapai 10, akan membentuk bola energi baru. Rata-rata di usia menjelang dewasa
Para jiwa yang bergerak dengan bebas tiba-tiba tertahan, ada pusaran angin yang bahkan menarik mereka. Seseorang berdiri di atas genteng rumah, tepat di samping tornado yang terus bergerak. Dia Arun, angin membuat jubah hijau daun dengan aksen keemasannya melambai, juga membuat capingnya miring ke depan, menutupi wajahnya. Memperlihatkan gambar pusaran angin, dengan latar belakang gambar bulan purnama di bagian depan caping. Tangannya diselimuti kain tebal, namun terlihat berotot saat membenarkan posisi capingnya. Nampaklah wajah tegas pemuda berumur akhir 20 tahunan. Sebuah aura ranah tingkat Asmaradana telah menyala di belakang pundaknya, aura keemasan dengan 5 bola energi yang bergerak memutar."Terima kasih anak muda!" Butu Besiah, seorang pria tua bertubuh pendek melesat dengan cepat di udara, ia terbang dengan sayap perinya, sayap yang terbuat dari energi saat seseorang telah mencapai ranah Asmaradana. "Jangan nekat pak tua!" Jito Jati, pria tua dengan uban yang samar-samar, b
Aura pondasi jiwa menyala di belakang pundak Raja Kutukan. Aura layaknya sebuah galaksi, dengan latar pusaran hitam yang berisi titik-titik cahaya bintang. Ada barisan cahaya bintang yang lebih terang, melengkung layaknya bilah kipas sebagai penanda levelnya, mulai 1, 2 hingga 3. Jika Kaisar Atla memiliki 2 bilah bintang yang masih lebih lemah dari ranah Amerta 10 bola energi, Raja Kutukan memiliki 3 bilah yang setara dengan ranah Amerta. Aura Naga 5 pola=Ranah Amerta=Aura pondasi jiwa tingkat 3. Energi kutukan semakin pekat, bahkan membuat langit gelap sepenuhnya. "Oi Ular Naga Api!" Ia mengibaskan tangan pelan ke samping. "Menyingkirlah, aku malas membawamu dalam kondisi sekarat,""Sekarat?!" Daratan bergetar hebat, meratakan bangunan yang sudah rapuh. Sebuah aura menyala di atasnya, bukan Aura Naga yang merah, namun Aura Naga sejati yang berwarna hitam pekat. Saking pekatnya bahkan menghisap cahaya di sekitarnya seperti sebuah lubang hitam yang tau jauh dari tempat mereka bertar
Gua Cryostar. Gua raksasa yang seluruh dindingnya berupa batu, memiliki lorong yang lurus dan sangat panjang. Pada ujung gua, terdapat cekungan ke bawah, di sanalah ada kawah magma yang sangat luas. Seperti di domain api, altar batu berdiri di atas kawah, namun jauh lebih luas. Di sanalah ada pria bertubuh kekar yang bertelanjang dada, keringat yang sangat deras menyelimuti tubuh kekarnya. Ia berdiri di atas besi tempaan sembari membawa sebuah palu besar. Setiap kali palunya diayunkan, dentuman besar terdengar, disertai percikan api yang menyebar layaknya petasan. Saat itulah Al muncul dan menepuk pundaknya, membuat pria kekar yang sudah mengangkat palunya tinggi-tinggi jadi mematung dan menoleh. "Ada apa tuan Al?""Jade, keluarkan seluruh artefak yang bisa menghisap energi kutukan!" Jade lalu menurunkan palunya dan menjulurkan satu tangan, sebuah kubus hitam muncul di atas telapak tangannya. "Hanya ini yang aku punya,"Al segera mengambilnya dan berkata dengan tergesa-gesa. "Cep
Akara menyapu pandangannya, melihat kota Lithua yang telah hancur dan diselimuti energi kutukan. Ia kembali menyapu pandangannya, melihat lebih jauh menggunakan mata naganya. Setelah itu melesat ke atas.Cring! Jlarr!... Percikan api dan 2 robekan kehampaan melebar ke arah yang berlawanan, tepat Akara keluar dari kubah pelindung. Walaupun sempat mengeluarkan sepasang pedang kayu untuk menangkisnya, namun tetap membuat Akara terlempar kembali. Menciptakan kepanikan para warga dengan dentuman dan gelombang energi yang menyebar.Ia dihadang oleh Rani dan Violet. Keduanya telah menyalakan aura Naga Sejatinya, dengan cakar Naga yang sudah menyelimuti tangannya. Melihat sepasang pedang kayu hitam yang digunakan untuk menangkis serangannya, Rani langsung melotot tajam dan berteriak."Regeraa!..." Api merah berkobar dan menyelimuti tubuhnya, bahkan cakar naganya yang terbuat dari es juga terselimuti dan tidak meleleh. "Aku yang membunuh Friss, balaskan dendammu padaku! Bukan pada Al!" teriak
"Lisa?!" Akara seketika berdiri dan menutup aura ranahnya."Ohh?" Wanita bertubuh mungil muncul, ia mengamati tubuh pemuda di depannya dari ujung kaki hingga ujung kepala. "Pantes banyak gadis yang jatuh dalam pelukanmu," ucapnya seraya berjalan mendekat. Akara langsung mengeluarkan kain putih polos dan memakainya seperti handuk. "Ternyata guncangannya tidak seperti yang aku kira," gumam Akara saat melihat area sekitarnya yang tidak terlalu berdampak. "Pulau ini memang untuk menahan amukan energi." Serin berhenti di depannya, lalu berkata sambil mengamati bagian atas tubuh anaknya. "Kenapa tidak menggunakan energi ruangmu?""Maksudnya?" Wanita itu malah tersenyum. "Al ternyata memang tidak mengajarkan apa-apa kepadamu." Ia lalu melayang di udara hingga tinggi mereka sama, lalu menjuluran jari-jari lentiknya pada dada bidang Akara. Tiba-tiba keduanya menoleh ke arah yang sama. Di sana ada kilatan listrik me
Melihat kemunculan pemuda berjubah hitam muncul secara tiba-tiba, para pasukan bertopeng serigala segera menghentikan aksinya dan melompat menjauh. Hal itu juga membuat pelaku pemukulan panik, mengacungkan baloknya ke arah Akara.Pemuda itu segera jongkok dan muncul dua butir pil di atas telapak tangannya. "Sembuhkan lukamu."Bocah itu bangkit, terlihat darah keluar dari hidungnya dan luka memar yang membekas berbentuk persegi panjang di pipi. Bukannya menangis atau merasa sakit, ia malah tersenyum menyeringai dan menatap warga yang memukulnya."Terima kasih!" Ia langsung mengambilnya dan langsung melompat, merampas balok dan suara nyaring terdengar saat wajah pelaku dipukul olehnya. Darah langsung berceceran di jalan saat si pelaku berlutut kesakitan. Sedangkan Renggo, berlari pergi sambil melemparkan balok dengan bercak darah dan melempar kedua pil ke dalam mulutnya. Akara kini menoleh ke arah beberapa penjaga kota, mereka kebingungan dan ragu,
Sebuah perpustakaan besar, berbentuk kubah raksasa yang dipenuhi buku, dengan dinding dan lantai berupa kayu. Bukan susunan papan, namun kayu utuh karena lokasinya berada di dalam pohon raksasa. Seorang wanita berbadan seksi dengan rambut emas yang disanggul, melayang di udara, meraih salah satu buku di hamparan jutaan buku lainnya. Mengetahui kedatangan seseorang, ia menoleh perlahan-lahan ke bawah, lalu berteleport di depannya. "Dahh aku tinggal!" Alice segera berteleport pergi. Akara hanya diam saja menatap wajahnya, membuat Viona dengan santai berkata. "Kenapa? Tidak merindukan kekasihmu ini?" Akara langsung memeluknya dengan erat, lalu berbicara dengan suara bergetar. "Syukurlah!"Kebalikan dengan Alice, kini Viona yang mengusap punggungnya dengan lembut. Beberapa saat kemudian ia melepaskan pelukannya, menatap sayu wajah cantik yang tersenyum padanya. Tangannya bergerak ingin meraih wajah kekasihnya, namun malah ia urungkan, mem