Kain Basahan Basah di Kamar MandiPart 28: Ketangkap Basah"Nggak apa-apa, Bu."Tidak terasa waktu begitu cepat berlalu. Akhirnya aku dan Ibu Aisyah sampai juga di depan rumahku. Aku heran kenapa pagar rumah tidak terkunci. Kuedarkan pandanganku ke teras rumah. Ada mobil parkir di garasi.'Mobil siapa itu?' tanyaku dalam hati.Aku melepas seat belt lalu buru-buru turun dari dalam mobil. Mobilku parkir sembarang tempat di halaman rumah. Baru beberapa langkah menuju pagar rumah, aku lupa kalau mertuaku belum sehat betul. Kupercepat langkah kakiku menutup pagar."Ibu ... Hati-hati!" ucapku sambil mengekor di belakang."Nesya, itu mobil siapa di garasi? Sepertinya bukan mobilmu," tanya Bu Aisyah.Bu Aisyah mengernyitkan kening seolah ingin tahu siapa pemilik mobil itu."Aku juga kurang tahu, Bu. Nggak usah dipikirkan. Kita masuk dulu ke dalam."Aku dan Bu Aisyah melangkah masuk ke dalam rumah. Pintu utama juga tidak dikunci. Aku semakin penasaran siapa yang berani masuk ke rumahku tanpa ad
Kain Basahan Basah di Kamar MandiPart 29: Terbongkar"Ibu kandung goblok!" sindir Lala.Lala semakin kurang ajar kepada ibunya, Rusly. Dia merasa kesal karena sedikitpun tidak ada sama sekali dianggap Bu Aisyah kedatangannya."Aku menyesal telah merawat kamu sampai besar. Ternyata ini pembalasanmu kepada diriku.""Maksudnya apa, Bu?!" tanya Rusly heran.Bu Aisyah menangis tersedu. Aku memeluk tubuh ibu mertuaku. Aku juga heran kenapa Bu Aisyah bisa berkata seperti itu."Kamu itu bukan anak kandungku.""Nggak mungkin! Itu nggak mungkin! Pasti ibu bercanda 'kan?!" tanya Rusly panik."Kalau kamu memang anak kandungku, tidak mungkin kamu hampir memperkosaku."Bu Aisyah semakin tersedu. Isaknya pecah seolah sakit hatinya tidak terobati lagi."Ba-bagaimana ini bisa terjadi?! Aku tidak yakin! Ibu jangan mengada-ada!"****Flash Back on"Astagfirullah! Pah ... Papa!" teriak Bu Aisyah kencang.Bu Aisyah hendak membuang sampah di depan pagar rumah. Tiba-tiba, ada suara bayi menangis.Kebetulan
"Ada bayi yang dibuang ibunya.","Se-serius?!" tanya pria itu. Sebut saja namanya Wandi."Coba cek kotak itu!" perintah Bu Aisyah.Pak Wandi tidak ada sama sekali takut. Dia jongkok lalu mencoba melihat kardus yang ditunjuk Bu Aisyah."Astagfirullah! Be-benar ini bayi. Astagfirullah siapa yang membuang bayi ini?" tanya Pak Wandi terbata.Suasana hening seketika. Bu Aisyah dan Pak Hermanto saling adu pandang. Sementara Pak Bakhrie masih saja tergeletak di atas aspal."Cepat angkat bayi ini, Bu!" seru Pak Wandi.Bu Aisyah menggendong bayi itu. Dari raut wajahnya bayi itu sangat mungil dan imut.'Apakah ini petunjuk bagiku ya Allah,' ucap Bu Aisyah dalam hati.Bu Aisyah dan Pak Hermanto sudah dua belas tahun menikah. Namun, belum ada dikarunia anak. Mungkin, ini jawaban Bu Aisyah selama ini untuk mengasuh atau menggendong anak.'Jika ini adalah jawaban dari doaku di sepertiga malam. Aku akan terima dan merawat baik-baik bayi ini. Aku bakalan berjanji menganggap bayi ini anak kandungku.'
Kain Basahan Basah di Kamar MandiPart 30: Secarik Kertas"Kalau begitu ibu dan bapak saja yang merawat. Kita tunggu sampai tiga hari ini apakah ada yang merasa kehilangan. Kalau tidak ada, baru kita urus semuanya."Pak Bakhrie dan Pak Wandi meneguk es teh yang disajikan Bu Aisyah. Sudah cukup lama bercengkerama. Akhirnya satu sama lain pamit permisi.****Sudah seminggu bahkan satu bulan tidak ada yang merasa kehilangan bayi. Bu Aisyah juga sudah merasa nyaman merawat bayi itu."Bu! Kapan kita mengurus bayi ini?" tanya Pak Hermanto. Dia membuka pembicaraan serius di saat Bu Aisyah sibuk memberi makan."Kalau aku ikut bapak saja. Secepatnya juga boleh."Pak Hermanto menyeruput kopi yang masih saja asapnya mengepul.Alhamdulillah, bayi ini tidak pernah rewel dan buat susah semenjak Bu Aisyah merawatnya."Bagaimana kalau besok saja?""Boleh, Pak."Tiba-tiba, suasana hening. Hanya suara jangkrik lah yang terdengar menghibur keheningan malam.Pak Hermanto melanjutkan membaca berita online
"Boleh saja iya, boleh saja tidak. Itu kembali kepada bapak.""Kita ikuti saja lah, Bu."Akhirnya bubur makanan Rusly habis juga. Bu Aisyah mengukir senyum simpul. Dia berhasil merawat bayi yang bukan darah dagingnya sendiri.Bu Aisyah memang sudah lama.menhinhkan anak. Namun, Allah belum mengabulkan apa yang dia inginkan. Segala macam cara, usaha dan kerja keras sudah dilakukan. Mulai dari berobat ke dokter spesialis kandungan, berobat kampung bahkan berobat ke luar negeri sudah dilakukan. Mungkin saja Allah menguji Bu Aisyah dan Pak Hermanto.Flash Back off****"Ja-jadi Rusly bukan anak kandung ibu?" tanyaku kaget dan terkejut."Iya, Nesya."Bu Aisyah terus menangis dan sesenggukan. Air matanya jatuh tiada henti. Pantas saja Rusly bisa nafsunya membara melihat Bu Aisyah. Ternyata ini jawaban dari semua itu."Nggak mungkin! Itu pasti karangan bebas ibu saja."Rusly tidak tahu apakah sedih atau senang? Jelas, hati kecilnya merasa tersayat mendengar penjelasan Bu Aisyah baru saja."Ka
"Iya."Bu Aisyah masih belum percaya kalau Rusly seperti itu jahatnya kepada dia. Air susu dibalas dengan air tuba. Padahal, dia tidak ada sama sekali mengharapkan secuil imbalan."Pergi dari sini sekarang juga!" usirku kepada Rusly, Lala dan Ririn.Kehadiran mereka sangat melukai hatiku juga Bu Aisyah. Walaupun semuanya sudah terbongkar. Aku tetap sayang dan tulus merawat Bu Aisyah. Walaupun dia bukan ibu mertuaku kandung.Mereka semua memunguti pakaian yang sudah terletak di atas lantai. Aku merasa jijik melihat kelakuan mereka.****Hari berlalu begitu saja. Aku dan Bu Aisyah mulai menata hidup tanpa kehadiran toxic dalam rumahku."Bu, nggak usah meratapi semua yang telah terjadi!" Aku mencoba menguatkan Bu Aisyah. Padahal, aku juga masih belum percaya atas semua pengakuan Bu Aisyah.Bu Aisyah hanya mengangguk dan tidak ada sama sekali berkata."Bu, ayo makan!" ajakku agar Bu Aisyah tidak jatuh sakit.Kalau Bu Aisyah jatuh sakit, pasti aku juga yang repot merawatnya.Bu Aisyah san
Kain Basahan Basah di Kamar MandiPart 31: Telepon dari Pak BambangAku menghela napas lalu membereskan alat makan yang sudah selesai."Biar aku saja, Nesya," ucap Bu Aisyah."Ibu istirahat saja."Bu Aisyah terus mengangkat piring kotor lalu meletakkannya ke atas westafel. Walau bagaimana pun, aku tidak tega Bu Aisyah yang membereskan piring kotor. Apalagi sampai mencucinya sebanyak ini.Tidak berapa lama, cucian piring kotor selesai kucuci. Kini saatnya istirahat.Baru saja selesai mencuci piring, ponselku berdering kembali.Kuambil ponsel lalu melihat layar yang sudah menyala. Kuperharikan dengan seksama nomor yang tertera di layar ponsel.'Nomor ini lagi, siapa sih dia sebenarnya?' tanyaku dalam hati."Lah, kenapa nggak dijawab, Nesy? Kali aja penting," ucap Bu Aisyah.Bu Aisyah melihat wajahku murung."Aa-anu, Bu."Aku menjawab asal saja."Sudah langsung jawab saja!"Aku berdiri lalu melangkah pelan berputar-putar sekitar dapur. "Halo," jawabku pelan setelah panggilan telepon t
'Ya Allah, kenapa cobaan datang bertubi-tubi? Belum kelar satu sudah datang yang lain.'Aku berpikir sejenak, dosa apa yang aku perbuat akhir-akhir ini? Aku mencoba pasrah walaupun itu tidak ikhlas hadir di dalam diriku."Nesya, kenapa kamu diam?" tanya Bu Aisyah mulai panik.Aku hanya menggeleng. Bibirku kelu seolah beku. Tidak tahu lagi harus berkata apa."Nggak usah kamu takut atau sungkan, Nesya!"Bu Aisyah terus memaksaku. Padahal, aku sudah mencoba untuk merahasiakan masalah ini dari Bu Aisyah.Tiba-tiba, sambungan telepon terputus.Aku mencari kontak sekretarisku. Aku mulai mencari tahu tentang kebenaran yang baru saja kudapat."Maaf nomor yang anda tuju tidak dapat dihubungi. Mohon periksa kembali nomor tujuan anda."Suara operator sangat jelas membuat tensiku naik. Aku ingin bercakap kotor semua isi kebun binatang. Namun, aku teringat kalau ibu mertuaku ada di sampingku.Perlahan, kutarik napas berat lalu membuangnya secara kasar. Kepalaku terasa pening membuatku tidak sanggu
"Apa?!" tanya Rusly tidak sabaran. "Jangan sesekali memberikan harapan palsu kepadaku," imbuhnya dengan menahan emosi."Siapa juga yang memberikan harapan palsu?" ucapku dengan sedikit menaikkan nada. Aku pergi melangkah. Walaupun sebenarnya aku sok jual mahal. Itu semua aku lakukan agar dia merasa sadar dan terpukul."Kamu mau ke mana?!" tanyanya mendongak. Fokusnya gagal mengirim doa. Dia bangkit lalu berlari mengejarku."Itu bukan urusanmu!" jawabku membentak. "Lepaskan tanganku!" jelasku kembali.Aku pergi begitu saja. Cuaca hari ini sangat panas sehingga aku takut hitam terbakar oleh sinar sang mentari."Lebih baik aku mati bunuh diri daripada lama-lama mati tersiksa untuk mendapatkan cinta dan kasihmu yang ke dua kali.""Silakan kalau kamu tidak punya iman dan Tuhan!" jawabku datar. Walaupun aku sudah jauh dari tempat dia berpijak.Argh!Rusly mengacak-acak rambutnya kembali. Lelah?! jelas dirinya pasti lelah. Kecewa?! Jelas sekali. Sudah berulang kali dia menelan kekecewaan. Na
Wajahnya Rusly berubah masam mendengar perkataanku. Aku tersenyum bahagia setelah dia berubah pias."Sungguh terlalu kamu, Nesya!" rutuknya tidak terima. Aku ini mantan suamimu dan akan menjadi suamimu lagi sebentar lagi," imbuhnya menjelaskan. Dia mengepalkan tangan hendak menamparku. Namun, tangannya hanya mengambang di udara."Kenapa tidak jadi memukulku!" bentakku dengan menatapnya menyalang. "Ayo pukul sebelum Pencipta Alam Semesta mengutuk kamu benar-benar seonggok bangkai," imbuhku kembali."Kalau bukan kamu itu perempuan yang hendak akan kuperjuangkan, tangan ini pasti sudah landing di wajahmu itu," jawab Rusly dengan nada kesal. Dia berkacak pinggang lalu membuang napas kasar. "Aku tidak habis pikir kamu bisa berkata seperti itu," jelasnya dengan memijit kening yang tidak gatal."Maaf aku harus pergi dari sini." Aku melangkah meninggalkan dia sendiri di plataran parkiran.Silakan!" balasnya dengan kesal. Sangking kesalnya, dia memukul udara begitu saja. Argh! Dia berpikir s
"Tolong bebaskan aku dari sini, Nesya!" rengek Lala ketika aku sedang membesuknya di kantor polisi. Aku merasa kasihan setelah melihat keadaannya. Padahal baru tiga hari dia dikurung penampilannya sudah tidak terurus laksana orang gila."Hukum tetap berlaku. Aku tidak akan mengeluarkanmu dari sini sebelum jatuh tempo." Aku harus berkata sejujurnya. Tidak ada manusia yang rela anaknya mati tanpa salah. Apalagi kepergian Dhea masih membekas di dalam ingatan. "Belum lagi bahtera rumah tangga yang selama ini aku idamkan hancur karena kedatanganku ke dalam istana surgaku," jelasku dengan nada datar. "Aku berkata jujur atas semua perbuatanku," serunya dengan mengeluarkan cairan bening dari sudut retinanya. "Aku tidak mau berakhir usiaku di sini, Nesya," imbuhnya menjelaskan dengan raut wajah menyesal. Suasana di ruang besuk hening. Hanya dentuman jarum jam dinding yang terdengar."Aku mohon, Nesya!" pintanya mengiba. Aku tidak merasa kasihan apa yang yang terjadi kepada dirinya. Selama in
Suasana mulai reda. Dia melihatku dengan sorot mata tajam. Namun, aku mencoba santai dan terus memperhatikan setiap gerak yang dia lakukan. Aku tidak boleh lengah apalagi jatuh ke dalam perangkapnya."Jangan kamu merasa menang dalam pergulatan ini!" ucapnya menyindir. Ekor retinanya terus memantau."Mau kalah, mau menang itu urusan Allah." Aku menjawab begitu saja. Kulirik ke arah sekitar tidak ada sama sekali yang mau melerai. Padahal sudah adu mulut dengan nada tinggi. Bahkan hampir saja jambak-jambakan. "Apa aku harus menguburmu hidup-hidup biar kamu tidak bisa lagi menggangguku?" imbuhku menyindirnya."Apa aku tidak salah dengar?!" jawabnya sinis. Dia merasa menang. Idenya kini muncul. "Buktinya saja, aku mampu mengirim Dhea ke alam kubur dalam durasi satu bulan."Deg!Hatiku merasa tersayat bahkan teriris."Apakah kamu tidak curiga atas kepergian buah hatimu dengan Rusly?"Aku berpikir sejenak. Dan ingin menjebaknya kembali."Aa-apa?" tanyaku terbata pura-pura. Aku merogoh ponsel
Hari terus berlalu. Aku merenungi nasib malang yang tidak pernah aku bayangkan. 'Apakah aku harus menerima Rusly kembali? Atau menjanda selamanya?'Tidak tahu harus berbuat apa. Aku semakin bingung dan frustasi. Aku memejamkan mata sejenak untuk sekedar menghilangkan rasa resah dan gelisah."Mau sampai kapan kamu menjanda, Nesya?" tanya Rusly setengah membentak. Pertanyaannya sangat tidak enak didengar telingaku. Aku hanya bisa diam dan membisu dikala pertanyaan saat itu terlontar dari tepi bibirnya.Sakit, perih dan bahkan ngilu begitu kentara ketika aku mengingat semua sifat buruk mantan suamiku.Daripada aku takut putus asa membuat otak tidak bisa mencerna mana yang baik dan mana yang buruk. Aku beranjak dari atas dipan lalu menaut wajah di depan cermin lemari hias."Aku butuh healing sepertinya," ucapku setelah melihat rias wajahku sudah pas dan netral. Aku mengambil nakas di atas nakas yang sedang di cas. Kucopot chatger-nya lalu memesan transportasi online dengan semangat. Ti
"Seharusnya kamu tidak berbuat seperti itu, Rusly!" sindirku dengan nada naik dua oktaf."Rasa empati dan simpatiku sudah hilang semenjak kamu bermesraan dengan pria lain dan disaksikan oleh kedua bola mataku!" kilahnya seolah mau menang sendiri. Aku saja muak mendengar ucapannya. Seolah-olah dirinya lah yang paling suci di atas muka bumi ini."Kalau kamu hilang rasa empati ataupun simpati. Kenapa masih berdiri di situ!" ejekku dengan melipat ke dua tangan lalu diletak sejajar dengan dada. "Bilang saja kamu masih kangen dan ingin berusaha agar kembali ke dalam pelukanmu," imbuhku menyindir.Kepalanya mulai nyut-nyutan dan tidak bisa diajak kompromi untuk mencari jawaban. 'Sial! Bisa saja dia mengetahui apa yang sedang aku alami,' ucapnya bermonolog."Kalau kamu memang tidak suka dan merasa jijik melihatku. Aku rasa kamu tidak akan kembali menemui ku laksana seperti sekarang ini," kilahku sembari mengejek dirinya.Aku memastikan kalau dirinya pasti sudah mati kutu. Buktinya saja, dia
Setelah Pak Bambang merogoh dompet guna untuk mencari tahu identitas korban, aku masih terus terisak dan tidak sabar menunggu hasil yang sesungguhnya. Tidak butuh waktu lama, Pak Bambang sudah mendapat dompet. Dia berdiri tegak lalu membuka dompet yang baru saja dia temukan di dalam kantong celana. "Apakah nama suami ibu bernama Anton?" tanyanya dengan sedikit menatap ke arahku.Aku tidak terlalu menyimak apa yang ditanyakan beliau. "Bo-boleh diulangi lagi?" tanyaku ragu dengan wajah mendongak. "Apakah nama suami ibu Anton?" tanyanya ke dua kalinya dengan nada sedikit kesal.Setelah kupertajam pedengaranku, aku sudah mendapat jawaban pasti. "Be-berarti ii-ini bukan suami saya," jawabku terbata. Aku baru sadar sudah menangisi jasad pria lain. Bisa saja itu suami wanita lain yang sedang menunggu kehadirannya di tengah istana syurga yang dibangun bersama wanita yang tidak lain ibu dari buah hatinya."Kalau nama suami ibu bukan Anton, berarti jasad yang sudah engkau tangis bukan suami at
Dua hari setelah kejadian itu, aku selalu teringat kepada Rusly. Resah dan gelisah kini menghantui diriku. Habis main sosial media sambil rebahan aku bangkit lalu melangkah ke arah dapur. Lapar, tetapi tidak selera makan. Kembali lagi aku ayunkan telapak kaki ke arah teras sampai aku merasa bosan dan jenuh.Ponselku yang berdering tidak aku hiraukan sangking tidak enaknya perasaan dan badanku. 'Apakah Rusly sudah memeletku?' batinku sembari menautkan wajah di cermin. Aku memperhatikan pelan-pelan mukaku di kaca. Padahal kaca itu bukan cermin melainkan kaca jendela. 'Semoga saja tidak ada sangkut pautnya dengan Rusly.' Aku mencoba mengambil handuk yang di jemur di halaman belakang. Resah dan gelisah semakin tidak karuan membuatku ingin segera mandi.Setelah kuraih handuk. Kuayunkan langkah kaki menuju kamar. Di atas dipan layar ponselku sudah kedap-kedip dan nada dering sudah terdengar jelas. Segera aku meraih kotak persegi itu lalu lamat-lamat kuamati. 'Nomor baru memanggil,' ucapku
"Maaf kalau aku sudah lancang menggendongmu dan membawa dirimu ke rumah kontrakanku," Aku terbangun dan ternyata aku hanya mimpi. Andai saja semua itu benar, aku sudah tidak tahu harus berbuat apa. Kusapu pandangan ke arah sekitar. Senyum simpul lahir di sudut bibirnya, Rusly."Apa yang terjadi kepadaku?! Kenapa aku ada di sini?!" amukku seolah tidak terima kalau pria yang tidak mahram itu menyentuhku."Tadi kamu pingsan di pusaranya, Dhea. Untung saja kunci mobilku ketinggalan di sana tepat di batu nisannya, Dhea." Rusly mencoba menjelaskan dengan berkata jujur. Walaupun sebenarnya dia ragu dengan kejujurannya tidak kuterima."Pasti itu semua akal busukmu 'kan?!" sergahku tidak terima."Aa-aku berkata jujur! Aku tidak ada maksud jahat walaupun terlintas di dalam otakku ide jahat untuk menjebakmu," selanya dengan spontan. Dia terkejut kenapa bisa berkata seperti itu."Maksud ide jahat itu apa?!" tanyaku mengintrogasi. Aku mulai duduk dan menyandrkan tubuh ke tepi ranjang.Rusly mulai