Kain Basahan Basah di Kamar MandiPart 31: Telepon dari Pak BambangAku menghela napas lalu membereskan alat makan yang sudah selesai."Biar aku saja, Nesya," ucap Bu Aisyah."Ibu istirahat saja."Bu Aisyah terus mengangkat piring kotor lalu meletakkannya ke atas westafel. Walau bagaimana pun, aku tidak tega Bu Aisyah yang membereskan piring kotor. Apalagi sampai mencucinya sebanyak ini.Tidak berapa lama, cucian piring kotor selesai kucuci. Kini saatnya istirahat.Baru saja selesai mencuci piring, ponselku berdering kembali.Kuambil ponsel lalu melihat layar yang sudah menyala. Kuperharikan dengan seksama nomor yang tertera di layar ponsel.'Nomor ini lagi, siapa sih dia sebenarnya?' tanyaku dalam hati."Lah, kenapa nggak dijawab, Nesy? Kali aja penting," ucap Bu Aisyah.Bu Aisyah melihat wajahku murung."Aa-anu, Bu."Aku menjawab asal saja."Sudah langsung jawab saja!"Aku berdiri lalu melangkah pelan berputar-putar sekitar dapur. "Halo," jawabku pelan setelah panggilan telepon t
'Ya Allah, kenapa cobaan datang bertubi-tubi? Belum kelar satu sudah datang yang lain.'Aku berpikir sejenak, dosa apa yang aku perbuat akhir-akhir ini? Aku mencoba pasrah walaupun itu tidak ikhlas hadir di dalam diriku."Nesya, kenapa kamu diam?" tanya Bu Aisyah mulai panik.Aku hanya menggeleng. Bibirku kelu seolah beku. Tidak tahu lagi harus berkata apa."Nggak usah kamu takut atau sungkan, Nesya!"Bu Aisyah terus memaksaku. Padahal, aku sudah mencoba untuk merahasiakan masalah ini dari Bu Aisyah.Tiba-tiba, sambungan telepon terputus.Aku mencari kontak sekretarisku. Aku mulai mencari tahu tentang kebenaran yang baru saja kudapat."Maaf nomor yang anda tuju tidak dapat dihubungi. Mohon periksa kembali nomor tujuan anda."Suara operator sangat jelas membuat tensiku naik. Aku ingin bercakap kotor semua isi kebun binatang. Namun, aku teringat kalau ibu mertuaku ada di sampingku.Perlahan, kutarik napas berat lalu membuangnya secara kasar. Kepalaku terasa pening membuatku tidak sanggu
"Terima kasih banyak, Bu."Aku tidak lupa mengucap terima kasih kepada Bu Aisyah. Hanya terima kasih dan terima kasih yang bisa aku katakan."Bu ... Aku permisi sebentar mau mengurus perusahaanku yang sudah diambang bangkrut.""Apa?!" tanya Bu Aisyah kaget.Bu Aisyah menghampiriku lalu memukul bahuku memberi empati."Perusahaan yang papa bangun dari nol sudah mau gulung tikar, Bu.""Kenapa bisa?!" tanya Bu Aisyah panik.Aku melangkah menuju kursi di ruang tamu. Perasaanku sudah tidak karuan. Pikirku sudah mau pecah memikirkan semua yang datang tiada henti.Bu Aisyah mengekoriku."Aku juga nggak tahu kenapa bisa begini, Bu.""Sudah kamu coba cek data uang masuk dan keluar? Mana tahu ada yang bermain di belakang kamu."Aku menatap ke arah Bu Aisyah. Benar juga apa katanya. Aku harus bangkit dan mencari tahu siapa dalang dari semua ini."Belum, Bu. Aku hanya percaya saja kepada Rusly dan asistenku. Selama ini tidak ada masalah.""Kamu itu terlalu percaya kepada orang, Nak! Ibu juga sudah
Kain Basahan Basah di Kamar MandiPart 32: Terkuak"Mana nomor yang baru saja menghubungi kamu?" tanya Bu Aisyah kepadaku."Buat apa, Bu?" tanyaku kembali.Aku heran kenapa ibu mertuaku malah meminta nomor itu. Perasaan cemas dan curiga kutepis dari pikiranku. Aku merogoh ponsel milikku di saku celana."Sebentar, Bu."Aku mengotak-atik layar ponselku. Tidak butuh waktu lama nomor baru yang menghubungiku telah kutemukan."Ini, Bu."Aku memberikan ponselku kepada Bu Aisyah.Tidak berapa lama, Bu Aisyah mengetik nomor itu ke layar ponselnya. Suara dering terdengar jelas dari gawai milik ibu mertuaku.[Halo ...,] ucap Bu Aisyah setelah sambungan telepon terhubung.[Halo. Maaf dengan siapa?] jawab pria itu di ujung sana.Bu Aisyah memberikan kode kepadaku agar tidak ribut atau ikut campur.[Aku Bu Saskia. Ingin menawarkan kerja sama dengan perusahaan bapak. Kalau boleh tahu bisa ketemu sekarang juga?]Aku tidak mengerti apa maksud dan tujuan ibu mertuaku menghubungi nomor itu. Aku hanya bi
"Nesya ...! Nesya ...! Kamu itu terlalu polos atau lugu? Ririn dan Lala itu seperti ulat bulu.""Maksudnya, Bu?" tanyaku spontan.Bu Aisyah menghela napas lalu membuangnya dengan kasar. Dia harus membasmi kejahatan yang dilakukan Ririn dan Lala."Aku belum mudeng, Bu. Tolong jelaskan dengan detail dan pelan!""Kita harus memberikan iming-iming kepada Bambang agar dia datang bersua dengan kita. Kita harus minta keterangan detail dari dia lalu jangan lupa untuk direkam sebagai bukti."Bu Aisyah sangat semangat bercerita sehingga tenggorokannya merasa kering."Aduh nggak ada minum ini?" celetuk Bu Aisyah."Oh sebentar, Bu."Aku berjalan menuju dapur. Kuambil gelas kaca lalu menuang air minum dari teko. Tidak berapa lama air itu penuh dan aku kembali melangkah ke ruang tamu dimana Bu Aisyah menungguku."Ini, Bu."Aku memberikan gelas berisi air putih kepada Bu Aisyah. Dia meneguk minum itu sekali teguk langsung habis. Aku terkejut melihat Bu Aisyah minum sekali teguk."Maafkan aku, soalny
"Sebelum kita mengundang Rusly, Lala dan Ririn ke sini. Kita ke kantor polisi terlebih dahulu.""Ibu kok menjelaskannya berbelit-belit sih kek uget-uget kalau jalan."Aku tidak tahu kenapa emosiku tidak bisa diredam. Apakah ini faktor lelah menghadapi masalah yang ada atau apa?"Kamu jangan emosian. Tenang saja, Nesya. Pokoknya aku tidak akan menjerumuskan kamu.""Terus rencana ibu apa?" desakku tidak sabar."Setelah kita lapor ke pihak berwajib. Kita setting polisi datang setelah mereka sudah datang. Jadi, mereka bakalan mendekam dibalik jeruji besi seumur hidup."Aku langsung semangat mendengar ide cemerlang ibu mertuaku. Ternyata, beliau sangat cerdas dan berbakat."Aku sudah tidak sabar melihat Ririn dan Lala mendekam di balik jejuji besi.""Pokoknya kita buat mereka itu menyesal dan menuai hasil dari yang mereka semai."Bu Aisyah meneguk air putih di gelas itu. Dia tidak ingat kalau air minumnya sudah ludes diteguk tadi.Aku tertawa geli melihat tingkah ibu mertuaku. Namun, seket
Kain Basahan Basah di Kamar MandiPart 33: Rencana Bu Aisyah'Kenapa Bu Aisyah berkata seperti itu?' tanyaku dalam hati.Aku tidak mengerti apa maksud dan tujuannya bisa berkata seperti itu. Pikiran negatif kubuang jauh-jauh. Tidak mungkin Bu Aisyah menjerumuskan aku ke dalam jurang lagi.[Ibu kok bisa berkata seperti itu?]Rusly masih saja heran dan tidak mengerti apa tujuan ibunya berkata seperti itu.[Sudahlah, ibu masih ada pekerjaan lain.]Bu Aisyah memutuskan sambungan telepon sepihak. Dia meletakkan ponsel miliknya di atas meja."Nesya, kamu kok bengong! Ayo kita siap-siap ke cafe buat bertemu dengan Bambang. Jangan sempat kita gagal lagi."'Gagal lagi?' tanyaku dalam hati.Aku masih saja bingung dan tidak mengindahkan apa yang dikatakan Bu Aisyah."Nesya! Kamu mau mengetahui siapa semua dalang dibalik skenario yang ada?!" celetuk Bu Aisyah sambil memasang wajah kesal.Padahal aku sudah semangat mau membongkar rahasia Bambang. Namun, tidak tahu kenapa aku tidak bergairah lagi.
Sudah setengah jam Bambang menunggu di cafe yang ditentukan Bu Aisyah. Sangking lamanya, dia mulai bosan dan jenuh. Dia merogoh ponsel miliknya."Ponselmu bunyi, Nes!" celetuk Bu Aisyah kepadaku.Padahal aku baru saja membuka pintu mobil. Aku berhenti sejenak lalu mengambil ponselku di atas dashboard. Untung saja berbunyi, kalau tidak bisa saja ketinggalan di dalam mobil"Nomor itu lagi," ucapku dalam hati.Bu Aisayah heran melihat raut wajahku yang masam."Siapa yang menelpon, Nesya?!" tanya Bu Aisyah. Dia tidak jadi keluar dari dalam mobil."Pak Bambang, Bu.""Ya sudah dijawab saja! Kali aja perlu," jawab Bu Asiyah.Aku mengusap tombol gagang telepon ke samping kanan.[Halo,] jawab Bambang setelah sambungan telepon terhubung.[Ya, Hallo.]Aku keluar perlahan dari dalam mobil. Kututup pintu mobil dengan pelan sambil menatap ke dalam cafe.Mataku membelalak melihat Rusly dan Ririn bergandengan tangan sangat mesra.[Kamu sudah di mana? Aku sudah lama menunggu kedatangan kalian! Awas ka
"Apa?!" tanya Rusly tidak sabaran. "Jangan sesekali memberikan harapan palsu kepadaku," imbuhnya dengan menahan emosi."Siapa juga yang memberikan harapan palsu?" ucapku dengan sedikit menaikkan nada. Aku pergi melangkah. Walaupun sebenarnya aku sok jual mahal. Itu semua aku lakukan agar dia merasa sadar dan terpukul."Kamu mau ke mana?!" tanyanya mendongak. Fokusnya gagal mengirim doa. Dia bangkit lalu berlari mengejarku."Itu bukan urusanmu!" jawabku membentak. "Lepaskan tanganku!" jelasku kembali.Aku pergi begitu saja. Cuaca hari ini sangat panas sehingga aku takut hitam terbakar oleh sinar sang mentari."Lebih baik aku mati bunuh diri daripada lama-lama mati tersiksa untuk mendapatkan cinta dan kasihmu yang ke dua kali.""Silakan kalau kamu tidak punya iman dan Tuhan!" jawabku datar. Walaupun aku sudah jauh dari tempat dia berpijak.Argh!Rusly mengacak-acak rambutnya kembali. Lelah?! jelas dirinya pasti lelah. Kecewa?! Jelas sekali. Sudah berulang kali dia menelan kekecewaan. Na
Wajahnya Rusly berubah masam mendengar perkataanku. Aku tersenyum bahagia setelah dia berubah pias."Sungguh terlalu kamu, Nesya!" rutuknya tidak terima. Aku ini mantan suamimu dan akan menjadi suamimu lagi sebentar lagi," imbuhnya menjelaskan. Dia mengepalkan tangan hendak menamparku. Namun, tangannya hanya mengambang di udara."Kenapa tidak jadi memukulku!" bentakku dengan menatapnya menyalang. "Ayo pukul sebelum Pencipta Alam Semesta mengutuk kamu benar-benar seonggok bangkai," imbuhku kembali."Kalau bukan kamu itu perempuan yang hendak akan kuperjuangkan, tangan ini pasti sudah landing di wajahmu itu," jawab Rusly dengan nada kesal. Dia berkacak pinggang lalu membuang napas kasar. "Aku tidak habis pikir kamu bisa berkata seperti itu," jelasnya dengan memijit kening yang tidak gatal."Maaf aku harus pergi dari sini." Aku melangkah meninggalkan dia sendiri di plataran parkiran.Silakan!" balasnya dengan kesal. Sangking kesalnya, dia memukul udara begitu saja. Argh! Dia berpikir s
"Tolong bebaskan aku dari sini, Nesya!" rengek Lala ketika aku sedang membesuknya di kantor polisi. Aku merasa kasihan setelah melihat keadaannya. Padahal baru tiga hari dia dikurung penampilannya sudah tidak terurus laksana orang gila."Hukum tetap berlaku. Aku tidak akan mengeluarkanmu dari sini sebelum jatuh tempo." Aku harus berkata sejujurnya. Tidak ada manusia yang rela anaknya mati tanpa salah. Apalagi kepergian Dhea masih membekas di dalam ingatan. "Belum lagi bahtera rumah tangga yang selama ini aku idamkan hancur karena kedatanganku ke dalam istana surgaku," jelasku dengan nada datar. "Aku berkata jujur atas semua perbuatanku," serunya dengan mengeluarkan cairan bening dari sudut retinanya. "Aku tidak mau berakhir usiaku di sini, Nesya," imbuhnya menjelaskan dengan raut wajah menyesal. Suasana di ruang besuk hening. Hanya dentuman jarum jam dinding yang terdengar."Aku mohon, Nesya!" pintanya mengiba. Aku tidak merasa kasihan apa yang yang terjadi kepada dirinya. Selama in
Suasana mulai reda. Dia melihatku dengan sorot mata tajam. Namun, aku mencoba santai dan terus memperhatikan setiap gerak yang dia lakukan. Aku tidak boleh lengah apalagi jatuh ke dalam perangkapnya."Jangan kamu merasa menang dalam pergulatan ini!" ucapnya menyindir. Ekor retinanya terus memantau."Mau kalah, mau menang itu urusan Allah." Aku menjawab begitu saja. Kulirik ke arah sekitar tidak ada sama sekali yang mau melerai. Padahal sudah adu mulut dengan nada tinggi. Bahkan hampir saja jambak-jambakan. "Apa aku harus menguburmu hidup-hidup biar kamu tidak bisa lagi menggangguku?" imbuhku menyindirnya."Apa aku tidak salah dengar?!" jawabnya sinis. Dia merasa menang. Idenya kini muncul. "Buktinya saja, aku mampu mengirim Dhea ke alam kubur dalam durasi satu bulan."Deg!Hatiku merasa tersayat bahkan teriris."Apakah kamu tidak curiga atas kepergian buah hatimu dengan Rusly?"Aku berpikir sejenak. Dan ingin menjebaknya kembali."Aa-apa?" tanyaku terbata pura-pura. Aku merogoh ponsel
Hari terus berlalu. Aku merenungi nasib malang yang tidak pernah aku bayangkan. 'Apakah aku harus menerima Rusly kembali? Atau menjanda selamanya?'Tidak tahu harus berbuat apa. Aku semakin bingung dan frustasi. Aku memejamkan mata sejenak untuk sekedar menghilangkan rasa resah dan gelisah."Mau sampai kapan kamu menjanda, Nesya?" tanya Rusly setengah membentak. Pertanyaannya sangat tidak enak didengar telingaku. Aku hanya bisa diam dan membisu dikala pertanyaan saat itu terlontar dari tepi bibirnya.Sakit, perih dan bahkan ngilu begitu kentara ketika aku mengingat semua sifat buruk mantan suamiku.Daripada aku takut putus asa membuat otak tidak bisa mencerna mana yang baik dan mana yang buruk. Aku beranjak dari atas dipan lalu menaut wajah di depan cermin lemari hias."Aku butuh healing sepertinya," ucapku setelah melihat rias wajahku sudah pas dan netral. Aku mengambil nakas di atas nakas yang sedang di cas. Kucopot chatger-nya lalu memesan transportasi online dengan semangat. Ti
"Seharusnya kamu tidak berbuat seperti itu, Rusly!" sindirku dengan nada naik dua oktaf."Rasa empati dan simpatiku sudah hilang semenjak kamu bermesraan dengan pria lain dan disaksikan oleh kedua bola mataku!" kilahnya seolah mau menang sendiri. Aku saja muak mendengar ucapannya. Seolah-olah dirinya lah yang paling suci di atas muka bumi ini."Kalau kamu hilang rasa empati ataupun simpati. Kenapa masih berdiri di situ!" ejekku dengan melipat ke dua tangan lalu diletak sejajar dengan dada. "Bilang saja kamu masih kangen dan ingin berusaha agar kembali ke dalam pelukanmu," imbuhku menyindir.Kepalanya mulai nyut-nyutan dan tidak bisa diajak kompromi untuk mencari jawaban. 'Sial! Bisa saja dia mengetahui apa yang sedang aku alami,' ucapnya bermonolog."Kalau kamu memang tidak suka dan merasa jijik melihatku. Aku rasa kamu tidak akan kembali menemui ku laksana seperti sekarang ini," kilahku sembari mengejek dirinya.Aku memastikan kalau dirinya pasti sudah mati kutu. Buktinya saja, dia
Setelah Pak Bambang merogoh dompet guna untuk mencari tahu identitas korban, aku masih terus terisak dan tidak sabar menunggu hasil yang sesungguhnya. Tidak butuh waktu lama, Pak Bambang sudah mendapat dompet. Dia berdiri tegak lalu membuka dompet yang baru saja dia temukan di dalam kantong celana. "Apakah nama suami ibu bernama Anton?" tanyanya dengan sedikit menatap ke arahku.Aku tidak terlalu menyimak apa yang ditanyakan beliau. "Bo-boleh diulangi lagi?" tanyaku ragu dengan wajah mendongak. "Apakah nama suami ibu Anton?" tanyanya ke dua kalinya dengan nada sedikit kesal.Setelah kupertajam pedengaranku, aku sudah mendapat jawaban pasti. "Be-berarti ii-ini bukan suami saya," jawabku terbata. Aku baru sadar sudah menangisi jasad pria lain. Bisa saja itu suami wanita lain yang sedang menunggu kehadirannya di tengah istana syurga yang dibangun bersama wanita yang tidak lain ibu dari buah hatinya."Kalau nama suami ibu bukan Anton, berarti jasad yang sudah engkau tangis bukan suami at
Dua hari setelah kejadian itu, aku selalu teringat kepada Rusly. Resah dan gelisah kini menghantui diriku. Habis main sosial media sambil rebahan aku bangkit lalu melangkah ke arah dapur. Lapar, tetapi tidak selera makan. Kembali lagi aku ayunkan telapak kaki ke arah teras sampai aku merasa bosan dan jenuh.Ponselku yang berdering tidak aku hiraukan sangking tidak enaknya perasaan dan badanku. 'Apakah Rusly sudah memeletku?' batinku sembari menautkan wajah di cermin. Aku memperhatikan pelan-pelan mukaku di kaca. Padahal kaca itu bukan cermin melainkan kaca jendela. 'Semoga saja tidak ada sangkut pautnya dengan Rusly.' Aku mencoba mengambil handuk yang di jemur di halaman belakang. Resah dan gelisah semakin tidak karuan membuatku ingin segera mandi.Setelah kuraih handuk. Kuayunkan langkah kaki menuju kamar. Di atas dipan layar ponselku sudah kedap-kedip dan nada dering sudah terdengar jelas. Segera aku meraih kotak persegi itu lalu lamat-lamat kuamati. 'Nomor baru memanggil,' ucapku
"Maaf kalau aku sudah lancang menggendongmu dan membawa dirimu ke rumah kontrakanku," Aku terbangun dan ternyata aku hanya mimpi. Andai saja semua itu benar, aku sudah tidak tahu harus berbuat apa. Kusapu pandangan ke arah sekitar. Senyum simpul lahir di sudut bibirnya, Rusly."Apa yang terjadi kepadaku?! Kenapa aku ada di sini?!" amukku seolah tidak terima kalau pria yang tidak mahram itu menyentuhku."Tadi kamu pingsan di pusaranya, Dhea. Untung saja kunci mobilku ketinggalan di sana tepat di batu nisannya, Dhea." Rusly mencoba menjelaskan dengan berkata jujur. Walaupun sebenarnya dia ragu dengan kejujurannya tidak kuterima."Pasti itu semua akal busukmu 'kan?!" sergahku tidak terima."Aa-aku berkata jujur! Aku tidak ada maksud jahat walaupun terlintas di dalam otakku ide jahat untuk menjebakmu," selanya dengan spontan. Dia terkejut kenapa bisa berkata seperti itu."Maksud ide jahat itu apa?!" tanyaku mengintrogasi. Aku mulai duduk dan menyandrkan tubuh ke tepi ranjang.Rusly mulai