Aku dan Bu Aisyah pergi melangkah ke pos satpam. Ide Bu Aisyah sangat cemerlang."Ada yang bisa saya bantu, Bu?" tanya Pak Rio. Namanya jelas tertera di atas saku bajunya sebelah kanan."Maaf, aku mau merepotkan bapak."Tiba-tiba, Pak Rio menggaruk kepalanya yang tidak gatal."Jangan khawatir, Pak! Aku bisa memberikan uang tip asalkan kemauanku bapak turuti."'Gila! Kalau sempat dia minta ditemani tidur malam ini, bisa berabe urusannya ini.'Pak Rio kelihatan bingung dan cemas. Aku hanya melihat wajahnya yang sangat lucu dan imut."Maaf, aku tidak bisa menemanimu tidur malam ini. Aku sudah punya istri. Aku tidak mau memakai selimut tetangga menghangati tubuhku."Aku dan Bu Aisyah tertawa lepas. Benar dugaanku, Pak Rio orangnya sangat lucu. Raut wajahnya saja sangat imut dan lucu. Tiba-tiba, aku gemes dan ingin mencubit pipinya."Apa kamu bilang?!" sela Pak Wawan.Pak Wawan teman satu sechedule dengan Pak Rio."Nggak usah berbohong, Rio! Ntar hidung mancungmu panjang kalau berbohong."
Kain Basahan Basah di Kamar MandiPart 34: DijebakDi sudut pojok cafe, Rusly dan Ririn sedang bermesraan. Ririn menyuap makanan ke mulut suaminya."Aku tidak mau kehilangan kamu, sayang.""Aku juga, sayang."Tiba-tiba, satpam menghampiri Rusly dan Ririn."Nggak usah kalian bermesraan di sini! Aku tahu kalian pasti ada niat jahat untuk menghancurkan cafe ini," ucap Pak Dodi.Ririn terkesima melihat wajah Pak Dodi yang ganteng. Terlintas dalam benaknya ingin merayu. Padahal, baru saja dia berkata sayang kepada suaminya."Maksudnya apa ini? Jangan menuduh yang tidak-tidak!" bela Rusly sambil mengunyah nasi goreng kampung di dalam mulutnya."Kalian pasti mau buat rusuh 'kan?!" tanya Pak Dodi.Rusly dan Ririn saling adu pandang. Matanya tidak melotot sama sekali."Cepat kalian pergi dari sini!"Di pos satpam, aku dan Bu Aisyah menyaksikan Pak Dodi, Ririn dan Rusly dari rekaman CCTV. 'Semoga rencanaku dan ibu mertuaku berhasil.'"Kenapa bapak mengusir aku dan istriku? Kami ini datang kema
"Nesya ...!""Ya."Aku datang menghampiri mantan suamiku dan gundiknya."Ka-kamu kenapa ada di sini?""Salah kalau aku di sini?" jawabku cuek.Aku melangkah menghampiri Rusly dengan gaya sombong dan angkuh. Kulipat kedua tanganku lalu kuletak sejajar dengan dada."Ng-nggak salah, sih. Cuma aneh dan heran saja.""Kenapa mesti heran?" celetuk Bu Aisyah.Rusly dan Ririn semakin pusing tujuh keliling alun-alun Utara, Yogyakarta.'Ada apa ini? Kenapa semuanya bisa terjadi?'Rusly heran dan tidak bisa menerka apa maksud dan tujuan yang telah terjadi."Bu Aisyah ...," sapa SoniaSonia maneger di cafe milik Bu Aisyah.Bu Aisyah mengedipkan matanya agar tidak membongkar siapa dirinya."Kamu kok bisa kenal sama ibuku? Coba jelaskan kenapa bisa?" seru Rusly kepada Sonia. Dia mendekatkan wajahnya ke muka Sonia. Jaraknya hanya sejengkal saja."Sayang, kamu kok tega mau mencium dia. Padahal aku masih ada di sini."Ririn terbakar api cemburu. Dia melerai perlakuan Rusly kepada Sonia."Pak Dodi! Cepa
"Sabar dulu! Nggak usah merah padam segala!"Bambang mengukir senyum smirk. Aku merasa jijik melihat raut wajahnya yang mengukir senyum meleceh."Cepat katakan!" paksaku kembali."Ok! Akan aku katakan. Namun, ada syarat yang harus kamu tepati sebelum aku membocorkan semua rahasia busuk Ririn dan Rusly."Bambang menarik kursi lalu dia duduk dengan gaya sombong. Kaki sebelah kanan dia angkat lalu diletak ke atas kaki kirinya."Kamu duduk dulu biar tenang sedikit!" perintahnya kepadaku.Aku hanya mengikuti perintahnya tanpa sepatah kata keluar dari bibirku.Suasana hening, tidak ada terdengar suara melainkan alunan musik menghibur ruangan. Sudah dua menit aku menunggu penjelasannya, tapi tidak ada sama sekali dia memulai percakapan."Namun, apa?! Kenapa kamu diam saja dan tidak mau melanjutkan pembicaraanmu?!""Nesya ... Nesya .... Aku rasa dengan sikapmu yang tidak sabaran itu, mungkin penyebab Rusly mencoba berpaling dari pelukanmu. So! Nggak usah terlalu memaksa kehendak apalagi kepad
Kain Basahan Basah di Kamar MandiPart 35: Rencana Licik Bambang[Ada apa?] jawab Bambang setelah sambungan telepon terhubung.Aku mencoba mendengarkan percakapan Bambang dengan kawan bicaranya.[Kamu lagi di mana? Jangan coba-coba membocorkan rahasiaku kepada Nesya. Kalau sempat dia mengetahui semuanya, berarti kamu biang keroknya.][Kamu tenang saja! Asal kamu mau mengabulkan semua permintaanku. Rahasiaku akan kukunci rapat dan tidak bakalan bocor kepada siapa pun itu.]Bambang melirik ke arahku, aku pura-pura main game di ponsel milikku. Aku tidak mau dituduh menguping.[Berapa pun kamu pinta, akan aku kabulkan. Kamu perlu sabar dan jangan ceroboh.][Mau berapa lama aku akan bersabar menunggu? Kamu kira aku main-main. Kalau rahasiamu terbongkar, kamu bisa mendekam di balik jeruji besi.]Aku mencoba melangkah pergi ke toilet. Sebelum pergi, aku sudah merekam semua oercakapannya di ponselku. Gawaiku sengaja kutinggal agar ada barang bukti.[Pokoknya kamu harus gerak cepat dan tidak ke
"Enak saja mendapat informasi gratis. Kamu harus bayar dulu sekarang!""Kenapa mesti bayar duluan?! Kamu tidak percaya kepadaku?!"Aku mengeluarkan uang selembar warna merah. Sengaja menarik uang warna merah agar Bambang tergiur."Ya ... Ya .... Aku bakalan percaya kepada kamu."Bambang meneguk jus terong Belanda dengan sekali teguk. Dia tidak sadar kalau jusnya sudah habis."Aku haus lagi! Pesan minum lagi boleh tidak?" tanya Bambang dengan sedikit merayuku.Aku merasa risih dan ingin muntah. Kalau bukan informasi penting yang didapatkan, aku tidak mau meladeni dia."Silahkan saja! Sing penting kamu mau berkata jujur."Aku memanggil pelayan dengan kode melambaikan tangan. Tidak perlu waktu lama, pelayan cafe datang dengan sigap."Ada yang bisa saya bantu, Bu?" ucapnya sambil mengukir senyum."Pesan jus jeruk dua lagi."Aku terkejut mendengar pesanannya yang tidak biasa. Masa pesan jus dua gelas sekaligus."Masih ada lagi tambahannya, Pak?" tanya pelayan cafe. Namanya Rita jelas tertu
Aku semakin emosi melihat ulahnya yang sudah diluar batas. Kesabaranku sudah tidak bisa diajak kompromi."Apalagi, Pak?" tanya Rita."Kurang sempurna kalau aku belum menikahi wanita yang ada di depanku ini."Sendi dalam tubuhku rasanya mau ambruk. Aku sudah menduga pasti ada udang di balik batu. Ternyata benar adanya. Aku mengumpat kesal."Kalau itu saya tidak bisa mengabulkannya. Mohon maaf itu sudah di luar tugas dan tanggungjawab saya."Irma mengukir senyum sambil menatap ke arahku."Kalau tidak ada lagi, saya permisi. Soalnya masih banyak kerjaan yang harus saya lakukan."Rita pergi begitu saja tanpa menunggu jawaban dariku dan Bambang.Andai saja aku punya sayap, mungkin aku sudah terbang saat itu juga. Itu hanya mimpi belaka yang tidak dapat terjadi.Sudah lima menit aku diam dan menunggu informasi yang ingin aku dapat. Namun, Bambang tidak ada tanda-tanda mau cerita."Alhamdulillah, akhirnya aku masih bisa menikmati makanan ini. Aku sangat senang bisa makan enak ....""Banyak d
Kain Basahan Basah di Kamar MandiPart 36: Mengenang Masa Lalu"Aku sudah terlanjur kecewa kepada Ririn."Netranya mulai mengukir mendung. Sementara aku tidak mengerti apa maksud dan tujuannya."Maksudnya?" tanyaku. Aku memperjelas ucapannya."Menang aku yang menyuruh dia menikah sirih dengan suamimu. Aku tidak tahan hidup miskin.""Masa? Kalau nggak tahan hidup miskin, kenapa nggak kerja keras?"Aku mulai menggali informasi tentang problematika yang dihadapi Bambang."Aku sudah kerja keras, cuma aku difitnah sehingga dipecat dari perusahaan tempat aku bekerja.""Kamu kerja di mana emangnya? Masa langsung main pecat saja."Bambang mulai terisak pilu dan tergugu. Aku tidak tahu apakah ini akting atau benar-benar terjadi."Aku kerja di tempat Rusly bekerja. Kamu masih ingat kejadian dua tahun yang lalu?" tanyanya. Dia mendongak lalu membuka rambut dan kumis palsunya.Aku terkejut melihat wajah aslinya. Sekarang sudah terjawab semua teka-teki yang ada."Ja-jadi ... Ka-kamu itu Rinto dan
"Apa?!" tanya Rusly tidak sabaran. "Jangan sesekali memberikan harapan palsu kepadaku," imbuhnya dengan menahan emosi."Siapa juga yang memberikan harapan palsu?" ucapku dengan sedikit menaikkan nada. Aku pergi melangkah. Walaupun sebenarnya aku sok jual mahal. Itu semua aku lakukan agar dia merasa sadar dan terpukul."Kamu mau ke mana?!" tanyanya mendongak. Fokusnya gagal mengirim doa. Dia bangkit lalu berlari mengejarku."Itu bukan urusanmu!" jawabku membentak. "Lepaskan tanganku!" jelasku kembali.Aku pergi begitu saja. Cuaca hari ini sangat panas sehingga aku takut hitam terbakar oleh sinar sang mentari."Lebih baik aku mati bunuh diri daripada lama-lama mati tersiksa untuk mendapatkan cinta dan kasihmu yang ke dua kali.""Silakan kalau kamu tidak punya iman dan Tuhan!" jawabku datar. Walaupun aku sudah jauh dari tempat dia berpijak.Argh!Rusly mengacak-acak rambutnya kembali. Lelah?! jelas dirinya pasti lelah. Kecewa?! Jelas sekali. Sudah berulang kali dia menelan kekecewaan. Na
Wajahnya Rusly berubah masam mendengar perkataanku. Aku tersenyum bahagia setelah dia berubah pias."Sungguh terlalu kamu, Nesya!" rutuknya tidak terima. Aku ini mantan suamimu dan akan menjadi suamimu lagi sebentar lagi," imbuhnya menjelaskan. Dia mengepalkan tangan hendak menamparku. Namun, tangannya hanya mengambang di udara."Kenapa tidak jadi memukulku!" bentakku dengan menatapnya menyalang. "Ayo pukul sebelum Pencipta Alam Semesta mengutuk kamu benar-benar seonggok bangkai," imbuhku kembali."Kalau bukan kamu itu perempuan yang hendak akan kuperjuangkan, tangan ini pasti sudah landing di wajahmu itu," jawab Rusly dengan nada kesal. Dia berkacak pinggang lalu membuang napas kasar. "Aku tidak habis pikir kamu bisa berkata seperti itu," jelasnya dengan memijit kening yang tidak gatal."Maaf aku harus pergi dari sini." Aku melangkah meninggalkan dia sendiri di plataran parkiran.Silakan!" balasnya dengan kesal. Sangking kesalnya, dia memukul udara begitu saja. Argh! Dia berpikir s
"Tolong bebaskan aku dari sini, Nesya!" rengek Lala ketika aku sedang membesuknya di kantor polisi. Aku merasa kasihan setelah melihat keadaannya. Padahal baru tiga hari dia dikurung penampilannya sudah tidak terurus laksana orang gila."Hukum tetap berlaku. Aku tidak akan mengeluarkanmu dari sini sebelum jatuh tempo." Aku harus berkata sejujurnya. Tidak ada manusia yang rela anaknya mati tanpa salah. Apalagi kepergian Dhea masih membekas di dalam ingatan. "Belum lagi bahtera rumah tangga yang selama ini aku idamkan hancur karena kedatanganku ke dalam istana surgaku," jelasku dengan nada datar. "Aku berkata jujur atas semua perbuatanku," serunya dengan mengeluarkan cairan bening dari sudut retinanya. "Aku tidak mau berakhir usiaku di sini, Nesya," imbuhnya menjelaskan dengan raut wajah menyesal. Suasana di ruang besuk hening. Hanya dentuman jarum jam dinding yang terdengar."Aku mohon, Nesya!" pintanya mengiba. Aku tidak merasa kasihan apa yang yang terjadi kepada dirinya. Selama in
Suasana mulai reda. Dia melihatku dengan sorot mata tajam. Namun, aku mencoba santai dan terus memperhatikan setiap gerak yang dia lakukan. Aku tidak boleh lengah apalagi jatuh ke dalam perangkapnya."Jangan kamu merasa menang dalam pergulatan ini!" ucapnya menyindir. Ekor retinanya terus memantau."Mau kalah, mau menang itu urusan Allah." Aku menjawab begitu saja. Kulirik ke arah sekitar tidak ada sama sekali yang mau melerai. Padahal sudah adu mulut dengan nada tinggi. Bahkan hampir saja jambak-jambakan. "Apa aku harus menguburmu hidup-hidup biar kamu tidak bisa lagi menggangguku?" imbuhku menyindirnya."Apa aku tidak salah dengar?!" jawabnya sinis. Dia merasa menang. Idenya kini muncul. "Buktinya saja, aku mampu mengirim Dhea ke alam kubur dalam durasi satu bulan."Deg!Hatiku merasa tersayat bahkan teriris."Apakah kamu tidak curiga atas kepergian buah hatimu dengan Rusly?"Aku berpikir sejenak. Dan ingin menjebaknya kembali."Aa-apa?" tanyaku terbata pura-pura. Aku merogoh ponsel
Hari terus berlalu. Aku merenungi nasib malang yang tidak pernah aku bayangkan. 'Apakah aku harus menerima Rusly kembali? Atau menjanda selamanya?'Tidak tahu harus berbuat apa. Aku semakin bingung dan frustasi. Aku memejamkan mata sejenak untuk sekedar menghilangkan rasa resah dan gelisah."Mau sampai kapan kamu menjanda, Nesya?" tanya Rusly setengah membentak. Pertanyaannya sangat tidak enak didengar telingaku. Aku hanya bisa diam dan membisu dikala pertanyaan saat itu terlontar dari tepi bibirnya.Sakit, perih dan bahkan ngilu begitu kentara ketika aku mengingat semua sifat buruk mantan suamiku.Daripada aku takut putus asa membuat otak tidak bisa mencerna mana yang baik dan mana yang buruk. Aku beranjak dari atas dipan lalu menaut wajah di depan cermin lemari hias."Aku butuh healing sepertinya," ucapku setelah melihat rias wajahku sudah pas dan netral. Aku mengambil nakas di atas nakas yang sedang di cas. Kucopot chatger-nya lalu memesan transportasi online dengan semangat. Ti
"Seharusnya kamu tidak berbuat seperti itu, Rusly!" sindirku dengan nada naik dua oktaf."Rasa empati dan simpatiku sudah hilang semenjak kamu bermesraan dengan pria lain dan disaksikan oleh kedua bola mataku!" kilahnya seolah mau menang sendiri. Aku saja muak mendengar ucapannya. Seolah-olah dirinya lah yang paling suci di atas muka bumi ini."Kalau kamu hilang rasa empati ataupun simpati. Kenapa masih berdiri di situ!" ejekku dengan melipat ke dua tangan lalu diletak sejajar dengan dada. "Bilang saja kamu masih kangen dan ingin berusaha agar kembali ke dalam pelukanmu," imbuhku menyindir.Kepalanya mulai nyut-nyutan dan tidak bisa diajak kompromi untuk mencari jawaban. 'Sial! Bisa saja dia mengetahui apa yang sedang aku alami,' ucapnya bermonolog."Kalau kamu memang tidak suka dan merasa jijik melihatku. Aku rasa kamu tidak akan kembali menemui ku laksana seperti sekarang ini," kilahku sembari mengejek dirinya.Aku memastikan kalau dirinya pasti sudah mati kutu. Buktinya saja, dia
Setelah Pak Bambang merogoh dompet guna untuk mencari tahu identitas korban, aku masih terus terisak dan tidak sabar menunggu hasil yang sesungguhnya. Tidak butuh waktu lama, Pak Bambang sudah mendapat dompet. Dia berdiri tegak lalu membuka dompet yang baru saja dia temukan di dalam kantong celana. "Apakah nama suami ibu bernama Anton?" tanyanya dengan sedikit menatap ke arahku.Aku tidak terlalu menyimak apa yang ditanyakan beliau. "Bo-boleh diulangi lagi?" tanyaku ragu dengan wajah mendongak. "Apakah nama suami ibu Anton?" tanyanya ke dua kalinya dengan nada sedikit kesal.Setelah kupertajam pedengaranku, aku sudah mendapat jawaban pasti. "Be-berarti ii-ini bukan suami saya," jawabku terbata. Aku baru sadar sudah menangisi jasad pria lain. Bisa saja itu suami wanita lain yang sedang menunggu kehadirannya di tengah istana syurga yang dibangun bersama wanita yang tidak lain ibu dari buah hatinya."Kalau nama suami ibu bukan Anton, berarti jasad yang sudah engkau tangis bukan suami at
Dua hari setelah kejadian itu, aku selalu teringat kepada Rusly. Resah dan gelisah kini menghantui diriku. Habis main sosial media sambil rebahan aku bangkit lalu melangkah ke arah dapur. Lapar, tetapi tidak selera makan. Kembali lagi aku ayunkan telapak kaki ke arah teras sampai aku merasa bosan dan jenuh.Ponselku yang berdering tidak aku hiraukan sangking tidak enaknya perasaan dan badanku. 'Apakah Rusly sudah memeletku?' batinku sembari menautkan wajah di cermin. Aku memperhatikan pelan-pelan mukaku di kaca. Padahal kaca itu bukan cermin melainkan kaca jendela. 'Semoga saja tidak ada sangkut pautnya dengan Rusly.' Aku mencoba mengambil handuk yang di jemur di halaman belakang. Resah dan gelisah semakin tidak karuan membuatku ingin segera mandi.Setelah kuraih handuk. Kuayunkan langkah kaki menuju kamar. Di atas dipan layar ponselku sudah kedap-kedip dan nada dering sudah terdengar jelas. Segera aku meraih kotak persegi itu lalu lamat-lamat kuamati. 'Nomor baru memanggil,' ucapku
"Maaf kalau aku sudah lancang menggendongmu dan membawa dirimu ke rumah kontrakanku," Aku terbangun dan ternyata aku hanya mimpi. Andai saja semua itu benar, aku sudah tidak tahu harus berbuat apa. Kusapu pandangan ke arah sekitar. Senyum simpul lahir di sudut bibirnya, Rusly."Apa yang terjadi kepadaku?! Kenapa aku ada di sini?!" amukku seolah tidak terima kalau pria yang tidak mahram itu menyentuhku."Tadi kamu pingsan di pusaranya, Dhea. Untung saja kunci mobilku ketinggalan di sana tepat di batu nisannya, Dhea." Rusly mencoba menjelaskan dengan berkata jujur. Walaupun sebenarnya dia ragu dengan kejujurannya tidak kuterima."Pasti itu semua akal busukmu 'kan?!" sergahku tidak terima."Aa-aku berkata jujur! Aku tidak ada maksud jahat walaupun terlintas di dalam otakku ide jahat untuk menjebakmu," selanya dengan spontan. Dia terkejut kenapa bisa berkata seperti itu."Maksud ide jahat itu apa?!" tanyaku mengintrogasi. Aku mulai duduk dan menyandrkan tubuh ke tepi ranjang.Rusly mulai