"Enak saja mendapat informasi gratis. Kamu harus bayar dulu sekarang!""Kenapa mesti bayar duluan?! Kamu tidak percaya kepadaku?!"Aku mengeluarkan uang selembar warna merah. Sengaja menarik uang warna merah agar Bambang tergiur."Ya ... Ya .... Aku bakalan percaya kepada kamu."Bambang meneguk jus terong Belanda dengan sekali teguk. Dia tidak sadar kalau jusnya sudah habis."Aku haus lagi! Pesan minum lagi boleh tidak?" tanya Bambang dengan sedikit merayuku.Aku merasa risih dan ingin muntah. Kalau bukan informasi penting yang didapatkan, aku tidak mau meladeni dia."Silahkan saja! Sing penting kamu mau berkata jujur."Aku memanggil pelayan dengan kode melambaikan tangan. Tidak perlu waktu lama, pelayan cafe datang dengan sigap."Ada yang bisa saya bantu, Bu?" ucapnya sambil mengukir senyum."Pesan jus jeruk dua lagi."Aku terkejut mendengar pesanannya yang tidak biasa. Masa pesan jus dua gelas sekaligus."Masih ada lagi tambahannya, Pak?" tanya pelayan cafe. Namanya Rita jelas tertu
Aku semakin emosi melihat ulahnya yang sudah diluar batas. Kesabaranku sudah tidak bisa diajak kompromi."Apalagi, Pak?" tanya Rita."Kurang sempurna kalau aku belum menikahi wanita yang ada di depanku ini."Sendi dalam tubuhku rasanya mau ambruk. Aku sudah menduga pasti ada udang di balik batu. Ternyata benar adanya. Aku mengumpat kesal."Kalau itu saya tidak bisa mengabulkannya. Mohon maaf itu sudah di luar tugas dan tanggungjawab saya."Irma mengukir senyum sambil menatap ke arahku."Kalau tidak ada lagi, saya permisi. Soalnya masih banyak kerjaan yang harus saya lakukan."Rita pergi begitu saja tanpa menunggu jawaban dariku dan Bambang.Andai saja aku punya sayap, mungkin aku sudah terbang saat itu juga. Itu hanya mimpi belaka yang tidak dapat terjadi.Sudah lima menit aku diam dan menunggu informasi yang ingin aku dapat. Namun, Bambang tidak ada tanda-tanda mau cerita."Alhamdulillah, akhirnya aku masih bisa menikmati makanan ini. Aku sangat senang bisa makan enak ....""Banyak d
Kain Basahan Basah di Kamar MandiPart 36: Mengenang Masa Lalu"Aku sudah terlanjur kecewa kepada Ririn."Netranya mulai mengukir mendung. Sementara aku tidak mengerti apa maksud dan tujuannya."Maksudnya?" tanyaku. Aku memperjelas ucapannya."Menang aku yang menyuruh dia menikah sirih dengan suamimu. Aku tidak tahan hidup miskin.""Masa? Kalau nggak tahan hidup miskin, kenapa nggak kerja keras?"Aku mulai menggali informasi tentang problematika yang dihadapi Bambang."Aku sudah kerja keras, cuma aku difitnah sehingga dipecat dari perusahaan tempat aku bekerja.""Kamu kerja di mana emangnya? Masa langsung main pecat saja."Bambang mulai terisak pilu dan tergugu. Aku tidak tahu apakah ini akting atau benar-benar terjadi."Aku kerja di tempat Rusly bekerja. Kamu masih ingat kejadian dua tahun yang lalu?" tanyanya. Dia mendongak lalu membuka rambut dan kumis palsunya.Aku terkejut melihat wajah aslinya. Sekarang sudah terjawab semua teka-teki yang ada."Ja-jadi ... Ka-kamu itu Rinto dan
Ririn tidak melanjutkan pembicaraannya. Rinto mencoba menerka perkataan istrinya."Sepertinya kamu mengandung anak Rusly bukan?" cecar Rinto."Bu-bukan seperti itu maksud aku, sayang.""Ala! Nggak usah lagi kamu mengelak! Kamu memang kusuruh untuk merusak rumah tangganya, Rusly dan Nesya. Cuma, aku tidak ridho kalau kamu sampai berhubungan suami istri dengan Rusly."Rinto kini menyesal telah menyuruh istrinya mendekati Rusly. Sesal tua tiada berguna. Salivanya terasa pahit mengalahkan pahitnya juada."Aa-aku juga tidak mau mengandung anak Rusly. Aku cuma mau hartanya saja," celetuk Ririn."Sudahlah! Kamu memang tidak bisa menjaga amanah. Kamu tega mengkhianati cintaku. Sekarang kamu pilih Rusly atau aku?!" bentak Rinto dengan sorot mata tajam.Pagi hari yang cerah tidak seperti harinya Ririn. Baru saja mentari menyapa bumi, dia sudah disuguhkan perdebatan alot antara dirinya dan suaminya."Aku tidak mau meninggalkan kamu. Aku Mash cinta dan sayang kepada kamu, Bang!""Ala ...! Kamu c
Ririn sudah pasrah apapun itu nanti hasilnya. Dia pergi melangkah menuju kamar. Sesampainya di kamar tidur, ia merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Dia menatap langit-langin kamar tidur dengan sorot mata sendu.'Apakah malam itu Rusly mereguk mahkotaku?' tanya Ririn dalam hati.Semenjak dia mendekati Rusly. Dia sering pulang malam. Bahkan menginap di hotel atau penginapan.Sesal kini mendera dirinya. Namun, dia harus bangkit dan tidak boleh lemah. Sekali basah, harus basah sekalian. Dia bangkit dari atas ranjang ingin mencari ponsel miliknya. Dia mencari gawainya di atas nakas, di atas ranjang, tetap saja tidak ketemua.'Di mana ponselku?' titiknya sambil mengacak-acak rambutnya.Ririn melempar semua benda yang ada di atas nakas. Dia kelihatan seperti orang stres.'Tidak ... Aku tidak boleh menanggung beban sendirian. Masa enak-enaknya berdua sama Rusly. Menanggungnya cuma aku sendiri.'Ririn terus mengumpat dan tidak terima apa yang terjadi. Padahal, dia belum ada sama sekali memeri
"Jangan paksa aku berbuat kasar kepadamu, paham!"Rinto memasang wajah sangat seperti seekor singa siap menerkam mangsanya."Ii-iya."Ririn terpaksa mengikuti perintah suaminya. Walaupun sebenarnya dia tidak ikhlas dan ridho.Tidak berapa lama, suasana hening di ruang tamu. Rinto tidak ada sama sekali bersuara, tapi dia sibuk membuka tas kresek yang dia bawa.'Jangan bilang kalau kamu mau ngasih test pack kepadaku?' ucap Ririn dalam hati."Besok jangan lupa pakai ini!"Rinto menyodorkan test pack kepada istrinya."Perlu kamu ingat! Satu hari ini kamu tidak boleh keluar rumah.""Ke-kenapa kamu berubah kasar seperti ini?" tanya Ririn terbata."Itu semua karena ulahmu!"Rinto semakin kesal melihat ulah istrinya. Sebenarnya dia dari tadi masih bisa menahan emosi. Kalau sekarang sudah tidak bisa. Batas kesabarannya sudah habis."Aku seperti ini karena suruhanmu 'kan? Kenapa sekarang aku yang disalahkan?!" gerutu Ririn. Dia tidak terima kalau dirinya sumber masalah dalam rumah tangganya."K
Kain Basahan Basah di Kamar MandiPart 37: Ternyata Kamu Biang Keroknya'Untung saja ada telepon rumah di dalam kamar. Kalau tidak, aku sudah tidak tahu lagi harus berbuat apa.'Ririn berjalan menuju nakas. Di sana ada telepon rumah. Di dalam pikirannya terbesit sebuah ide kotor untuk menggagalkan rencana suaminya. Dia tidak mau kalau Rinto menuduhnya yang tidak-tidak. Walaupun asal muasalnya suaminya yang menyuruh."Hallo ... Assalamualaikum,] ucap Ririn dengan mesranya setelah sambungan telepon terhubung.[Ya. Maaf dengan siapa?] jawab Rusly dengan sedikit sibuk. Kerjaan kantornya masih menumpuk untuk membuat laporan bahan meeting besok pagi ke luar kota.Meeting kali ini Rusly sempat lupa karena terlalu sibuk akhir-akhir ini dengan Ririn.[Masa kamu nggak bisa menebak siapa pemilik suara ini?]Ririn merasa kesal dan mengukir raut wajah cemberut. Dia menggigit ujung jari telunjuknya.[Maaf aku nggak bisa menebak. Pekerjaanku masih banyak.]Rusly sambil memeriksa lembar demi lembar p
"Ibu."Aku beranjak dari tempat duduk lalu menyalam punggung tangannya dengan takjim."Ibu kok lama sekali. Kalau boleh tahu, ada urusan apa?" tanyaku sambil menarik kursi lalu mempersilahkan ibu mertuaku duduk Rinto masih menunduk, dia tidak berani memandang wajah Bu Aisyah."Adalah ... Itu rahasia."Bu Aisyah menatap ke arah Rinto."Kamu Bambang 'kan?" tanya Bu Aisyah. Dia menyentuh bahunya.Rinto terkejut dan spontan mendongak."Sa-saya."Tidak tahu kenapa Rinto berkata seperti itu."Dia bukan Bambang, Bu. Namanya Rinto. Dia pernah bekerja di tempat Rusly bekerja.""Wait!"Bu Aisyah memotong perkataanku. Dia memenangkan duduk lalu menatap ke arah Rinto. Namun, Rinto tetap menunduk dan tidak berani menatap kedua bola mata Bu Aisyah."Kenapa, Bu?" tanyaku penasaran."Sepertinya aku pernah mendengar nama ini. Kalau nggak salah karyawan yang sempat dipecat dari perusahaan milik kamu 'kan, Nesya?!" tanya Bu Aisyah.Padahal, aku sudah menyembunyikan identitasku dari Rinto. Tidak tahu ke
"Apa?!" tanya Rusly tidak sabaran. "Jangan sesekali memberikan harapan palsu kepadaku," imbuhnya dengan menahan emosi."Siapa juga yang memberikan harapan palsu?" ucapku dengan sedikit menaikkan nada. Aku pergi melangkah. Walaupun sebenarnya aku sok jual mahal. Itu semua aku lakukan agar dia merasa sadar dan terpukul."Kamu mau ke mana?!" tanyanya mendongak. Fokusnya gagal mengirim doa. Dia bangkit lalu berlari mengejarku."Itu bukan urusanmu!" jawabku membentak. "Lepaskan tanganku!" jelasku kembali.Aku pergi begitu saja. Cuaca hari ini sangat panas sehingga aku takut hitam terbakar oleh sinar sang mentari."Lebih baik aku mati bunuh diri daripada lama-lama mati tersiksa untuk mendapatkan cinta dan kasihmu yang ke dua kali.""Silakan kalau kamu tidak punya iman dan Tuhan!" jawabku datar. Walaupun aku sudah jauh dari tempat dia berpijak.Argh!Rusly mengacak-acak rambutnya kembali. Lelah?! jelas dirinya pasti lelah. Kecewa?! Jelas sekali. Sudah berulang kali dia menelan kekecewaan. Na
Wajahnya Rusly berubah masam mendengar perkataanku. Aku tersenyum bahagia setelah dia berubah pias."Sungguh terlalu kamu, Nesya!" rutuknya tidak terima. Aku ini mantan suamimu dan akan menjadi suamimu lagi sebentar lagi," imbuhnya menjelaskan. Dia mengepalkan tangan hendak menamparku. Namun, tangannya hanya mengambang di udara."Kenapa tidak jadi memukulku!" bentakku dengan menatapnya menyalang. "Ayo pukul sebelum Pencipta Alam Semesta mengutuk kamu benar-benar seonggok bangkai," imbuhku kembali."Kalau bukan kamu itu perempuan yang hendak akan kuperjuangkan, tangan ini pasti sudah landing di wajahmu itu," jawab Rusly dengan nada kesal. Dia berkacak pinggang lalu membuang napas kasar. "Aku tidak habis pikir kamu bisa berkata seperti itu," jelasnya dengan memijit kening yang tidak gatal."Maaf aku harus pergi dari sini." Aku melangkah meninggalkan dia sendiri di plataran parkiran.Silakan!" balasnya dengan kesal. Sangking kesalnya, dia memukul udara begitu saja. Argh! Dia berpikir s
"Tolong bebaskan aku dari sini, Nesya!" rengek Lala ketika aku sedang membesuknya di kantor polisi. Aku merasa kasihan setelah melihat keadaannya. Padahal baru tiga hari dia dikurung penampilannya sudah tidak terurus laksana orang gila."Hukum tetap berlaku. Aku tidak akan mengeluarkanmu dari sini sebelum jatuh tempo." Aku harus berkata sejujurnya. Tidak ada manusia yang rela anaknya mati tanpa salah. Apalagi kepergian Dhea masih membekas di dalam ingatan. "Belum lagi bahtera rumah tangga yang selama ini aku idamkan hancur karena kedatanganku ke dalam istana surgaku," jelasku dengan nada datar. "Aku berkata jujur atas semua perbuatanku," serunya dengan mengeluarkan cairan bening dari sudut retinanya. "Aku tidak mau berakhir usiaku di sini, Nesya," imbuhnya menjelaskan dengan raut wajah menyesal. Suasana di ruang besuk hening. Hanya dentuman jarum jam dinding yang terdengar."Aku mohon, Nesya!" pintanya mengiba. Aku tidak merasa kasihan apa yang yang terjadi kepada dirinya. Selama in
Suasana mulai reda. Dia melihatku dengan sorot mata tajam. Namun, aku mencoba santai dan terus memperhatikan setiap gerak yang dia lakukan. Aku tidak boleh lengah apalagi jatuh ke dalam perangkapnya."Jangan kamu merasa menang dalam pergulatan ini!" ucapnya menyindir. Ekor retinanya terus memantau."Mau kalah, mau menang itu urusan Allah." Aku menjawab begitu saja. Kulirik ke arah sekitar tidak ada sama sekali yang mau melerai. Padahal sudah adu mulut dengan nada tinggi. Bahkan hampir saja jambak-jambakan. "Apa aku harus menguburmu hidup-hidup biar kamu tidak bisa lagi menggangguku?" imbuhku menyindirnya."Apa aku tidak salah dengar?!" jawabnya sinis. Dia merasa menang. Idenya kini muncul. "Buktinya saja, aku mampu mengirim Dhea ke alam kubur dalam durasi satu bulan."Deg!Hatiku merasa tersayat bahkan teriris."Apakah kamu tidak curiga atas kepergian buah hatimu dengan Rusly?"Aku berpikir sejenak. Dan ingin menjebaknya kembali."Aa-apa?" tanyaku terbata pura-pura. Aku merogoh ponsel
Hari terus berlalu. Aku merenungi nasib malang yang tidak pernah aku bayangkan. 'Apakah aku harus menerima Rusly kembali? Atau menjanda selamanya?'Tidak tahu harus berbuat apa. Aku semakin bingung dan frustasi. Aku memejamkan mata sejenak untuk sekedar menghilangkan rasa resah dan gelisah."Mau sampai kapan kamu menjanda, Nesya?" tanya Rusly setengah membentak. Pertanyaannya sangat tidak enak didengar telingaku. Aku hanya bisa diam dan membisu dikala pertanyaan saat itu terlontar dari tepi bibirnya.Sakit, perih dan bahkan ngilu begitu kentara ketika aku mengingat semua sifat buruk mantan suamiku.Daripada aku takut putus asa membuat otak tidak bisa mencerna mana yang baik dan mana yang buruk. Aku beranjak dari atas dipan lalu menaut wajah di depan cermin lemari hias."Aku butuh healing sepertinya," ucapku setelah melihat rias wajahku sudah pas dan netral. Aku mengambil nakas di atas nakas yang sedang di cas. Kucopot chatger-nya lalu memesan transportasi online dengan semangat. Ti
"Seharusnya kamu tidak berbuat seperti itu, Rusly!" sindirku dengan nada naik dua oktaf."Rasa empati dan simpatiku sudah hilang semenjak kamu bermesraan dengan pria lain dan disaksikan oleh kedua bola mataku!" kilahnya seolah mau menang sendiri. Aku saja muak mendengar ucapannya. Seolah-olah dirinya lah yang paling suci di atas muka bumi ini."Kalau kamu hilang rasa empati ataupun simpati. Kenapa masih berdiri di situ!" ejekku dengan melipat ke dua tangan lalu diletak sejajar dengan dada. "Bilang saja kamu masih kangen dan ingin berusaha agar kembali ke dalam pelukanmu," imbuhku menyindir.Kepalanya mulai nyut-nyutan dan tidak bisa diajak kompromi untuk mencari jawaban. 'Sial! Bisa saja dia mengetahui apa yang sedang aku alami,' ucapnya bermonolog."Kalau kamu memang tidak suka dan merasa jijik melihatku. Aku rasa kamu tidak akan kembali menemui ku laksana seperti sekarang ini," kilahku sembari mengejek dirinya.Aku memastikan kalau dirinya pasti sudah mati kutu. Buktinya saja, dia
Setelah Pak Bambang merogoh dompet guna untuk mencari tahu identitas korban, aku masih terus terisak dan tidak sabar menunggu hasil yang sesungguhnya. Tidak butuh waktu lama, Pak Bambang sudah mendapat dompet. Dia berdiri tegak lalu membuka dompet yang baru saja dia temukan di dalam kantong celana. "Apakah nama suami ibu bernama Anton?" tanyanya dengan sedikit menatap ke arahku.Aku tidak terlalu menyimak apa yang ditanyakan beliau. "Bo-boleh diulangi lagi?" tanyaku ragu dengan wajah mendongak. "Apakah nama suami ibu Anton?" tanyanya ke dua kalinya dengan nada sedikit kesal.Setelah kupertajam pedengaranku, aku sudah mendapat jawaban pasti. "Be-berarti ii-ini bukan suami saya," jawabku terbata. Aku baru sadar sudah menangisi jasad pria lain. Bisa saja itu suami wanita lain yang sedang menunggu kehadirannya di tengah istana syurga yang dibangun bersama wanita yang tidak lain ibu dari buah hatinya."Kalau nama suami ibu bukan Anton, berarti jasad yang sudah engkau tangis bukan suami at
Dua hari setelah kejadian itu, aku selalu teringat kepada Rusly. Resah dan gelisah kini menghantui diriku. Habis main sosial media sambil rebahan aku bangkit lalu melangkah ke arah dapur. Lapar, tetapi tidak selera makan. Kembali lagi aku ayunkan telapak kaki ke arah teras sampai aku merasa bosan dan jenuh.Ponselku yang berdering tidak aku hiraukan sangking tidak enaknya perasaan dan badanku. 'Apakah Rusly sudah memeletku?' batinku sembari menautkan wajah di cermin. Aku memperhatikan pelan-pelan mukaku di kaca. Padahal kaca itu bukan cermin melainkan kaca jendela. 'Semoga saja tidak ada sangkut pautnya dengan Rusly.' Aku mencoba mengambil handuk yang di jemur di halaman belakang. Resah dan gelisah semakin tidak karuan membuatku ingin segera mandi.Setelah kuraih handuk. Kuayunkan langkah kaki menuju kamar. Di atas dipan layar ponselku sudah kedap-kedip dan nada dering sudah terdengar jelas. Segera aku meraih kotak persegi itu lalu lamat-lamat kuamati. 'Nomor baru memanggil,' ucapku
"Maaf kalau aku sudah lancang menggendongmu dan membawa dirimu ke rumah kontrakanku," Aku terbangun dan ternyata aku hanya mimpi. Andai saja semua itu benar, aku sudah tidak tahu harus berbuat apa. Kusapu pandangan ke arah sekitar. Senyum simpul lahir di sudut bibirnya, Rusly."Apa yang terjadi kepadaku?! Kenapa aku ada di sini?!" amukku seolah tidak terima kalau pria yang tidak mahram itu menyentuhku."Tadi kamu pingsan di pusaranya, Dhea. Untung saja kunci mobilku ketinggalan di sana tepat di batu nisannya, Dhea." Rusly mencoba menjelaskan dengan berkata jujur. Walaupun sebenarnya dia ragu dengan kejujurannya tidak kuterima."Pasti itu semua akal busukmu 'kan?!" sergahku tidak terima."Aa-aku berkata jujur! Aku tidak ada maksud jahat walaupun terlintas di dalam otakku ide jahat untuk menjebakmu," selanya dengan spontan. Dia terkejut kenapa bisa berkata seperti itu."Maksud ide jahat itu apa?!" tanyaku mengintrogasi. Aku mulai duduk dan menyandrkan tubuh ke tepi ranjang.Rusly mulai