Kadrun terlalu bahagia. Budak melayu kampung itu menyapa siapapun sepanjang gang masuk kontrakan rumahnya. Dia tidak menurunkan satu inci pun senyum di bibir sejak dia menemukan rasa bahagia yang fantastis dahsyat itu. Dia mencium tangan setiap perempuan yang berpapasan dengannya. Tua, muda, remaja, ataupun anak-anak yang penting berjenis kelamin perempuan dia rampas tangannya dan didaratkan ke bibirnya dengan cepat.
“Kurang ajar!” sebuah tamparan dari seorang perempuan dua puluh tahunan yang merasa tidak terima dengan sikap Kadrun mendarat telak di pipi tirus Kadrun. Kadrun malah tertawa lebar meraba pipinya. Dia tidak marah. Dia tetap girang. Perempuan itu saja yang marah-marah. Kadrun mengucapkan terima kasih berkali-kali atas tamparan itu.
“Hebat sekali! Aku sadar! Aku tidak bermimpi!” Kadrun berteriak mendongak ke langit.
Perempuan itu menaruh telunjuknya di jidat dengan posisi miring.
“Sinting kau ya?” kemudian si perempuan melangkah meninggalkan Kadrun.
“Hei, siapa namamu?” Kadrun meneriaki perempuan yang menamparnya namun tidak digubris, si perempuan malah terus melenggang membelakangi Kadrun mengangkat tangan.
“Hei, namamu? Maya? Nia? Alya? Tuti? Joko? Rahmat?”
Si perempuan sudah semakin menjauh.
“Nanti aku kirim undangan ke rumahmu ya!”
Si perempuan tidak lagi terlihat di mulut gang. Kadrun melonjak kegirangan sendiri.
“Yuhuiii, aku kawin!”
Rambut keriting Kadrun bergoyang-goyang mengikuti irama gerak dan senandung si tuan. Kadrun melanjutkan langkahnya menyalami setiap orang yang ditemuinya. Kadrun juga merangkul lelaki yang dikenalnya yang kebetulan berpapasan di jalan gang.
“Kenapa kau, Drun?” tanya Mang Somad sesak napas dipeluk begitu erat oleh Kadrun.
“Aku nak kawin, Bang!” Kadrun menjawab dengan nada riang serta menaikturunkan alisnya sambil tersenyum lebar.
“Bah, dengan siapa, Drun? Perempuan?” Mang Somad si pemilik bengkel di mulut gang itu kembali mengajukan pertanyaan karena penasaran.
“Iya lah, Bang. Perempuan! Masih doyan aku dengan serabi!” Kadrun menimpali dengan tertawa lebar.
“Hei, Bujang Lapuk!” seru Mak Tijah tiba-tiba datang dari arah belakang menepuk bahu Kadrun dengan keras.
“Waduh, sakit betul pukulan Mak tuh!” Kadrun refleks memegang bahunya menoleh ke belakang, ke arah Mak Tijah.
Mak Tijah tertawa lebar memamerkan giginya yang kecoklatan, “Kau nak kawin dengan siapa? Perempuan?”
Kadrun mencibir, “Iya. Perempuan! Sekarang jangan lagi Mak berani panggil aku Bujang Lapuk sebab aku sudah laku.” Kadrun menyengir bangga.
“Aku tidak percaya!” Mak Tijah memicingkan matanya, “Siapa perempuan yang mau dengan kaleng rombeng macammu. Umurmu pasti sudah lima puluh?”
“Sembarang. Baru empat puluh aku nih, Mak!” protes Kadrun.
“Hah, tua lah kau nih. Pasti luar dalam sudah ada yang soak!”
“Terserah cakap Mak lah, yang pasti masih ada perempuan cantik yang mau denganku.”
Mak Tijah balik mencibir, “pasti bentuknya tak kalah aneh denganmu!”
“Buktikan omongan awak nanti setelah kawin, isteriku cantik dan montok macam artis! Lagi pula mana pernah aku membohongi Mak Tijah.”
Mak Tijah meludah, “Sekarang saja kau sudah berbohong denganku.”
Kadrun tertawa lebar. Dia meninggalkan kedua tetangganya itu setelah meminta izin. Kadrun berdendang hingga sampai ke kontrakan.
Kadrun akan kawin dengan Siti. Namanya lengkapnya Siti Majenun. seorang perempuan yang bekerja sebagai pemandu lagu di sebuah tempat karaoke. Pertemuan mereka tidak pernah diduga Kadrun. Berawal dari memenuhi ajakan kawan kantor yang hendak merayakan ulang tahun sekaligus semacam pesta bujang melepas masa lajang sebelum menikah.
“Payo lah, Drun. Di sana pemandu lagunya macam Angelina Jolie. Service-nya recommended. Tiada duanya!” Brewok, pemilik hajat memdekatkan bibirnya ke telinga Kadrun berbisik, “Ada ruangan khusus buat pesta bujang. Habis-habisan lah kita di sana.” Brewok berkedip dengan senyum nakal meyakinkan Kadrun.
“Alamak! Macam Angelina Jolie? Salah pasti matamu, Wok. Aku kira yang kau lihat itu macam Lucinta Luna!” celetuk Agam tertawa.
“Selera orang itu memang tergantung pandangan mata, Gam.” balas Brewok datar disambut tawa yang lain.
“Pantat lah kau, Wok!” sahut Agam kesal.
Tawa mereka pun melebur dan berlanjut ke ruang karaoke.
Di tempat karaoke itulah Kadrun melihat sosok Siti Majenun. Pada pandangan pertama Kadrun sudah langsung jatuh cinta pada Siti. Perempuan itu memenuhi nyaris seluruh kriteria Kadrun: cantik, manis, kuning langsat, montok dan ramah. Ditambah lagi, Siti memiliki pesona yang hanya bisa dibaca Kadrun.
“Oh, jadi Abang Kadrun desainer batik Jambi?” percakapan mereka dimulai dengan hangat dan penuh daya tarik. Suara Siti luar biasa menggoda menurut Kadrun. Mendesah-desah.
Kadrun mengangguk sambil menyengir, “Ya, bisa dibilang begitu.”
“Ih, bangga rasanya bisa ketemu Abang.” Siti dengan genit mencuil paha Kadrun, membuat darah Kadrun berdesir-desir tidak karuan.
“Pasti banyak batik yang sudah dibuat Abang. Jangan-jangan ada batik buatan Abang yang sudah pernah kupakai,” Siti menutup wajahnya malu-malu, “Iiih, serasa dipeluk Abang Kadrun jadinya kalau pakai batik buatan tangan Abang.” Siti membuat Kadrun tambah kacau pikiran. Tangan kurusnya pun jadi penuh keringat dingin.
“Aku ini pencinta batik loh, Bang.” terang Siti lagi manja dan mendesah.
“Oh, ya?”
“Iya. Aku paling suka motif batik Sungai Batanghari. Selain desainnya yang indah, filosofinya juga kuat.”
“Oh ya?” Kadrun jadi penasaran dengan pendapat Siti.
“Iya, Bang. Manusia yang tidak mudah menyerah akan menemukan jalan keluar untuk menyelesaikan masalah sampai ke hilir. Bukankah jalan keluar itu memang selalu disediakan Tuhan, selama kita tidak menyerah?” jelas Siti. Tetap mendesah.
Kadrun takjub. Ternyata di tengah desahan Siti tetap ada sesuatu yang dapat lebih merasuk ke relung hati Kadrun.
Semenjak pertemuan pertama itu Kadrun jadi tidak bisa tidur. Apalagi Siti yang awalnya hanya membahas batik, setelah semakin bertambah jam pertemuan, semakin kenal satu sama lain semakin Siti berani membahas hal lain. Siti memang agresif. Kadrun jadi semakin blingsatan.
Selama tiga bulan rajin mengunjungi tempat karaoke dan membanjiri Siti dengan hadiah-hadiah yang tidak begitu penting, akhirnya Kadrun memberanikan diri melamar Siti. Dan di luar perkiraan, tidak ada penolakan apapun dari Siti. Gadis itu langsung mengangguk terharu. Kadrun refleks memeluk pujaan hatinya itu dengan erat dan mereka berputar-putar di ruangan karaoke seperti di film-film asmara romantis yang sering Kadrun tonton di televisi.
Sesampainya di kamar kontrakan, Kadrun langsung menelpon Mak dan Bapak di kampung untuk menyampaikan kabar gembira itu.
“Apalagi alasanmu kali ini, Drun? Sekarang umurmu sudah empat puluh tahun. Kapan lagi kau mau kawin? Kapan lagi kau mau punya anak?” Mak langsung menyemprot menyambut telpon Kadrun.
“Iya, Mak. Awak mau memberikan kabar baik ke Mak,…”
“Jangan buat alasan lagi, Drun. Bapak dan Mak sudah sering kau buat sakit hati. Berapa kali kau janji, tiap tahun kau selalu buat janji akan membawakan aku menantu. Kali ini apalagi alasanmu untuk mengelabui Mak?” Mak memotong Kadrun dengan emosi berapi-api.
“Iya, Mak,..” Kadrun jadi melemah, dalam kondisi begitu Kadrun memilih diam.
“Kau ingat si Bujang? Kawan mainmu waktu kecil yang cengeng itu, yang selalu ingusan dan badannya kecil? Dia itu namanya saja Bujang, tapi dia sudah kawin tiga kali. Sedangkan namamu Kadrun, sekalipun kau belum kawin.”
“Mak nih, apa lah hubungannya itu?”
“Tentu ada. Maksud Mak, biar kau sekolah tinggi-tinggi. Biar kau punya prinsip yang mungkin beda dengan orang kebanyakan. Biar kau punya mimpi yang besar. Kau tetap harus kawin.”
“Iya, Mak. Bisa awak bicara?”
“Sedih emak dengarnya. Setiap orang kampung yang baru pulang dari Jambi, ada saja cerita mereka tentangmu. Katanya kalau mereka kebetulan melihatmu. Mereka selalu melihatmu berkumpul dengan laki-laki, nyaris tidak pernah melihatmu dengan perempuan. Apa seleramu sudah berubah, Drun?” suara Mak terdengar cemas.
“Ah, Mak nih. Aku ini bukan orang yang terlalu modern, Mak. Masih konvensional anak Mak ini. Masih kuno awak nih. Tentulah awak masih doyan perempuan. Hanya kebetulan saja belum ketemu yang pas di mata dan di hati waktu itu.”
“Jangan mencari yang pas betul. Kaki saja tidak sepenuhnya pas dipakaikan di sepatu. Bisa jadi kaki kirimu lebih kecil dari kananmu. Sementara sepatumu ukurannya sama.” Mak kembali memotong Kadrun.
“Ah, iya, Mak. Paham awak nih.” Kadrun menjawab berusaha menenangkan Mak.
“Jangan paham-paham saja cakapmu, Drun.”
“Iya, Mak. Sangat paham awak ini harapan dan keinginan Mak pada awak.”
“Jangan lama-lama kalau penjajakan dengan perempuan. Kalau rasanya pas, langsung saja dipestakan.”
“Iya, Mak. Makanya awak mau mengabari,…”
“Ingat, Drun. Kalo 5-6 tahun lagi baru kau mau nikah, umur berapa lagi kau punya anak?”
“Iya, Mak. Aku ini kan laki-laki, tidak ada pengaruhnya dengan umur.”
“Ah, kau nih Drun. Menjawab saja bisanya.”
“Iyalah, Mak. Aku akan cari perempuan yang muda biar Mamak senang.”
“Iya pula kalau masih ada yang mau. Dak usah terlalu banyak syaratmu, yang penting perempuan saja dia.”
“Ada, Mak.”
Mak Kadrun diam di ujung telepon.
“Mak?”
“Ada? Apa maksudmu?” terdengar jelas rasa penasaran dari nada suara Mak.
“Kadrun sudah punya calon, Mak. Kami mau minta restu Mamak untuk menikah dalam waktu dekat ini. Tahun ini.”
Dari ujung terdengar sesuatu terjatuh, dan samar-samar suara Bapak berteriak, “Mak! Mak! Mak kenapa?”
“Mak? Mak?” Kadrun ikut memanggil.
Telepon di seberang disambut, suara Bapak yang berat terdengar. “Kau bicara apa barusan sama emakmu?” tanya Bapak dengan nada tinggi.
“Kenapa Mak, Pak?” tanya Kadrun cemas.
“Dia pingsan!”
Kadrun terdiam.
“Drun, apa yang kalian cakapkan?”
“Aku bilang mau nikah dalam waktu dekat ini, Pak.”
Bapak diam sebentar. “Ya, syukurlah. Bapak tutup dulu telepon ini. Bapak mau mengurus emakmu dulu.”
“Iya, Pak.”
“Nanti Bapak telepon lagi untuk persiapan acaramu.”
“Iya, pak.”
Telepon pun ditutup. Kadrun menghela napas. Tetapi sesaat kemudian, senyum lebar Kadrun kembali mengembang. Dia berjoget-joget sendiri di kamar kontrakannya.
Perasaan Kadrun dipenuhi euforia melepas masa lajang yang telah 40 tahun dijalani. Kadrun sangat yakin, bahwa kini gilirannya merasakan dongeng yang pada bab terakhir selalu ditulis sang pengarang dengan kalimat live happily ever after.
Pesta pernikahan Kadrun dan Siti Majenun pun digelar di kampung. Alasannya karena Siti tidak lagi punya keluarga dan atas permintaan Mak Kadrun. Meriah sekali pesta kondangan yang digelar keluarga Kadrun. Sebagai petani yang punya banyak kebun sawit dan anak buah, tentu pesta yang digelar toke tidak biasa-biasa saja. Apalagi sang toke hanya punya satu-satunya anak, maka orang tua Kadrun tidak mau tanggung-tanggung.Bagi Mak Kadrun, semenjak Kadrun menyelesaikan kuliah di Pulau Jawa dan berhasil menyandang gelar Sarjana Batik dan Fashion lalu menjadi seniman batik Jambi yang namanya cukup harum di tingkatan lokal serta didampuk menjadi abdi negara di Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Jambi, hal itu menjadi sebuah garis nasib yang sangat disyukuri Mak Kadrun. Betapa bangga Mak dan Bapak Kadrun atas diri anaknya. Walaupun mereka pada awalnya cemas dan sering menyalahkan diri sendiri karena terlalu memanjakan Kadrun dan merasa merusak hidup Kadrun. Bagaim
Perempuan seperti Cinderella memang tidak pernah ada di dunia nyata, begitu pun Snow White, Rapunzel, Aurora Sleeping Beauty, dan Mulan. Perempuan yang ada di muka bumi ini kebanyakan adalah semacam Siti Majenun. Setelah pesta kondangan usai digelar, acara adat selesai dilaksanakan, tenda-tenda dan panggung dibongkar serta kado-kado dibuka satu per satu. Maka, sifat-sifat asli Siti yang belum tampak selama status mereka berpacaran mulai bermunculan satu per satu di dalam mahligai pernikahan.“Aku memang tidak bisa memasak, mencuci, dan beres-beres rumah. Apalagi ini cuma rumah kontrakan, jadi jangan paksa aku buat melakukan semua pekerjaan itu. Aku tidak suka! Berkali-kali kan sudah aku ingatkan, bahwa aku butuh asisten rumah tangga. Aku butuh pembantu! Kenapa kau tidak bisa mendengarku?” seru Siti entah untuk pertengkaran yang kesekian setelah umur pernikahan mereka mencapai usia enam bulan.“Maaf, kalau aku belum bisa menepati janj
Iya Sayang, harus sabar. Aku kan juga sedang berusaha menjual batik seperti arahanmu. Aku tidak lagi menyumbang untuk para pengrajin. Semua penghasilan batikku akan kuberikan padamu. Cuma sekarang, pembeli batik sedang sepi. Jadi, jangan lagi berpikiran aku akan menelantarkanmu.” Kadrun meyakinkan Siti ketika suatu kali kembali didesak dengan segala tuntutan.“Katanya kau seniman batik Jambi yang paling dicari karya-karyanya, yang paling digandrungi. Aku tidak percaya kalau dagangan batikmu jadi sepi sekarang. Uang bulanan yang aku minta cuma 5 juta, paling hanya butuh 10 sampai 15 potong kain batik buatamu yang terjual setiap bulan. Apa susahnya menjual 10-15 potong batik dalam sebulan?” Siti kembali mengajukan komplain pada Kadrun.“Maaf, Sayang.”“Maaf, maaf, itu saja yang keluar dari mulutmu.”“Sungguh, sekarang aku sedang berusaha. Studio batikku sekarang lebih produktif. Kami banyak membuat desain-desa
Kadrun termenung di depan komputer di kantornya. Dia hanya bisa berdoa agar istrinya tidak terlalu cepat punya anak. Walaupun dia sebenarnya sangat ingin segera punya anak. Akan tetapi Kadrun tidak ingin buru-buru kehilangan sang istri. Dia mencintai perempuan itu, dan dia masih berharap tidak hanya satu atau dua tahun bersama. Kadrun ingin hidup bersama selamanya dengan Siti Majenun, walaupun Kadrun sendiri tidak cukup yakin perasaan yang sama dimiliki sang istri. Kadrun berharap dengan waktu yang diulur-ulurnya, maka dia akan mempunyai cukup waktu untuk membuat pikiran Siti berubah. Kadrun ingin Siti benar-benar mencintainya seperti dirinya yang tulus mencintai Siti. Kadrun tidak pernah merasa keberatan dengan sifat-sifat asli Siti, bagi Kadrun semua perempuan memang ditakdirkan menjadi cerewet dan menjengkelkan. Apalagi setelah berumah tangga. Kadrun melihat kenyataan itu pada Nenek, Mak, dan kakak-kakak perempuan sepupu yang dekat dengannya. Kadrun jadi memaklumi keadaan Siti.
Kadrun terbelalak menatap punggung mulus Siti yang memakai dress hitam terbuka baik di sebelah belakang maupun depan. Beberapa bagian tubuh montoknya tampak meronta-ronta hendak dibebaskan. Sepatu high heel setinggi 7 inci yang tipis dan tajam berwarna senada dengan dress yang ia kenakan membalut kaki jenjangnya yang mulus. Siti mengambil lipstik di atas meja rias dan memulas lipstik merah menyala itu di atas bibirnya yang selalu terlihat penuh. Riasan lain sudah lengkap pula di wajahnya.“Mau kemana?” Kadrun menunjukkan rasa penasarannya. Dia sedang menyetrika baju yang sudah kering dijemurnya pagi tadi.“Mau ketemuan sama kawan.”“Kawan? Siapa?”“Dikasih tahu juga kau dak tahu.”“Aku mau tahu. Lagi pula aku harus tahu. Aku ini suamimu.”Siti mengambil botol parfum dan menyemprotkan ke leher dan pergelangan tangannya.“Janjian dengan siapa?” Kadrun
Kadrun terbangun dari tidurnya mendengar suara lemari pakaian dibuka pelan-pelan. Dia mengintip dari balik kelopak mata yang tidak dibukanya penuh. Kadrun mendapati sosok Siti mengendap-endap menaruh tas dan sepatu kembali di lemari. Dia juga melepaskan satu persatu perhiasan dan gaun yang dikenakan. Kadrun mengintip jam weker yang ada di atas nakas.Jam 4 subuh!Istrinya baru pulang sepagi ini setelah sepanjang malam di luar bersama laki-laki yang sama sekali tidak dikenalnya. Kadrun langsung merubah posisinya dengan duduk di pinggir dipan.“Sepagi ini kau baru pulang, Siti?”Suara Kadrun mengagetkan Siti yang hanya memakai celana dalam dan bra. Dia membalik badan menghadap Kadrun. Kedua gunung kembar Siti tampak menantang di balik bra yang tampak tidak sanggup menampungnya. Warna bibir merah Siti yang kontras dengan kulit kuning langsatnya benar-benar memancarkan kecantikan alami Siti. Kadrun menelan ludah.“Maaf ya pulang terla
Siti kembali ke rumah subuh hari seperti waktu sebelumnya. Dia berjinjit memasuki kamar tidur untuk mencegah Kadrun terbangun dari tidurnya. Siti sangat hati-hati membuka pintu lemari pakaian, berharap deritnya tidak akan terdengar. Namun, lemari itu sudah terlalu tua. Sehingga sepelan apapun Siti berusaha membukanya, deritnya tetap akan terdengar jelas. Kadrun terbangun. Siti segera meletakkan tas dan sepatunya ke dalam lemari lalu menutupnya kembali. Melihat Kadrun bangkit dari tidurnya dan duduk di tepi dipan, Siti langsung membuka semua pakaian yang melekat di tubuhnya. Dengan tanpa sehelai benang pun, Siti langsung menghampiri Kadrun dan memangut Kadrun dengan liar. Kadrun tidak diberikan sedikit pun kesempatan untuk mengajukan pertanyaan. Kadrun pun tidak bisa berpikir apa-apa lagi, dia refleks membalas pangutan Siti dengan tak kalah liar, dia meremas buah dada Siti yang kenyal dan padat. Siti membiarkan tangan Kadrun yang lain meremas lembut selangkangannya dan menikmati perm
Kadrun termangu sejenak di depan Brewok yang duduk di kursi kerjanya sore itu. Kabar yang barusan disampaikan sahabatnya itu tidak pernah terpikirkan olehnya. Sebab, Siti juga pernah berjanji padanya bahwa tidak akan kembali bekerja, karena itu dia memberikan Siti uang muka perjanjian mereka sebesar seratus juta rupiah sesuai permintaan Siti. Setahu Kadrun, Siti hanya akan melakukan bisnis dengan seorang kawan. Sudah hampir sebulan hubungannya dengan Siti membaik. Mereka selalu mesra, saling menyayangi, saling memperhatikan. Siti benar-benar menjadi istri idaman Kadrun.“Aku rasa tidak salah lihat, Drun. Sorry lah kawan, kalo aku cakap terang-terangan. Aku ini kawanmu. Lama lah kita berkawan dibandingkan kau nikah dengan istrimu. Makanya aku dak rela kalau Siti macam-macam denganmu. Aku tanya padamu, apa Siti balik lagi bekerja jadi pemandu lagu?”Kadrun terdiam. Dia mengingat kembali percakapannya dengan Siti malam itu lewat telpon genggam.