Siti kembali ke rumah subuh hari seperti waktu sebelumnya. Dia berjinjit memasuki kamar tidur untuk mencegah Kadrun terbangun dari tidurnya. Siti sangat hati-hati membuka pintu lemari pakaian, berharap deritnya tidak akan terdengar. Namun, lemari itu sudah terlalu tua. Sehingga sepelan apapun Siti berusaha membukanya, deritnya tetap akan terdengar jelas. Kadrun terbangun. Siti segera meletakkan tas dan sepatunya ke dalam lemari lalu menutupnya kembali. Melihat Kadrun bangkit dari tidurnya dan duduk di tepi dipan, Siti langsung membuka semua pakaian yang melekat di tubuhnya. Dengan tanpa sehelai benang pun, Siti langsung menghampiri Kadrun dan memangut Kadrun dengan liar. Kadrun tidak diberikan sedikit pun kesempatan untuk mengajukan pertanyaan. Kadrun pun tidak bisa berpikir apa-apa lagi, dia refleks membalas pangutan Siti dengan tak kalah liar, dia meremas buah dada Siti yang kenyal dan padat. Siti membiarkan tangan Kadrun yang lain meremas lembut selangkangannya dan menikmati permainan tangan Kadrun di selangkangannya.
Siti membalas remasan Kadrun dengan memangut selangkangan Kadrun. Merasakan kenikmatan maha dahsyat itu, Kadrun tidak mampu melakukan apa-apa lagi. Dia melenguh seperti sapi di puncak kenikmatan. Dia pasrah membiarkan selangkangannya dibuat basah oleh air liur Siti, membuat Kadrun melupakan semua kemarahan dan rasa curiganya sepanjang malam yang sudah dia pupuk. Kadrun sempurna dibuat melayang-layang di langit lapis tertinggi oleh sentuhan, remasan, dan pangutan Siti yang seolah-olah tanpa jeda. Hingga semua pergulatan itu selesai dan keduanya kelelahan hingga terlelap tanpa sempat melakukan komunikasi satu sama lain.
Paginya, Kadrun terbangun dan tidak mendapati istrinya di sampingnya. Akan tetapi dia mendapati sepiring sarapan gado-gado dan segelas teh hangat di atas nakas di sisi ranjang dengan sebuah note.
“SARAPAN DULU YA, ABANG KADRUN SAYANG. AKU BELI GADO-GADO BU MEME. SEKARANG AKU MAU JOGGING. ENTAH KENAPA AKU MERASA AGAK GENDUTAN. JADI AKU KELILING GANG DULU SEBENTAR. SAMBIL BELANJA BUAT MASAK KITA HARI INI. LOVE SITI.”
Kadrun mengernyitkan dahinya, “Siti masak?”
Tidak lama kemudian, terdengar suara pintu luar dibuka. Kadrun mendengar langkah Siti mendekat ke kamar tidur. Tidak berapa lama, wajah segar Siti yang natural tanpa make-up berbalut pakaian olah raga bersimbah keringat muncul di muka pintu kamar.
“Abang sudah bangun?” Siti menyapa suaminya.
Kadrun tersenyum, dia bangkit mengenakan celana pendek. “Iya, Yang.”
“Ma kasih ya lingerie-nya. Bagus banget. Jadi pengen dipakai buat bertarung. Warnanya kelihatan garang banget. Motif macan tutul. Ternyata selera Abang agak liar juga ya? Jadi minggu depan kita ala Tarzan dan Jane atau Tarzan Betawi dan Zaenab?” Siti menggoda Kadrun dengan kerlingan genit membuat Kadrun blingsatan. Dia langsung berdiri menghampiri Siti.
“Malam ini bisa ya dipakai, Sayang. Abang pengen jadi Tarzan.” Kadrun membujuk istrinya.
“Sorry ya. Kan tadi subuh sudah jatahnya.” Siti melangkah ke dapur meletakkan barang belanjaannya.
“Oh, aku kira subuh tadi itu gratis. Masa sudah dikasih uang muka dak dapat bonus.” Kadrun mengikuti isterinya.
“Ih, maunya. Memang sanggup kalau dikasih bonus? Jangan-jangan malah angkat bendera putih.”
“Eh, sembarangan! Jangan suka meremehkan sebelum ada bukti.”
“Besok-besok aja lah, Bang. Jane mau masak dulu buat Tarzan.”
Kadrun memandangi pantat Siti yang terbalut training ketat. Bentuk bokong Siti jelas tercetak di training itu.
“Tadi keliling kampung pakai baju ini ya?”
Siti mengangguk sambil mengeluarkan belanjaannya.
“Besok kalau bisa jangan lagi ya.”
“Ih, Abang ini. Banyak banget sih pantangannya. Aku itu pede kalau olahraga pakai pakaian yang begini. Lagian aku disuruh pakai apa buat olahraga? Rata-rata baju olah raga ya begini ini. Masa aku harus pakai karung goni? Atau pakai kain kafan biar dikira pocong. Biar semua orang di gang ini kabur?”
“Pasti semua laki-laki melihat bokongmu.”
“Ih, bodoh amat! Mereka cuma bisa lihat tapi tidak bisa remas. Mereka cuma bisa punya khayalan. Kan khayalan orang tidak bisa dituntut!” Siti melanjutkan. “Jadi, Bapak Kadrun yang terhormat tidak perlu takut-takut amat! Siti Majenun ini perempuan kalangan atas, kalangan jetset, bukan kalangan bawah. Jadi, mana mungkin aku mau digrepe-grepe sama tukang sate, tukang bakso, tukang ayam atau uwak-uwak tuir di sepanjang gang ini? Iiih, amit-amit!” Siti bergidik sendiri.
Kadrun membenarkan ucapan istrinya dalam hati.
“Iya, Abang tahu itu, Sayang. Cuma kalau bisa cari baju olahraga yang rada sopan dan longgar. Keseksian Sayang itu buat Abang seorang saja lah.”
Siti langsung merangkul Kadrun, “Ya udah, aku olahraga pakai baju ini di atas kasur aja ya. Biar Abang Kadrun yang remas-remas. Satu, Uuuh. Dua-Aaah. Gitu, Bang?” Siti mulai mendesah lagi membuat Kadrun blingsatan.
“Ke kamar yuk, Sayang,” Kadrun menarik pinggang istrinya.
“Ngapain? Kita kan mau masak. Aku lapar gara-gara kerja keras tadi subuh.” Siti melepas rangkulannya dan mulai mencuci potongan ayam yang dia beli.
“Mau masak?” Kadrun bertanya karena penasaran.
“Iya lah. Soalnya Abang belum kasih asisten baru. Jadi ya, mau dak mau masak sendiri. Padahal kuku-kuku ini baru dari pedi medi kemarin.” Siti langsung memandangi kukunya nampak tidak rela.
“Udah, biar Abang yang masak. Siti duduk saja sana. Ambil remote di laci. Tonton acara gosip kesukaanmu.”
“A-ah, yang benar, Abang,” Siti kembali mendesah-desah.
“Iya.”
“Iiih, Abang A-ah! Aku olah raga dulu deh. Satu, u-uh. Dua a-ah. Tiga, Bang?” Siti meliuk-liuk menggoda. Tidak ada gerakan tubuh Siti yang tidak membangkitkan gairah Kadrun.
Kadrun langsung membatalkan meraih pisau dapur untuk memasak. Dia lebih memilih mengangkat tubuh Siti dan membawanya ke kamar tidur mereka. Siti meronta-ronta manja minta dilepaskan. Hal itu membuat Kadrun malah membanting pintu kamar dan merebahkan tubuh Siti di Kasur.
“Lingerie untuk Jane belum dipakai, Bang.” Siti hendak bangkit dari kasur. Kadrun langsung menahannya.
“Tarzan udah tidak tahan. Tidak usah pakai lingerie. Tarzan suka yang polos.” Kadrun langsung membuka ritsleting baju training olahraga Siti dan membuat dua gunung kembar Siti kembali menyembul nakal.
Pagi itu pertempuran yang kedua berlangsung lebih ganas. Kali ini Kadrun tak ingin kalah liar. Dia langsung menerkam Siti bak harimau kelaparan. Kadrun memangut dan meremas tubuh sintal Siti hingga keduanya mencapai klimas dan terbaring kelelahan kembali di atas kasur.
“Ih, kalau gini terus dak jadi masak kita, Bang. Aku udah lapar banget. Cacing-cacing dalam perut sudah meronta-ronta.” Siti segera membereskan pakaiannya dan kembali ke dapur.
Kadrun menyusul istrinya di dapur setelah mengenakan pakaian.
“Kita makan di luar saja ya, Sayang. Kali ini kita tidak perlu masak.”
Siti mengerutkan kening.
“Selama ini aku memang jarang ngajak Sayang makan di luar.”
“Tapi aku sudah belanja, Yang.”
“Taruh di kulkas saja. Biar besok baru kita masak.”
Siti tersenyum girang, “Kalau gitu aku mandi dulu ya.”
“Abang ikut ya.”
“Iiih, jangan ah! Siti udah capek digarap dua ronde. Memang Abang yahud banget! Tiada duanya!” puji Siti membuat cuping hidung Kadrun kempas-kempis karena bangga.
“Abang masih sanggup ini, Yang.”
Siti segera masuk kamar mandi dan menguncinya rapat-rapat, “Ogah ah. Siti minta ampun, Bang. Pasti Abang pakai obat kuat hari ini kan?”
“Sembarangan. Itu memang kekuatan Abang. Dijamin asli tanpa penguat. Sayang tuh yang selalu menganggap remeh kemampuan Abang selama ini. Lihat, baru dua ronde aja Sayang udah minta ampun! Padahal Abang masih sanggup lima ronde!”
“Ampun, Bang!” Siti menimpali dari kamar mandi.
“Terbuktikan siapa yang lebih kuat!”
Terdengar suara air yang diguyur ke lantai.
“Iya. Aku betul-betul minta ampun, Bang. Udah dak sanggup.”
Kadrun duduk dengan jumawa di sofa coklat andalannya. Dia menghidupkan televisi menonton siaran berita hari itu. Dia merasa sangat menjadi laki-laki.
Siti selesai mandi berbalut handuk pink. Dia berlari-lari kecil menuju kamar.
“Ih, apa ini, Bang?” suara Siti terdengar dari kamar.
“Uang belanja.” Kadrun menyahut tanpa melepas pandangannya dari televisi. Kadrun memang sengaja menaruh uang tersebut di atas nakas di sisi ranjang Siti sebagai kejutan pada saat Siti mandi.
Siti keluar dari kamar tidur dengan berbalut handuk sengaja menghampiri Kadrun untuk menciumnya.
“Lima juta?” Siti mengibaskan uang di wajahnya.
“Kan permintaannya segitu.”
“Memang boleh lebih?”
“Yaa, doakan saja jualan batikku lancar.”
“Aaah, Sayang.” suara manja yang penuh desahan kembali keluar dari mulut Siti.
“Udah ah, jangan ngomong dengan nada gitu dong. Nanti aku bopong lagi ke kamar.”
Siti tersenyum, “Ampun, Bang!”
Siti berlari kecil kembali ke kamar.
Kadrun tertawa.
Kadrun termangu sejenak di depan Brewok yang duduk di kursi kerjanya sore itu. Kabar yang barusan disampaikan sahabatnya itu tidak pernah terpikirkan olehnya. Sebab, Siti juga pernah berjanji padanya bahwa tidak akan kembali bekerja, karena itu dia memberikan Siti uang muka perjanjian mereka sebesar seratus juta rupiah sesuai permintaan Siti. Setahu Kadrun, Siti hanya akan melakukan bisnis dengan seorang kawan. Sudah hampir sebulan hubungannya dengan Siti membaik. Mereka selalu mesra, saling menyayangi, saling memperhatikan. Siti benar-benar menjadi istri idaman Kadrun.“Aku rasa tidak salah lihat, Drun. Sorry lah kawan, kalo aku cakap terang-terangan. Aku ini kawanmu. Lama lah kita berkawan dibandingkan kau nikah dengan istrimu. Makanya aku dak rela kalau Siti macam-macam denganmu. Aku tanya padamu, apa Siti balik lagi bekerja jadi pemandu lagu?”Kadrun terdiam. Dia mengingat kembali percakapannya dengan Siti malam itu lewat telpon genggam.
Gentala Arasy merupakan ikon Kota Jambi, sebuah menara jam setinggi 80 meter yang dibangun di Kelurahan Arab Melayu, Pelayangan, Jambi Kota Seberang dengan rancangan artistektur bangunan yang kental dengan karakter Melayu dan Arab. Di dalam menara jam tersebut terdapat museum kebudayaan Jambi yang menyajikan 100 lebih koleksi fakta peninggalan sejarah Jambi di masa lalu. Sebuah jembatan pedestrian atau yang lebih dikenal warga Jambi dengan sebutan Jembatan Gentala Arasy dengan bentuk unik seperti huruf S membentang di atas Sungai Batanghari yang menghubungkan Menara Jam Gentala Arasy yang berada di Jambi Kota Seberang dan Ancol Kota Jambi. Jembatan sepanjang kurang lebih 1 km itu hanya dapat ditempuh dengan berjalan kaki. Pagi ataupun sore, banyak warga yang memanfaatkan jembatan itu sebagai tempat jogging ataupun sekedar berjalan-jalan. Sementara di malam hari, pemandangan sekitar Gentala Arasy menjadi sangat menarik untuk dipandang dengan permainan lampu warna warni yang dit
Setiba di kediamannya, Kadrun lunglai memarkirkan motornya di pekarangan kontrakan. Malam sudah menunjukkan pukul 23:15 WIB. Belum sampai tengah malam. Akan tetapi Kadrun sudah merasa terlalu lelah walaupun tidak ada rasa kantuk menggantung di kelopak matanya. Sebelum pulang, lebih dari sepuluh kali Kadrun menghubungi telepon gengam sang istri, namun kondisinya selalu sedang tidak aktif. Hati Kadrun makin gundah. Sesak dadanya semacam penyakit asma, padahal dia tidak pernah punya riwayat penyakit tersebut. Kadrun memukul-mukul dadanya karena merasa seperti ada sumbat yang mengganjal dan tidak bisa dilepaskan.Kadrun membuka pintu depan rumahnya. Ternyata tidak terkunci. “Ah, dia ada di rumah ternyata,” terdengar sekilas nada girang dari mulut Kadrun.Kadrun langsung meluncur menuju sofa. Dia membanting tubuh kurusnya di atas sofa singgasana coklat tersebut. Diraihnya remote televisi dari dalam laci meja. Siaran televisi yang menyala l
Kadrun sempat tertidur sejenak di dalam kamar entah untuk berapa saat. Dia terbangun kemudian setelah mendengar gedoran Beuti di pintu kamarnya.“Pak, Air panas sudah siap! Sudah disediakan di ember hitam di dalam kamar mandi!” Beuti memberitahukan di balik pintu.Kadrun menggeliat dan mulai meringis merasakan kepalanya yang tiba-tiba menjadi berat."Pak! Pak!" gedoran Beuti kembali terdengar. Kepala Kadrun terasa dipukul berkali-kali dengan suara Beuti.“Iya. Sebentar lagi saya ke kamar mandi. Tolong siapkan saja saya obat sakit kepala. Ada di laci meja depan televisi.” Kadrun berusaha bangkit dengan sempoyongan.“Iya, Pak.”Kadrun membuka pintu sambil menggantungkan handuk di leher. Beuti menghampirinya dengan segelas air putih dan sekeping obat. Setelah meminumnya, Kadrun menuju ke kamar mandi dengan langkah yang diseret.Kadrun merasa lebih segar sehabis mandi dengan air hangat. Dia kembali ke k
Kala 'ku pandang kerlip bintang nun jauh di sanaSayup 'ku dengar melodi cinta yang menggemaTerasa kembali gelora jiwa mudakuKarena tersentuh alunan lagu semerdu kopi dangdut Kadrun tersentak dari tidur akibat nada dering telepon gengamnya sendiri. Dengan mata masih terpejam, Kadrun meraba-raba saku jaket dan celananya, setelah menemukan barang tersebut Kadrun segera mengangkat panggilan yang tertera.“Iya, Wok? Kenapa?” terdengar serak suara Kadrun.“Dipanggil Pak Kadis sama Pak Kabid,” jawab Brewok di seberang telepon.“Hah? Siapa, Wok? Pak Kadis manggil Pak Kabid? Lah, terus apa hubungannya denganku, Wok?” Kadrun berbicara masih dengan mata terpejam.“Hoi, Jok! Bangun! Bangun! Bangun!” Brewok meneriaki Kadrun dari seberang telepon membuat Kadrun langsung menjauhkan telepon gengamnya dari kuping. Mata Kadrun lang
“Pak Kasi, bagaimana kalo kita susun kelompok kerja dulu baru kita ajukan ke Pak Kabid daftarnya?” Brewok mengusulkan pada Kadrun. Mereka sudah berada di ruangan sendiri dan duduk di kursi masing-masing.Kadrun menggerakkan kursinya ke salah satu meja di mana dia menyimpan rokok dan mancis. Kadrun menyalakan satu batang dan menghisapnya dalam-dalam. Kadrun lalu melempar kotak rokoknya pada Brewok berikut mancis. Dengan sigap Brewok menyambut. Sahabat Kadrun tersebut juga melakukan hal yang sama, menyalakan rokok sebatang dan menghisapnya dalam-dalam.“Ok. Boleh juga. Tolong kau masukkan nama kawan-kawan yang memang bisa sejalan dengan kita cara pikirnya. Jangan masukkan orang-orang yang bertingkah. Malas aku ngurusnya, Jok! Karena ini masalah penyaluran bantuan. Aku benar-benar ingin kita bisa bekerja secara terperinci, tepat sasaran, dan tidak ada permainan. Ngeri aku, Jok! Apalagi aku belum pernah ngurus anggaran.”“Siap, laksanak
Pulang dari kantor, Kadrun memutuskan untuk kembali ke kontrakannya untuk sekedar mandi dan berganti pakaian walaupun sebenarnya dia merasa sangat malas bertemu Beuti. Ada harapan lain yang dikejarnya di kontrakan, sosok istrinya. Telepon gengam sang istri masih tetap tidak bisa dihubungi sejak kemarin. Dia berharap istrinya sudah pulang ke kontrakan mereka.Sesampai di kontrakan, Kadrun harus menerima kenyataan hanya ada Beuti di sana. Perempuan cantik itu sudah mengenakan baju seragam sepakbola seperti arahan Kadrun.“Mau mandi pakai air panas, Pak?” tawar Beuti.“Tidak usah. Saya buru-buru.” Kadrun memperhatikan kontrakannya yang tertata rapi dan beraroma lavender. Dia menuju ke kamar dan mendapati tumpukan baju yang sudah disetrika di atas ranjang.“Beuti,” Kadrun memanggil.Tergopoh-gopoh Beuti datang menemui Kadrun di kamar.“Baju-baju ini nanti kau susun di dalam lemari ya.”Beuti
Kadrun menghentikan laju motor bebeknya di tepi Jembatan Makalam. Sebuah jembatan di tengah Kota Jambi berdinding beton merah yang menghubungkan kawasan Cempaka Putih dengan Simpang Kapuk. Satu dari tiga jembatan yang terkenal di Kota Jambi selain Jembatan Gentala Arasy dan Jembatan Batanghari II. Jembatan Makalam diambil dari nama walikota pertama Jambi yang menjabat sejak tahun 1946 hingga 1948. Terdapat sebuah makam tua di bawah kaki jembatan yang dipercaya masyarakat setempat menimbulkan suasana angker di sekitar Jembatan Makalam pada malam hari.Brewok membuka helm di kepalanya dan menatap Kadrun yang telah turun dari motor dan langsung duduk di tepi trotoar jembatan.“Kok cuma begitu, Drun?” Brewok bertanya, terdengar nada kesal di suaranya.Kadrun diam. Dia membuka helm yang masih berada di kepalanya. Rambut keritingnya dia kibas-kibaskan.“Seharusnya kau tinju saja manusia sombong itu. Benci betul aku lihat gaya bicaranya! Mentan