“Kau sudah sangat sukses sekarang, Zulaikah.” Kadrun menyahut.
Zulaikah tersenyum. “Ya, syukurlah. Rezeki itu Tuhan yang mengatur. Sebagai manusia kita harus mensyukuri.”
“Aku bangga ternyata kawan akrabku jadi orang terkenal sekarang.” Kadrun menggoda Zulaikah yang sedang meneguk teh hangat yang dia pesan.
“Ah, kawan akrab apa? Kau tidak bisa mengenaliku pas kita ketemu,” protes Zulaikah memonyongkan mulutnya.
“Kau sangat berbeda, Zulai! Apalagi kau mengenakan hijab. Wajahmu tidak lagi jerawatan. Kau juga tidak mengenakan kacamata. Dulu kau hitam legam. Sekarang kulitmu seputih pualam. Manalah aku memikirkan kalau kalian orang yang sama. Apalagi dulu kau juga selalu memakai kawat gigi.”
“Ingatanmu payah. Masa tidak sedikitpun dari wajahku ini yang kau ingat, padahal aku tidak operasi plastik. Apalagi kalau aku oplas habis-habisan!”
“Ah, masa kau mau oplas? Begini
Pertemuan dengan Zulaikah memutar memori putih abu-abu yang telah lama berlalu. Sepanjang jalan mengendarai sepeda motor kesayangannya senyum Kadrun tak berhenti mengembang. Kenangan antara dirinya dengan Zulaikah kembali berputar di kepalanya. Mereka berdua adalah sepasang sahabat yang sangat kompak dan saling memahami satu sama lain. Zulaikah selalu membantunya mengerjakan tugas sekolah dan ujian. Sementara Kadrun selalu menjadi pelindung Zulaikah. Mereka sering menghabiskan waktu selain di sekolah adalah di pasar. Tempat kursus menjahit Zulaikah berada di dekat pasar sementara Kadrun suka nongkrong di pangkalan ojek sekaligus pangkalan preman. Kadrun selalu menunggu Zulaikah selesai kursus menjahit, setelah kursus Zulaikah akan mengajarkan Kadrun pelajaran sekolah yang tertinggal, atau memberikan PR yang sudah dia kerjakan untuk Kadrun.“Masuk sekolah lah besok, Drun. Ada ulangan matematika,” Zulaikah berujar kala itu di pangkalan ojek setelah selesai kursus menjahit.“Aku belum be
Kadrun terlalu bahagia. Budak melayu kampung itu menyapa siapapun sepanjang gang masuk kontrakan rumahnya. Dia tidak menurunkan satu inci pun senyum di bibir sejak dia menemukan rasa bahagia yang fantastis dahsyat itu. Dia mencium tangan setiap perempuan yang berpapasan dengannya. Tua, muda, remaja, ataupun anak-anak yang penting berjenis kelamin perempuan dia rampas tangannya dan didaratkan ke bibirnya dengan cepat.“Kurang ajar!” sebuah tamparan dari seorang perempuan dua puluh tahunan yang merasa tidak terima dengan sikap Kadrun mendarat telak di pipi tirus Kadrun. Kadrun malah tertawa lebar meraba pipinya. Dia tidak marah. Dia tetap girang. Perempuan itu saja yang marah-marah. Kadrun mengucapkan terima kasih berkali-kali atas tamparan itu.“Hebat sekali! Aku sadar! Aku tidak bermimpi!” Kadrun berteriak mendongak ke langit.Perempuan itu menaruh telunjuknya di jidat dengan posisi miring.“Sinting kau ya?” ke
Pesta pernikahan Kadrun dan Siti Majenun pun digelar di kampung. Alasannya karena Siti tidak lagi punya keluarga dan atas permintaan Mak Kadrun. Meriah sekali pesta kondangan yang digelar keluarga Kadrun. Sebagai petani yang punya banyak kebun sawit dan anak buah, tentu pesta yang digelar toke tidak biasa-biasa saja. Apalagi sang toke hanya punya satu-satunya anak, maka orang tua Kadrun tidak mau tanggung-tanggung.Bagi Mak Kadrun, semenjak Kadrun menyelesaikan kuliah di Pulau Jawa dan berhasil menyandang gelar Sarjana Batik dan Fashion lalu menjadi seniman batik Jambi yang namanya cukup harum di tingkatan lokal serta didampuk menjadi abdi negara di Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Jambi, hal itu menjadi sebuah garis nasib yang sangat disyukuri Mak Kadrun. Betapa bangga Mak dan Bapak Kadrun atas diri anaknya. Walaupun mereka pada awalnya cemas dan sering menyalahkan diri sendiri karena terlalu memanjakan Kadrun dan merasa merusak hidup Kadrun. Bagaim
Perempuan seperti Cinderella memang tidak pernah ada di dunia nyata, begitu pun Snow White, Rapunzel, Aurora Sleeping Beauty, dan Mulan. Perempuan yang ada di muka bumi ini kebanyakan adalah semacam Siti Majenun. Setelah pesta kondangan usai digelar, acara adat selesai dilaksanakan, tenda-tenda dan panggung dibongkar serta kado-kado dibuka satu per satu. Maka, sifat-sifat asli Siti yang belum tampak selama status mereka berpacaran mulai bermunculan satu per satu di dalam mahligai pernikahan.“Aku memang tidak bisa memasak, mencuci, dan beres-beres rumah. Apalagi ini cuma rumah kontrakan, jadi jangan paksa aku buat melakukan semua pekerjaan itu. Aku tidak suka! Berkali-kali kan sudah aku ingatkan, bahwa aku butuh asisten rumah tangga. Aku butuh pembantu! Kenapa kau tidak bisa mendengarku?” seru Siti entah untuk pertengkaran yang kesekian setelah umur pernikahan mereka mencapai usia enam bulan.“Maaf, kalau aku belum bisa menepati janj
Iya Sayang, harus sabar. Aku kan juga sedang berusaha menjual batik seperti arahanmu. Aku tidak lagi menyumbang untuk para pengrajin. Semua penghasilan batikku akan kuberikan padamu. Cuma sekarang, pembeli batik sedang sepi. Jadi, jangan lagi berpikiran aku akan menelantarkanmu.” Kadrun meyakinkan Siti ketika suatu kali kembali didesak dengan segala tuntutan.“Katanya kau seniman batik Jambi yang paling dicari karya-karyanya, yang paling digandrungi. Aku tidak percaya kalau dagangan batikmu jadi sepi sekarang. Uang bulanan yang aku minta cuma 5 juta, paling hanya butuh 10 sampai 15 potong kain batik buatamu yang terjual setiap bulan. Apa susahnya menjual 10-15 potong batik dalam sebulan?” Siti kembali mengajukan komplain pada Kadrun.“Maaf, Sayang.”“Maaf, maaf, itu saja yang keluar dari mulutmu.”“Sungguh, sekarang aku sedang berusaha. Studio batikku sekarang lebih produktif. Kami banyak membuat desain-desa
Kadrun termenung di depan komputer di kantornya. Dia hanya bisa berdoa agar istrinya tidak terlalu cepat punya anak. Walaupun dia sebenarnya sangat ingin segera punya anak. Akan tetapi Kadrun tidak ingin buru-buru kehilangan sang istri. Dia mencintai perempuan itu, dan dia masih berharap tidak hanya satu atau dua tahun bersama. Kadrun ingin hidup bersama selamanya dengan Siti Majenun, walaupun Kadrun sendiri tidak cukup yakin perasaan yang sama dimiliki sang istri. Kadrun berharap dengan waktu yang diulur-ulurnya, maka dia akan mempunyai cukup waktu untuk membuat pikiran Siti berubah. Kadrun ingin Siti benar-benar mencintainya seperti dirinya yang tulus mencintai Siti. Kadrun tidak pernah merasa keberatan dengan sifat-sifat asli Siti, bagi Kadrun semua perempuan memang ditakdirkan menjadi cerewet dan menjengkelkan. Apalagi setelah berumah tangga. Kadrun melihat kenyataan itu pada Nenek, Mak, dan kakak-kakak perempuan sepupu yang dekat dengannya. Kadrun jadi memaklumi keadaan Siti.
Kadrun terbelalak menatap punggung mulus Siti yang memakai dress hitam terbuka baik di sebelah belakang maupun depan. Beberapa bagian tubuh montoknya tampak meronta-ronta hendak dibebaskan. Sepatu high heel setinggi 7 inci yang tipis dan tajam berwarna senada dengan dress yang ia kenakan membalut kaki jenjangnya yang mulus. Siti mengambil lipstik di atas meja rias dan memulas lipstik merah menyala itu di atas bibirnya yang selalu terlihat penuh. Riasan lain sudah lengkap pula di wajahnya.“Mau kemana?” Kadrun menunjukkan rasa penasarannya. Dia sedang menyetrika baju yang sudah kering dijemurnya pagi tadi.“Mau ketemuan sama kawan.”“Kawan? Siapa?”“Dikasih tahu juga kau dak tahu.”“Aku mau tahu. Lagi pula aku harus tahu. Aku ini suamimu.”Siti mengambil botol parfum dan menyemprotkan ke leher dan pergelangan tangannya.“Janjian dengan siapa?” Kadrun
Kadrun terbangun dari tidurnya mendengar suara lemari pakaian dibuka pelan-pelan. Dia mengintip dari balik kelopak mata yang tidak dibukanya penuh. Kadrun mendapati sosok Siti mengendap-endap menaruh tas dan sepatu kembali di lemari. Dia juga melepaskan satu persatu perhiasan dan gaun yang dikenakan. Kadrun mengintip jam weker yang ada di atas nakas.Jam 4 subuh!Istrinya baru pulang sepagi ini setelah sepanjang malam di luar bersama laki-laki yang sama sekali tidak dikenalnya. Kadrun langsung merubah posisinya dengan duduk di pinggir dipan.“Sepagi ini kau baru pulang, Siti?”Suara Kadrun mengagetkan Siti yang hanya memakai celana dalam dan bra. Dia membalik badan menghadap Kadrun. Kedua gunung kembar Siti tampak menantang di balik bra yang tampak tidak sanggup menampungnya. Warna bibir merah Siti yang kontras dengan kulit kuning langsatnya benar-benar memancarkan kecantikan alami Siti. Kadrun menelan ludah.“Maaf ya pulang terla