Iya Sayang, harus sabar. Aku kan juga sedang berusaha menjual batik seperti arahanmu. Aku tidak lagi menyumbang untuk para pengrajin. Semua penghasilan batikku akan kuberikan padamu. Cuma sekarang, pembeli batik sedang sepi. Jadi, jangan lagi berpikiran aku akan menelantarkanmu.” Kadrun meyakinkan Siti ketika suatu kali kembali didesak dengan segala tuntutan.
“Katanya kau seniman batik Jambi yang paling dicari karya-karyanya, yang paling digandrungi. Aku tidak percaya kalau dagangan batikmu jadi sepi sekarang. Uang bulanan yang aku minta cuma 5 juta, paling hanya butuh 10 sampai 15 potong kain batik buatamu yang terjual setiap bulan. Apa susahnya menjual 10-15 potong batik dalam sebulan?” Siti kembali mengajukan komplain pada Kadrun.
“Maaf, Sayang.”
“Maaf, maaf, itu saja yang keluar dari mulutmu.”
“Sungguh, sekarang aku sedang berusaha. Studio batikku sekarang lebih produktif. Kami banyak membuat desain-desain baru. Cuma memang butuh waktu.”
“Kalau sudah terkenal, untuk jualan seperti itu tidak butuh waktu lama. Aku paham hal seperti itu.”
“Maaf ya, Sayang,”
“Jangan-jangan, kau bantu lagi ya para pengrajin itu? Kan sudah aku bilang jangan. Mereka cuma pura-pura susah untuk memperalatmu.”
“Kadang pengrajin batik yang baru memulai bisnis butuh modal. Ya, kasihan mereka tidak tahu tempat untuk mencari modal. Abang sebagai senior harus membantu mereka agar batik Jambi bisa benar-benar tumbuh. Tidak ada yang benar-benar peduli sayang, hanya segelintir orang, dan segelintir orang itu hanya macam abang yang tidak punya banyak uang.”
“Kadrun!”
Kadrun tidak menjawab.
“Jadi, uang kita kau pinjamkan lagi pada orang-orang itu?”
“Iya, sayang. Kali ini aku membuat perjanjian dengan mereka, nanti akan mereka kembalikan.”
“Kapan?”
“Perjanjian kami untuk satu tahun. Setiap minggu mereka akan menyetor semampu mereka.”
Siti langsung meraung.
“Sayang, jangan lah begitu. Kasihan mereka.” Kadrun memohon pengertian Siti.
“Tapi, kau tidak kasihan denganku."
“Kan aku sudah memberimu bulanan dua juta, kadang-kadang tiga juta.”
“Tidak cukup. Aku butuh lima juta dan seorang asisten rumah tangga.”
“Iya, Sayang. Aku paham.”
“Udah lah, Drun. Kalau begini caranya, kita cerai saja.” sahut Siti tiba-tiba di luar perkiraan Kadrun.
Kadrun tercekat. Ucapan itu terasa terlalu gampang keluar dari mulut Siti.
“Janganlah, Sayang. Apa kata orang tuaku?”
“Pokoknya kita cerai! Titik!”
“Sayang, jangan lah. Kumohon. Kau juga belum memberi aku seorang anak pun.”
Siti langsung berkacak pinggang dengan mata melotot menatap Kadrun, “Hei, kau ini memang tidak pernah peduli denganku. Uangmu kau bagi-bagikan ke orang lain padahal aku istrimu kau telantarkan, dan alasanmu menikah denganku cuma buat bikin anak? Kenapa kau tidak nikahi saja sejenis sapi atau kerbau yang gampang punya anak?” wajah Siti benar-benar beringas dan sinis.
“Sabarlah, Sayang. Dua hari lagi asisten rumah tangga bakal datang ke rumah kita ini.”
Siti mulai menangis, “Apakah permohonanku terlalu sulit? Apakah aku terlalu menuntut? Apakah salah seorang istri meminta sesuatu pada suaminya? Semua perempuan itu sama, dia ingin suaminya mampu membahagiakan dia. Karena kami tahu, lelaki itu sosok yang kuat, bahunya kokoh untuk tempat bergantung. Apapun bisa dilakukan suami untuk memberi kebahagiaan bagi istrinya.”
“Tentulah tugas suami untuk memenuhi kebutuhan istrinya, Sayang.”
“Tapi, lihat! Tidak satupun permintaanku bisa kau penuhi. Apa alasanku untuk bertahan denganmu? Aku hanya menyulitkanmu saja. Aku tidak bisa menjadi sosok yang kau minta membantu kesulitanmu sebab aku juga perempuan lemah. Aku menikah karena kupikir kau adalah lelaki yang mampu memenuhi semua harapan-harapan dan mimpi-mimpiku. Kau kuanggap sosok yang cukup kuat memanggul bebanku dan beban kita. Kalau kau pikir cinta itu cukup untukku, maka kau salah besar! Cinta saja tidak akan cukup untuk perempuan. Tidak, Kadrun! Cinta bisa muncul kemudian apabila semua kebutuhan lahir dan batin seorang perempuan terpenuhi. Kau tidak boleh munafik sebagai laki-laki, Kadrun.”
Kadrun geram, akan tetapi di sisi lain Kadrun membenarkan omongan Siti. Kadrun mencintai Siti, sebagai laki-laki dia tidak mungkin membiarkan orang yang dia cintai merasa teraniaya di sisinya.
Dua hari kemudian, Kadrun benar-benar membawa seorang perempuan separuh baya yang dimintanya dari Mak di kampung untuk istrinya. Perempuan itu bersedia menjadi asisten rumah tangga untuk Kadrun demi membalas jasa-jasa Mak dan Bapak Kadrun di kampung yang sudah menyekolahkan kedua anaknya sampai sarjana di kota.
Kadrun merasa lega untuk beberapa saat. Akan tetapi, itu cuma bertahan tiga bulan, karena Siti sudah memecat asisten rumah tangga yang dibawakan Kadrun jauh-jauh dari kampung dengan alasan tidak cocok dengan pembantunya tersebut.
“Dia itu sudah tua. Kerjanya lamban. Apa-apa yang disuruh pasti tidak tuntas. Kalau ditanya, dia bilang lupa. Mana masakannya juga tidak enak. Malah masih enak masakan di warung depan. Tolong carikan aku asisten baru, Sayang.”
Kadrun tidak terima, “Kau tidak bisa seenak itu memecat Wak Nur. Dia itu sudah semacam keluarga bagi kami. Sejak masih gadis dia ikut Mak dan Bapak, walaupun anak-anaknya sudah jadi orang besar, dia tetap setia bekerja sama Mak dan Bapak.”
Kadrun bergegas ke kamar yang disediakan untuk Wak Nur, lalu keluar menuju ke dapur. “Jadi orang tua itu kau usir begitu saja?” Kadrun kembali bertanya ke Siti setelah tidak menemukan sosok Wak Nur di dalam rumah kecilnya tersebut.
Siti menggelengkan kepalanya. "Aku tidak mengusir dia!"
Perempuan itu menghempaskan badannya begitu saja di sofa sambilnya menyilangkan tangannya di dada.
Kadrun menghela napas, “Jangan sesuka hati begitu memecat orang, kasihan orang, dia kan tidak saja mencari nafkah. Dia di sini karena menghargai kita sebagai anak dari Mak dan Bapak! Sudah kau pecat, kau usir pula dia begitu saja! Mana tata kramamu pada orang yang lebih tua?”
“Dia tidak kuusir. Dia sendiri yang mau berhenti karena merasa tidak mampu memenuhi kemauanku. Dia menelpon anaknya, anaknya yang menjemput orang tua itu.”
“Siti!” Kadrun hampir saja melayangkan tangannya, tapi segera tersadar. “Apa yang harus aku cakapkan pada Mak dan Bapak di kampung? Tidak mungkin aku bilang, istriku yang punya otak dangkal ini mengusir orang kepercayaannya begitu saja dari rumah karena dianggap tidak becus kerja.”
Siti jadi naik pitam, dia langsung berdiri dari duduknya.
“Jadi kau salahkan pula aku?”
“Iya. Seharusnya berdiskusilah denganku untuk memecatnya. Seperti ketika kau minta dicarikan asisten.”
Siti mengerutkan keningnya dengan mulut terkatup rapat.
“Aku tidak berusaha menyalahkanmu. Aku hanya berharap kau bisa lebih berhati-hati dan sedikit mempertimbangkan banyak hal sebelum mengambil keputusan.”
“Jadi sekarang kau menyalahkan aku?”
“Tidak, Sayang. Aku cuma berharap kau cukup dewasa.”
“Hah, sekarang aku kau bilang kekanak-kanakan pula? Tidak dewasa?”
“Kurasa begitu.”
Siti tajam menatap Kadrun, “Sudah. Kita memang sepantasnya segera bercerai. Kita tidak pernah sepemahaman.” Siti bergegas ke kamarnya, tapi Kadrun cepat mencekal tangan isterinya tersebut.
“Mau apa?”
“Aku mau cerai.” Siti menantang Kadrun, matanya mulai berkaca-kaca.
“Kenapa harus cerai?” Kadrun berusaha lebih sabar dan lembut.
“Karena aku merasa tidak bahagia denganmu,”
Hati Kadrun langsung terasa dicabik-cabik dengan badik.
“Kenapa tidak bahagia? Apa kau tidak pernah mencintai suamimu ini?”
Siti memicingkan mata, “Cinta? Kau selalu bicara cinta. Memang cinta adalah alasan di atas segala-galanya untuk menikah dan menerima semua kesulitan yang kita buat-buat?”
“Aku minta kau jawab dengan jujur, pernah kau menyukai aku?”
Siti diam. Dia tidak menjawab dan menghindar dari tatapan Kadrun.
“Siti, apakah kau pernah punya rasa untukku? Atau selama ini hanya aku sendiri yang punya perasaan itu?”
“Aku mau cerai!” Siti tidak menjawab pertanyaan Kadrun.
“Ok, aku akan menceraikanmu asal kau penuhi satu permintaanku.”
“Apa?”
Kadrun menatap isterinya tak kalah tajam, “Kasih aku anak. Setelah itu, pergilah kemana pun kau mau pergi. Aku tidak akan menghalang-halangi.”
“Apa untungnya aku memenuhi permintaanmu itu. Hamil dan melahirkan bisa membuat bentuk tubuhku jadi rusak, butuh banyak biaya untuk membuatnya kembali kayak semula. Tentu aku tidak mau!”
“Aku kasih kau uang 50 juta!”
Siti memandang Kadrun dengan ekspresi datar.
“50 juta tidak akan cukup.” Siti menarik tangannya.
“Aku kasih kau dua kali lipat. Seratus juta!”
“200 juta!” Siti menantang.
“OK. 200 juta. Sepakat!” Kadrun mengulurkan tangannya.
Siti tersenyum menyambut tangan Kadrun.
Kadrun termenung di depan komputer di kantornya. Dia hanya bisa berdoa agar istrinya tidak terlalu cepat punya anak. Walaupun dia sebenarnya sangat ingin segera punya anak. Akan tetapi Kadrun tidak ingin buru-buru kehilangan sang istri. Dia mencintai perempuan itu, dan dia masih berharap tidak hanya satu atau dua tahun bersama. Kadrun ingin hidup bersama selamanya dengan Siti Majenun, walaupun Kadrun sendiri tidak cukup yakin perasaan yang sama dimiliki sang istri. Kadrun berharap dengan waktu yang diulur-ulurnya, maka dia akan mempunyai cukup waktu untuk membuat pikiran Siti berubah. Kadrun ingin Siti benar-benar mencintainya seperti dirinya yang tulus mencintai Siti. Kadrun tidak pernah merasa keberatan dengan sifat-sifat asli Siti, bagi Kadrun semua perempuan memang ditakdirkan menjadi cerewet dan menjengkelkan. Apalagi setelah berumah tangga. Kadrun melihat kenyataan itu pada Nenek, Mak, dan kakak-kakak perempuan sepupu yang dekat dengannya. Kadrun jadi memaklumi keadaan Siti.
Kadrun terbelalak menatap punggung mulus Siti yang memakai dress hitam terbuka baik di sebelah belakang maupun depan. Beberapa bagian tubuh montoknya tampak meronta-ronta hendak dibebaskan. Sepatu high heel setinggi 7 inci yang tipis dan tajam berwarna senada dengan dress yang ia kenakan membalut kaki jenjangnya yang mulus. Siti mengambil lipstik di atas meja rias dan memulas lipstik merah menyala itu di atas bibirnya yang selalu terlihat penuh. Riasan lain sudah lengkap pula di wajahnya.“Mau kemana?” Kadrun menunjukkan rasa penasarannya. Dia sedang menyetrika baju yang sudah kering dijemurnya pagi tadi.“Mau ketemuan sama kawan.”“Kawan? Siapa?”“Dikasih tahu juga kau dak tahu.”“Aku mau tahu. Lagi pula aku harus tahu. Aku ini suamimu.”Siti mengambil botol parfum dan menyemprotkan ke leher dan pergelangan tangannya.“Janjian dengan siapa?” Kadrun
Kadrun terbangun dari tidurnya mendengar suara lemari pakaian dibuka pelan-pelan. Dia mengintip dari balik kelopak mata yang tidak dibukanya penuh. Kadrun mendapati sosok Siti mengendap-endap menaruh tas dan sepatu kembali di lemari. Dia juga melepaskan satu persatu perhiasan dan gaun yang dikenakan. Kadrun mengintip jam weker yang ada di atas nakas.Jam 4 subuh!Istrinya baru pulang sepagi ini setelah sepanjang malam di luar bersama laki-laki yang sama sekali tidak dikenalnya. Kadrun langsung merubah posisinya dengan duduk di pinggir dipan.“Sepagi ini kau baru pulang, Siti?”Suara Kadrun mengagetkan Siti yang hanya memakai celana dalam dan bra. Dia membalik badan menghadap Kadrun. Kedua gunung kembar Siti tampak menantang di balik bra yang tampak tidak sanggup menampungnya. Warna bibir merah Siti yang kontras dengan kulit kuning langsatnya benar-benar memancarkan kecantikan alami Siti. Kadrun menelan ludah.“Maaf ya pulang terla
Siti kembali ke rumah subuh hari seperti waktu sebelumnya. Dia berjinjit memasuki kamar tidur untuk mencegah Kadrun terbangun dari tidurnya. Siti sangat hati-hati membuka pintu lemari pakaian, berharap deritnya tidak akan terdengar. Namun, lemari itu sudah terlalu tua. Sehingga sepelan apapun Siti berusaha membukanya, deritnya tetap akan terdengar jelas. Kadrun terbangun. Siti segera meletakkan tas dan sepatunya ke dalam lemari lalu menutupnya kembali. Melihat Kadrun bangkit dari tidurnya dan duduk di tepi dipan, Siti langsung membuka semua pakaian yang melekat di tubuhnya. Dengan tanpa sehelai benang pun, Siti langsung menghampiri Kadrun dan memangut Kadrun dengan liar. Kadrun tidak diberikan sedikit pun kesempatan untuk mengajukan pertanyaan. Kadrun pun tidak bisa berpikir apa-apa lagi, dia refleks membalas pangutan Siti dengan tak kalah liar, dia meremas buah dada Siti yang kenyal dan padat. Siti membiarkan tangan Kadrun yang lain meremas lembut selangkangannya dan menikmati perm
Kadrun termangu sejenak di depan Brewok yang duduk di kursi kerjanya sore itu. Kabar yang barusan disampaikan sahabatnya itu tidak pernah terpikirkan olehnya. Sebab, Siti juga pernah berjanji padanya bahwa tidak akan kembali bekerja, karena itu dia memberikan Siti uang muka perjanjian mereka sebesar seratus juta rupiah sesuai permintaan Siti. Setahu Kadrun, Siti hanya akan melakukan bisnis dengan seorang kawan. Sudah hampir sebulan hubungannya dengan Siti membaik. Mereka selalu mesra, saling menyayangi, saling memperhatikan. Siti benar-benar menjadi istri idaman Kadrun.“Aku rasa tidak salah lihat, Drun. Sorry lah kawan, kalo aku cakap terang-terangan. Aku ini kawanmu. Lama lah kita berkawan dibandingkan kau nikah dengan istrimu. Makanya aku dak rela kalau Siti macam-macam denganmu. Aku tanya padamu, apa Siti balik lagi bekerja jadi pemandu lagu?”Kadrun terdiam. Dia mengingat kembali percakapannya dengan Siti malam itu lewat telpon genggam.
Gentala Arasy merupakan ikon Kota Jambi, sebuah menara jam setinggi 80 meter yang dibangun di Kelurahan Arab Melayu, Pelayangan, Jambi Kota Seberang dengan rancangan artistektur bangunan yang kental dengan karakter Melayu dan Arab. Di dalam menara jam tersebut terdapat museum kebudayaan Jambi yang menyajikan 100 lebih koleksi fakta peninggalan sejarah Jambi di masa lalu. Sebuah jembatan pedestrian atau yang lebih dikenal warga Jambi dengan sebutan Jembatan Gentala Arasy dengan bentuk unik seperti huruf S membentang di atas Sungai Batanghari yang menghubungkan Menara Jam Gentala Arasy yang berada di Jambi Kota Seberang dan Ancol Kota Jambi. Jembatan sepanjang kurang lebih 1 km itu hanya dapat ditempuh dengan berjalan kaki. Pagi ataupun sore, banyak warga yang memanfaatkan jembatan itu sebagai tempat jogging ataupun sekedar berjalan-jalan. Sementara di malam hari, pemandangan sekitar Gentala Arasy menjadi sangat menarik untuk dipandang dengan permainan lampu warna warni yang dit
Setiba di kediamannya, Kadrun lunglai memarkirkan motornya di pekarangan kontrakan. Malam sudah menunjukkan pukul 23:15 WIB. Belum sampai tengah malam. Akan tetapi Kadrun sudah merasa terlalu lelah walaupun tidak ada rasa kantuk menggantung di kelopak matanya. Sebelum pulang, lebih dari sepuluh kali Kadrun menghubungi telepon gengam sang istri, namun kondisinya selalu sedang tidak aktif. Hati Kadrun makin gundah. Sesak dadanya semacam penyakit asma, padahal dia tidak pernah punya riwayat penyakit tersebut. Kadrun memukul-mukul dadanya karena merasa seperti ada sumbat yang mengganjal dan tidak bisa dilepaskan.Kadrun membuka pintu depan rumahnya. Ternyata tidak terkunci. “Ah, dia ada di rumah ternyata,” terdengar sekilas nada girang dari mulut Kadrun.Kadrun langsung meluncur menuju sofa. Dia membanting tubuh kurusnya di atas sofa singgasana coklat tersebut. Diraihnya remote televisi dari dalam laci meja. Siaran televisi yang menyala l
Kadrun sempat tertidur sejenak di dalam kamar entah untuk berapa saat. Dia terbangun kemudian setelah mendengar gedoran Beuti di pintu kamarnya.“Pak, Air panas sudah siap! Sudah disediakan di ember hitam di dalam kamar mandi!” Beuti memberitahukan di balik pintu.Kadrun menggeliat dan mulai meringis merasakan kepalanya yang tiba-tiba menjadi berat."Pak! Pak!" gedoran Beuti kembali terdengar. Kepala Kadrun terasa dipukul berkali-kali dengan suara Beuti.“Iya. Sebentar lagi saya ke kamar mandi. Tolong siapkan saja saya obat sakit kepala. Ada di laci meja depan televisi.” Kadrun berusaha bangkit dengan sempoyongan.“Iya, Pak.”Kadrun membuka pintu sambil menggantungkan handuk di leher. Beuti menghampirinya dengan segelas air putih dan sekeping obat. Setelah meminumnya, Kadrun menuju ke kamar mandi dengan langkah yang diseret.Kadrun merasa lebih segar sehabis mandi dengan air hangat. Dia kembali ke k
Pertemuan dengan Zulaikah memutar memori putih abu-abu yang telah lama berlalu. Sepanjang jalan mengendarai sepeda motor kesayangannya senyum Kadrun tak berhenti mengembang. Kenangan antara dirinya dengan Zulaikah kembali berputar di kepalanya. Mereka berdua adalah sepasang sahabat yang sangat kompak dan saling memahami satu sama lain. Zulaikah selalu membantunya mengerjakan tugas sekolah dan ujian. Sementara Kadrun selalu menjadi pelindung Zulaikah. Mereka sering menghabiskan waktu selain di sekolah adalah di pasar. Tempat kursus menjahit Zulaikah berada di dekat pasar sementara Kadrun suka nongkrong di pangkalan ojek sekaligus pangkalan preman. Kadrun selalu menunggu Zulaikah selesai kursus menjahit, setelah kursus Zulaikah akan mengajarkan Kadrun pelajaran sekolah yang tertinggal, atau memberikan PR yang sudah dia kerjakan untuk Kadrun.“Masuk sekolah lah besok, Drun. Ada ulangan matematika,” Zulaikah berujar kala itu di pangkalan ojek setelah selesai kursus menjahit.“Aku belum be
“Kau sudah sangat sukses sekarang, Zulaikah.” Kadrun menyahut.Zulaikah tersenyum. “Ya, syukurlah. Rezeki itu Tuhan yang mengatur. Sebagai manusia kita harus mensyukuri.”“Aku bangga ternyata kawan akrabku jadi orang terkenal sekarang.” Kadrun menggoda Zulaikah yang sedang meneguk teh hangat yang dia pesan.“Ah, kawan akrab apa? Kau tidak bisa mengenaliku pas kita ketemu,” protes Zulaikah memonyongkan mulutnya.“Kau sangat berbeda, Zulai! Apalagi kau mengenakan hijab. Wajahmu tidak lagi jerawatan. Kau juga tidak mengenakan kacamata. Dulu kau hitam legam. Sekarang kulitmu seputih pualam. Manalah aku memikirkan kalau kalian orang yang sama. Apalagi dulu kau juga selalu memakai kawat gigi.”“Ingatanmu payah. Masa tidak sedikitpun dari wajahku ini yang kau ingat, padahal aku tidak operasi plastik. Apalagi kalau aku oplas habis-habisan!”“Ah, masa kau mau oplas? Begini
Kadrun terbangun dari tidurnya. Dia duduk sambil memegang kepala di atas ranjang kontrakannya. Dia memperhatikan sekeliling, masih terasa dan tercium aroma Siti. Bagi Kadrun kebersamaannya dengan Siti Majenun hanya sebuah mimpi. Sekarang dia sudah terbangun dari mimpi. Dia kembali ke kehidupan normalnya. Dia kembali kepada keadaan sedia kala.Kadrun melirik jam weker di atas nakas. Pukul 03.00 WIB dini hari. Matanya tidak lagi mampu dia pejamkan walaupun sebenarnya ia ingin segera tertidur dan kembali disibukkan dengan pekerjaan kantor. Kadrun meraih handphone yang tergeletak di nakas sebelah weker. Dia membuka sebuah pesan Whatsapp yang tak terbaca. Sebuah nomor tak dikenal mengirim sebuah pesan.Saya Zulaikah. Maaf, lancang mengirim pesan. Besok pagi apakah kita bisa bertemu? Jam sarapan. Jam 7.30. Saya tunggu di Kafe Morning.Kadrun mengingat kembali sosok Zulaikah. Dia perempuan yang tampak santun dan berpendidikan.
Setelah pertemuan di rumah dinas walikota, Kadrun segera memenuhi janjinya pada Agam, membawa sahabatnya itu ke tempat karaoke langganan mereka. Sambil mendengarkan Agam dan Brewok duet lagu dangdut sampai lagu rock metal, pikiran Kadrun melayang entah ke mana. Sebagian besar pikirannya terbang ke rumah, dia merindukan Siti sekaligus merasa membencinya pada saat bersamaan. Dia ingin segera pulang ke rumah. Beberapa kali dilihatnya arloji tetapi dua jam waktu berkaraoke yang dia pesan terasa terlalu lama berakhir.“Ayo, Jok. Nyanyi apa?” tanya Brewok menegur Kadrun yang terus melamun.Kadrun menggeleng.“Hei, di tempat karaoke itu nyanyi bukan melamun, Jok!” Agam ikut berkomentar.Kadrun hanya tersenyum. “Kalian lah dulu menyanyi, nanti aku belakangan.”Agam dan Brewok kembali memilih lagu. Mereka kembali bernyanyi, kali ini lagu pop Jawa. Kadrun menghela napas. Walaupun suasana hatinya sedang tidak baik, ta
Seperti yang sudah dijadwalkan, Kadrun bersama Agam dan Brewok sepulang kerja langsung meluncur ke rumah dinas walikota untuk menemui Ibu Walikota yang memanggil Kadrun. Rumah dinas tersebut tampak megah dengan pengawalan yang cukup ketat. Satpol PP menyambut kedatangan mereka bertiga di depan pintu pagar.“Wah, Bang Agam, sudah lama sekali tidak mampir ke sini. Sibuk sekali nampaknya?” tegur salah satu petugas Satpol PP yang mengenal Agam. Lelaki itu langsung mengulurkan tangan menjabat tangan Agam dengan erat.“Tidak sibuk-sibuk amat lah, Bang Rahmat. Kerja seperti biasa lah. Lagi pula kalau Ibu tidak memanggil saya, ndak berani juga saya sering-sering kemari, Bang. Oh, Iya, Bang. Ibu ada? Tadi pagi beliau menelpon saya menyuruh kawan saya kemari menemui beliau. Bapak Kadrun. Kata beliau ada tamu dari Jakarta yang mau diperkenalkan.” Agam menjelaskan.“Oh iya. Sudah ditunggu Ibu. Silahkan masuk saja, Bang Agam,” lelaki bertu
Kadrun tiba di kantor tanpa banyak bicara, sepanjang koridor kantor yang dilaluinya Kadrun tidak menyapa siapapun. Dia langsung memasuki ruangannya, meletakkan jaket, duduk di kursi kerjanya, dan mengaktifkan komputer.“Hei,” Brewok yang sedari tadi mengikuti Kadrun dari parkiran menepuk bahu sahabatnya itu. “Kayak pakai kaca mata kuda, jalannya ndak lihat kiri kanan lagi?”Kadrun tidak berkomentar.Brewok jadi dibuat garuk-garuk kepala. “Ada masalah berat di rumah? Bukannya katamu Siti sudah balik ke rumah.”Kadrun menatap tajam pada Brewok membuat lelaki itu jadi menelan ludah. Tidak ada satu katapun keluar dari mulut Kadrun.“Perlu aku peluk, Jok?” tawar Brewok membuat Kadrun bergidik. Dia kembali menghadap komputernya.Brewok yang merasa tidak mendapat respon positif sejak kedatangannya juga ikut-ikutan menarik kursinya menghadap komputer kerja.“Ya, enak buat desain batik saja
Kadrun bangun lebih pagi, dia duduk sejenak di tepi dipan sambil memandangi wajah istrinya yang sedang tertidur pulas. Dia menghela napas lalu berdiri keluar dari kamar sambil meraih handuk yang tergantung di belakang pintu lalu melingkarkan handuk tersebut di lehernya. Dia menyeret langkahnya ke kamar mandi. Tidak berselang sepuluh menit, Kadrun sudah menuntaskan ritual mandi paginya dan kembali keluar kamar mandi.“Sudah saya buatkan kopi, Pak. Saya taruh di atas meja depan tivi,” Beuti menyambut Kadrun yang keluar dari kamar mandi.Kadrun mengangguk. “Ma kasih, Beuti.”“Pakaian dinas Bapak sudah saya gantung di lemari pakaian di kamar Bapak.” Beuti kembali menambahkan sambil mengiringi langkah Kadrun menuju ruang tengah.“Ma kasih, Beuti.”“Terus, kemarin ada paket diantar kurir untuk Bapak,” Beuti kembali bersuara sambil menyodorkan sebuah amplop coklat besar yang sedari tadi dipegangn
Kadrun merasa sangat lelah hari itu. Dia memutuskan untuk segera pulang ke rumah dan menolak beberapa ajakan temannya berkumpul sehabis pulang kerja. Kadrun menghampiri motor bututnya di parkiran dengan lunglai. Kembali handphone dia keluarkan dari dalam kantong celana. Dia kembali menghubungi sebuah nomor yang selalu tidak aktif. Kadrun menghela napas. Dia menghidupkan motor bututnya dan mulai melajukan kendaraan kesayangannya tersebut. Sepanjang jalan pikiran Kadrun terus melayang entah ke mana. Beberapa kali berhenti di lampu merah, Kadrun akan diklakson pengendara lain karena masih terpaku padahal lampu merah sudah berubah warna menjadi hijau.Kadrun akhirnya memasuki pekarangan kontrakannya. Dia langsung memarkir motor di tempat biasa. Melepaskan helm dan membawanya ke dalam rumah. Setiba di dalam rumah dia langsung menghempaskan tubuhnya di sofa. Dia menyandarkan seluruh bebannya sambil memejamkan mata.“Sudah pulang?” sebuah suara yang sangat dikenal
Genap dua hari sudah Siti tidak pulang ke rumah. Kadrun masih terus berusaha menghubungi nomor sang istri yang selalu dijawab operator dengan jawaban yang sama: Nomor yang Anda tuju sedang tidak dapat dihubungi atau nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif.Kadrun tampak bersiap-siap berangkat ke kantor di teras kontrakannya sambil memasang tali sepatu. Hari ini ada rapat penting berkaitan dengan pembahasan anggaran hibah yang baru saja diterima kantornya berkaitan dengan bantuan modal untuk pengrajin batik Jambi di Kota Jambi. Masalah Siti untuk sementara dikesampingkannya dulu walaupun tidak mungkin bisa dilakukan sepenuhnya. Pekerjaan kantor juga menjadi tanggung jawabnya untuk segera dilaksanakan.Bang Somad menghampiri Kadrun sambil membawa sekantung plastik hitam berisi jeruk.“Apa ini, Bang?” Kadrun menerima pemberian Bang Somad dengan tatapan curiga. “Tumben abang kasih aku jeruk. Pagi-pagi begini pula. Pasti ada mau Abang sama aku kan?&