Kadrun terbelalak menatap punggung mulus Siti yang memakai dress hitam terbuka baik di sebelah belakang maupun depan. Beberapa bagian tubuh montoknya tampak meronta-ronta hendak dibebaskan. Sepatu high heel setinggi 7 inci yang tipis dan tajam berwarna senada dengan dress yang ia kenakan membalut kaki jenjangnya yang mulus. Siti mengambil lipstik di atas meja rias dan memulas lipstik merah menyala itu di atas bibirnya yang selalu terlihat penuh. Riasan lain sudah lengkap pula di wajahnya.
“Mau kemana?” Kadrun menunjukkan rasa penasarannya. Dia sedang menyetrika baju yang sudah kering dijemurnya pagi tadi.
“Mau ketemuan sama kawan.”
“Kawan? Siapa?”
“Dikasih tahu juga kau dak tahu.”
“Aku mau tahu. Lagi pula aku harus tahu. Aku ini suamimu.”
Siti mengambil botol parfum dan menyemprotkan ke leher dan pergelangan tangannya.
“Janjian dengan siapa?” Kadrun kembali mengajukan rasa penasarannya.
“Teman.” Jawab Siti datar sambil membuka lemari memilih salah satu koleksi tas yang cocok dengan busananya malam itu.
“Kenapa harus seperti itu dandanannya?”
“Kenapa memangnya?”
“Terlalu cantik.”
Siti langsung melemparkan tatapan dingin ke arah Kadrun, “Hei, Drun! Aku ini memang sudah cantik dari asalnya. Mau dikayak apakan juga tetap cantik.”
“Iya, aku tahu. Tapi berdandan begitu, mau kemana? Ini juga sudah jam 7 malam? Kau mau kencan dengan laki-laki?”
Siti meletakkan tas yang dipilihnya dari lemari ke pergelangan tangan sambil berkaca.
“Tadi kan sudah aku bilang mau ketemu teman.”
“Iya teman kan bisa juga laki-laki.”
Siti tertawa, “Kalau iya kenapa? Apa masalahnya kalau orang yang mau kutemui ini laki-laki?”
Kadrun langsung meletakkan setrikaannya di tatakan. Dia mendekati Siti dengan tatapan dingin.
“Kurang ajar betul laki-laki itu mau ketemu istri orang dengan dandanan seperti ini!”
“Eh, Drun. Jangan salahkan orang itu, yang mau berdandan seperti ini ya aku sendiri. Tidak ada hubungannya sama orang itu. Lagi pula jangan mudah menilai orang negatif, belum tentu cara berpikirnya sama dengan cara berpikirmu.”
“Hei, Siti. Aku ini laki-laki. Sebagai laki-laki aku tahu bagaimana rasanya melihat perempuan yang setengah telanjang di depanku. Aku tahu ke mana arah pikiran laki-laki itu, sebab kami laki-laki. Otak kami terbuat dari bahan yang sama!”
“Dia tidak serendah pikiranmu!”
Kadrun tertawa sumbang, “Kalau begitu, serendah apa dia?”
“Sudahlah. Aku sedang tidak ingin berdebat”
“Kenapa kau berdandan seperti ini? Kau ingin menggodanya? Di rumah saja jarang-jarang kau berdandan seperti ini.” Kadrun tidak terima dengan sikap istrinya. Dia segera meraih sweater tebal dari tumpukan kain yang dia setrika.
“Iya, nanti sekali-kali aku dandan seperti ini.” Siti meraih handphone yang tergeletak di atas meja rias. Tangan lentiknya mulai mengetik teks di telpon gengamnya tersebut.
“Tukar baju dan hapus dandanannya.” Kadrun memberi perintah.
Siti menatap Kadrun tajam, “Tidak!”
“Paling tidak lipstiknya diganti yang warna pucat.”
“Tidak!”
“Ya, kalau begitu kau pakai sweater ini dan jangan kau lepaskan ketika bertemu dengan kawanmu itu.” Kadrun langsung menggantungkan sweater yang dipegangnya ke bahu Siti.
“Apa sih!” Siti segera menepis dan melempar sweater tersebut.
“Kadrun! Aku ini punya tujuan pakai baju ini. Aku akan ketemu rekan kerja penting.”
Kadrun mengerutkan kening, “Urusan apa?”
“Bisnis. Aku mau buat bisnis.”
“Bisnis apa?”
“Itu tidak penting untukmu. Kau tidak perlu tahu.”
“Sudah kubilang dari tadi, aku ini suamimu. Aku harus tahu apapun tentangmu.”
“Jangan kolot lah!”
“Kolot? Maksudmu?”
“Jangan kuno! Biasa aja. Biasakan diri dengan kehidupan masa kini. Perempuan juga butuh eksistensi diri.”
“Bukannya aku akan mentransfer 100 juta itu padamu.”
“Makanya, dengan uang itu aku akan memulai bisnisku.”
“Ok. Kalau begitu aku akan mengantarmu menemui rekan bisnis itu.”
Siti tertawa, “Tidak usah. Tidak perlu repot!”
“Bahaya keluar malam-malam begini dengan pakaian seperti itu.”
“Nanti ada yang jemput.”
“Siapa?” nada suara Kadrun langsung meninggi.
Terdengar suara klakson motor di depan kontrakan. Siti langsung bergegas keluar kamar menuju pintu depan dan membukanya. Kadrun menyusul dan menemui seorang lelaki bak artis Bollywood sedang bertengger di atas motor di depan kontrakan mereka. Baju lelaki itu tidak terkancing sempurna memperliatkan otot-ototnya yang kotak-kotak. Kulitnya berwarna tembaga dan mengkilap. Sungguh-sungguh terlihat perkasa. Ukuran kepalan tangannya jauh beda dengan Kadrun.
“Hayo, kita berangkat Siti?” Lelaki itu menyapa Siti tanpa menganggap keberadaan Kadrun.
“Eh, kau siapa?” Kadrun langsung menghardik lelaki di atas motor tersebut.
“Halo, Kadrun. Saya Jay. Saya izin menjemput Siti.” jawab lelaki itu membuat Kadrun semakin kesal karena menyebut namanya.
“Aku pergi dulu.” Siti langsung melompat ke boncengan Jay.
“Eh, Siti,” Kadrun kecewa melihat sikap isterinya.
“Kami pergi dulu, Kadrun.” Jay menyahut lagi membuat darah Kadrun makin mendidih.
“Sayang, kira-kira pulang jam berapa nanti?” Kadrun menanyakan isterinya sebelum motor bergegas pergi.
“Setelah meeting-nya kelar. Tidak usah ditunggu. Aku bawa kunci serep. Tidur saja yang nyenyak. Aku pulang tidak akan mengganggumu.”
“Ok, Drun. Tidak ada lagi yang perlu dibahas kan? Kami pergi dulu ya.” Jay memotong pembicara Siti dan Kadrun. Tanpa menunggu reaksi Kadrun, Jay langsung tancap gas memacu motornya menelusuri gang dan menghilang dari tatapan Kadrun.
Kadrun termenung di muka rumahnya yang sudah sepi. Di bagian tertentu dari sisi hatinya terasa kosong dan nyeri.
“Aku tidak akan sakit hati, Siti.” Kadrun berceloteh dengan dirinya sendiri. "Aku sungguh-sungguh tidak sakit hati, Siti! Kau dengar perkataanku kan? Aku baik-baik saja, Siti!" Kadrun berteriak. Dia meremas dadanya yang tiba-tiba terasa sakit, sesak dan kehabisan oksigen.
“Siti, Kau lihat, kau lihat baik-baik, aku Kadrun suamimu baik-baik saja!” nada suara Kadrun mulai serak, dia terduduk lemas di teras kontrakannya.
Mak Tijah tampak mengintip dari jendela rumahnya.
“Kau pikir hatiku ini terbuat dari baja? Beton? Rangka besi? Aku manusia, Siti! Hatiku terbuat dari gumpalan darah. Cuma seonggok daging, Siti," terdengar pelan suara Kadrun. "Jadi, bohong kalau aku bilang aku sedang baik-baik saja. Aku sakit, Siti. Sakit keras!” Kadrun akhirnya meraung. Pertahanannya jebol, dia tersedu-sedu jatuh terduduk di depan teras rumahnya.
“Hei, Drun! Tidur sana. Sudah malam ini!” suara Bang Somad terdengar dari sebelah kanan.
“Baru jam 7 malam ini, Bang Somad. Tolong kasih aku ruang buat meluapkan perasaan. Sakit hatiku dibuat Siti, Bang!” Kadrun membalas dengan raungan yang semakin tinggi.
“Sudah jam 7.30 malam, Kadrun! Tidurlah! Kalau tidak aku kawani kau main domino.” Bang Somad yang hanya terdengar suaranya saja kembali menyahut.
“Aku tidak mau main domino sekarang ini, Bang. Aku ingin mencekik leher orang, Bang!” Kadrun kembali meraung.
“Jangan begitu, Kadrun. Aku ambilkan domino biar kita main. Jangan lupa kau ajak Mak Tijah. Pasti dia belum tidur.”
Bang Somad beberapa saat kemudian muncul di teras Kadrun.
“Sudah kubilang tadi, Bang. Aku sedang tidak ingin main domino.”
Mak Tijah ikut muncul karena memang sedari tadi dia mengintip dari balik jendela rumahnya.
“Woi, Bujang Lapuk! Sudah kubilangkan padamu sejak awal, paling juga istrimu sama anehnya denganmu. Lihat, kau dibikinnya meraung seperti balita. Nanti bangun pula cucuku kau buat! Daripada kau meraung macam orang gila sampai pagi, bagusnya kita main domino sampai kau mengantuk.”
“Mak Tijah, janganlah begitu. Aku ini sedang bersedih. Kasih aku ruang.”
“Sudahlah. Tidak baik terlalu larut dalam kesedihan. Bisa mengikis badan,” kali ini Bang Somad yang menyahut. Dia sudah membawa kartu domino dan kursi lipat kesayangannya.
“Ayolah kita main di dalam. Tidak bagus udara malam untuk kesehatan.” Mak Tijah mencangking lengan kurus Kadrun.
“Aku tidak mau main domino.” Kadrun menolak keras tarikan Mak Tijah.
“Lalu kau mau bunuh diri? Gara-gara isterimu kurang ajar? Bodoh namanya!” Mak Tijah kembali berusaha menarik Kadrun.
“Kali ini aku sepakat dengan Mak Tijah. Perempuan itu memang begitu. Kurang ajar kalau dicintai.” Bang Somad ikut mencangking lengan lain milik Kadrun.
“Kenapa menyalahkan perempuan? Ini bukan masalah perempuan. Ini masalah oknum yang mencemarkan nama baik perempuan.”
Kadrun pasrah saja di bawa ke dalam rumahnya dan didudukkan di sofa.
“Perempuan memang begitu. Sesuka-suka udelnya kalau bercakap dan bertindak. Pantas saja ada orang ngomong kalau otak perempuan itu cetek. Cuma sedengkul.” Bang Somad meneruskan pendapatnya.
“Eh, jangan begitu, Bang Somad. Sebagai perempuan aku tidak terima.” Mak Tijah tidak kalah sengit mendebat.
“Makanya kalau perempuan itu otaknya tidak cetek. Mereka bisa berpikir jernih dan tidak hanya menggunakan asumsi. Bahaya sekali kalau cara pikir kita selalu dipengaruhi asumsi.”
“Eh, Bang Somad,..” perdebatan keduanya makin panas berlanjut.
Kadrun jadi ingat Siti. Dia segera mengambil handphone yang tergeletak di buffet kamarnya. Dia menelpon Siti. Akan tetapi nadanya sibuk. Kadrun kembali berusaha menghubungi istrinya terus menerus. Akhirnya Siti mengangkat dengan suara ketus.
“Ada apa menelponku terus?”
“Iya, aku cemas kau pergi malam-malam sendiri.”
“Aku kan dengan Jay.”
“Aku tidak kenal Jay. Dia itu siapa.?”
“Iya, dia temanku. Kau tidak perlu cemas, Kadrun. Kau ingat saja perjanjian kita. Aku tidak akan melanggarnya selama kau menepati janji.”
“Bisa aku minta satu hal sebelum memberimu uang muka?”
“Apa itu?”
“Aku minta kau jangan menemui Jay lagi atau lelaki manapun.”
“Kau tidak perlu cemburu berlebihan seperti itu. Aku tahu menjaga diri.”
“Bisa kau penuhi permintaanku itu?”
“Ck, iya. Gampang itu.”
“Jawab yang benar, bisa atau tidak untuk tidak lagi menemui laki-laki yang tidak aku inginkan.”
“Iya, bisa! Puas sudah dengan jawabanku.”
“Jam berapa kau pulang?”
“Nanti aku kabari ya, orang yang akan kutemui sudah datang.”
“Lah, bukan Jay yang membuat janji bertemu denganmu?”
“Bukan, dia anak buah orang yang akan kutemui.”
“Siapa dia, Sayang?”
“Oh iya, Drun. Sudah dulu ya. Aku kabari kau lagi nanti.”
Hubungan telepon pun diputus.
Hati Kadrun semakin berkecambuk.
Sementara perdebatan di ruang depan malah bertambah alot dan belum mencapai titik jenuh.
Kadrun terbangun dari tidurnya mendengar suara lemari pakaian dibuka pelan-pelan. Dia mengintip dari balik kelopak mata yang tidak dibukanya penuh. Kadrun mendapati sosok Siti mengendap-endap menaruh tas dan sepatu kembali di lemari. Dia juga melepaskan satu persatu perhiasan dan gaun yang dikenakan. Kadrun mengintip jam weker yang ada di atas nakas.Jam 4 subuh!Istrinya baru pulang sepagi ini setelah sepanjang malam di luar bersama laki-laki yang sama sekali tidak dikenalnya. Kadrun langsung merubah posisinya dengan duduk di pinggir dipan.“Sepagi ini kau baru pulang, Siti?”Suara Kadrun mengagetkan Siti yang hanya memakai celana dalam dan bra. Dia membalik badan menghadap Kadrun. Kedua gunung kembar Siti tampak menantang di balik bra yang tampak tidak sanggup menampungnya. Warna bibir merah Siti yang kontras dengan kulit kuning langsatnya benar-benar memancarkan kecantikan alami Siti. Kadrun menelan ludah.“Maaf ya pulang terla
Siti kembali ke rumah subuh hari seperti waktu sebelumnya. Dia berjinjit memasuki kamar tidur untuk mencegah Kadrun terbangun dari tidurnya. Siti sangat hati-hati membuka pintu lemari pakaian, berharap deritnya tidak akan terdengar. Namun, lemari itu sudah terlalu tua. Sehingga sepelan apapun Siti berusaha membukanya, deritnya tetap akan terdengar jelas. Kadrun terbangun. Siti segera meletakkan tas dan sepatunya ke dalam lemari lalu menutupnya kembali. Melihat Kadrun bangkit dari tidurnya dan duduk di tepi dipan, Siti langsung membuka semua pakaian yang melekat di tubuhnya. Dengan tanpa sehelai benang pun, Siti langsung menghampiri Kadrun dan memangut Kadrun dengan liar. Kadrun tidak diberikan sedikit pun kesempatan untuk mengajukan pertanyaan. Kadrun pun tidak bisa berpikir apa-apa lagi, dia refleks membalas pangutan Siti dengan tak kalah liar, dia meremas buah dada Siti yang kenyal dan padat. Siti membiarkan tangan Kadrun yang lain meremas lembut selangkangannya dan menikmati perm
Kadrun termangu sejenak di depan Brewok yang duduk di kursi kerjanya sore itu. Kabar yang barusan disampaikan sahabatnya itu tidak pernah terpikirkan olehnya. Sebab, Siti juga pernah berjanji padanya bahwa tidak akan kembali bekerja, karena itu dia memberikan Siti uang muka perjanjian mereka sebesar seratus juta rupiah sesuai permintaan Siti. Setahu Kadrun, Siti hanya akan melakukan bisnis dengan seorang kawan. Sudah hampir sebulan hubungannya dengan Siti membaik. Mereka selalu mesra, saling menyayangi, saling memperhatikan. Siti benar-benar menjadi istri idaman Kadrun.“Aku rasa tidak salah lihat, Drun. Sorry lah kawan, kalo aku cakap terang-terangan. Aku ini kawanmu. Lama lah kita berkawan dibandingkan kau nikah dengan istrimu. Makanya aku dak rela kalau Siti macam-macam denganmu. Aku tanya padamu, apa Siti balik lagi bekerja jadi pemandu lagu?”Kadrun terdiam. Dia mengingat kembali percakapannya dengan Siti malam itu lewat telpon genggam.
Gentala Arasy merupakan ikon Kota Jambi, sebuah menara jam setinggi 80 meter yang dibangun di Kelurahan Arab Melayu, Pelayangan, Jambi Kota Seberang dengan rancangan artistektur bangunan yang kental dengan karakter Melayu dan Arab. Di dalam menara jam tersebut terdapat museum kebudayaan Jambi yang menyajikan 100 lebih koleksi fakta peninggalan sejarah Jambi di masa lalu. Sebuah jembatan pedestrian atau yang lebih dikenal warga Jambi dengan sebutan Jembatan Gentala Arasy dengan bentuk unik seperti huruf S membentang di atas Sungai Batanghari yang menghubungkan Menara Jam Gentala Arasy yang berada di Jambi Kota Seberang dan Ancol Kota Jambi. Jembatan sepanjang kurang lebih 1 km itu hanya dapat ditempuh dengan berjalan kaki. Pagi ataupun sore, banyak warga yang memanfaatkan jembatan itu sebagai tempat jogging ataupun sekedar berjalan-jalan. Sementara di malam hari, pemandangan sekitar Gentala Arasy menjadi sangat menarik untuk dipandang dengan permainan lampu warna warni yang dit
Setiba di kediamannya, Kadrun lunglai memarkirkan motornya di pekarangan kontrakan. Malam sudah menunjukkan pukul 23:15 WIB. Belum sampai tengah malam. Akan tetapi Kadrun sudah merasa terlalu lelah walaupun tidak ada rasa kantuk menggantung di kelopak matanya. Sebelum pulang, lebih dari sepuluh kali Kadrun menghubungi telepon gengam sang istri, namun kondisinya selalu sedang tidak aktif. Hati Kadrun makin gundah. Sesak dadanya semacam penyakit asma, padahal dia tidak pernah punya riwayat penyakit tersebut. Kadrun memukul-mukul dadanya karena merasa seperti ada sumbat yang mengganjal dan tidak bisa dilepaskan.Kadrun membuka pintu depan rumahnya. Ternyata tidak terkunci. “Ah, dia ada di rumah ternyata,” terdengar sekilas nada girang dari mulut Kadrun.Kadrun langsung meluncur menuju sofa. Dia membanting tubuh kurusnya di atas sofa singgasana coklat tersebut. Diraihnya remote televisi dari dalam laci meja. Siaran televisi yang menyala l
Kadrun sempat tertidur sejenak di dalam kamar entah untuk berapa saat. Dia terbangun kemudian setelah mendengar gedoran Beuti di pintu kamarnya.“Pak, Air panas sudah siap! Sudah disediakan di ember hitam di dalam kamar mandi!” Beuti memberitahukan di balik pintu.Kadrun menggeliat dan mulai meringis merasakan kepalanya yang tiba-tiba menjadi berat."Pak! Pak!" gedoran Beuti kembali terdengar. Kepala Kadrun terasa dipukul berkali-kali dengan suara Beuti.“Iya. Sebentar lagi saya ke kamar mandi. Tolong siapkan saja saya obat sakit kepala. Ada di laci meja depan televisi.” Kadrun berusaha bangkit dengan sempoyongan.“Iya, Pak.”Kadrun membuka pintu sambil menggantungkan handuk di leher. Beuti menghampirinya dengan segelas air putih dan sekeping obat. Setelah meminumnya, Kadrun menuju ke kamar mandi dengan langkah yang diseret.Kadrun merasa lebih segar sehabis mandi dengan air hangat. Dia kembali ke k
Kala 'ku pandang kerlip bintang nun jauh di sanaSayup 'ku dengar melodi cinta yang menggemaTerasa kembali gelora jiwa mudakuKarena tersentuh alunan lagu semerdu kopi dangdut Kadrun tersentak dari tidur akibat nada dering telepon gengamnya sendiri. Dengan mata masih terpejam, Kadrun meraba-raba saku jaket dan celananya, setelah menemukan barang tersebut Kadrun segera mengangkat panggilan yang tertera.“Iya, Wok? Kenapa?” terdengar serak suara Kadrun.“Dipanggil Pak Kadis sama Pak Kabid,” jawab Brewok di seberang telepon.“Hah? Siapa, Wok? Pak Kadis manggil Pak Kabid? Lah, terus apa hubungannya denganku, Wok?” Kadrun berbicara masih dengan mata terpejam.“Hoi, Jok! Bangun! Bangun! Bangun!” Brewok meneriaki Kadrun dari seberang telepon membuat Kadrun langsung menjauhkan telepon gengamnya dari kuping. Mata Kadrun lang
“Pak Kasi, bagaimana kalo kita susun kelompok kerja dulu baru kita ajukan ke Pak Kabid daftarnya?” Brewok mengusulkan pada Kadrun. Mereka sudah berada di ruangan sendiri dan duduk di kursi masing-masing.Kadrun menggerakkan kursinya ke salah satu meja di mana dia menyimpan rokok dan mancis. Kadrun menyalakan satu batang dan menghisapnya dalam-dalam. Kadrun lalu melempar kotak rokoknya pada Brewok berikut mancis. Dengan sigap Brewok menyambut. Sahabat Kadrun tersebut juga melakukan hal yang sama, menyalakan rokok sebatang dan menghisapnya dalam-dalam.“Ok. Boleh juga. Tolong kau masukkan nama kawan-kawan yang memang bisa sejalan dengan kita cara pikirnya. Jangan masukkan orang-orang yang bertingkah. Malas aku ngurusnya, Jok! Karena ini masalah penyaluran bantuan. Aku benar-benar ingin kita bisa bekerja secara terperinci, tepat sasaran, dan tidak ada permainan. Ngeri aku, Jok! Apalagi aku belum pernah ngurus anggaran.”“Siap, laksanak