sepertinya karena babnya kebanyakan saya pecah lagi jadi dua bab ya jadi bab 66-67 sehingga hari ini saya upload 3 bab sekaligus
Bapak merasa, seperti ada sesuatu yang menjaga kita bertiga. Sesuatu yang membuat takut semua makhluk gunung sehingga tidak mau mendekati kita bertiga yang kondisinya sudah sangat parah ini. Bapak hanya menggelengkan kepala, dia tidak tahu mahluk apa yang berbuat seperti ini. Apakah hal ini berhubungan dengan apa yang dia cari selama ini, karena salah satu orang yang tersungkur di sana adalah keturunan Ki Wisesa yang nantinya akan menjaga warung selepas dirinya tidak ada. Atau memang ada mahluk yang baik yang sengaja menjaga mereka, ketika mereka tak sadarkan diri sehingga aman dari gangguan para mahluk yang ingin mengambil jiwa mereka. Bahkan, aura tipis berwarna biru yang Bapak keluarkan. Tidak mendeteksi satupun mahluk yang biasanya menyembunyikn dirinya di dalam kegelapan hutan, mereka seperti takut mendekati tubuh kita berdua tanpa ada alasan yang jelas dan tidak bisa diterima oleh akal Bapak. Apalagi, kedua tubuh dan jiwa yang lepas di sana biasanya menjadi santapan yang mani
Pagi menjelang dengan udara dingin dan kabut tipis pegunungan yang memenuhi Kampung Sepuh pada pagi ini. Para warga sudah mulai kembali bangun dari tidur nyenyaknya di dalam rumah. Terlihat dari banyaknya asap-asap dari tungku kayu bakar yang mengepul keluar dari rumah-rumah mereka pada pagi itu. Sebuah suasana yang tenang dan menjadi ciri khas bagi setiap rumah-rumah yang ada di Kampung Sepuh setiap paginya, sebuah kegiatan yang mungkin saja tidak akan bisa kita jumpai di kota-kota besar. Banyak warga yang terlihat keluar rumah, sambil membawa obor atau senter kecil aluminium dengan sinarnya yang berwarna kuning, meskipun matahari perlahan sudah muncul tapi tetap saja mereka membutuhkan itu untuk penerangan melewati area persawahan hingga akhirnya bisa mandi dan kakus di MCK dekat sungai, yang setiap paginya akan ramai oleh para warga yang membersihkan diri juga membersihkan baju-baju kotor bekas mereka pakai dari sawah atau dari ladang. Blug. Aku dan Asep kini terlihat terbaring
Sudah beberapa waktu terlewati, aku kini sedang duduk-duduk di depan warung pada sore itu. Warung pada sore hari terlihat ramai, Mas Parto dan Parman bahkan terlihat ikut duduk-duduk di depan warung sambil melihat ke arah jalan yang kini ramai oleh para warga yang pulang dari ladang dan sawah untuk kembali ke rumah-rumah mereka. Sudah hampir satu bulan berlalu, semenjak aku menerima ijazah SMA. Darman dan Rusdi sudah hampir dua minggu berkelana di kota untuk memasukan lamarannya ke pabrik-pabrik yang ada di sana. Mereka patungan untuk mengontrak bedeng (kontrakan) kecil untuk mereka tinggal sementara, sebelum nantinya mereka akan pindah ke kontrakan yang lebih besar ketika mereka sudah mendapatkan pekerjaan. Sedangkan aku, aku hanya menyimpan ijazah tersebut di dalam kamar. Ijazah dengan nilai yang biasa-biasa saja hanya aku bungkus plastik bening, dan tak lupa aku beri pigura bekas agar terlihat bagus dan aku gantungkan di sudut kamar menghadap jendela. Aku hanya bisa melakukan hal
Malam semakin larut, suara burung-burung malam terdengar dengan sangat merdu. Membentuk sebuah melodi mistis yang bergema di dalam Gunung Sepuh pada malam itu. Sebuah mobil terparkir di ujung kebun teh yang terlihat sangat gelap gulita. Bersamaan dengan dua jejak langkah kaki yang terlihat dari jalanan setapak yang berlumpur menyusuri kebun teh hingga akhirnya masuk ke dalam hutan Gunung Sepuh dari sebelah kiri. Gunung Sepuh sendiri adalah gunung yang mempunyai banyak pintu masuk, tidak hanya pintu masuk yang sering warga sebut gerbang. Namun juga banyak sekali pintu masuk hutan yang tersebar di kiri kanan hingga belakang gunung dengan rute yang berbeda-beda. Tampaknya, ada dua orang yang masuk ke dalam hutan Gunung Sepuh pada saat itu. Dua orang dengan pakaian yang sangat berbeda antara satu dan lainnya. Salah satunya adalah bapak-bapak umur lima puluhan yang bernama Doni, dengan badan yang sedikit agak gemuk, dengan janggut panjang serta rambut yang terlihat rapi. Tangannya memak
Doni Suarsa, adalah salah satu pengusaha sukses di Ibu Kota. Dia mendapatkan sebuah warisan perusahaan yang bergerak dengan rezim, yang berkuasa pada saat itu. Orang tuanya memihak mereka dengan bantuan finansial ketika rezim pertama digulingkan dan diganti dengan rezim yang baru.Orang tua Doni sangat dekat dengan para pemimpin tersebut, sehingga melenggangkan perusahaannya ke beberapa tempat yang berada di Pulau Jawa. Cengkeh, gula, tembakau, juga properti. Semuanya mereka kuasai, sehingga keluarga Doni menjadi keluarga yang terpandang dan terkenal dimana-mana.Sehingga Doni tumbuh dengan bergelimang harta, tidak pernah sekalipun dia menginjak perkampungan penduduk yang kumuh dan bergaul dengan mereka. Otak Doni pada saat itu hanya bersenang-senang dan menghabiskan uang yang diberikan oleh bapaknya.Salah satu hal yang salah dan mungkin disesali oleh orang tuanya pada saat ini, Doni tidak di ajarkan untuk meneruskan perusahaan yang orang tuanya kelola. Dia tidak pernah menginjakan d
Suasana warung kini lebih ramai, Bapak tidak lagi sendirian menjaga warung dalam beberapa hari ini. Aku yang sudah mengetahui yang terjadi dengan warung dan kampung ini, kini lebih sering menemani Bapak di warung ini, menghabiskan waktu sembari menyerap ilmu yang Bapak di malam-malam tertentu di depan warung. “Kamu duduk disini, coba lampu minyak yang ada dinding di matikan Mat. ” Bapak yang kini bersamaku di warung untuk berjaga, tiba-tiba menyuruhku untuk duduk bersila. Dan mematikan satu-satunya penerangan warung yang cahayanya bisa menerangi jalan pada malam itu.Aku mengangguk, dan meniup lampu minyak yang menempel di dinding depan warung. Suasana yang awalnya terang kini mendadak gelap, lampu yang menyala kini hanya berada di dalam warung dan di ruangan belakang.Aku akhirnya duduk dan bersila, aku bingung apa yang akan aku lakukan sekarang. Karena biasanya bapak menyuruhku tanpa ada penjelasan apapun. Dan ketika hal itu selesai, baru lah bapak akan menjelaskan apa yang sedang
Sebuah asap putih tiba-tiba muncul di salah satu sudut hutan di Gunung Sepuh, asap putih tersebut melayang melewati pepohonan besar dengan dahan-dahannya yang rindang, sebelum nantinya asap putih tersebut menghilang di udara dan menyatu dengan gelapnya malam di Gunung Sepuh.Terlihat, Doni dan Ki Waluh terduduk di depan sebuah batu besar yang berdiri, batu yang dinamai batu nangtung. Tempat yang seringkali dipakai oleh para manusia yang melakukan ritual disana, dan menjadi tempat untuk bertemu dengan salah satu sosok yang menjadi penghuni makhluk tersebut, yaitu Dewi Neng Tiyas.Namun, tindakan Ki Waluh kali ini berbeda, dia tidak sedang memanggil makhluk itu kembali. Namun, kini sedang melakukan sesuatu yang dia lakukan untuk menjalankan suatu persyaratan yang akan dipersembahkan kepada makhluk yang menjadi penghuni dari batu besar itu.Ki Waluh dengan cekatan membakar beberapa dupa dan di tancapkan di depan batu besar tersebut, mulutnya komat kamit sambil menggelengkan kepalanya ke
Chough Chough Hoeeeeeekkkkk Aku tiba-tiba batuk dan muntah secara bersamaan, membuat kayu yang menjadi tempat duduk warung dikotori oleh darah segar berwarna merah yang keluar dari mulutku pada saat itu. Aku yang duduk pun kini tersungkur, karena rasa sakit yang aku rasakan secara tiba-tiba ketika aku duduk di depan warung pada saat tubuhku sedang fokus melihat lilin yang tepat berada di depanku pada saat itu. “Apakah ini salah satu gangguan yang Bapak Katakan?” “Tapi kenapa sampe seperti ini,” Pikirku. Hoeeekkk Aku kembali muntah, darah segar kembali keluar dari mulutku pada saat itu. Rasa sakit yang luar biasa yang membuat tubuhku seperti di tusuk-tusuk oleh jarum kecil dari dalam tubuhku membuatku ingin muntah dan mengeluarkan semua isinya yang ada dalam tubuhku pada saat itu. Rupanya, Bapak yang terpejam di dalam warung pun merasakan hal yang aneh pada diriku, dan dengan sigap membuka matanya dan berlari dengan sekencang-kencangnya ke arah ku dari dalam warung. “KAMU JAN