Mohon maaf untuk Bab 63 ada beberapa bagian yang tidak ikut tercopas dari draft sehingga apabila sudah membaca, seperti ada hal yang tidak nyambung dari bab 62 ke bab 63 saya sudah revisi dan sudah laporan ke pihak GN, semoga bisa segera di acc revisinya Terima kasih
Bagi masyarakat Kampung Sepuh, masalah apapun yang melibatkan Gunung Sepuh sebagai penyebabnya, harus didiskusikan dengan semua warga kampung. Apalagi menyangkut ritual-ritual dan perjanjian di dalamnya, juga tumbal-tumbal yang mereka berikan di dalam gunung. Banyak sekali kejadian, para pencari madu hutan dan kayu bakar, yang setiap harinya berkeliling di hutan Gunung Sepuh untuk mencari kedua bahan tersebut, tiba-tiba menemukan mayat. Mayat yang sudah membusuk bahkan hanya tulangnya saja yang tersisa. Saking seringnya, mereka jadi tahu. Apabila mayatnya berada di tempat teduh dengan posisi duduk atau terbaring, maka itu adalah orang yang tersesat dan jasadnya baru ditemukan setelah sekian lama menghilang. Namun, apabila mayatnya berada dalam kondisi terikat atau tengkoraknya penuh luka, berarti itu adalah tumbal dari perjanjian dan ritual yang terjadi di Gunung Sepuh. Tahun 1980, informasi tidak semassive sekarang. Penyebaran informasi yang tidak merata membuat para warga hanya me
Kembali beberapa jam yang lalu, di mana dalam beberapa puluh lagi, akan terdengar suara ayam yang berkokok di seluruh kampung. Yang menandakan bahwa pagi akan menjelang, dan menyingkirkan semua aura mistis yang menyelimuti kampung dan Gunung Sepuh ketika malam tiba. Kondisi kampung yang gelap, hanya menyisakan kesunyian yang tergambar dari heningnya kampung pada malam itu. Meskipun ada beberapa warga yang tampaknya sudah bangun. Namun tetap saja, mereka tidak akan berani keluar rumah sebelum suara kokok ayam terdengar ke seluruh kampung. Warung yang ada di dekat rumahku pun, kini tampak sepi. Tidak ada tanda-tanda bahwa Bapak tidur di dalam warung atau duduk depan warung dengan asap rokok yang mengepul hingga menutupi langit-langit dan menghilang di udara. Karena, Bapak kini berdiri di depan gerbang. Yaitu sebutan bagi sebuah pintu masuk hutan yang berbatasan dengan Kampung Sepuh. Pintu masuk dengan jalanan setapak yang penuhi oleh rerumputan dan pepohonan tinggi di kedua sisinya.
Bapak merasa, seperti ada sesuatu yang menjaga kita bertiga. Sesuatu yang membuat takut semua makhluk gunung sehingga tidak mau mendekati kita bertiga yang kondisinya sudah sangat parah ini. Bapak hanya menggelengkan kepala, dia tidak tahu mahluk apa yang berbuat seperti ini. Apakah hal ini berhubungan dengan apa yang dia cari selama ini, karena salah satu orang yang tersungkur di sana adalah keturunan Ki Wisesa yang nantinya akan menjaga warung selepas dirinya tidak ada. Atau memang ada mahluk yang baik yang sengaja menjaga mereka, ketika mereka tak sadarkan diri sehingga aman dari gangguan para mahluk yang ingin mengambil jiwa mereka. Bahkan, aura tipis berwarna biru yang Bapak keluarkan. Tidak mendeteksi satupun mahluk yang biasanya menyembunyikn dirinya di dalam kegelapan hutan, mereka seperti takut mendekati tubuh kita berdua tanpa ada alasan yang jelas dan tidak bisa diterima oleh akal Bapak. Apalagi, kedua tubuh dan jiwa yang lepas di sana biasanya menjadi santapan yang mani
Pagi menjelang dengan udara dingin dan kabut tipis pegunungan yang memenuhi Kampung Sepuh pada pagi ini. Para warga sudah mulai kembali bangun dari tidur nyenyaknya di dalam rumah. Terlihat dari banyaknya asap-asap dari tungku kayu bakar yang mengepul keluar dari rumah-rumah mereka pada pagi itu. Sebuah suasana yang tenang dan menjadi ciri khas bagi setiap rumah-rumah yang ada di Kampung Sepuh setiap paginya, sebuah kegiatan yang mungkin saja tidak akan bisa kita jumpai di kota-kota besar. Banyak warga yang terlihat keluar rumah, sambil membawa obor atau senter kecil aluminium dengan sinarnya yang berwarna kuning, meskipun matahari perlahan sudah muncul tapi tetap saja mereka membutuhkan itu untuk penerangan melewati area persawahan hingga akhirnya bisa mandi dan kakus di MCK dekat sungai, yang setiap paginya akan ramai oleh para warga yang membersihkan diri juga membersihkan baju-baju kotor bekas mereka pakai dari sawah atau dari ladang. Blug. Aku dan Asep kini terlihat terbaring
Sudah beberapa waktu terlewati, aku kini sedang duduk-duduk di depan warung pada sore itu. Warung pada sore hari terlihat ramai, Mas Parto dan Parman bahkan terlihat ikut duduk-duduk di depan warung sambil melihat ke arah jalan yang kini ramai oleh para warga yang pulang dari ladang dan sawah untuk kembali ke rumah-rumah mereka. Sudah hampir satu bulan berlalu, semenjak aku menerima ijazah SMA. Darman dan Rusdi sudah hampir dua minggu berkelana di kota untuk memasukan lamarannya ke pabrik-pabrik yang ada di sana. Mereka patungan untuk mengontrak bedeng (kontrakan) kecil untuk mereka tinggal sementara, sebelum nantinya mereka akan pindah ke kontrakan yang lebih besar ketika mereka sudah mendapatkan pekerjaan. Sedangkan aku, aku hanya menyimpan ijazah tersebut di dalam kamar. Ijazah dengan nilai yang biasa-biasa saja hanya aku bungkus plastik bening, dan tak lupa aku beri pigura bekas agar terlihat bagus dan aku gantungkan di sudut kamar menghadap jendela. Aku hanya bisa melakukan hal
Malam semakin larut, suara burung-burung malam terdengar dengan sangat merdu. Membentuk sebuah melodi mistis yang bergema di dalam Gunung Sepuh pada malam itu. Sebuah mobil terparkir di ujung kebun teh yang terlihat sangat gelap gulita. Bersamaan dengan dua jejak langkah kaki yang terlihat dari jalanan setapak yang berlumpur menyusuri kebun teh hingga akhirnya masuk ke dalam hutan Gunung Sepuh dari sebelah kiri. Gunung Sepuh sendiri adalah gunung yang mempunyai banyak pintu masuk, tidak hanya pintu masuk yang sering warga sebut gerbang. Namun juga banyak sekali pintu masuk hutan yang tersebar di kiri kanan hingga belakang gunung dengan rute yang berbeda-beda. Tampaknya, ada dua orang yang masuk ke dalam hutan Gunung Sepuh pada saat itu. Dua orang dengan pakaian yang sangat berbeda antara satu dan lainnya. Salah satunya adalah bapak-bapak umur lima puluhan yang bernama Doni, dengan badan yang sedikit agak gemuk, dengan janggut panjang serta rambut yang terlihat rapi. Tangannya memak
Doni Suarsa, adalah salah satu pengusaha sukses di Ibu Kota. Dia mendapatkan sebuah warisan perusahaan yang bergerak dengan rezim, yang berkuasa pada saat itu. Orang tuanya memihak mereka dengan bantuan finansial ketika rezim pertama digulingkan dan diganti dengan rezim yang baru.Orang tua Doni sangat dekat dengan para pemimpin tersebut, sehingga melenggangkan perusahaannya ke beberapa tempat yang berada di Pulau Jawa. Cengkeh, gula, tembakau, juga properti. Semuanya mereka kuasai, sehingga keluarga Doni menjadi keluarga yang terpandang dan terkenal dimana-mana.Sehingga Doni tumbuh dengan bergelimang harta, tidak pernah sekalipun dia menginjak perkampungan penduduk yang kumuh dan bergaul dengan mereka. Otak Doni pada saat itu hanya bersenang-senang dan menghabiskan uang yang diberikan oleh bapaknya.Salah satu hal yang salah dan mungkin disesali oleh orang tuanya pada saat ini, Doni tidak di ajarkan untuk meneruskan perusahaan yang orang tuanya kelola. Dia tidak pernah menginjakan d
Suasana warung kini lebih ramai, Bapak tidak lagi sendirian menjaga warung dalam beberapa hari ini. Aku yang sudah mengetahui yang terjadi dengan warung dan kampung ini, kini lebih sering menemani Bapak di warung ini, menghabiskan waktu sembari menyerap ilmu yang Bapak di malam-malam tertentu di depan warung. “Kamu duduk disini, coba lampu minyak yang ada dinding di matikan Mat. ” Bapak yang kini bersamaku di warung untuk berjaga, tiba-tiba menyuruhku untuk duduk bersila. Dan mematikan satu-satunya penerangan warung yang cahayanya bisa menerangi jalan pada malam itu.Aku mengangguk, dan meniup lampu minyak yang menempel di dinding depan warung. Suasana yang awalnya terang kini mendadak gelap, lampu yang menyala kini hanya berada di dalam warung dan di ruangan belakang.Aku akhirnya duduk dan bersila, aku bingung apa yang akan aku lakukan sekarang. Karena biasanya bapak menyuruhku tanpa ada penjelasan apapun. Dan ketika hal itu selesai, baru lah bapak akan menjelaskan apa yang sedang
Pemakaman Kampung Sepuh kini lebih ramai daripada biasa, meskipun sekarang sudah masuk hari kedua lebaran di tahun 2022. Namun masih banyak orang-orang yang berdatangan dan berziarah ke makam keluarga dan teman mereka di kampung ini. Kampung Sepuh yang awalnya sepi tiba-tiba mendadak ramai, para warga yang bekerja di kota-kota besar kini kembali pulang untuk menikmati suasana lebaran yang kini lebih bebas dari dua tahun sebelumnya, sehingga para warga yang dulu tidak bisa mudik akibat pandemi kini bisa pulang ke rumah dan berkumpul kembali dengan keluarga mereka yang menunggunya di kampung. Sedangkan aku (penulis), kini sedang duduk di samping makam Bu Esih, Pak Amat, juga Pak Darsa dan leluhurnya di pemakaman Kampung Sepuh. Ku lihat pula beringin yang di dalam cerita Warung Tengah Malam terbakar habis kini sudah mulai tumbuh daun-daun baru, dan mungkin saja beberapa tahun lagi beringin yang ada di pemakaman itu sudah kembali tumbuh dan rindang seperti sedia kala. “Oh jadi begitu Ma
Beberapa kali aku mengalami kejadian yang seperti ini, batuk-batuk dan muntah darah, lalu dibarengi oleh mata yang berkunang-kunang dan akhirnya aku terjatuh dan tidak sadarkan diri di tanah.Tubuhku semakin menua, staminaku tidak lagi seperti dulu, mungkin inilah kekurangan dari manusia. Mereka tidak bisa mempertahankan stamina ketika umurnya sudah semakin tua. Sehingga, sehebat apapun mereka, tetap saja apabila stamina mereka di kuras habis maka akan ambruk juga.Esih yang curiga dengan keadaanku kini semakin khawatir akan keadaanku menyarankan aku untuk tidak terus-menerus mencari jawaban dari misteri ini ke Gunung Sepuh.Namun, meskipun aku sudah melepas Ujang untuk tinggal di kota besar dan tidak mengharapkan dia pulang kembali ke Kampung Sepuh ini. Tetap saja, rasa khawatir akan kutukan ini masih saja memenuhi pikiranku pada saat itu.Meskipun kondisiku semakin melemah, tapi aku tidak putus asa. Apalagi kini aku mempunyai teman sekaligus sahabat, yaitu Aki Karma. Pemimpin sebuah
Tak terasa, obrolan yang terjadi di warung itu kini aku simpan dalam pikiranku. Rasa ingin menyelesaikan sesuatu yang seharusnya aku selesaikan dengan segera akhirnya membuatku semakin memaksakan diriku untuk masuk ke dalam Gunung Sepuh di setiap harinya. Bahkan saking seringnya, ketika ada tamu yang meminta bantuan untuk permasalahan yang dia miliki, dia harus menungguku pulang terlebih dahulu atau nanti aku akan mendatangi rumahnya ketika mereka tidak menemukanku di warung atau dirumah pada saat itu. Hari demi hari, bulan demi bulan, bahkan tahun demi tahun tak terasa aku lewati. Aku sudah mencoba berbagai cara, bahkan kini warung seringkali aku tinggalkan dan ketika aku pulang ketika pagi tiba, aku melihat warung tampak berantakan, karena mungkin para makhluk yang datang tidak menemukan ku di dalam warung untuk aku layani pada malam itu. Aku yang kini lebih bisa menerima para makhluk yang ada tinggal di luar Gunung Sepuh, aku seringkali bertanya kepada mereka tentang situasi Gunu
Ujang, anak yang aku sayangi rupanya tumbuh dengan sehat dan kuat. Aku dan Esih sepakat untuk tidak memberitahu kepadanya tentang warung ini yang sebenarnya.Dia yang selalu bertanya setiap malam ketika dirinya tidak boleh ke warung ketika malam tiba, dan pertanyaan itu dijawab oleh Esih bahwa aku yang menjaga warung setiap malam harus berjuang keras untuk bisa menyekolahkan dirinya sehingga membuka warung di pagi dan siang hari pun tidaklah cukup untuk bisa menyekolahkan dia ke jenjang yang lebih tinggi.Apalagi, ketika malam tiba, Esih seringkali memberikan cerita pengantar tidur, mencoba memberinya cerita-cerita seram seperti tentang tuyul, genderuwo, pocong, kuntilanak, juga para makhluk-makhluk yang seringkali menculik manusia, ketika Ujang masih belum tidur di dalam rumah meskipun malam sudah larut.Esih tahu, bukannya dia menakut-nakuti Ujang, tapi Esih sengaja memberikan cerita itu agar Ujang bisa tertidur dan tidak menanyakan lagi tentang kondisi warung serta kejanggalan-keja
Malam ini, aku sengaja keluar meninggalkan warung dan membiarkannya tampak kosong. Aku sudah tidak tahu terakhir kali aku meninggalkan warung. Terakhir kali aku meninggalkan warung, ketika Wawan menghilang di persawahan ketika sedang bermain dengan teman-temannya, dan akhirnya aku menemukan tubuhnya yang tampak sedang di asuh oleh salah satu makhluk yang bernama kalong wewe yang menganggap Wawan adalah anaknya. Aku berusaha mengambilnya kembali, meskipun perjuangan tampak tidak mudah, karena aku harus melewati Leuwi Jurig yang dipenuhi oleh makhluk yang bernama lulun samak ketika malam tiba. Meskipun begitu, akhirnya Wawan selamat. Aku menggendongnya ke Kampung Sepuh tepat ketika pagi menjelang, ketika para kelelawar kembali ke Gunung Sepuh untuk beristirahat dan mentari pagi dengan sinarnya yang merah ke kuning-kuningan muncul di belakang Gunung Sepuh yang menjulang di pagi itu. Kini, aku kembali keluar. Mencoba sesuatu yang mungkin saja bisa membantuku untuk mencari keberadaan ma
Kehidupan Kampung Sepuh akhirnya berjalan kembali seperti biasa, para warga kembali ke ladang dan sawahnya setiap pagi, dan akan mampir ke warung untuk mengobrol dan bercengkrama tentang apa yang terjadi di hari itu, pada sore harinya sepulang dari ladang dan sawah. Banyak hal yang mereka ceritakan, tentang kejadian-kejadian yang ada di sekitar mereka, tentang berita-berita politik yang susah sekali sampai ke tempat mereka, juga tentang gosip-gosip yang ada di sekitar mereka. Rokok dan kopi serta jajanan dan cemilan-cemilan menemani mereka ketika berkumpul di depan warung di sore itu. Rusdi, Darman , Parman, juga warga lainnya berkumpul dan saling bercengkrama satu sama lain. Sebuah hal yang jarang terjadi di kota-kota besar menurut Darman. Darman yang kembali lagi setelah bertahun-tahun tinggal di kota kini merasakan kembali kehangatan warga Kampung Sepuh yang masih akrab dengannya, Darman pun seringkali membicarakan situasi politik pada saat itu yang kacau balau, banyak pabrik ya
Rasa dingin yang menusuk kulit kini aku rasakan kembali di depan warung yang sangat sunyi dan sepi ini, kejadian yang terjadi dalam seminggu yang lalu membuatku banyak berpikir tentang apa yang aku hadapi di dalam Gunung Sepuh yang gelap itu. Fuhhhhhhhh Asap tebal mengepul keluar dari mulutku, aku yang kembali beraktifitas seperti biasa kini duduk di depan warung seperti biasa. Menikmati suasana malam yang ada di depan warung ini sambil menghisap rokok kretek yang menjadi teman satu-satunya bagiku di setiap malamnya. Aku kembali banyak melamun atas kejadian yang menimpaku pada saat itu, keilmuan yang aku pelajari dan aku asah, rupanya masih belum cukup untuk menjaga keluargaku, bahkan untuk menjaga Kampung Sepuh yang sudah dipercayakan oleh leluhurku sewaktu dia mendapatkan kutukan ini. Apalagi, dibalik rasa senang dan haru ketika Ujang lahir di dunia ini, ada rasa khawatir yang semakin lama semakin besar, rasa yang muncul apabila dia harus menjadi seseorang yang sepertiku, terkeka
“Enggak, enggak, enggak, kamu bukan manusia, kamu bukan karyawanku!”“Mana karyawanku semua, karyawan yang shift malam yang seharusnya bekerja di tempat ini sekarang?”Doni benar-benar panik karena di depannya terlihat sebuah sosok yang tidak dia kenali, wajahnya yang tampak hancur kini terlihat jelas ketika cahaya dari korek apinya menyinari dirinya dari dekat.Doni beberapa kali berteriak memanggil karyawan yang seharusnya bekerja di shift malam pada malam ini, tubuhnya yang awalnya tidak bergerak kini mendadak kaku sehingga dia tidak melarikan diri dan keluar dari ruangan produksi tersebut.“Kenapa, Bapak tidak mengakui kami sebagai karyawan lagi?” Kata sosok itu yang kini tersenyum dengan giginya yang hancur dan menyisakan beberapa gigi yang masih tersisa di dalam wajahnya yang remuk dan tidak berbentuk itu.“Bapak tidak ingat, aku adalah orang yang terkena mesin ini Pak sehingga wajahku hancur, aku seperti didorong oleh sesuatu yang membuat kepalaku terkena mesin press dan mening
Sudah beberapa hari ini, Doni termenung di meja kerjanya, surat-surat resign yang dia terima dari bagian HRD pabriknya kini berserakan di mejanya.Semenjak kejadian itu, karyawan Doni banyak sekali yang mengundurkan diri, tidak hanya karyawan produksi yang selama ini mengawasi mesin-mesin besar untuk pabriknya, namun banyak juga staf-staf di divisi tertentu yang tiba-tiba resign dengan berbagai alasan.Meja Doni kini tampak berantakan, kertas-kertas coretan yang bertumpuk dengan file-file berkas tentang laporan penjualan yang kini menurun akibat kekurangan staf dan pekerja kini memenuhi sebagian meja kerjanya pada saat itu.Alat-alat tulis yang awalnya rapi pun kini berserakan tidak karuan, Doni yang awalnya menyukai kerapihan dan kesempurnaan kini mendadak tidak peduli dengan ruangan kerjanya sendiri. Bahkan, dia lebih banyak termenung sekarang, menyesali semua perbuatannya yang dia lakukan beberapa hari yang lalu.Jujur, dia bukan menyesal karena dia melakukan hal itu, namun dia men