Tengah malam sebentar lagi tiba, Kampung Parigi yang biasanya pada jam segini akan terdengar orang-orang yang bermain gitar di pos ronda, mendengar suara ketukan kohkol (pentungan) yang dipukul oleh anak-anak Karang Taruna ketika berkeliling untuk meronda, kini tidak terdengar lagi.Mereka lebih memilih untuk berdiam dirumah, beristirahat dan menjaga keluarga mereka atas teror yang sedang mereka hadapi beberapa hari ini. Sehingga, hanya kegelapan yang terlihat. Tidak ada satupun orang-orang yang berani keluar rumah untuk beraktivitas ketika malam tiba.Kecuali Bagja, dia kini sedang duduk diluar rumah. Kakinya beberapa kaki dihentakan ke tanah secara perlahan, kedua tangannya dia dekatkan ke arah mulut dengan tatapan kedua matanya yang terus-menerus menatap ke arah gang yang nantinya tembus ke rumahnya.Hatinya gelisah, dia merasa cemas karena dia tidak diperbolehkan ikut dengan bapaknya sendiri untuk memurnikan jiwa Iceu malam itu.Sehingga, dia hanya bisa menunggu, menunggu kabar ba
Malam kini sudah berada di puncaknya, rasa dingin pegunungan mulai terasa oleh seluruh warga Kampung Parigi pada malam itu, sebagian warga sudah terlelap tidur. Tidur dengan perasaan takut yang menyelimuti mereka semua, ada pula yang masih terbangun, dengan asap rokok dan kopi hitam yang menemani mereka berjaga. Menjaga keluarganya yang terlelap tidur di dekat mereka, meskipun mereka juga merasakan ketakutan yang sama, tapi mereka terpaksa harus terjaga sepanjang malam. Semua mereka lakukan hanya demi keluarga, demi orang tersayang, dan demi anak-anak mereka.Begitu pula dengan Bagja, rasanya dia tidak bisa duduk manis menunggu hasil dari apa yang dilakukan Abah Ido pada malam tersebut. Apalagi setelah melihat Caca yang tunggang-langgang lari ke rumahnya dengan raut wajah yang sangat ketakutan.Sehingga dia berinisiatif untuk menyusul mereka semua, melewati jalanan setapak di kegelapan malam ke arah rumahnya. Rumah kecil di tengah-tengah kebun yang mereka bangun dengan cinta dan kasih
Pada malam hari, adalah saat yang tepat aku menyendiri sekarang. Meskipun hatiku yang kosong kini terobati ketika siang tiba. Tapi ketika malam, aku kembali teringat, kejadian-kejadian yang menimpa keluargaku, sehingga pada saat-saat seperti ini, hanya aku sendirian di depan warung ini, tanpa ada satupun yang menemaniku lagi sekarang, aku semakin merasakan kehilangan.Semuanya terjadi begitu cepat, seperti sesuatu yang datang secara tiba-tiba dan mengambil kedua orang tuaku secara paksa. Baru beberapa bulan aku lulus dari sekolah, dan dari sanalah semuanya dimulai.Memulai sesuatu hal yang tidak pernah aku pikirkan sebelumnya, dan berakhir dengan meninggalnya kedua orang tuaku sekarang.Mungkin para warga juga pada saat ini juga merasakan kehilangan itu. Mereka masih belum siap kehilangan dua sosok yang mereka hormati di Kampung Sepuh, dua sosok yang sering membantu mereka, menjadi tempat mereka berkeluh kesah, dan menjadi seseorang yang menjadi tempat bagi mereka mengungkapkan segala
Penari jaipong, awalnya profesi itu adalah profesi yang diincar oleh banyak orang, tidaklah mudah bagi seseorang untuk menguasai tari jaipong yang populer di zaman tersebut. Gerakan yang harus selaras dengan kendang dan gamelan yang di bunyikan secara bersamaan, juga beberapa ketukan yang harus mereka kuasai, serta irama dan nada yang harus mereka pelajari dalam waktu yang cukup lama. Biasanya, para penari ini muncul secara turun-temurun dari keluarga yang menjunjung tinggi akan kesenian. Sang bapak biasanya adalah pemain gamelan, kendang, rebab, bonang, goong juga alat-alat yang lainnya, sang ibu adalah penari, yang ilmunya diturunkan kepada anaknya. Begitu pun Iceu saat masih kecil. Iceu yang sudah terbiasa pentas dari panggung ke panggung, juga ketika ada acara dan lomba-lomba yang sering dia ikuti sewaktu kecil, membuat namanya sedikit melambung, si ketuk tilu atau biasa disebut si tiga ketukan oleh masyarakat di sekitar selatan pada waktu itu. Gerakan tubuh dan lekuk tubuhnya
Jangan menilai buku dari halaman depannya saja. Mungkin, itulah yang sebenarnya terjadi kepada Bagja akan apa yang dilakukan istrinya selama satu tahun lebih ini. Hidup di dunia pementasan, yang mengandalkan panggung ke panggung. Selalu mengalami pasang surut akan karirnya, tidak semuanya akan sukses menjadi primadona ketika kita tampil dan menampilkan keahlian kita di depan banyak orang. Dan hal itu yang dialami oleh Iceu, Iceu yang kini mulai menapaki karirnya lagi sebagai penari jaipong di pagelaran seni milik teman bapaknya, harus memulai kembali dari nol. Tidak ada sikap hormat ketika dia bergabung dengan para penari jaipong yang lain, para pemain gamelan, sinden, alok (penyanyi pria), hingga penata panggung. Mereka semua menganggap Iceu adalah anak baru yang tidak mempunyai skill apa-apa, tidak seperti dirinya dahulu. Sewaktu dia ikut ibu dan bapaknya, yang seringkali dihormati oleh seluruh anggota dari pagelaran bapaknya ketika dia dating untuk pentas. Namun, ketika dia kini
“A, Iceu nanti berangkat nari lagi ya, kebetulan ada pentas lagi malam ini,” Kata Iceu dengan suara merdunya izin kepada suaminya yang terlihat sibuk menyiram tanaman di depan rumahnya yang dia rawat untuk menghabiskan waktu. “Pentas kemana Ceu?” Kata Bagja “Gak tahu A, soalnya yang punya pagelaran gak ngasih tahu, ” Katanya sambil duduk di kursi depan rumah. “Owh ya sudah, hati-hati ya di jalan, kalau sudah beres jangan langsung pulang, tunggu pagi aja dulu, takut ada apa-apa kalau pulang sendirian malem-malem, ” Kata Bagja sambil tersenyum kepada istrinya. “Asik, makasih ya A,” Katanya sambil memeluk Bagja dari belakang. “Iya Ceu, iya. ” Waktu terus berlalu, malam yang bicarakan Desi akhirnya tiba. Biasanya, ketika ada pementasan, akan ada sebuah truk besar dengan beberapa mobil tua berwarna biru muda yang sudah sangat kusam muncul di terminal kecil Kampung Parigi, untuk menjemput para penari, pemain gamelan, juga orang-orang yang membantu jalannya pertunjukan. Namun, kali ini
“Waaaahhh, luas sekali ruangannya.” Mata Iceu begitu terkesan, tepat ketika pintu rumah besar itu dibuka. Dia melihat sebuah ruangan yang besar dengan tiang-tiang penyangga yang terbuat dari kayu jadi di empat sisi. Ruangannya tampak sangat bagus, lampu-lampu minyak berjejer di dinding, juga ada sebuah lampu minyak besar yang menggantung layaknya lampu gantung orang kaya yang ada di kota-kota besar pada waktu itu. Sebuah karpet berwarna merah dengan corak-corak bunga menghiasi ruangan tersebut. Juga beberapa meja panjang di kiri dan kanan yang berisi makanan dan minuman yang bisa diambil dengan sesuka hati oleh mereka yang ada di ruangan itu. Mereka berjalan perlahan, melewati beberapa orang yang melihat mereka dengan seksama. Orang-orang yang memakai kemeja dan memakai pangsi hitam, juga para ibu-ibunya yang memakai kebaya menatap mereka dengan tatapan yang penasaran. “Yu, kita ketemu sama yang punya rumah dulu.” Kata Desi yang mengajak Iceu sambil tersenyum. Iceu hanya mengangg
Dua jam berlalu, akhirnya sesosok bayangan perempuan datang ke arah Desi yang sedang menunggunya di atas motornya di dalam kegelapan, seperti tidak ada rasa takut untuknya ketika menunggu di depan kampung yang gelap gulita dan tanpa ada penerangan sama sekali. Hanya bermodalkan lampu motor yang terus-menerus menyala untuk meneranginya pada malam itu. “Desss!” Kata Iceu yang datang ke arahnya, lengkap dengan pakaian tari yang belum sempat dia ganti sekarang. Desi pun tersenyum, tampaknya dia sukses untuk menari di dalam rumah besar itu. Rumah besar yang akan membantunya untuk membuat dia lebih sukses dari sebelumnya, dan akan bisa mendapatkan saweran dari para penonton yang menonton pertunjukannya kelak. “Bagaimana nari nya? Lancar,” Kata Desi sambil berdiri dan menyender ke arah motornya yang menyala. “Lancar Des, tapi benda yang tadi berikan ternyata ditanamkan ke wajahku dan akan berdampak pada tubuhku nantinya,” Kata Iceu yang masih ragu. “Tunggu aja Ceu, nanti keliatan ko perb
Pemakaman Kampung Sepuh kini lebih ramai daripada biasa, meskipun sekarang sudah masuk hari kedua lebaran di tahun 2022. Namun masih banyak orang-orang yang berdatangan dan berziarah ke makam keluarga dan teman mereka di kampung ini. Kampung Sepuh yang awalnya sepi tiba-tiba mendadak ramai, para warga yang bekerja di kota-kota besar kini kembali pulang untuk menikmati suasana lebaran yang kini lebih bebas dari dua tahun sebelumnya, sehingga para warga yang dulu tidak bisa mudik akibat pandemi kini bisa pulang ke rumah dan berkumpul kembali dengan keluarga mereka yang menunggunya di kampung. Sedangkan aku (penulis), kini sedang duduk di samping makam Bu Esih, Pak Amat, juga Pak Darsa dan leluhurnya di pemakaman Kampung Sepuh. Ku lihat pula beringin yang di dalam cerita Warung Tengah Malam terbakar habis kini sudah mulai tumbuh daun-daun baru, dan mungkin saja beberapa tahun lagi beringin yang ada di pemakaman itu sudah kembali tumbuh dan rindang seperti sedia kala. “Oh jadi begitu Ma
Beberapa kali aku mengalami kejadian yang seperti ini, batuk-batuk dan muntah darah, lalu dibarengi oleh mata yang berkunang-kunang dan akhirnya aku terjatuh dan tidak sadarkan diri di tanah.Tubuhku semakin menua, staminaku tidak lagi seperti dulu, mungkin inilah kekurangan dari manusia. Mereka tidak bisa mempertahankan stamina ketika umurnya sudah semakin tua. Sehingga, sehebat apapun mereka, tetap saja apabila stamina mereka di kuras habis maka akan ambruk juga.Esih yang curiga dengan keadaanku kini semakin khawatir akan keadaanku menyarankan aku untuk tidak terus-menerus mencari jawaban dari misteri ini ke Gunung Sepuh.Namun, meskipun aku sudah melepas Ujang untuk tinggal di kota besar dan tidak mengharapkan dia pulang kembali ke Kampung Sepuh ini. Tetap saja, rasa khawatir akan kutukan ini masih saja memenuhi pikiranku pada saat itu.Meskipun kondisiku semakin melemah, tapi aku tidak putus asa. Apalagi kini aku mempunyai teman sekaligus sahabat, yaitu Aki Karma. Pemimpin sebuah
Tak terasa, obrolan yang terjadi di warung itu kini aku simpan dalam pikiranku. Rasa ingin menyelesaikan sesuatu yang seharusnya aku selesaikan dengan segera akhirnya membuatku semakin memaksakan diriku untuk masuk ke dalam Gunung Sepuh di setiap harinya. Bahkan saking seringnya, ketika ada tamu yang meminta bantuan untuk permasalahan yang dia miliki, dia harus menungguku pulang terlebih dahulu atau nanti aku akan mendatangi rumahnya ketika mereka tidak menemukanku di warung atau dirumah pada saat itu. Hari demi hari, bulan demi bulan, bahkan tahun demi tahun tak terasa aku lewati. Aku sudah mencoba berbagai cara, bahkan kini warung seringkali aku tinggalkan dan ketika aku pulang ketika pagi tiba, aku melihat warung tampak berantakan, karena mungkin para makhluk yang datang tidak menemukan ku di dalam warung untuk aku layani pada malam itu. Aku yang kini lebih bisa menerima para makhluk yang ada tinggal di luar Gunung Sepuh, aku seringkali bertanya kepada mereka tentang situasi Gunu
Ujang, anak yang aku sayangi rupanya tumbuh dengan sehat dan kuat. Aku dan Esih sepakat untuk tidak memberitahu kepadanya tentang warung ini yang sebenarnya.Dia yang selalu bertanya setiap malam ketika dirinya tidak boleh ke warung ketika malam tiba, dan pertanyaan itu dijawab oleh Esih bahwa aku yang menjaga warung setiap malam harus berjuang keras untuk bisa menyekolahkan dirinya sehingga membuka warung di pagi dan siang hari pun tidaklah cukup untuk bisa menyekolahkan dia ke jenjang yang lebih tinggi.Apalagi, ketika malam tiba, Esih seringkali memberikan cerita pengantar tidur, mencoba memberinya cerita-cerita seram seperti tentang tuyul, genderuwo, pocong, kuntilanak, juga para makhluk-makhluk yang seringkali menculik manusia, ketika Ujang masih belum tidur di dalam rumah meskipun malam sudah larut.Esih tahu, bukannya dia menakut-nakuti Ujang, tapi Esih sengaja memberikan cerita itu agar Ujang bisa tertidur dan tidak menanyakan lagi tentang kondisi warung serta kejanggalan-keja
Malam ini, aku sengaja keluar meninggalkan warung dan membiarkannya tampak kosong. Aku sudah tidak tahu terakhir kali aku meninggalkan warung. Terakhir kali aku meninggalkan warung, ketika Wawan menghilang di persawahan ketika sedang bermain dengan teman-temannya, dan akhirnya aku menemukan tubuhnya yang tampak sedang di asuh oleh salah satu makhluk yang bernama kalong wewe yang menganggap Wawan adalah anaknya. Aku berusaha mengambilnya kembali, meskipun perjuangan tampak tidak mudah, karena aku harus melewati Leuwi Jurig yang dipenuhi oleh makhluk yang bernama lulun samak ketika malam tiba. Meskipun begitu, akhirnya Wawan selamat. Aku menggendongnya ke Kampung Sepuh tepat ketika pagi menjelang, ketika para kelelawar kembali ke Gunung Sepuh untuk beristirahat dan mentari pagi dengan sinarnya yang merah ke kuning-kuningan muncul di belakang Gunung Sepuh yang menjulang di pagi itu. Kini, aku kembali keluar. Mencoba sesuatu yang mungkin saja bisa membantuku untuk mencari keberadaan ma
Kehidupan Kampung Sepuh akhirnya berjalan kembali seperti biasa, para warga kembali ke ladang dan sawahnya setiap pagi, dan akan mampir ke warung untuk mengobrol dan bercengkrama tentang apa yang terjadi di hari itu, pada sore harinya sepulang dari ladang dan sawah. Banyak hal yang mereka ceritakan, tentang kejadian-kejadian yang ada di sekitar mereka, tentang berita-berita politik yang susah sekali sampai ke tempat mereka, juga tentang gosip-gosip yang ada di sekitar mereka. Rokok dan kopi serta jajanan dan cemilan-cemilan menemani mereka ketika berkumpul di depan warung di sore itu. Rusdi, Darman , Parman, juga warga lainnya berkumpul dan saling bercengkrama satu sama lain. Sebuah hal yang jarang terjadi di kota-kota besar menurut Darman. Darman yang kembali lagi setelah bertahun-tahun tinggal di kota kini merasakan kembali kehangatan warga Kampung Sepuh yang masih akrab dengannya, Darman pun seringkali membicarakan situasi politik pada saat itu yang kacau balau, banyak pabrik ya
Rasa dingin yang menusuk kulit kini aku rasakan kembali di depan warung yang sangat sunyi dan sepi ini, kejadian yang terjadi dalam seminggu yang lalu membuatku banyak berpikir tentang apa yang aku hadapi di dalam Gunung Sepuh yang gelap itu. Fuhhhhhhhh Asap tebal mengepul keluar dari mulutku, aku yang kembali beraktifitas seperti biasa kini duduk di depan warung seperti biasa. Menikmati suasana malam yang ada di depan warung ini sambil menghisap rokok kretek yang menjadi teman satu-satunya bagiku di setiap malamnya. Aku kembali banyak melamun atas kejadian yang menimpaku pada saat itu, keilmuan yang aku pelajari dan aku asah, rupanya masih belum cukup untuk menjaga keluargaku, bahkan untuk menjaga Kampung Sepuh yang sudah dipercayakan oleh leluhurku sewaktu dia mendapatkan kutukan ini. Apalagi, dibalik rasa senang dan haru ketika Ujang lahir di dunia ini, ada rasa khawatir yang semakin lama semakin besar, rasa yang muncul apabila dia harus menjadi seseorang yang sepertiku, terkeka
“Enggak, enggak, enggak, kamu bukan manusia, kamu bukan karyawanku!”“Mana karyawanku semua, karyawan yang shift malam yang seharusnya bekerja di tempat ini sekarang?”Doni benar-benar panik karena di depannya terlihat sebuah sosok yang tidak dia kenali, wajahnya yang tampak hancur kini terlihat jelas ketika cahaya dari korek apinya menyinari dirinya dari dekat.Doni beberapa kali berteriak memanggil karyawan yang seharusnya bekerja di shift malam pada malam ini, tubuhnya yang awalnya tidak bergerak kini mendadak kaku sehingga dia tidak melarikan diri dan keluar dari ruangan produksi tersebut.“Kenapa, Bapak tidak mengakui kami sebagai karyawan lagi?” Kata sosok itu yang kini tersenyum dengan giginya yang hancur dan menyisakan beberapa gigi yang masih tersisa di dalam wajahnya yang remuk dan tidak berbentuk itu.“Bapak tidak ingat, aku adalah orang yang terkena mesin ini Pak sehingga wajahku hancur, aku seperti didorong oleh sesuatu yang membuat kepalaku terkena mesin press dan mening
Sudah beberapa hari ini, Doni termenung di meja kerjanya, surat-surat resign yang dia terima dari bagian HRD pabriknya kini berserakan di mejanya.Semenjak kejadian itu, karyawan Doni banyak sekali yang mengundurkan diri, tidak hanya karyawan produksi yang selama ini mengawasi mesin-mesin besar untuk pabriknya, namun banyak juga staf-staf di divisi tertentu yang tiba-tiba resign dengan berbagai alasan.Meja Doni kini tampak berantakan, kertas-kertas coretan yang bertumpuk dengan file-file berkas tentang laporan penjualan yang kini menurun akibat kekurangan staf dan pekerja kini memenuhi sebagian meja kerjanya pada saat itu.Alat-alat tulis yang awalnya rapi pun kini berserakan tidak karuan, Doni yang awalnya menyukai kerapihan dan kesempurnaan kini mendadak tidak peduli dengan ruangan kerjanya sendiri. Bahkan, dia lebih banyak termenung sekarang, menyesali semua perbuatannya yang dia lakukan beberapa hari yang lalu.Jujur, dia bukan menyesal karena dia melakukan hal itu, namun dia men