"Gimana, Den? Dapat uang arisannya?" tanya ibu begitu aku tiba.Usai bertengkar dengan Zahra tadi, aku memang langsung memacu roda duaku kembali ke rumah ibu.Tak kupedulikan perasaan Zahra usai kumaki dan kumarahi tadi. Biar sajalah, toh sudah biasa juga perempuan itu menerima perlakuan kasar dariku. Dan selama ini ia tak pernah protes apalagi merajuk diperlakukan begitu olehku.Pun pasti kali ini. Meski sudah kuusir dari rumah, seperti biasanya ia pasti akan bertahan dan tidak akan pergi begitu saja sebab begitu dalamnya rasa cintanya padaku, suaminya, bagaimana pun perlakuanku padanya.Mendengar pertanyaan ibu, aku menggelengkan kepala lalu menyahut."Nggak, Bu. Uang yang sudah dia dapatkan itu ia kembalikan lagi pada Bu RT. Katanya males nerima karena arisannya masih panjang. Lagipula dia belum butuh uang jadi arisan yang dia dapatkan itu dia kembalikan lagi untuk diberikan ke anggota yang lain yang lebih butuh uang," terangku dengan nada kesal menjelaskan alasan Zahra tadi kenap
"Makasih, Pak. Omong-omong jam berapa ya, Zahra pamit pergi tadi? Terus dia ngomong apa aja, Pak?" tanyaku pada Pak RT dengan sedikit menahan rasa malu.Ya, apa kata ketua rukun tetangga di mana aku tinggal saat ini kalau istriku itu pulang ke kampung halamannya tanpa diketahui lagi olehku sebagai suaminya dan tanpa menunggu diriku pulang ke rumah terlebih dahulu?Pasti orang-orang akan berpikir aku sedang ada masalah besar dengan Zahra, hingga istriku itu pergi diam-diam karena sengaja ingin menghindariku?Dan walaupun kenyataannya memang demikian adanya, tapi kok rasanya malu sekali ya masalah rumah tangga seperti ini sampai diketahui oleh orang luar?Apalagi oleh Pak RT yang notabene orang berpengaruh dan punya wibawa besar di kampung ini.Ia pasti akan ditanyai oleh seluruh warga, dan bilamana terpaksa, bisa saja beliau bercerita tentang apa yang sebenarnya memang telah terjadi. Zahra kabur dari rumah tanpa sepatah kata lagi pada suaminya ini.Hmm, bikin malu saja memang si Zahra!
"Maksudnya gimana? Pak RT ngomong apa? Siapa yang dapat arisan lima puluh juta?" Ibu menatapku tak mengerti.Mungkin tak terlalu menyimak apa yang barusan aku sampaikan, atau bahkan sama denganku, tak percaya pada cerita Pak RT soal Zahra yang mampu bayar arisan dalam jumlah besar."Zahra, Bu! Makanya Deni juga nggak percaya omongan Pak RT. Duit dari mana buat dia bayar arisan sebanyak itu?" sahutku merendahkan Zahra."Zahra? Tunggu ... bisa jadi sih. Bisa aja 'kan kita yang selama ini kecolongan sama sikap lugunya Zahra!Ternyata istrimu itu banyak uangnya. Istrimu itu 'kan perempuan munafik! Bilang nggak punya uang, padahal bisa ikut arisan ke mana-mana. Heran! Kalau iya, buat apa sih uangnya? Harta nggak punya, rumah juga nggak punya! Buat apa dia ikut arisan!" "Nggak tahulah, Bu. Rasanya Deni aja masih nggak percaya. Kalau bukan Pak RT yang cerita, mungkin udah Deni tinggal sebelum selesai ngomong," sahutku lagi."Kamu nggak minta buktinya? Coba kita temui yuk, Bu RT. Kita tanyai
"Sialan Bu RT! Nggak boleh kita ambil arisannya si Zahra! Belagu banget! Apa salahnya coba! Kita kan keluarganya! Kamu suaminya, sementara ibu ini, mertuanya!"Pulang ke rumah, ibu berjalan hilir mudik sambil marah-marah.Aku hanya mendengkus pelan.Ibu saja yang aneh. Arisan itu masih empat bulan lagi keluarnya, kenapa dari sekarang sudah diributkan? Apa tidak lebih baik aku mencari Zahra saja, si empunya uang arisan yang sepertinya cukup bisa diandalkan itu.Ya, kalau aku bisa membawa Zahra pulang kembali ke rumah, pasti aku bisa hidup lebih enak dan nyaman.Aku bisa ikut menikmati hasil pencariannya tanpa perlu capek kerja keras lagi karena dalam undang-undang perkawinan, harta pencarian istri juga termasuk ke dalam harta bersama yang menjadi hak suami juga untuk menggunakannya.Jadi, aku juga bisa ikut menikmati dan menggunakan harta Zahra meski bukan aku yang mencarinya."Bu, gimana kalau aku cari Zahra aja lagi ke panti asuhan? Mana tahu dia ada di sana, Bu?" ujarku memutus kek
"Zahra? Kamu sama siapa ke sini? Naik apa?" tanya Dina saat aku datang ke toko tempat kami menjual pakaian dengan tas berisi baju.Dina mengambil tas pakaian itu dari tanganku lalu meletakkannya di dekat meja kasir.Selanjutnya mengambil air minum dari belakang ruko yang sekaligus menjadi tempat tinggalnya selama tiga bulan terakhir."Aku sendirian, Din," sahutku sembari duduk dan meregangkan tubuhku."Deni mana? Nggak nganterin kamu?" tanya Dina lagi sambil melihat ke luar ruko dan kembali meneliti raut wajahku saat tak menemukan sosok lelaki itu di luar.Aku menggelengkan kepala."Nggak, Din. Aku keluar dari rumah. Sepertinya Mas Deni sudah tak menginginkan aku menjadi istrinya lagi. Jadi, mulai hari ini aku akan tinggal di sini bareng kamu dan ngurus toko ini sama-sama. Gimana?" ujarku sambil balas menatapnya.Mendengar perkataanku, Dina tersenyum ceria."Beneran? Kamu nggak bohong? Alhamdulillah! Akhirnya aku nggak sendirian lagi ngurus toko ini. Do'aku dikabulkan Allah berarti, R
"Anak-anak, apa yang kalian lakukan?" tanya wanita itu pada anak-anak yang barusan mengeroyokku habis-habisan.Wanita tua itu mendekat lalu menghampiri anak-anak asuhannya."Maaf, Bu. Orang ini yang duluan mulai, Bu. Dia menampar dan mencekik Vikram, makanya kami balas, Bu," sahut seorang anak membela diri.Mendengar itu, aku melotot.Sialan! Bukannya takut dan merasa bersalah, mereka justru mengadukanku pada perempuan yang kutahu sebagai pimpinan di panti asuhan ini."Bu, tolong ya anak-anaknya diajari sopan santun! Ditanya sama orang yang lebih tua bukannya menjawab malah ngegas dan membentak! Kayak nggak pernah diajari sopan santun saja!" ujarku sambil menatap wajah wanita tua di depanku itu lalu beralih pada anak-anak panti dengan pandangan marah dan kesal.Aku kemudian kembali membentak."Awas kalian semua ya! Saya nggak akan tinggal diam begitu saja! Saya akan laporin kalian semua ke kantor polisi biar kalian tahu rasa!" ancamku dengan nada penuh emosi supaya anak-anak itu keta
"Zahra, jangan begitu. Kamu mau tinggal di mana kalau tidak di rumah kita? Mas nggak tega kamu kerja jadi pelayan toko begini cuma demi cari uang, Ra.Ayok kita pulang sekarang! Kita perbaiki lagi hubungan kita. Jangan keras kepala!" ucapku lagi sambil menarik tangan Zahra lalu memaksa wanita itu ikut pulang bersamaku tetapi lagi-lagi Zahra menolak.Wanita itu mengibaskan tanganku kuat-kuat hingga akhirnya cekalan tanganku di tangannya terlepas lalu kembali membuka mulutnya."Nggak, Mas. Aku nggak akan ikut dan nggak akan kembali lagi ke rumah kamu. Cukup sudah tiga kali kamu mengusirku dari rumah. Nggak akan ada lagi yang ke empat.Cukup sudah aku bersabar. Lebih baik aku hidup sendiri dan mengurus usaha ini dari pada jadi istri kamu dan harus menahan hati selamanya, Mas!" sahut Zahra lagi."Tapi kita ini masih suami istri Zahra! Aku masih suami kamu! Tentu saja aku berhak menyuruh kamu pulang atau apa pun itu dan kamu nggak boleh menolak, karena kamu masih sah berstatus sebagai istr
"Gimana, Den? Ketemu sama si Zahra?" tanya ibu begitu aku tiba di rumah.Tak langsung menjawab, kuhempaskan tubuh ke atas sofa tamu lebih dulu lalu menghembuskan nafas kuat-kuat."Ketemu, Bu. Tapi ... Zahra nggak mau pulang," ujarku setengah mengeluh.Batinku memang kecewa bukan main sebab Zahra tak mau lagi diajak pulang ke rumah."Lho, kok nggak mau pulang? Kenapa?" Ibu mengernyitkan alisnya. Terlihat heran dan tak percaya."Dia bilang aku udah tiga kali mengusir dia, Bu. Jadi dia nggak mau lagi terjadi untuk yang ke empat kalinya, makanya nggak mau lagi pulang ke rumah. Dia juga bilang lebih baik fokus mengurus usaha dia yang baru dirintis, timbang jadi istri Deni yang nggak pernah dinafkahi dan selalu dikasari katanya, Bu," jelasku lagi sembari menelan rasa gundah.Perkataan Zahra tentang sikapku selama ini padanya memang membuatku merasa menjadi orang yang paling bodoh di dunia ini. Aku merasa tertampar sekaligus malu. Jika benar itu yang selama ini Zahra rasakan, apa mungkin d