"Sialan Bu RT! Nggak boleh kita ambil arisannya si Zahra! Belagu banget! Apa salahnya coba! Kita kan keluarganya! Kamu suaminya, sementara ibu ini, mertuanya!"Pulang ke rumah, ibu berjalan hilir mudik sambil marah-marah.Aku hanya mendengkus pelan.Ibu saja yang aneh. Arisan itu masih empat bulan lagi keluarnya, kenapa dari sekarang sudah diributkan? Apa tidak lebih baik aku mencari Zahra saja, si empunya uang arisan yang sepertinya cukup bisa diandalkan itu.Ya, kalau aku bisa membawa Zahra pulang kembali ke rumah, pasti aku bisa hidup lebih enak dan nyaman.Aku bisa ikut menikmati hasil pencariannya tanpa perlu capek kerja keras lagi karena dalam undang-undang perkawinan, harta pencarian istri juga termasuk ke dalam harta bersama yang menjadi hak suami juga untuk menggunakannya.Jadi, aku juga bisa ikut menikmati dan menggunakan harta Zahra meski bukan aku yang mencarinya."Bu, gimana kalau aku cari Zahra aja lagi ke panti asuhan? Mana tahu dia ada di sana, Bu?" ujarku memutus kek
"Zahra? Kamu sama siapa ke sini? Naik apa?" tanya Dina saat aku datang ke toko tempat kami menjual pakaian dengan tas berisi baju.Dina mengambil tas pakaian itu dari tanganku lalu meletakkannya di dekat meja kasir.Selanjutnya mengambil air minum dari belakang ruko yang sekaligus menjadi tempat tinggalnya selama tiga bulan terakhir."Aku sendirian, Din," sahutku sembari duduk dan meregangkan tubuhku."Deni mana? Nggak nganterin kamu?" tanya Dina lagi sambil melihat ke luar ruko dan kembali meneliti raut wajahku saat tak menemukan sosok lelaki itu di luar.Aku menggelengkan kepala."Nggak, Din. Aku keluar dari rumah. Sepertinya Mas Deni sudah tak menginginkan aku menjadi istrinya lagi. Jadi, mulai hari ini aku akan tinggal di sini bareng kamu dan ngurus toko ini sama-sama. Gimana?" ujarku sambil balas menatapnya.Mendengar perkataanku, Dina tersenyum ceria."Beneran? Kamu nggak bohong? Alhamdulillah! Akhirnya aku nggak sendirian lagi ngurus toko ini. Do'aku dikabulkan Allah berarti, R
"Anak-anak, apa yang kalian lakukan?" tanya wanita itu pada anak-anak yang barusan mengeroyokku habis-habisan.Wanita tua itu mendekat lalu menghampiri anak-anak asuhannya."Maaf, Bu. Orang ini yang duluan mulai, Bu. Dia menampar dan mencekik Vikram, makanya kami balas, Bu," sahut seorang anak membela diri.Mendengar itu, aku melotot.Sialan! Bukannya takut dan merasa bersalah, mereka justru mengadukanku pada perempuan yang kutahu sebagai pimpinan di panti asuhan ini."Bu, tolong ya anak-anaknya diajari sopan santun! Ditanya sama orang yang lebih tua bukannya menjawab malah ngegas dan membentak! Kayak nggak pernah diajari sopan santun saja!" ujarku sambil menatap wajah wanita tua di depanku itu lalu beralih pada anak-anak panti dengan pandangan marah dan kesal.Aku kemudian kembali membentak."Awas kalian semua ya! Saya nggak akan tinggal diam begitu saja! Saya akan laporin kalian semua ke kantor polisi biar kalian tahu rasa!" ancamku dengan nada penuh emosi supaya anak-anak itu keta
"Zahra, jangan begitu. Kamu mau tinggal di mana kalau tidak di rumah kita? Mas nggak tega kamu kerja jadi pelayan toko begini cuma demi cari uang, Ra.Ayok kita pulang sekarang! Kita perbaiki lagi hubungan kita. Jangan keras kepala!" ucapku lagi sambil menarik tangan Zahra lalu memaksa wanita itu ikut pulang bersamaku tetapi lagi-lagi Zahra menolak.Wanita itu mengibaskan tanganku kuat-kuat hingga akhirnya cekalan tanganku di tangannya terlepas lalu kembali membuka mulutnya."Nggak, Mas. Aku nggak akan ikut dan nggak akan kembali lagi ke rumah kamu. Cukup sudah tiga kali kamu mengusirku dari rumah. Nggak akan ada lagi yang ke empat.Cukup sudah aku bersabar. Lebih baik aku hidup sendiri dan mengurus usaha ini dari pada jadi istri kamu dan harus menahan hati selamanya, Mas!" sahut Zahra lagi."Tapi kita ini masih suami istri Zahra! Aku masih suami kamu! Tentu saja aku berhak menyuruh kamu pulang atau apa pun itu dan kamu nggak boleh menolak, karena kamu masih sah berstatus sebagai istr
"Gimana, Den? Ketemu sama si Zahra?" tanya ibu begitu aku tiba di rumah.Tak langsung menjawab, kuhempaskan tubuh ke atas sofa tamu lebih dulu lalu menghembuskan nafas kuat-kuat."Ketemu, Bu. Tapi ... Zahra nggak mau pulang," ujarku setengah mengeluh.Batinku memang kecewa bukan main sebab Zahra tak mau lagi diajak pulang ke rumah."Lho, kok nggak mau pulang? Kenapa?" Ibu mengernyitkan alisnya. Terlihat heran dan tak percaya."Dia bilang aku udah tiga kali mengusir dia, Bu. Jadi dia nggak mau lagi terjadi untuk yang ke empat kalinya, makanya nggak mau lagi pulang ke rumah. Dia juga bilang lebih baik fokus mengurus usaha dia yang baru dirintis, timbang jadi istri Deni yang nggak pernah dinafkahi dan selalu dikasari katanya, Bu," jelasku lagi sembari menelan rasa gundah.Perkataan Zahra tentang sikapku selama ini padanya memang membuatku merasa menjadi orang yang paling bodoh di dunia ini. Aku merasa tertampar sekaligus malu. Jika benar itu yang selama ini Zahra rasakan, apa mungkin d
POV ZahraAku menatap gedung pengadilan agama yang tampak menjulang tinggi di depanku. Memantapkan hati, kulangkahkan kaki mengikuti langkah kaki Dina yang berjalan lebih dulu di depanku."Ayo, Ra, kamu udah mantap mau daftarin permohonan gugatan ke pengadilan ini kan?" tanya gadis itu sambil membalikkan badannya dan menatapku.Aku mengangguk.Ya, pagi ini aku memutuskan untuk mendaftarkan gugatan perceraian ke pengadilan agama kota ini. Tekadku sudah bulat, tak ada lagi maaf dan kesempatan untuk Mas Deni lagi.Semuanya sudah usai. Laki-laki itu tak pernah berubah, meski telah berkali-kali kuberikan kesempatan. Jadi inilah akhir kisah pernikahan kami, berpisah demi ketenangan hidup masing-masing.Masuk ruangan pengadilan, aku disambut petugas pendaftaran yang menyambut di pintu masuk."Ada yang bisa dibantu, Mbak?" tanya petugas tersebut padaku."Iya, Pak. Saya mau mendaftarkan gugatan perceraian atas suami saya, Pak.""Oh ya? Sudah bawa persyaratan yang diperlukan?" Petugas itu menat
POV DeniPagi-pagi sekali aku sudah melajukan roda dua menuju kediaman Pak Anton, direktur perusahaan di mana aku bekerja.Dari luar tampak bangunan rumah yang megah bak istana. Melihat bangunan itu aku sontak berdecak kagum. Hmm, Pak Anton memang kaya raya. Tak salah lagi, bila aku bisa mendekati Sinta dan menikahinya, tentu aku juga bisa ikut kecipratan sukses dan kaya seperti dirinya. Tak mungkin Pak Anton akan terus membiarkan diriku menjadi karyawan biasa di perusahaan yang dimilikinya. Tentu beliau akan mengangkatku menaiki posisi jabatan yang lebih tinggi dan lebih banyak menghasilkan uang.Tadi malam, bos perusahaan di mana aku bekerja itu juga sudah meneleponku dan memintaku bersedia mengantarkan keponakan cantiknya itu ke luar kota, itu artinya secara tidak langsung, Pak Anton menaruh kepercayaan padaku. Tentu saja ini awal yang baik untuk menjalin hubungan yang lebih serius dengan Sinta.Itu sebabnya, sehabis ini aku berencana akan secepatnya menceraikan Zahra supaya bisa
POV Deni"Beneran mas kamu sudah cerai?" tanya Sinta dengan bola mata membulat.Aku menganggukkan kepala mendengar pertanyaannya."Benar dong, Sin. Kenapa? Mau daftar jadi pendamping hidup mas yang baru ?" tanyaku sambil melempar pandangan penuh arti ke arahnya.Melihat tatapanku, Sinta menunduk dan tampak tersipu malu."Ah, Mas Deni bisa aja. Tapi omong-omong kenapa sih mas kalian bisa bercerai?" tanyanya.Aku pura-pura menghembuskan nafas berat."Dia itu sebagai istri nggak bisa patuh dan taat sama suami, Sin. Jadi ya terpaksa mas ceraikan lah," sahutku beralasan."Maksudnya? Kenapa mantan istri mas nggak bisa taat? Mas ngasih nafkah ke dia nggak? Mas nggak lalai dari tanggung jawab sebagai seorang suami bukan? Karena biasanya perempuan yang suka nggak mau patuh sama suami itu karena nggak dinafkahi dengan baik, Mas?" tanyanya beruntun dan terdengar serius, membuatku sedikit terganggu dan tak nyaman. Kok bisa sih dia tahu masalah rumah tanggaku dengan Zahra yang sebenarnya?Namun, s