Tiba-tiba ....
Kriiing kriiing kriiing!
Sontak membuat Harso terhenyak. Langsung dia melompat dan mengangkat telepon. Berharap jika Raisa yang akan menelepon dirinya.
"Assalamualaikum, Bapak?"
"Waalaikumsalam. Kamu Nak, Raisa?"
"Iya, Pak. Maaf baru sempat telepon dan kasih kabar. Hp Mas Delon rusak, Bapak catat nomer ini ya. Teleponnya Gus Hamaz."
"Gus Hamaz?"
"Iya, Pak. Raisa ada di pesantren sekarang. Kalau pas di rumah aja Raisa ceritakan semuanya. Ini Pak, 0341 ...."
Sembari mencari bolpen. Harso mencatat pada secarik kertas. Yang lau dia tempelkan di dinding.
"Ehhh, Raisa tunggu dulu. Bapak cuman mau kasih tau kamu. Kalau tadi malam Bu Hana baru saja meninggal."
"Innalillahi Wainna Ilaihi Rojioun. Bu Hana pemandi jenazah Bu Sapto itu 'kan Pak?"
"IYa, Raisa. Makanya semalam Bapak itu gelisah. Kepikiran kamu terus. Tapi, kalau keadaan kamu baik-baik saja, ya udah
Tampak Dian terus memerhatikan jasad Bu Hana yang sudah ditutupi kain jarik. Yang siap akan diberangkatkan. Tiba-tiba, Dian menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Membuat Bu Marto keheranan."Ada apa?" bisik Bu Marto."Sa-saya melihat ... pocong Bu Hana di samping jasadnya, Bu.""Haaahhh? A-apa, Mbak Dian?" bisik Bu Marto, dengan merapat pada tubuh Dian."Saya melihat pocong Bu Hana, di samping jasadnya Bu," ulang Dian berbisik.Seketika Bu Marto membekap mulutnya sendiri. Sembari menatap tajam pada Dian yang juga mengarahkan pandangannya pada dirinya."Aku enggak berani melihat ke sana, Bu.""Jangan dilihat!"Tak lama, seorang wanita seumuran Dian mendekati mereka. Memberikan air mineral, seraya tersenyum."Silakan diminum, Bu. Mbak ...!""Makasih, Mbak. Anaknya Bu Hana?" tanya Bu Marto mulai mencari tahu."Benar sekali, Bu. Apa, Ibu kenal dengan Mama saya?"Bu Marto mengangguk."Si
Mereka berdua melihat ke arah video yang terhenti. "Lihat di bagian belakang Bu Hana!" "I-ini ...!" Tunjuk Bu Marto. "Iya, coba Mbak perhatikan dengan seksama. Apa itu?" Dian terus mengamati mereka berdua. Yang terlihat serius, melihat video Bu Hana. "Ini seperti sebuah bayangan?" Suara Bu Marto terdengar lirih. Dian pun mengangguk. "Coba Mbak dan Ibu lihat lebih jelas lagi. Bayangan apa itu?" Mereka berdua mengikuti apa yang dikatakan Dian. Saat keduanya mulai memperhatikan bayangan itu. Bu Marto sepertinya baru tersadar. Dia segera beringsut mundur dan menjauh dari ponsel yang masih dipegang anak Bu Hana. Napas Bu Marto tersengal-sengal. Raut wajahnya terlihat sangat tegang dan berubah pucat. Dia terus memerhatikan Bu Marto yang kini duduk di sampingnya. "A-ada apa, Bu?" tanya Dian gelisah dan khawatir. "Dia, Mbak. Yang semalam aku lihat. Sama persis dengan yang dalam video." "Ma-maksud Ibu apa
Tampaknya Dian sudah membaca terlebih dahulu."Jumat legi dan malam Suro?" Bisik Dian seraya menoleh pada Rini."Iya, Mbak. Tepat di hari-hari itu. Mama selalu kumat. Hampir tak bisa diajak bicara.""Terus ...?""Pernah waktu jumat legi, Mama kelojotan. Dia kayak kesakitan gitu, Mbak. Di atas kasur muter-muter enggak karuan. Kita serumah sampai kebingungan. Tak lama setelah itu, Mama biasanya langung muntah darah, Mbak."Dian hanya bisa menahan napas dan mengelus dada. Tak menyangka akan mendengar cerita Rini tentang Bu Hana. Seketika membuat kedua lutut Dian terasa lemas. Dia langsung duduk di sebelah Rini yang masih murung."Mbak pasti heran dengan cerita ini. Apalagi yang aku ceritakan itu hanya seujung kuku. Dari cerita yang sebenarnya.""Berarti masih banyak cerita yang lebih menyeramkan?"Rini mengangguk."Sangat banyak, Mbak. Pernah suatu malam. Mama terbangun dan jalan sendirian menuju ruang belakang. Untun
Dian dan Rini segera keluar kamar. Ketika keluarga dari adik Bu Hana sudah datang. Setelah melakukan sholat jenazah. Jasad Bu Hana segera dimakamkan.Tak lama, Dian pun berpamitan pulang pada Rini. Tampak Bu Marto lebih diam dari biasanya. Membuat Dian sampai keheranan melihat sikapnya yang tiba-tiba berubah."Bu Marto sakit?"Wanita itu menggeleng."Kok diam aja?""Enggak apa-apa kok, Mbak Dian.""A-pa ... Ibu mikirin kejadian semalam?"Kembali Bu Marto diam lagi. Kali ini sengaja Dian membiarkan wanitaitu, larut dalam pikirannya. Hanya lima belas menit berlalu. Akhirnya mereka sampai di depan rumah Bu Marto.Tampak Dian langsung memasukkan motor ke halaman rumah. Lagi-lagi sikap Bu Marto masih dingin dan aneh. Membuat Dian terheran-heran. Lalu menepuk bahu wanita itu.Sontak Bu Marto berjingkat. Sampai deru napasnya terdengar keras. Bola matanya melotot ke arah Dian yang masih terhenyak melihat perubahan pada Bu Marto.
"Ehhh ... sosok Bu Sapto, sama sosok wanita yang berpakaian hitam. Yang sepertinya sekarang membuntuti, Bu Marto. "Haaaahhh?" Segera Raisa menutup teleponnya. Tampak dia sangat gelisah. Berjalan mondar mandir, kebingungan. Membuat Delon yang memerhatikan Raisa dari ujung ruang belakang. Menjadi bertanya-tanya. "Ada apa Raisa sampai seperti itu?" Dengan langkah lebar Delon mendatangi Raisa. Yang terlihat sangat tegang. Tangannya menepuk pelan bahu Raisa. Membuat gadis itu melompat dan menjerit. "Mas Delooon!" teriak Raisa benar-benar terkejut. "Maaf, Raisa. Tapi, kamu kelihatan aneh gitu?" "Bukan aneh Mas. Tapi aku beneran lagi bingung." "Memangnya kenapa?" Raisa mengajak Delon keluar rumah. Menuju taman yang berada di depan kamar mereka. "Jauhnya mau ngomong aja pakai ke sini." "Mas Delon aku khawatir sama Bu Marto." "Bu Marto, ada apa dengan dia?" "Aku cemas Mas. Soalnya Bu Marto
"Terakhir kita sampai pada Bu Marsinah yang pulang ke rumah ya?""Benar, Mas Hamaz. Dan ternyata si Mariman sudah menunggunya," lanjut Delon."Coba kalian lihat lagi gambar ini!" Hamaz menunjukkan sebuah gambar yang sama."Kenapa gambar-gambar ini sama dengan lembar pertama?" tanya Raisa heran."Itu juga pertanyaan aku, Sa. Apa mungkin meninggalnya Bu Marsinah bunuh diri? Atau dibunuh?"Tiba-tiba, pernyataan Delon membuat Hamaz dan Raisa terkesiap. Pemikiran itu ada benarnya. Karena dari awal dia menulis, dalam buku itu sudah ada gambar tentang seorang wanita yang mati dengan sebilah belati."A-pa aku salah bicara?" tanya Delon kebingungan. Karena Hamaz dan Raisa menatap tajam ke arahnya."Bukan salah Mas Delon. pemikiran yang benar aku rasa. Ada kemungkinan itu bisa terjadi. Lalu kenapa dia sudah menggambarkan semua itu sebelum kematiannya?""Mungkin Bu Marsinah sudah merasa sebelum semua terjadi, Mas Hamaz. Jadi seperti sudah
Dia menyelinap di antara pepohonan yang ada di sekitar. Sehingga bisa mendekati kedua anaknya. Dari balik sebuah pohon gayam yang cukup besar. Marsinah memanggil Mariyati dan Mariana. Untuk mendekati dirinya."Ibuuuu ....""Huuuussst! Jangan ribut, ayo kita pergi dari sini!"Segera Marsinah menraik tangan kedua anaknya. Lalu mengajak mereka berlari untuk meninggalkan tempat itu. Akan tetapi ada seseorang yang menghadang mereka. Sosok wanita berpakaian serba hitam. Dengan wajah yang tertutup oleh kain hitam.Seketika Marsinah terhenyak. Dia sangat tahu siapa wanita ini. Wanita yang ditemui Mariman waktu dia membuntuti suaminya. Yang memberikan sebuah bungkusan dari daun pisang.Tak hanya itu. Marsinah pun sering beberapa kali melihat penampakan sosok wanita itu di rumahnya. Terutama dari arah kamar belakang. Dari situ Marsinah bisa menebak kalau mereka sosok yang sama."Si-siapa kamu?"Namun sosok itu tak menjawab. Dia hanya menuding p
Sejak peristiwa itu, Marsinah lebih banyak mengurung diri dalam kamar. Dia semakin sering menentang suaminya snediri. "Sekarang katakan padaku, Pak! Siapa tumbal berikutnya yang kau lihat di dalam sumur itu?" Hening, tak ada jawaban yang terdengar. Bahkan Mariman menghindari dari Marsinah yang terus mengajukan pertanyaan tentang hal itu. "Kenapa, Pak? Bapak bingung untuk menjawab? Atau jangan-jangan tumbal berikutnya yang Bapak lihat itu ... aku?" "Ngomong apa kamu ini, Bu?!" sentak Mariman kasar. "Jawab Pak! Apa benar yang aku bilang tadi?" "Salah besar! Kamu ngawur, kalau ngomong. Lagian aku tak mungkin menumbalkan anggota keluarga aku sendiri." Tiba-tiba .... Bruaaakkk! Suara pintu terbanting sangat keras. Membuat Marsinah dan Mariman terhenyak. Lalu Mariman segera beranjak pergi menuju ruang belakang. Tanpa sepengetahuannya. Marsinah pun mengikuti. Dia melihat sendiri, Mariman memasuki kamar penuh ra
"Minumlah dulu kalian! Biar tenang."Perkataan lelaki itu membuat Raisa mengerutkan dahi."Apa Abah tahu yang menimpa perjalanan kita pulang?"Lelaki itu hanya terkekeh. Lalu dia mengangguk pelan."Kenapa mereka masih mengganggu kita lagi, Bah?""Minumlah dulu. Biar nanti saya cerita."Mereka pun akhirnya minum teh dan kopi yang sudah disediakan. Raisa berulang kali mengembuskan napasnya. Air teh yang diminum serasa mampu membuat tubuhnya yang tadi dingin."Habiskan! Biar kalian lebih tenang. Karena mobil kalian sedang membawa sesuatu yang enggak lombo." (Lombo = tidak wajar)Terutama Raisa dan Delon terperanjat saat mendengar perkataan Abah Harun."Enggak lombo?" ulang Raisa."Iya, Mbak. Kalian ikutlah kemari!"Mereka bertiga mengikuti langkah Abah Harun keluar rumah. Menuju mobil Delon yang ringsek bagian depan."Tolong buka bagian belakangnya Mas Delon!""Baik, Bah."Setelah membuka
"Perlu kita periksa lagi Mas Hamaz?""Udah ahhh, enggak usah! Perasaan aku enggak enak banget!" cetus Raisa melarang mereka turun lagi. "Kita jalan aja!"Pada akhirnya Hamaz dan Delon sepakat. Meneruskan perjalanan pulang yang penuh hambatan. Jalanan pun tampak lengang. Tak ada satu kendaraan yang terlihat. Hingga hidung Raisa terlihat bergerak-gerak. Seperti sedang mengendus sesuatu. Begitu juga Delon."Kalian bau enggak?" tanya Delon."Udah jalan aja Mas Hamaz!" pinta Raisa.Dalam waktu bersamaan. Tiba-tiba mesin mobil mati lagi."Loh, Mas Hamaz. Kok berhenti?" teriak Raisa."Enggak tau juga nih, Mbak.""Biar aku ganti yang nyetir. Mas capek mungkin," sahut Delon. Keduanya bertukar posisi. Delon pun mencoba untuk menyalakan mobil lagi. Lalu menggeleng mengarah pada Raisa dan Hamaz."Tetep enggak bisa nyala," sahut Delon kesal.Tampak dia mencoba untuk terus menyalakan mobil.
Tak lama dari kabar Pak Karjo. HP Raisa berdenting. Ada pesan masuk yang langsung dibaca Raisa."Tumben suami Bu Hariyani SMS ya, Mas?""Coba kamu baca, Sa!""Iya, bentar!"Seketika tangan Raisa bergetar hebat. Saat membaca pesan itu.{Assalamualaikum, Mbak Raisa. Kami kabarkan berita duka, bahwa adik kami yang bernama Sunandar telah meninggal dunia. Mohon dimaafkan bila Almarhum mempunyai kesalahan}Raisa hanya bisa terbelalak dan terperangah."Ja-jadi ...?"Ketiganya pun tak menyangka. Bila Sunandarlah yang selama ini telah membunuh Mariana. Dan telah dijadikan Naning sebagai penggantinya."Itulah sebabnya Mbok Yumna mendatanginya. Untuk memperingatkan. Dan dia juga pernah mendatangi gunung ini 'kan?" Raisa mulai mengingat kembali rangkaian cerita yang mereka dapatkan dari sang istri kala itu."Dan dia menjadi sakit. Karena menolak apa yang diperintahkan oleh Naning. Ada kemungkinan memang dia ingin mengak
"Jangan mengganggu! Kami hanya mengantarkan apa yang seharusnya pulang." Suara Hamaz sangat tegas. Terdengar suara tawa yang melengking. Kini, seperti berada di atas kepala mereka. Berputar-putar, membentuk sebuah bayangan kehitaman yang besar. Hamaz bergerak cepat. Dia menyiapkan butiran tasbih yanga masih berada dalam genggaman. "Ikuti langkah saya! Jangan emlihat ke mana-mana!" tegas Hamaz. Langkah Hamaz sedikit aneh. Dia berjalan berbelok-belok. Sesekali meloncat ke kiri dan ke kanan. "Kenapa harus meloncat-loncat dan berbelok-belok?" protes Raisa. Hingga gadis itu tak bisa mengendalikan tubuhnya hingga terjatuh. Bruuukkk! Tubuh Raisa berguling-guling ke bawah, melewati Delon yang terpaku melihatnya. "Aaaaaarghhh!" Saat Delon tersadar. Dia langsung melompat tinggi dan mulai mengejar Raisa. "Raisaaa!" teriak keduanya spontan. Hamaz dan Delon bergerak cepat, mengejar t
"Sekali lagi maafkan kami. Bagaimana dengan benda lain?"Belum sampai ada jawaban. Hamaz sudah mengeluarkan beberapa butiran tasbih yang berada di telapak tangannya. Lalu menunjukkan pada sosok ular itu."Pergilah kalian! Aku tidak ingin benda itu menyentuh sosokku!"Aroma lebus dan anyir semakin kuat melesak rongga hidung mereka bertiga."Bolehkah kami lewat, Nyai?""Baiklah. Pergilah kalian! Andai ini bulan kawin, aku ingin kamu menjadi suami aku, Kang!" ujar wanita siluman itu.Sosok sang ular, terus melihat arah Delon, yang terus menundukkan kepalanya."Jangan, Nyai. Dia sudah tak perjaka lagi. Milik seorang dedemit juga."Kemudian, terdengar suara tawa yang mendesis serta melengking."Baiklah, Kang. Aku lepaskan dia! Walau aku tau dari baunya, dia masih perjaka," ucap siluman ular dengan meliukkan tubuh. Dan akhirnya pergi menghilang."Terima kasih, Nyai!"Seketika Delon bergidik keras. Kedua matanya m
Suasana semakin bertambah gelap. Kanan kiri jalan kecil, yang mereka lewati, hanya pepohonan lebat. Untunglah penerangan tiga ponsel sangat membantu mereka. Napas ketiganya mulai terengah-engah, menyusuri jalan setapak. Yang sepertinya jarang dilewati. "Mas, berhenti sebentar. Kelihatannya dekat, tapi aku capek banget," ujar Raisa. Mereka pun ikut berhenti dan beristirahat sebenatr. Dalam tas yang dibawa Raisa, dia mengeluarkan sebotol teh yang ternyata yang masih hangat. "Apa itu, Sa?" "Tadi dikasih Bu RT. Ya aku bawa saja 'kan? Lagian perut aku lapar." Hamaz dan Delon mengikuti Raisa yang duduk di bebatuan. Dengan lahap ketiganya makan pisang goreng. Tak ada suara lain, keculai kunyahan mereka. Dan suara binatang malam yang mengiringi malam ini. "Yuk! Kita lanjut!" ajak Hamaz. "Jalan ini betul-betul enggak ada penerangan sama sekali," celetuk Delon. "HPku dah lobat nih." "Kayaknya dikit lagi kok Ma
Mobil melaju dengan kecepatan tinggi, menuju gunung K. Tampak Hamaz mengambil alih kemudi. Dia melihat Delon yang amsih sering meringis karena kesaitan. begitu juga dengan Raisa yang tampak kelelahan."Sebenarnya apa yang terjadi di dalam tadi?""Kita hampir mati dibunuh sosok makhluk itu, Mas.""Bagaimana ceritanya?""Tiba-tiba di hadapan kami itu banyak mayat yang bergelantungan. Tepat di atas kita Mas. Akhirnya kita ya lari ke kamar itu.""Kamar belakang?""Iya, Mas Hamaz.""Terus?"Raisa berhenti sebentar. Terkadang dia masih merasakan lehernya yang sakit."Sepertinya lukisan itu, gambar si sosok makhluk wanita iblis itu, Mas Hamaz.""Jadi dia yang menyuguhkan pesugihan pada Bapak Mariman?""Benar, Mas. Kalau penampakan saat normal, emang sangat cantik Mas. Tapi, sebenarnya wajah dia sangat mengerikan. Wajahnya hancur dan rusak. Baunya juga enggak enak lagi.""Menurut Raisa dan Mas Hamaz nih ya.
Secepat kilat. Abah Harun kembali menyerang, dengan menyambar tubuh Wilujeng dan melemparkannya hingga terpental sangat jauh. Seketika membuat raut wajah wanita itu berubah mengerikan.Bibir yang sobek dari ujung ke ujung, hingga di bawah telinga. Belum lagi aroma busuk yang menguar begitu kuat."Hei!"Sosok itu memutar lehernya hingga menghadap ke arah lelaki itu. Kesempatan baik, tak disia-siakan. Abah Harun langsung melempar tasbih yang tersisa dua di tangannya."Nih, ambil!"Dengan gerakan sangat cepat dan penuh keyakinan. Wilujeng langsung terbang meluncur ke arah Abah Harun. Dengan menyiapkan hantaman maut miliknya."Allahu Akbar!"Terdengar alunan ayat-ayat doa dari bibir Abah Harun yang masih berdiri tenang. Membuat raut wajah Wilujeng mulai memerah, bagai terbakar bara api. Tubuhnya semakin tertekan oleh cengkeraman sinar butiran tasbih yang berada dalam genggaman tangan lelaki itu.Tubuh Wilujeng perlahan mulai
"Kau tak akan bisa menang melawan aku, Manusia. Ini duniaku. Singgasanaku. Kau mau berbuat apa? Aku pastikan kau akan kalah!!!" seru Nyai Wilujeng dengan keras.Terlihat dari raut wajahnya yang selalu berubah-ubah. Dia sedang dalam keadaan murka.Kilatan cahaya seperti medan arus listrik, tergambar jelas diangkasa. Kian menyambar perbukitan yang ada di sekitar tempat ini."Petir itu akan terus berjalan mengejarmu lelaki tua? Dan, akan menuju arah sini!" ucap wanita itu, senang.Sekilas Abah Harun memeprhatikan gelegar dari petir yang menyambar. Sampai membuat terbakar beberapa titik. Saat Abah Harun berbalik, sosok wanita itu telah menghilang."Hemmm, aku harus mencarinya!"Lelaki paruh baya itu, langsung berlari walau tak mudah di tempat ini. Ilalang yang tingginya, seukuran manusia dewasa. Terasa bagai pagar yang menghalangi langkahnya berlari.Sejenak Abah Harun memejamkan kedua matanya. Dia mencoba untuk melesat sebaga