"Ehhh ... sosok Bu Sapto, sama sosok wanita yang berpakaian hitam. Yang sepertinya sekarang membuntuti, Bu Marto.
"Haaaahhh?"
Segera Raisa menutup teleponnya. Tampak dia sangat gelisah. Berjalan mondar mandir, kebingungan. Membuat Delon yang memerhatikan Raisa dari ujung ruang belakang. Menjadi bertanya-tanya.
"Ada apa Raisa sampai seperti itu?"
Dengan langkah lebar Delon mendatangi Raisa. Yang terlihat sangat tegang. Tangannya menepuk pelan bahu Raisa. Membuat gadis itu melompat dan menjerit.
"Mas Delooon!" teriak Raisa benar-benar terkejut.
"Maaf, Raisa. Tapi, kamu kelihatan aneh gitu?"
"Bukan aneh Mas. Tapi aku beneran lagi bingung."
"Memangnya kenapa?"
Raisa mengajak Delon keluar rumah. Menuju taman yang berada di depan kamar mereka.
"Jauhnya mau ngomong aja pakai ke sini."
"Mas Delon aku khawatir sama Bu Marto."
"Bu Marto, ada apa dengan dia?"
"Aku cemas Mas. Soalnya Bu Marto
"Terakhir kita sampai pada Bu Marsinah yang pulang ke rumah ya?""Benar, Mas Hamaz. Dan ternyata si Mariman sudah menunggunya," lanjut Delon."Coba kalian lihat lagi gambar ini!" Hamaz menunjukkan sebuah gambar yang sama."Kenapa gambar-gambar ini sama dengan lembar pertama?" tanya Raisa heran."Itu juga pertanyaan aku, Sa. Apa mungkin meninggalnya Bu Marsinah bunuh diri? Atau dibunuh?"Tiba-tiba, pernyataan Delon membuat Hamaz dan Raisa terkesiap. Pemikiran itu ada benarnya. Karena dari awal dia menulis, dalam buku itu sudah ada gambar tentang seorang wanita yang mati dengan sebilah belati."A-pa aku salah bicara?" tanya Delon kebingungan. Karena Hamaz dan Raisa menatap tajam ke arahnya."Bukan salah Mas Delon. pemikiran yang benar aku rasa. Ada kemungkinan itu bisa terjadi. Lalu kenapa dia sudah menggambarkan semua itu sebelum kematiannya?""Mungkin Bu Marsinah sudah merasa sebelum semua terjadi, Mas Hamaz. Jadi seperti sudah
Dia menyelinap di antara pepohonan yang ada di sekitar. Sehingga bisa mendekati kedua anaknya. Dari balik sebuah pohon gayam yang cukup besar. Marsinah memanggil Mariyati dan Mariana. Untuk mendekati dirinya."Ibuuuu ....""Huuuussst! Jangan ribut, ayo kita pergi dari sini!"Segera Marsinah menraik tangan kedua anaknya. Lalu mengajak mereka berlari untuk meninggalkan tempat itu. Akan tetapi ada seseorang yang menghadang mereka. Sosok wanita berpakaian serba hitam. Dengan wajah yang tertutup oleh kain hitam.Seketika Marsinah terhenyak. Dia sangat tahu siapa wanita ini. Wanita yang ditemui Mariman waktu dia membuntuti suaminya. Yang memberikan sebuah bungkusan dari daun pisang.Tak hanya itu. Marsinah pun sering beberapa kali melihat penampakan sosok wanita itu di rumahnya. Terutama dari arah kamar belakang. Dari situ Marsinah bisa menebak kalau mereka sosok yang sama."Si-siapa kamu?"Namun sosok itu tak menjawab. Dia hanya menuding p
Sejak peristiwa itu, Marsinah lebih banyak mengurung diri dalam kamar. Dia semakin sering menentang suaminya snediri. "Sekarang katakan padaku, Pak! Siapa tumbal berikutnya yang kau lihat di dalam sumur itu?" Hening, tak ada jawaban yang terdengar. Bahkan Mariman menghindari dari Marsinah yang terus mengajukan pertanyaan tentang hal itu. "Kenapa, Pak? Bapak bingung untuk menjawab? Atau jangan-jangan tumbal berikutnya yang Bapak lihat itu ... aku?" "Ngomong apa kamu ini, Bu?!" sentak Mariman kasar. "Jawab Pak! Apa benar yang aku bilang tadi?" "Salah besar! Kamu ngawur, kalau ngomong. Lagian aku tak mungkin menumbalkan anggota keluarga aku sendiri." Tiba-tiba .... Bruaaakkk! Suara pintu terbanting sangat keras. Membuat Marsinah dan Mariman terhenyak. Lalu Mariman segera beranjak pergi menuju ruang belakang. Tanpa sepengetahuannya. Marsinah pun mengikuti. Dia melihat sendiri, Mariman memasuki kamar penuh ra
"Berisi potongan tubuh korban kecelakaan. Yang selalu terjadi di depan rumah Bu Sapto."Seketika Hamaz terdiam. Semakin membuat tanya pada Delon dan Raisa. Yang terus memandang ke arahnya."Rumah itu pasti menympan banyak tragedi hitam di dalamnya. Pasti aura hitam tergambar di rumah itu.""Apa nanti Mas Hamaz juga akan melihat ke sana?" tanya Raisa penuh harap."Ada kemungkinan itu, Mbak. Kalau seperti yang Mbak Raisa bilang. Kalau rumah itu memang satu tempat yang sama. Aku harus ke sana. Tapi, setelah kita selesaikan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.""Tapi, aku takut Mas Hamaz.""Takut kenapa Mbak Raisa?"Sejenak dia terdiam. Tak langsung menjawab pertanyaan Hamaz. Yang tampak penasaran sama halnya dengan Delon."Iya, Sa. Kamu takut ini, soal apa?" Delon mengulang dengan pertanyaan yang sama."Tentang Bu Marto, Mas. Aku mendengar cerita dari Mbak Dian itu terus buat kepikiran. Biasanya seseorang yang selalu d
"T-tumbal, Bu?" "Iya, secara tak langsung kita membunuh orang-orang itu, Mariyati." "Mariyati takut, Bu! Gimana caranya agar tanda ini hilang, Bu?" Marsinah menarik pergelangan tangan anaknya. Untuk mendekat. Lalu dia berbisik, "Kau juga harus pergi meninggalkan rumah ini! Ikuti Mariana bersama Naning." "Bulek Naning?" "Iya. Kamu--" Suara Marsinah bagai tercekat, saat hendak melanjutkan kalimatnya. Dia melihat bayangan Mariman yang sudah berdiri di belakang Mariyati. "Apa yang kau bisikkan pada Mariyati, Mar?" "Aku enggak bilang apa-apa. Tanya aja sama anaknya!" Sontak Mariman menarik pundak Mariyati. Gadis itu tertunduk. Dia terlihat ketakutan dengan sang bapak. Kedua bola mata Mariman melotot ke arahnya. Semakin membuat Mariyati ketakutan. Sampai gadis itu mundur beberapa langkah. Tubuhnya membentur dinding kamar. Melihat hal ini, tubuh lemah Marsinah terbangun dari pembaringannya. "Jangan kau
Memberitahukan aib keluarga sangat pantang bagi Mariman. Apalagi itu pada anak mereka sendiri. Lalu dia berjalan mendekat, lantas berbisik, "Jangan pernah kau ulangi ini lagi, Mar. Atau kau yang akan mati!" Ancaman sang bapak. Membuat gadis itu memeluk tubuh Marsinah. Yang terkulai lemas. Keributan yang terjadi membuat pelayan mereka terbangun. Dia langsung menghampiri tubuh Marsinah yang lemah. Raut wajah pelayan itu terlihat sangat tegang. Saat melihat Mariyati yang terus terisak. Dan juga melihat Marsinah yang tubuhnya semakin parah. "Bawa dia ke kamarnya sekarang juga, Yum!" Suara Mariman terdengar garang. "Ba-baik, Pak." Setelah kejadian itu. Mariman pun pergi meninggalkan rumah. Dengan langkah yang tergesa-gesa. Saat ini, mereka yang berada tepat di depan kamar belakang. Seketika semua menjadi hening dan sunyi. Keduanya hanya diam, tanpa tahu harus berkata apa? "Tolong bawa aku ke sumur, Yum." Suara Marsinah benar-benar h
"Jangan! Mbak tetap lah di sini!"Dia terus menahan lengan dan tubuh Yumna. Agar tetap menemaninya di kamar."Jangan pergi, Mbak!""Iya, Mariyati. Aku tetap temani kamu."Bersamaan dengan itu. Suara gaduh yang berasal dari arah belakang, semakin nyaring terdengar. Namun dari dalam kamar Marsinah. Wanita itu tampak sangat khusyuk. Tak mengindahkan apa pun yang terjadi.Suaranya pun lamat-lamat terdengar. Bacaan doa sholat kian mengalun syahdu dari bibirnya. Isak tangis tak bisa dia bendung lagi."Allahu Akbar!" Terdengar kembali takbir di rakaat ketiga.Entah kenapa? Tiba-tiba tubuh Marsinah seperti terangkat perlahan. Yumna yang terus memperhatikannya bagai tersentak. Segera dia menarik lengan Mariyati untuk mengikuti dia.Pandangan mereka terhenyak. Manakala Yumna dan Mariyati bisa melihat sosok bayangan hitam yang berada tak jauh dari Marsinah. Sepertinya sosok wanita yang mereka lihat tak menyukai jika Marsinah melakukan sho
"Aaaarghhh!" Terdengar Marsinah yang terus mengerang. Yumna yang melihat segelas air putih. Langsung menyambarnya. Dia memberikan air putih itu pada Marsinah untuk segera di minum. "Minumlah, Bu!" Tangannya bergerak meraih gelas yang diberikan oleh Yumna. Saat bibir gelas hendak menyentuh bibir Marsinah. Tiba-tiba .... Pyaaarrrr! Gelas kaca yang dia pegang, meletup. Dan pecah berkeping-keping. Mariyati, Yumna dan Marsinah berteriak keras. Pecahan kaca menembus di bibir bawah, dagu, dan pipi Marsinah. Tak ayal lagi. Darah segar menetes deras dari pecahan kaca yang menembus wajahnya. "Ibuuuu ... ibu, kenapa bisa kayak gini?" Tangis Mariyati terdengar meraung-raung. Tak berhenti samapi di situ. Sosok bayangan hitam, yang berupa kain. Kini sudah berada di lantai. Tepat berada di hadapan mereka. Hanya berjarak empat meter. Lalu sehelai kain hitam itu seperti berdiri tegak. Dengan bagian bawah terseret dilantai saat bergerak. Hanya d