Setibanya di rumah, Shena mengambil ponselnya, kemudian menghubungi Bi Sumi. "Bi Sumi, nanti siang aku sama Sheira jadi pindah ke sana, ya," ucap Shena pada asisten rumah tangganya di seberang sana.Bi Sumi yang memang sudah mengetahui rencana majikannya sejak awal, menjawab dengan suara yang terdengar penuh semangat. _"Alhamdulillah, akhirnya bibi nggak sendirian lagi di rumah ini."_Shena pun tersenyum, meski tak terlihat oleh Bi Sumi. "Terima kasih banyak ya, Bi. Semenjak berpisah dengan Mas Arya, aku udah merasa nggak nyaman lagi tinggal di sini. Terlalu banyak kenangan dan ... aku ingin memulai hidup baru bersama Sheira. Aku butuh suasana yang lebih tenang, seperti di sana."Bi Sumi mengangguk, memahami keputusan majikannya. _"Kalau begitu, bibi siapkan kamar untuk Neng Shena dan juga Non Sheira, ya. Sekalian bibi mau bikin masakan spesial untuk menyambut Neng Shena dan Non Sheira."_Setelah selesai menghubungi Bi Sumi, Shena mulai berkemas. Barang-barang yang penting dimasukkan
Vidya terdiam, wajahnya memerah menahan malu dan amarah. Ia melirik Arya yang hanya berdiri diam di sudut ruangan. "Mas Arya, kamu diam aja? Nggak dengar Mbak Anna ngomong apa ke aku?"Arya menghela napas panjang, menatap Vidya dengan tatapan letih. "Vidya, kamu juga salah. Kenapa kamu nggak mau bantu Ibu? Kalau kamu nggak mau berubah, bagaimana kita bisa hidup tenang di sini?"Mendengar Arya seperti menyalahkannya, Vidya semakin tersudut. Namun, sebelum ia sempat menjawab, Anna kembali menyambar."Tenang? Hidup sama Vidya mau tenang gimana, Arya? Kamu itu bodoh, tahu nggak? Ninggalin Shena yang sabar dan mandiri demi perempuan kayak gini? Apa yang kamu lihat dari pelakor ini, hah? Cuma karena dia lebih muda? Sekarang rasakan akibatnya! Kamu kehilangan istri yang bisa ngangkat derajat kamu, dan malah dapat perempuan yang bikin hidupmu makin susah.""Mbak Anna, jangan bawa-bawa Shena lagi!" Arya akhirnya membalas, meski suaranya tidak sekuat Anna."Kenapa? Nggak suka dengar nama Shena
Vidya mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang. "Mas, kamu kan masih kerja di butik Mbak Shena. Jabatan kamu di sana juga kan bukan orang sembarangan. Nah, aku yakin di sana banyak barang yang nggak terlalu diperhatikan sama Mbak Shena dan karyawan yang lain. Kalau Mas ambil sedikit saja, kita bisa jual dan uangnya bisa kita pakai untuk kebutuhan sehari-hari. Aku yakin, mereka juga nggak akan curiga."Arya langsung melepaskan genggamannya. Matanya membulat, menatap Vidya dengan ekspresi kaget sekaligus marah. "Kamu ngomong apa, Vidya? Nyuruh aku mencuri?""Bukan mencuri, Mas. Anggap aja pinjam sementara. Lagian, koleksi baju di sana banyak banget, lho. Nanti kalau ada uang lebih, kita bisa ganti. Ya anggap aja kita bayar bajunya belakangan." Vidya berusaha meyakinkan Arya."Tidak, Vidya!" Arya berdiri, suaranya naik satu oktaf. "Aku tidak akan melakukan hal kotor seperti itu. Aku kerja di sana untuk cari uang halal, bukan buat bikin masalah!"Vidya ikut berdiri, wajahnya berubah kes
"Jangan beralasan!" potong Shena dengan tajam. "Aku punya semua buktinya. Rekaman CCTV, laporan karyawan, semuanya. Kamu sudah mencuri dari butikku tiga kali berturut-turut!"Vidya mencoba membela diri. "Aku nggak mencuri, Mbak! Aku cuma—""Pak Polisi, tangkap dia," perintah Shena tanpa memberi kesempatan lebih lanjut.Dua orang pria yang sebelumnya tampak seperti pelanggan mendekati Vidya. Salah satu dari mereka menunjukkan lencana polisi. "Ibu Vidya, kami sudah menerima laporan pencurian ini. Silakan ikut kami ke kantor polisi untuk pemeriksaan lebih lanjut."Arya yang menyaksikan semuanya dari jarak jauh, merasa tubuhnya seolah kehilangan tenaga. Ia ingin membela Vidya, tapi ia tahu perbuatannya tidak bisa dimaafkan.Vidya memberontak, berusaha melawan. "Mas Arya! Tolong aku! Aku nggak bersalah!" teriaknya dengan air mata yang mengalir deras.Arya hanya bisa menundukkan kepala, tidak mampu berkata apa-apa. Ia tahu segala penjelasan tidak akan mengubah apa pun. Sementara itu, Shena
Budhe Retno tampak terdiam sejenak, seolah berpikir sebelum menjawab. "Oh, Shena? Dia sedang sibuk di luar. Kalau kalian ingin bertemu, lebih baik datang ke butik pusat saja. Biasanya dia ada di sana pagi-pagi seperti ini."Arya yang sedari tadi diam mulai merasa ada yang aneh. "Budhe, Shena benar-benar tidak ada di rumah? Kami hanya ingin bicara sebentar."Budhe Retno pun tersenyum tipis. "Saya memang diminta menjaga rumah ini, Arya. Tapi Shena jarang ada di sini sekarang. Dia lebih sering menghabiskan waktunya di butik. Seharusnya kamu hafal, Arya, sekarang kan pesanan di butik sedang ramai. Shena sibuk mendesain pesanan dari beberapa pelanggan. Kalau kalian ingin bicara, temui saja dia di sana."Bu Surti tampak sedikit kecewa, tetapi ia tahu tidak ada gunanya memaksa. "Baiklah, Mbak. Terima kasih atas informasinya."Budhe Retno mengangguk kecil. “Sama-sama. Semoga urusan kalian dengan Shena bisa selesai dengan baik." Setelah itu, wanita paruh baya tersebut menutup pintu, meninggalk
Bu Surti masih termenung, duduk di sofa butik dengan wajah penuh kebingungan. Ia tak menyangka mantan menantunya yang dulu dikenal begitu baik hati, kini berubah menjadi seorang wanita yang dingin dan tegas. Shena yang dulu selalu memaafkan kesalahan apa pun, kini terlihat seperti orang yang menyimpan dendam pada Arya dan juga Vidya."Bu, kita pulang saja," Arya berkata, suaranya terdengar serak. Matanya menatap lantai butik, seolah enggan menatap siapa pun. "Shena tidak akan mengubah keputusannya."Bu Surti menggeleng perlahan, tangannya menggenggam erat tas kecil di pangkuannya. "Tidak, Arya. Ibu yakin Shena itu bukan orang yang kejam. Dia hanya keras di luar, tapi hatinya pasti masih sama. Kita tunggu sebentar lagi."Arya mendesah berat. Ia tahu ibunya masih berharap. Namun di dalam hatinya, ia merasa harapan itu sia-sia, karena Shena yang sekarang bukan lagi Shena yang dulu.Sementara itu di ruang kerja, Shena duduk di kursinya dengan raut wajah yang sulit diartikan. Irma yang mer
"Bahagia?" suara Bu Surti meninggi, kini tak mampu lagi menahan amarah. "Vidya, bahagia tidak bisa kau dapatkan dengan cara seperti ini. Bahagia itu butuh usaha, bukan dengan mengorbankan orang lain. Kau tahu berapa banyak luka yang sudah kau buat? Shena itu sudah terlalu baik padamu. Tapi apa balasanmu? Kau sudah merebut suaminya, dan sekarang kau mencuri dari butiknya. Apa kau tidak malu?"Vidya terdiam, tapi wajahnya menunjukkan bahwa ia enggan menerima nasihat itu. Ia memalingkan wajah, menatap Arya dengan tajam."Mas Arya," lanjut Vidya, kali ini dengan nada penuh kekecewaan. "Kenapa kamu tidak pernah bisa memberikan kehidupan yang aku mau? Kalau saja kamu kaya raya, aku tidak perlu melakukan ini semua."Arya menghela napas panjang, menahan emosi yang mulai membakar dadanya. "Vidya, aku sudah berusaha sekuat tenaga untuk memenuhi kebutuhan kita. Aku bekerja siang malam demi kamu dan bayi ini. Tapi kalau kamu tidak pernah puas, sebaiknya kita bercerai saja. Aku sudah dipecat dari
Setelah pulang kerja, Shena duduk di sofa, ditemani secangkir teh hangat. Ia masih mengenakan blouse putih yang sedikit kusut, tanda kelelahan setelah seharian bekerja.Sheira sedang duduk di karpet, asyik menggambar dengan krayon warna-warni. Sesekali, ia memanggil sang ibu untuk menunjukkan hasil gambarnya."Mama, lihat! Ini gambar aku sama Mama," ujar Sheira sambil tersenyum lebar, menunjuk gambarnya yang sederhana dan penuh warna.Shena tersenyum lembut, kemudian mengangguk. "Bagus sekali, Sayang. Kamu makin pintar menggambar."Tapi, pikiran Shena tetap melayang pada tawaran Ervan tadi siang."Aku ingin memperkenalkanmu, bukan hanya sebagai desainer yang membuat baju itu—tapi sebagai seseorang yang berarti bagiku."Kata-kata itu terngiang terus, membuat hatinya merasa campur aduk. Shena menghela napas panjang, mencoba membuang rasa ragu yang terus menghantuinya.Lamunannya terhenti saat ponselnya bergetar di meja. Nama Bu Rahayu muncul di layar, membuat Shena terkejut. Ia mengerut
Dua minggu telah berlalu sejak Arya dan Anna menyerahkan sampel DNA ke laboratorium di rumah sakit. Selama dua minggu ini, Arya mencoba menjalani hari-harinya seperti biasa. Ia tetap bekerja, tetap pulang ke rumah setiap malam, dan tetap berusaha untuk bersikap normal di hadapan Vidya. Tapi jauh di dalam hatinya, ada sebuah ketakutan yang terus menghantui. Pagi itu, ponselnya bergetar saat ia sedang duduk di meja makan, menyeruput kopi yang terasa hambar di lidahnya. Layar ponsel menampilkan nama sebuah rumah sakit. Saat itu pula, jantungnya langsung terasa berdetak lebih cepat."Halo?" suaranya terdengar sedikit bergetar._"Selamat pagi, Bapak Arya. Kami dari bagian laboratorium Rumah Sakit Sumber Medika. Hasil tes DNA Anda sudah keluar dan bisa diambil hari ini."_Mendengar informasi tersebut, Arya menelan ludahnya. "Baik, nanti siang akan saya ambil."Setelah menutup telepon, Arya menatap kosong ke depan. Vidya, yang sejak tadi duduk di seberangnya sambil menggendong Arvi, menyada
"Cuma apa?" potong Arya dengan cepat. "Cuma mau memastikan Arvi selalu ada di dekatmu, biar aku nggak punya kesempatan buat bawa dia ke rumah sakit?""Mas Arya!" Vidya terperanjat. "Aku cuma … aku cuma nggak mau ada masalah dalam rumah tangga kita! Aku takut semuanya hancur!"Arya tertawa pendek, penuh kepahitan. "Semuanya hancur? Kamu pikir aku nggak takut? Aku juga nggak mau rumah tangga ini berantakan, Vidya! Sudah cukup rumah tanggaku dengan Shena berantakan gara-gara kamu muncul dalam hidup aku. Aku juga nggak mau hidup dalam kebohongan!"Vidya terdiam. Ia ingin membela diri, tetapi hatinya dipenuhi ketakutan."Aku nggak minta banyak, Vid," lanjut Arya dengan suaranya yang lebih lirih, tapi tetap terdengar tegas. "Aku cuma mau kepastian. Kalau memang Arvi adalah anak kandungku, aku sangat bersyukur dan akan tetap mencintaimu dengan sepenuh hati. Tapi kalau ternyata bukan ...."Arya menatap istrinya dengan tajam. "Aku nggak tahu apa aku masih bisa bertahan dalam rumah tangga yang
"Aku setuju tes DNA dilakukan besok," ucap Arya akhirnya.Anna tersenyum tipis, akhirnya sang adik menyetujui. "Bagus kalau kamu sudah yakin.""Tapi, ada masalah," lanjut Arya dengan nada serius. "Aku nggak punya uang cukup buat tesnya, Mbak."Anna mengerutkan kening, menatap adiknya dengan penuh selidik. "Memangnya, kamu butuh berapa?""Aku belum cek biaya pastinya, Mbak. Tapi, tes DNA di rumah sakit itu pasti nggak murah," Arya mengusap tengkuknya dengan canggung. "Makanya aku mau minta bantuanmu, Mbak. Bisa nggak, aku pinjam uang dulu?"Anna menatap Arya lekat-lekat, memastikan apakah adiknya benar-benar serius. Ia tahu kondisi keuangan Arya memang sedang sulit. Sebagai sopir taksi online, penghasilannya pas-pasan, apalagi sekarang Vidya sudah tidak bekerja semenjak menikah dengan Arya."Aku nggak masalah bantuin kamu," jawab Anna akhirnya. "Tapi, kalau hasilnya nanti beneran nunjukin kalau Arvi bukan anak kamu, apa kamu berani ambil tindakan?"Mendengar itu, Arya terdiam. Pertanya
Setelah masuk ke dalam kamar, Vidya langsung mengunci pintunya rapat-rapat. Ia bahkan memastikan jendela juga terkunci. Ia tak mau ada seorang pun yang masuk atau mencoba mengambil sesuatu dari dalam kamar ini.Sementara itu, di luar kamar, Anna berdiri bersedekap dengan ekspresi dingin. Ia sudah menduga Vidya akan melakukan hal ini, mengurung diri bersama dengan bayinya. Namun, kali ini ia tidak akan tinggal diam.Anna menunggu di luar kamar dengan penuh kesabaran. Ia memperhatikan setiap gerak-gerik Vidya, mengamati apakah ada celah yang bisa dimanfaatkan.Ternyata, usahanya tidak sia-sia.Ketika sore mulai menjelang, Anna mendengar suara kunci kamar yang diputar. Ia segera berpura-pura sedang sibuk dengan ponselnya. Namun, ekor matanya tetap mengawasi.Vidya keluar dari kamar dengan wajah sedikit lelah, tetapi ekspresi tegang masih jelas terlihat di wajahnya.Anna memperhatikan dengan saksama."Kenapa dia keluar kamar?" pikirnya.Saat Vidya berjalan menuju kamar mandi, Anna memperh
Siang itu, suasana rumah masih terasa tegang. Vidya terus-terusan menempel pada Arvi, seolah tak ingin bayi itu lepas dari gendongannya. Bahkan, saat makan pun, ia tetap menggendong sang putra.Arya yang duduk di meja makan hanya bisa menatap istrinya dengan pandangan penuh tanya. Sejak pagi, Vidya tampak semakin aneh. Ia tidak membiarkan siapa pun menyentuh Arvi, bahkan Arya sendiri.Saat tangan Arya terulur ingin mengusap kepala bayinya, Vidya langsung memundurkan tubuhnya sedikit, menghindar tanpa terlihat mencolok."Kamu kenapa, Vid?" tanya Arya akhirnya, dengan suaranya yang datar, dan sorot matanya yang menatap tajam.Vidya tersentak, lalu terkekeh kecil. "Nggak kenapa-napa, Mas. Aku cuma lagi menikmati waktu sama Arvi."Arya mengangkat alis, merasa tidak percaya. "Bahkan aku aja nggak boleh gendong Arvi? Sejak kapan kamu kayak gini?"Vidya berusaha tersenyum, meskipun hatinya terasa dag-dig-dug. "Bukan gitu, Mas. Arvi kan masih kecil. Aku nggak mau dia rewel kalau digendong ora
Ia menunduk, menenangkan Arvi yang mulai menggeliat dalam gendongannya. Vidya pun menghela napas panjang."Sial," desisnya. "Aku nggak boleh panik, dan aku harus berpikir jernih."Jika benar Arya sudah mulai curiga, maka itu berarti ia harus mencari cara lain untuk mengendalikan keadaan. Mengandalkan Yudi jelas bukan pilihan. Pria itu terlalu bodoh untuk memahami situasi.Vidya menegakkan punggungnya, memasukkan amplop itu ke dalam saku celananya. Matanya mulai mencari-cari seseorang di sekitar taman. Ia harus memastikan bahwa tidak ada yang mengawasinya.Tapi, tanpa Vidya sadari, seseorang masih berdiri di balik pohon besar, mengamati semua yang terjadi.Anna menggenggam ponselnya erat-erat, jantungnya berdegup kencang. Ia sudah mendengar semuanya. Setiap kata yang keluar dari mulut Vidya dan Yudi telah ia rekam.Anna mengusap tengkuknya yang dingin. Apa yang baru saja ia dengar bukan sesuatu yang bisa dianggap remeh. Fakta bahwa Arvi bukan anak kandung Arya adalah sebuah bom besar y
"Uang," jawab Yudi dengan singkat. "Gunakan ini buat jaga-jaga. Kalau Arya sampai kepikiran tes DNA, kamu tahu harus gimana, kan?"Vidya pun semakin gelisah. "Tapi ....""Jangan banyak tanya, Vidya," potong Yudi dengan tajam. "Ini buat kebaikan kita semua. Aku nggak mau ada masalah."Vidya menggigit bibirnya, lalu menerima amplop itu dengan rasa penasaran, berapa banyak uang yang ia terima.Ia segera membuka amplop yang baru saja diberikan Yudi. Dengan cepat, ia menarik isinya dan mulai menghitungnya di hadapan pria itu. Matanya menyipit saat melihat jumlahnya. Hanya sepuluh lembar uang seratus ribuan.Vidya mendengkus, lalu menatap Yudi dengan ekspresi tak percaya. "Serius? Kamu kasih aku uang cuma satu juta?"Yudi memasukkan tangannya ke dalam saku jaketnya, ekspresinya tetap datar. "Memangnya kamu berharap berapa?"Vidya mendekatkan wajahnya, menurunkan suaranya agar tidak terdengar oleh siapa pun di sekitar mereka. "Kalau kamu pikir aku bisa nyogok dokter buat memalsukan hasil tes
Arya mendesah pelan, lalu menundukkan kepala. "Aku … nggak punya cukup uang buat itu, Mbak."Anna terdiam. Ia tahu bahwa setelah kehilangan pekerjaan lamanya, Arya kini hanya bekerja sebagai sopir taksi online. Penghasilannya pas-pasan, hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari, terutama untuk Arvi."Tes DNA itu mahal," lanjut Arya dengan suara berat. "Aku bahkan belum bisa menabung, karena semua uangku habis buat beli susu dan kebutuhan Arvi."Anna menatapnya dengan penuh simpati."Mbak ngerti, Arya. Mbak juga nggak mau maksa kamu untuk Tes DNA, kalau memang kamu belum siap." Ia menghela napas sejenak, lalu menatap wajah adiknya yang kini tampak lebih tua dari usianya. "Tapi kalau kamu benar-benar ingin tahu kebenarannya, kamu harus cari cara. Mungkin bisa mulai menabung sedikit demi sedikit dari sekarang. Ya, meskipun akhirnya entah kapan tes itu bisa dilakukan."Arya memijat pelipisnya, merasa semakin terbebani. "Aku takut, Mbak."Anna menatap adiknya dalam-dalam. "Kamu takut kalau t
Vidya tertegun. Ia tidak menyangka Arya akan menanyakan hal itu."Maksud Mas Arya apa?" tanya Vidya yang memaksakan diri dan berusaha tersenyum, meskipun jantungnya mulai berdebar tak menentu karena merasa tak nyaman mendengar pertanyaan dari suaminya.Arya menelan ludah dengan susah payah. "Aku nggak tahu kenapa, tapi … aku merasa dia nggak mirip sama aku, atau kamu."Ruangan mendadak terasa lebih sunyi. Vidya memandang wajah bayi mereka, lalu kembali menatap Arya."Mas … kenapa tiba-tiba mikirin hal kayak gitu?" tanya Vidya, mencoba untuk tetap tenang.Arya mengusap wajahnya, merasa bimbang apakah ia harus melanjutkan ucapannya atau tidak. Namun, pikiran itu terus menghantuinya."Aku tahu ini mungkin cuma perasaan anehku aja," katanya pelan. "Tapi … selama ini aku berusaha meyakinkan diri sendiri kalau aku cuma berlebihan. Tapi sekarang, aku nggak bisa lagi. Aku merasa … Arvi lebih mirip seseorang yang kita kenal."Vidya merasakan napasnya tercekat. Tangannya secara refleks menggeng