Vidya terdiam, wajahnya memerah menahan malu dan amarah. Ia melirik Arya yang hanya berdiri diam di sudut ruangan. "Mas Arya, kamu diam aja? Nggak dengar Mbak Anna ngomong apa ke aku?"Arya menghela napas panjang, menatap Vidya dengan tatapan letih. "Vidya, kamu juga salah. Kenapa kamu nggak mau bantu Ibu? Kalau kamu nggak mau berubah, bagaimana kita bisa hidup tenang di sini?"Mendengar Arya seperti menyalahkannya, Vidya semakin tersudut. Namun, sebelum ia sempat menjawab, Anna kembali menyambar."Tenang? Hidup sama Vidya mau tenang gimana, Arya? Kamu itu bodoh, tahu nggak? Ninggalin Shena yang sabar dan mandiri demi perempuan kayak gini? Apa yang kamu lihat dari pelakor ini, hah? Cuma karena dia lebih muda? Sekarang rasakan akibatnya! Kamu kehilangan istri yang bisa ngangkat derajat kamu, dan malah dapat perempuan yang bikin hidupmu makin susah.""Mbak Anna, jangan bawa-bawa Shena lagi!" Arya akhirnya membalas, meski suaranya tidak sekuat Anna."Kenapa? Nggak suka dengar nama Shena
Hati Shena terasa bergemuruh ketika telinganya mendengar suara derit ranjang di dalam kamar tidurnya.Wanita itu baru saja kembali dari luar kota setelah melakukan pertemuan dengan beberapa desainer ternama, untuk mengikuti pameran dan peragaan busana tradisional di kota tersebut dalam rangka memeriahkan acara kemerdekaan.Shena berjalan secepat mungkin, memastikan bunyi suara itu. Kedua bola mata Shena membelalak dengan sempurna, ketika melihat sang suami dengan lancangnya berani menggunakan ranjang miliknya untuk berbagi keringat dan melakukan penyatuan bersama wanita lain."Menjijikan! Teganya kamu ngelakuin ini sama aku, Mas!" batin Shena bergemuruh menahan amarah. Kedua pelupuk matanya mulai berembun.Arya memang teledor. Pria tinggi berkulit sawo matang tersebut selalu lupa untuk menutup pintu jika nafsunya ingin segera disalurkan.Dengan sekuat tenaga wanita cantik berambut panjang itu meredam emosinya sendiri. Dengan tangan yang gemetar, wanita berusia tiga puluh lima tahun it
"Shena, tolong maafkan kami. Hentikan hukuman ini, dan izinkanlah aku menikahi Vidya," pinta Arya yang menangkupkan kedua telapak tangannya, dengan wajah penuh penyesalan.Shena tersenyum sinis, sambil menatap tajam ke netra sang suami."Mas Arya, apa kamu pikir sejak tadi aku sedang menghukum kekasih gelapmu?" tanya Shena dengan nada penuh cemoohan.Arya menoleh, menatap Irma yang masih terengah-engah karena emosi yang terus bergelora di dalam hatinya.Sejatinya, Irma ingin memberikan hukuman yang lebih pedih lagi pada Vidya. Namun, ingatan akan pesan almarhum kedua orang tua mereka muncul kembali, untuk melindungi adik satu-satunya itu. Dilanda rasa penyesalan, kekecewaan, dan kemarahan, Irma merasa seolah telah gagal menjalankan amanat yang diberikan kedua orang tua mereka.Ia menatap Vidya dan Arya dengan penuh kebencian, menahan tangis yang hendak pecah melampaui embun yang menggelayuti wajahnya."Mas Arya, aku memang menghormatimu karena kau adalah suami dari bosku --- Mbak Sena
Perut Shena terasa tergelitik, mendengar perkataan suaminya yang terkesan tak tahu malu. Malah meminta uang mahar untuk menikahi madunya. Wanita itu menggelengkan kepala, tidak habis pikir dengan suami dan madunya, mereka sama-sama tidak tahu malu di matanya."Cih, yang benar saja? Gaya selangit, pakai selingkuh segala, giliran mahar pinjam ke istri, memalukan sekali," timpal Shena, geli dengan tingkah suaminya itu.Arya meringis, ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Mau bagaimana lagi, saat ini di dompetnya kosong dan tidak ada uang cash sama sekali. Uangnya sudah habis, membayar belanjaan Vidya yang banyak maunya."Ayolah, Sayang. Pinjam dulu untuk mahar. Aku bakal ganti dengan jumlah yang lebih besar. Bantu aku, ya?" pinta Arya. Ia memohon pada istrinya dengan wajah tanpa dosa.Jangan tanyakan, bagaimana perasaan Shena saat ini. Sedih, kesal, sekaligus jijik secara bersamaan. "Nggak usah diganti. Anggap saja sumbanganku untuk wanita sundal itu!" kesal Shena, mengambil dompet da
"Sayang, kamu bilang apa barusan, Nak? Jangan bercanda! Kenapa kamu mengizinkan wanita perusak kebahagiaanmu tinggal satu atap denganmu? Kenapa?" Bu Surti mencecar Shena dengan banyak pertanyaan, tidak percaya dengan menantunya."Karena aku ingin memberikan dia pelajaran, Bu." Bisik Shena, saat Bu Surti memeluk tubuhnya erat."Aku nggak akan diam, saat ditindas seperti ini," lanjutnya.Bu Surti mengurai pelukannya secara perlahan, menatap nanar sang menantu dengan mata berkaca-kaca."Baiklah, Shena. Apapun rencanamu, ingatlah bahwa Ibu akan selalu mendukungmu sepenuh hati." Kedua telapak tangan Bu Surti membelai wajah Shena dengan penuh kasih sayang."Sabarlah, Sayang. Jangan khawatir, Ibu tidak akan tinggal diam melihat wanita tidak tahu malu itu berani menyakiti menantu kesayangan Ibu." Genangan air mata menyeruak di sudut mata Bu Surti, tapi wanita paruh baya itu mencoba untuk menahan sekuat tenaga agar tak meluncur jatuh."Vidya!" teriak Irma, wajahnya memerah karena amarah terhad
"Mbak Shena, Bu Surti, aku minta maaf atas kesalahan yang telah Vidya lakukan, a--""Sudahlah, Ir, kamu nggak salah. Jangan pernah meminta maaf atas kesalahan yang nggak pernah kamu lakukan," ujarku memotong ucapan Irma, dengan nada yang tegas dan penuh empati, sebelum asistenku itu selesai berbicara.Irma tampak semakin menunduk, tatapannya getir, terlihat air mata mulai menggenang di kelopak matanya yang menyiratkan kepedihan yang mendalam. Dia terus berjuang menahan tangis."Ir, aku tahu, sebelum aku merasakan kejadian seperti ini, kamu sudah mengalaminya lebih dulu. Jangan khawatir, aku nggak akan berbuat jahat terhadap adikmu." Ucapku sambil menatap Irma dalam-dalam, berusaha merasakan apa yang dirasakannya."Aku hanya ingin memberikan dia pelajaran saja, supaya dia sadar jika mengambil milik orang lain itu tidak akan selamanya bahagia," sambungku, dengan harapan ucapanku bisa menenangkan hati dan pikiran Irma yang bergolak."Nanti kunci mobilku ini kamu titipkan saja pada Bi Ira
"Kamu bisa istirahat di kamar yang itu!" Jari telunjuk Shena mengarah pada satu kamar yang membuat adik madunya itu nampak terkejut.Vidya membelalak, ia terperangah tatkala Shena menunjuk sebuah kamar yang terletak di area belakang rumah.Sebuah kamar kecil yang Vidya tahu itu adalah kamar Bi Sumi --- asisten rumah tangga di kediaman ini. Ruangan itu selalu dipakai Bi Sumi, jika dia menginap.Shena tersenyum melihat Vidya yang tercengang, netranya menatap nanar pada adik madu yang selalu kurang ajar. "Maksud Mbak Shena apa menunjuk-nujuk kamar Bi Sumi?" tanya Vidya. Nada bicaranya sedikit naik, seperti tidak terima.Tertawa samar, Shena bersedekap dada. "Nggak usah pura-pura bodoh, Vidya. Aku tahu kamu paham maksduku.""Jadi Mbak Shena nyuruh aku tidur di kamar pembantu? Ck, apa-apaan, aku nggak mau!" Vidya menyentak kesal.Arya pun jadi ikut tidak terima. Dari sekian banyaknya ruangan, kenapa Shena memilih kamar pem
"Rambut Vidya yang dulu sangat indah, sekarang malah berantakan tak beraturan, membuatku tak lagi memiliki hasrat padanya.""Aargh!" Aku mengacak rambutku dengan kasar, ketika melihat Vidya yang sudah terlelap dalam tidurnya di kamar Bi Sumi yang sesak ini.Kenapa perasaanku jadi terganggu saat melihat rambut pendek Vidya yang terpotong sembarangan?Ah, ini semua adalah kesalahanku yang terburu-buru mengajak Vidya bercinta di rumah ini. Siapa sangka, Shena pulang dari luar kota lebih awal dan malah memergoki kami berdua."Vid, geser, Mas juga ngantuk, mau tidur!" Aku menggoyangkan tubuh Vidya yang matanya sudah terpejam."Ck! Mas Arya ganggu aja, sih. Aku ngantuk banget, Mas ...." Vidya meracau dengan mata yang masih tertutup rapat.Dulu, saat Vidya masih menjadi selingkuhanku, aku begitu menikmati ketika melihat wajahnya tertidur dengan lelap. Tapi sekarang, kecantikannya sudah luntur.Kalau saja dia tidak mengandung anakku, sudah pasti aku tak ingin menikahinya. Begitu dalam penyesa
Vidya terdiam, wajahnya memerah menahan malu dan amarah. Ia melirik Arya yang hanya berdiri diam di sudut ruangan. "Mas Arya, kamu diam aja? Nggak dengar Mbak Anna ngomong apa ke aku?"Arya menghela napas panjang, menatap Vidya dengan tatapan letih. "Vidya, kamu juga salah. Kenapa kamu nggak mau bantu Ibu? Kalau kamu nggak mau berubah, bagaimana kita bisa hidup tenang di sini?"Mendengar Arya seperti menyalahkannya, Vidya semakin tersudut. Namun, sebelum ia sempat menjawab, Anna kembali menyambar."Tenang? Hidup sama Vidya mau tenang gimana, Arya? Kamu itu bodoh, tahu nggak? Ninggalin Shena yang sabar dan mandiri demi perempuan kayak gini? Apa yang kamu lihat dari pelakor ini, hah? Cuma karena dia lebih muda? Sekarang rasakan akibatnya! Kamu kehilangan istri yang bisa ngangkat derajat kamu, dan malah dapat perempuan yang bikin hidupmu makin susah.""Mbak Anna, jangan bawa-bawa Shena lagi!" Arya akhirnya membalas, meski suaranya tidak sekuat Anna."Kenapa? Nggak suka dengar nama Shena
Setibanya di rumah, Shena mengambil ponselnya, kemudian menghubungi Bi Sumi. "Bi Sumi, nanti siang aku sama Sheira jadi pindah ke sana, ya," ucap Shena pada asisten rumah tangganya di seberang sana.Bi Sumi yang memang sudah mengetahui rencana majikannya sejak awal, menjawab dengan suara yang terdengar penuh semangat. _"Alhamdulillah, akhirnya bibi nggak sendirian lagi di rumah ini."_Shena pun tersenyum, meski tak terlihat oleh Bi Sumi. "Terima kasih banyak ya, Bi. Semenjak berpisah dengan Mas Arya, aku udah merasa nggak nyaman lagi tinggal di sini. Terlalu banyak kenangan dan ... aku ingin memulai hidup baru bersama Sheira. Aku butuh suasana yang lebih tenang, seperti di sana."Bi Sumi mengangguk, memahami keputusan majikannya. _"Kalau begitu, bibi siapkan kamar untuk Neng Shena dan juga Non Sheira, ya. Sekalian bibi mau bikin masakan spesial untuk menyambut Neng Shena dan Non Sheira."_Setelah selesai menghubungi Bi Sumi, Shena mulai berkemas. Barang-barang yang penting dimasukkan
"Aku nggak tahu, Bu ...," Aulia menjawab dengan suara bergetar. "Aku hanya ingin dia menjauh dari Mbak Shena. Aku nggak sanggup melihat mereka terlalu dekat."Bu Surti menghela napas panjang, memijat pelipisnya. "Ini bukan masalah yang mudah, Aulia. Ibu tidak mau keluarga kita harus menanggung malu karena kamu dan Shena memperebutkan seorang pria."Aulia mengangguk."Aku janji, Bu. Aku akan berusaha menahan diri. Tapi, Bu ..." Ia menoleh, matanya penuh harap. "Tolong bantu aku. Jangan biarkan Mbak Shena terlalu dekat dengan Pak Ervan."Bu Surti memandang Aulia dalam-dalam, mencoba membaca keputusasaan dalam perkataannya. Akhirnya, wanita paruh baya itu menjawab dengan nada tegas. "Ibu akan memikirkan cara untuk menjaga nama baik keluarga kita. Tapi kamu juga harus belajar mengendalikan perasaanmu, Aulia."Aulia hanya mengangguk, meski di hatinya, ia tahu bahwa mengendalikan perasaan terhadap Ervan adalah hal yang hampir mustahil.Di dalam keheningan mobil yang melaju, Bu Surti mulai m
Setelah selesai makan malam, Ervan dan Ergan bersiap untuk pulang. Shena berdiri di depan pintu bersama Sheira. Gadis kecil itu memandangi kedua tamunya dengan wajah sedih."Daddy, Ergan, jangan lupa main ke sini lagi, ya?" pinta Sheira dengan suara polos sambil memegang tangan Ervan.Ervan tersenyum, lalu berlutut agar sejajar dengan gadis kecil itu. "Tentu, Princess. Daddy dan Ergan pasti akan datang lagi. Kamu janji mau jadi anak yang baik untuk Mama, kan?"Sheira pun mengangguk dengan antusias. "Sheira janji, Daddy!"Ergan, yang berdiri di samping ayahnya, memegang tangan Sheira. "Kita tanam bunga lagi nanti, ya, Sheira?""Ya, tentu!" sahut Sheira senang.Shena tersenyum melihat keakraban mereka. Saat Ervan berdiri, ia melirik ke arah Shena. "Terima kasih untuk makan malamnya, Shena. Anak-anak terlihat sangat bahagia malam ini."Shena mengangguk pelan. "Sama-sama, Ervan. Hati-hati di jalan, ya."Sebelum naik ke mobil, Sheira mencium punggung tangan Ervan dengan penuh hormat. "Dadd
Sheira menunduk, menatap pot bunga di tangannya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Ergan, yang duduk di sebelahnya, memperhatikan ekspresi temannya itu dengan wajah penuh simpati. Ia berpikir sejenak sebelum akhirnya berbicara dengan suara pelan dan penuh perhatian."Sheira," panggil Ergan sambil menyentuh bahu gadis kecil itu. "Kalau kamu kangen banget sama Papa kamu, kamu bisa anggap Daddy aku jadi Papa kamu juga."Sheira mengangkat wajahnya, menatap Ergan dengan mata melebar. "Maksud kamu, Daddy kamu jadi Papa aku juga?"Ergan mengangguk, tersenyum lembut. "Iya. Daddy aku baik banget, kok. Daddy pasti nggak keberatan kalau kamu mau anggap dia jadi Papa kamu. Kan kita teman, jadi aku nggak mau kamu sedih terus."Shena, yang sedang menata pot bunga di sisi lain halaman, tertegun mendengar percakapan itu. Matanya langsung terarah pada kedua anak kecil itu, sementara Ervan yang berdiri di dekatnya juga tampak kaget."Ergan, kamu ngomong apa tadi?" tanya Ervan sambil berjalan mendekat
"Tentu tidak, Sayang," jawab Shena sambil tersenyum lembut. "Papa pasti akan tetap ingat Sheira. Papa tetap sayang sama Sheira."Anak itu mengangguk kecil, meski raut wajahnya masih menyimpan kebingungan. Shena memutuskan untuk mengalihkan perhatian putrinya."Sheira, besok kita bikin taman bunga di halaman belakang, mau nggak? Sheira kan suka bunga-bunga. Kita tanam banyak bunga warna-warni, biar rumah kita lebih ceria."Mata Sheira sedikit berbinar, meski rasa sedihnya belum sepenuhnya hilang. "Boleh, Ma. Tapi Sheira mau bunga warna pink, ya. Sama ungu."Shena tersenyum, merasa lega bisa sedikit menghibur putrinya. "Tentu dong, Sayang. Apa pun yang Sheira mau. Besok pagi kita pergi ke toko bunga, ya."Setelah beberapa saat, Sheira kembali terlelap di pelukan Shena. Namun, hati Shena masih berat. Ia tahu, menjelaskan semuanya pada Sheira adalah langkah pertama. Tapi tantangan sebenarnya baru saja dimulai. Kini ia harus menjalani hidup sebagai orang tua tunggal, memberikan yang terbai
Hari itu, kabar mengenai sahnya perceraian antara Shena dan Arya sampai ke telinga Vidya. Di kamar yang masih berantakan, Vidya tersenyum penuh kemenangan. Baginya, perceraian itu adalah langkah awal untuk menguasai kembali hati Arya. Ia merasa menjadi satu-satunya wanita yang layak mendapatkan perhatian pria itu. Namun, senyum itu seketika memudar ketika Bu Surti masuk ke kamar dengan wajah tegas."Vidya, mulai sekarang kamu harus bersiap-siap. Bereskan barang-barangmu," kata Bu Surti sambil melipat tangan di depan dada.Vidya menoleh dengan alis terangkat tinggi. "Maksud Ibu apa? Kenapa aku harus beres-beres? Bukannya sekarang Mas Arya sudah bebas dari Mbak Shena? Kita bisa tinggal di sini lebih lama, kan?"Bu Surti menggeleng sambil menghela napas berat. "Shena sudah memberi kita cukup banyak waktu, Vidya. Kita tidak bisa terus tinggal di rumah ini. Sudah cukup malu Ibu memanfaatkan kebaikan Shena selama ini.""Tapi, Bu! Rumah ini kan sudah seperti milik kita juga! Aku nggak mau pe
Hari-hari setelah sidang perceraian terasa seperti berjalan di atas bara bagi Shena. Ia tahu, sebagai wanita yang ingin menjaga martabat, ia harus tetap tegar meski hati dan pikirannya terus berkecamuk. Situasi di rumah juga tidak membantu. Konflik kecil sering kali meletus, terutama antara Vidya dan Bu Surti, sementara Arya lebih banyak diam dan tenggelam dalam pikirannya sendiri.Malam itu, Shena duduk di ruang keluarga sambil memeriksa beberapa dokumen butik. Sesekali, ia menyesap teh hangat yang sudah mulai dingin. Pikirannya terpecah antara pekerjaan dan situasi di rumah yang semakin rumit.Langkah kaki ringan terdengar dari arah dapur. Bu Surti muncul dengan raut wajah yang tampak ragu-ragu, membawa nampan berisi beberapa makanan kecil."Shena, apa Ibu boleh duduk di sini?" tanya Bu Surti, suaranya terdengar lembut dan canggung.Shena mengangkat wajahnya, ia tersenyum tipis. "Tentu boleh dong, Bu. Duduk saja."Bu Surti menaruh nampan di atas meja dan duduk di kursi yang berseber
Arya hanya terdiam, karena ia tak ingin menanggapi perkataan Vidya yang membuatnya semakin cemburu melihat kedekatan antara Shena dengan Ervan.Setelah beberapa saat, mereka masuk ke ruang sidang. Proses perceraian dimulai dengan suasana formal dan serius. Hakim mengawali persidangan dengan membacakan latar belakang kasus tersebut. Ervan tampil dengan tenang dan tegas, menjelaskan posisi Shena sebagai istri yang selama ini telah berusaha mempertahankan rumah tangganya, meski dikhianati.Aulia duduk di bangku hadirin, tak bisa mengalihkan pandangannya dari Ervan. Ia terkesima dengan cara pria itu berbicara, menunjukkan wibawa dan kecerdasan yang membuatnya kagum. Tapi di sisi lain, ia juga merasa cemburu melihat perhatian Ervan yang sesekali tertuju pada Shena.Sementara itu, Vidya memperhatikan Aulia dengan tatapan geli. Ia mendekatkan dirinya ke Aulia dan berbisik pelan, "Aulia, hati-hati, ya. Kalau Mbak Shena sudah jadi janda, kamu mungkin harus bersiap untuk menahan rasa cemburu."