Perjalanan ke rumah Endruw terasa sangat cepat bagiku. Hatiku berdebar kencang di sepanjang perjalanan. Bagaimana tidak, aku akan bertemu dengan orang-orang yang dulu sangat aku sayangi namun aku tinggalkan. Rumah yang dulu menjadi saksi bisu akan derai air mata yang keluar dari netraku saat kecewa dengan Endruw. Seketika kenangan-kenangan lima tahun lalu kembali muncul di ingatanku. Kelakuan-kelakuan lucu para asisten rumah tangga Endruw membuatku senyum-senyum sendiri.
“Kamu kenapa Fir?” Endruw menyadarkanku.
“Eng.. enggak.”
“Kenapa kamu senyum-senyum sendiri?”
“Siapa yang senyum-senyum?”
“Inget rumah ya..”
“Enggak, lagian ngapain sih kamu liat-liatin aku mulu. Tuh jalanan diliatin, ntar nabrak.”
“Kalau enggak salah usia kamu sekarang 33 tahun.”
“Kenapa emang?”
“Belum terlalu tua sih, tapi kok kamu udah m
Kuketuk pintu kamar Endruw perlahan, namun tidak sahutan dari dalam. Kuketuk lebih keras, tetap saja tidak ada sahutan suara dari dalam. Kuputar knock pintu pelan, sambil kudorong pintu hingga terbuka sedikit. Kumasukkan kepalaku untuk mencari keberaaan Endruw. Kamar ini, masih tetap sama seperti yang dulu. Dan apa itu? Peralatan make-up ku masih tetata rapi di meja rias. Dulu aku memang sengaja meninggalkannya. Tapi kenapa Endruw tidak membuangnya? Tidak tahukah dia bahwa make-up itu pasti sudah tidak bisa dipakai lagi saat ini, sudah kadaluarsa pastinya. Mataku terbelalak saat melihat fotoku dengan bingkai yang besar terpajang di atas tempat tidur. Foto mana lagi kalau bukan foto yang dibawah tadi. Endruw hanya memiliki satu buah fotoku.Mataku masih bernostalgia dengan kamar ini melihat kesana kemari. Hingga ada seseorang yang keluar dari kamar mandi dengan hanya memakai handuk putih di bawah pusar. Jantungku berdesir saat melihatnya. Endruw dengan perut yang
“Rani..”, panggilku saat melihat sahabatku yang sedang menangis di luar kamar perawatan VVIP. Rani menoleh ke arahku dan segera memelukku.“Cup..cup.. Tenang ya Ran, kamu harus kuat demi Suri.”Seorang dokter keluar dari ruang perawatan. Rani dengan cepat menahan dokter itu dan menanyakan keadaan anaknya.“Bagaimana anak saya dok?”“Anak ibu sekarang sudah baik-baik saja. Kondisinya sudah stabil, saturasi oksigennya pun juga sudah bagus. Kemungkinan kecil untuk dia kejang lagi. Saat ini kami sudah memberinya obat, dia akan tidur sampai besuk pagi. Namun tetap harus diawasi.”“Baik dok terimakasih.”Rani bernafas lega setelah mendengar penjelasan dari dokter. Kami masuk ke dalam kamar untuk melihat kondisi bocah 3 tahun itu. Selang infus, selang oksigen, dan beberapa kabel menempel di tubuhnya. Dia sedang tidur dengan sangat pulas. Rani mendekatinya pelan, mengecup keni
Sayup-sayup aku mendengar suara anak kecil sedang tertawa kecil, diikuti suara besar seorang laki-laki yang juga sedang tertawa. Sepertinya mereka sedang bermain. Pelan-pelan kubuka mataku, aku tergagap saat menyadari kalau aku sudah ketiduran. Kulirik jam di tangan, pukul 04.10. Artinya aku sudah tertidur berjam-jam. Aku segera bangun dan mencari sumber suara. Aku terkejut saat Suri tengah duduk di atas bed dan telah melepas beberapa peralatan medis yang terpasang di tubuhnya. Hanya menyisakan selang infus. Endruw duduk di sampingnya, dia tengah bermain bersama Suri. Mereka terlihat sangat akrab, Suri tampak senang dengan keberadaan Endruw.“Suri kamu sudah sehat nak?” Kataku sambil mendekati anak kecil itu.“Tante Firza sudah bangun. Aku lagi main sama Om Endruw.”“Ndruw, kamu kenapa enggak bangunin aku sih? Kan tadi kita bisa gantian buat jagain Suri. Ini kamu semalaman enggak tidur dong.” Omelku kepada Endruw
Jam di tanganku menunjukkan pukul 18.00. Waktu bagi para pekerja kantor meninggalkan pekerjaannya dan mungkin sudah ada yang menikmati kehangatan bersama keluarga. Namun aku masih setia dengan komputerku. Pekerjaan sudah menjadi bagian dari hidupku. Aku bersyukur Tuhan memberiku kesibukan ini. Jika tidak, aku tidak tahu apa yang akan terjadi padaku. Apalagi perjalanan lima tahun ke belakang yang sangat berat.“Ibu Firza tidak pulang?” Tanya Lina, salah seorang karyawan yang telah bersiap untuk meninggalkan kantor.“Belum, sebentar lagi. Nanggung.”“Ibu Firza jaga kesehatan, jangan terlalu capek! Saya pulang duluan ya bu.”“Iya Lina, terimakasih. Hati-hati di jalan ya!”Bersamaan dengan Lina tampak beberapa pegaawai yang juga meninggalkan kantor. Kini tinggal aku dan beberapa satpam yang sedang berjaga di depan.Drrt..drrt..drrt..Ponselku berbunyi, sebuah panggilan video da
Kubuka mataku dengan perasaan yang sangat tidak nyaman. Mataku terasa berat dan panas, begitu halnya dengan kepalaku. Aku mencoba mengingat kejadian tadi malam, aku terkesiap setelah ingat jika tadi malam aku tidur bersama Endruw. Kuperiksaku bajuku, masih utuh tidak ada yang terbuka ataupun tersobek. Ah, aman. Kulihat di sebelahku, Endruw sudah tidak ada di tempatnya. “Dimana dia?” Batinku.Aku mencoba turun dari tempat tidur. Kepalaku terasa nyuutt. “Aduhh”, aku memegang kepalaku. Seperti biasa, saat aku terlalu capek memang seperti ini. Aku keluar dari kamar mencari keberadaan Endruw. Kulihat jam di dinding masih menunjukkan pukul 06.15.Terdengar suara berisik di dapur, kulangkahkan kakiku untuk melihat apa yang terjadi. Pasti Endruw sedang memasak, terasa aroma makanan yang lezat.Benar juga, Endruw saat ini sedang berkutat dengan peralatan penggorengan dan sutilnya.“Masak apa nih? Kayaknya enak?” Ta
“Endruw”, panggilku pada laki-laki yang masih setia memeluk tanganku dalam tidurnya.“Firza, kamu sudah sadar?”Aku tersenyum melihat Endruw yang geragapan mendengar panggilanku. Aku menggerakkan tubuhku untuk merubah posisiku menjadi duduk. Namun tubuhku terasa sangat lemas tidak bertenaga“Firza, kamu mau ngapain? Jangan banyak gerak dulu. Kamu masih lemah.”Aku hanya menuruti perintah Endruw saat tangannya yang kekar menidurkanku lagi di tempat tidur.“Kenapa kamu tidak bilang kalau kamu sakit? Seharusnya tadi kamu tidak perlu memaksakan diri Fir.” Endruw mulai mengomel sambil mengganti kompres di keningku.“Kamu harus istirahat di sini selama beberapa hari.”“Apa? Gimana sama proyek aku Ndruw? Pasti bakal molor waktunya dan perusahaan akan rugi besar.”“Kamu ini, udah sakit masih aja mikiran kantor.” Endruw memarahiku. Aku hany
Sudah hari ke delapan aku di rumah sakit. Dokter masih belum mengijinkanku pulang. Padahal aku merasa sudah sangat sehat sejak beberapa hari yang lalu. Mengapa tidak, setiap hari aku ditemani seorang Pangeran tampan yang sangat aku cintai. Makan minum semua dilayani olehnya. Tidak sekalipun dia melewatkan waktu makan dan menyuapiku. Sekalipun dia pergi ke kantor, pasti dia sempatkan dulu untuk menyuapiku. Katanya sih, dia takut kalau tidak disuapin nanti Firza enggak mau makan. Padahal dia tahu betul selama sakit aku tidak pernah yang namanya menolak makanan, yang ada nafsu makanku semakin bertambah. Kadang aku berfikir itu hanya alasan dia untuk berlama-lama denganku. Dan dokter yang melarangku pulang mungkin juga permainan dia untuk bisa berlama-lama menemaniku di rumah sakit. Endruw adalah bos dari perusahaan besar, dia bisa melakukan apapun yang dia inginkan.Aku senyum-senyum sendiri memikirkan hal itu, sebelum dering ponselku menyadarkan lamunanku. Nama Om
Hari ini dokter mengijinkanku pulang, hari ke sepuluh tepatnya. Seringkali aku tanyakan kepada dokter saat memeriksaku, dok kapan saya boleh pulang? Jawaban dokter itu selalu sama, kondisi mbak Firza belum stabil jangan pulang dulu. Tak jarang aku selalu protes, saya sudah sehat dok saya sudah tidak ada keluhan apa pun. Dan apa yang terjadi? Endruw selalu membujukku untuk menuruti perintah dokter. Saking jengkelnya aku pernah marah dan bilang ke Endruw, sebenarnya kamu kan Ndruw yang masih mau tinggal di sini. Endruw hanya tersenyum yang membuatku hanya bisa diam sambil ngedumel. Dan jika sudah seperti itu, dia mengelus rambutku sambil berkata “Udah enggak apa-apa di sini saja aku temenin sampai kamu sehat benar.” Kalau Endruw sudah bersikap seperti itu, aku sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi selain menuruti keinginannya. Dasar diriku, cewek lemah.Hari ini sesuai permintaan bunda aku pulang ke rumah Endruw. Awalnya aku menolak, aku merasa tidak e