“Rani..”, panggilku saat melihat sahabatku yang sedang menangis di luar kamar perawatan VVIP. Rani menoleh ke arahku dan segera memelukku.
“Cup..cup.. Tenang ya Ran, kamu harus kuat demi Suri.”
Seorang dokter keluar dari ruang perawatan. Rani dengan cepat menahan dokter itu dan menanyakan keadaan anaknya.
“Bagaimana anak saya dok?”
“Anak ibu sekarang sudah baik-baik saja. Kondisinya sudah stabil, saturasi oksigennya pun juga sudah bagus. Kemungkinan kecil untuk dia kejang lagi. Saat ini kami sudah memberinya obat, dia akan tidur sampai besuk pagi. Namun tetap harus diawasi.”
“Baik dok terimakasih.”
Rani bernafas lega setelah mendengar penjelasan dari dokter. Kami masuk ke dalam kamar untuk melihat kondisi bocah 3 tahun itu. Selang infus, selang oksigen, dan beberapa kabel menempel di tubuhnya. Dia sedang tidur dengan sangat pulas. Rani mendekatinya pelan, mengecup keni
Sayup-sayup aku mendengar suara anak kecil sedang tertawa kecil, diikuti suara besar seorang laki-laki yang juga sedang tertawa. Sepertinya mereka sedang bermain. Pelan-pelan kubuka mataku, aku tergagap saat menyadari kalau aku sudah ketiduran. Kulirik jam di tangan, pukul 04.10. Artinya aku sudah tertidur berjam-jam. Aku segera bangun dan mencari sumber suara. Aku terkejut saat Suri tengah duduk di atas bed dan telah melepas beberapa peralatan medis yang terpasang di tubuhnya. Hanya menyisakan selang infus. Endruw duduk di sampingnya, dia tengah bermain bersama Suri. Mereka terlihat sangat akrab, Suri tampak senang dengan keberadaan Endruw.“Suri kamu sudah sehat nak?” Kataku sambil mendekati anak kecil itu.“Tante Firza sudah bangun. Aku lagi main sama Om Endruw.”“Ndruw, kamu kenapa enggak bangunin aku sih? Kan tadi kita bisa gantian buat jagain Suri. Ini kamu semalaman enggak tidur dong.” Omelku kepada Endruw
Jam di tanganku menunjukkan pukul 18.00. Waktu bagi para pekerja kantor meninggalkan pekerjaannya dan mungkin sudah ada yang menikmati kehangatan bersama keluarga. Namun aku masih setia dengan komputerku. Pekerjaan sudah menjadi bagian dari hidupku. Aku bersyukur Tuhan memberiku kesibukan ini. Jika tidak, aku tidak tahu apa yang akan terjadi padaku. Apalagi perjalanan lima tahun ke belakang yang sangat berat.“Ibu Firza tidak pulang?” Tanya Lina, salah seorang karyawan yang telah bersiap untuk meninggalkan kantor.“Belum, sebentar lagi. Nanggung.”“Ibu Firza jaga kesehatan, jangan terlalu capek! Saya pulang duluan ya bu.”“Iya Lina, terimakasih. Hati-hati di jalan ya!”Bersamaan dengan Lina tampak beberapa pegaawai yang juga meninggalkan kantor. Kini tinggal aku dan beberapa satpam yang sedang berjaga di depan.Drrt..drrt..drrt..Ponselku berbunyi, sebuah panggilan video da
Kubuka mataku dengan perasaan yang sangat tidak nyaman. Mataku terasa berat dan panas, begitu halnya dengan kepalaku. Aku mencoba mengingat kejadian tadi malam, aku terkesiap setelah ingat jika tadi malam aku tidur bersama Endruw. Kuperiksaku bajuku, masih utuh tidak ada yang terbuka ataupun tersobek. Ah, aman. Kulihat di sebelahku, Endruw sudah tidak ada di tempatnya. “Dimana dia?” Batinku.Aku mencoba turun dari tempat tidur. Kepalaku terasa nyuutt. “Aduhh”, aku memegang kepalaku. Seperti biasa, saat aku terlalu capek memang seperti ini. Aku keluar dari kamar mencari keberadaan Endruw. Kulihat jam di dinding masih menunjukkan pukul 06.15.Terdengar suara berisik di dapur, kulangkahkan kakiku untuk melihat apa yang terjadi. Pasti Endruw sedang memasak, terasa aroma makanan yang lezat.Benar juga, Endruw saat ini sedang berkutat dengan peralatan penggorengan dan sutilnya.“Masak apa nih? Kayaknya enak?” Ta
“Endruw”, panggilku pada laki-laki yang masih setia memeluk tanganku dalam tidurnya.“Firza, kamu sudah sadar?”Aku tersenyum melihat Endruw yang geragapan mendengar panggilanku. Aku menggerakkan tubuhku untuk merubah posisiku menjadi duduk. Namun tubuhku terasa sangat lemas tidak bertenaga“Firza, kamu mau ngapain? Jangan banyak gerak dulu. Kamu masih lemah.”Aku hanya menuruti perintah Endruw saat tangannya yang kekar menidurkanku lagi di tempat tidur.“Kenapa kamu tidak bilang kalau kamu sakit? Seharusnya tadi kamu tidak perlu memaksakan diri Fir.” Endruw mulai mengomel sambil mengganti kompres di keningku.“Kamu harus istirahat di sini selama beberapa hari.”“Apa? Gimana sama proyek aku Ndruw? Pasti bakal molor waktunya dan perusahaan akan rugi besar.”“Kamu ini, udah sakit masih aja mikiran kantor.” Endruw memarahiku. Aku hany
Sudah hari ke delapan aku di rumah sakit. Dokter masih belum mengijinkanku pulang. Padahal aku merasa sudah sangat sehat sejak beberapa hari yang lalu. Mengapa tidak, setiap hari aku ditemani seorang Pangeran tampan yang sangat aku cintai. Makan minum semua dilayani olehnya. Tidak sekalipun dia melewatkan waktu makan dan menyuapiku. Sekalipun dia pergi ke kantor, pasti dia sempatkan dulu untuk menyuapiku. Katanya sih, dia takut kalau tidak disuapin nanti Firza enggak mau makan. Padahal dia tahu betul selama sakit aku tidak pernah yang namanya menolak makanan, yang ada nafsu makanku semakin bertambah. Kadang aku berfikir itu hanya alasan dia untuk berlama-lama denganku. Dan dokter yang melarangku pulang mungkin juga permainan dia untuk bisa berlama-lama menemaniku di rumah sakit. Endruw adalah bos dari perusahaan besar, dia bisa melakukan apapun yang dia inginkan.Aku senyum-senyum sendiri memikirkan hal itu, sebelum dering ponselku menyadarkan lamunanku. Nama Om
Hari ini dokter mengijinkanku pulang, hari ke sepuluh tepatnya. Seringkali aku tanyakan kepada dokter saat memeriksaku, dok kapan saya boleh pulang? Jawaban dokter itu selalu sama, kondisi mbak Firza belum stabil jangan pulang dulu. Tak jarang aku selalu protes, saya sudah sehat dok saya sudah tidak ada keluhan apa pun. Dan apa yang terjadi? Endruw selalu membujukku untuk menuruti perintah dokter. Saking jengkelnya aku pernah marah dan bilang ke Endruw, sebenarnya kamu kan Ndruw yang masih mau tinggal di sini. Endruw hanya tersenyum yang membuatku hanya bisa diam sambil ngedumel. Dan jika sudah seperti itu, dia mengelus rambutku sambil berkata “Udah enggak apa-apa di sini saja aku temenin sampai kamu sehat benar.” Kalau Endruw sudah bersikap seperti itu, aku sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi selain menuruti keinginannya. Dasar diriku, cewek lemah.Hari ini sesuai permintaan bunda aku pulang ke rumah Endruw. Awalnya aku menolak, aku merasa tidak e
Aku senyum-senyum sendiri sambil berjalan menuruni tangga. Perkataan Endruw barusan benar-benar membuat cinta yang telah aku kubur dalam-dalam kini muncul lagi. Sempat aku bertanya kepada diriku sendiri tentang status pernikahanku dengan Endruw. Pasalnya setelah menandatangani surat cerai itu dan memberikannya ke Endruw aku tidak mengetahui kelanjutannya. Waktu itu aku sudah mempercayakan semuanya kepada Om Lukas, pengacaraku. Terakhir aku menghubungi Om Lukas saat aku sudah berada di luar negeri. Om Lukas bilang semua baik-baik saja. Meskipun perkataan Om Lukas waktu itu sangat ambigu, namun aku tidak banyak berfikir. Aku terlalu kalut. Hanya ada satu keinginan saat itu, aku ingin segera melupakan Endruw pergi dari kehidupannya selamanya.“Apa aku temui saja Om Lukas ya?” Fikirku. Aku benar-benar ingin tahu apa yang Endruw sembunyikan. Kenapa dia selalu tertawa saat aku membicarakan perceraian kami? Kenapa juga Endruw masih memperlakukanku sebagai i
“Iya, bintang mana yang kamu lihat saat kamu merindukan Anita? Kamu jahat Ndruw. Dulu kamu sama sekali tidak menginginkanku, kamu menyia-nyiakan aku. Kamu sama sekali tidak peduli dengan aku dengan hatiku dengan perasaanku. Yang ada di hati kamu waktu itu hanya Anita. Lalu sekarang? Kamu mengharapkan aku lagi setelah kita bercerai? Begitu mudahnya kamu mempermainkan hatiku.” Aku meluapkan perasaanku saat ini. Aku juga heran bagaimana bisa aku menjadi seemosional ini.Endruw memegang kedua punggungku, aku kehilangan keseimbangan karena emosi. Aku berusaha berdiri dengan tegak, melepaskan punggungku dari kedua tangan Endruw, dan segera pergi. Namun tangan Endruw lebih kuat dari tenagaku. Dia tidak membiarkanku pergi. Dan malah meletakkan tubuhku di pelukannya. Aku menangis tersedu-sedu di pelukannya. Kupukul dada Endruw, namun dia sama sekali tidak merasa kesakitan. Dia malah mengencangkan pelukannya agar aku diam didalamnya. Setelah aku sedikit tenang
Duduk bersila. Tarik nafas dari hidung, buang pelan-pelan lewat mulut. Tari nafas dari hidung, buang pelan-pelan dari mulut. Tarik tangan ke kiri, tahaan lepas. Tarik tangan ke kanan, tahaan lepas. “Sayang kamu kok masih duduk di situ, ayo sini kamu ikutin gerakan itu. Biar badan kamu nggak pegal-pegal. Nanti melahirkannya juga mudah.” Seru Endruw. “Emang enggak ada cara lain ya biar badan nggak pegal dan mudah lahiran selain dengan olahraga kayak gitu.” Kataku sambil tetap berbaring di atas tempat tidur. Usiaku kehamilanku kini memasuki sembilan bulan. Tinggal menunggu hari untuk menunggu dedek bayi launching ke dunia ini. Tapi semakin ke sini aku merasa menjadi sangat malas. Maunya rebahan melulu. Jangankan olahraga, mandi saja jika Endruw tidak menggendongku ke kamar mandi aku tidak akan mandi. Tapi kalau untuk urusan makan jangan ditanya, nafsu makanku bertambah tiga kali lipat dari biasanya. Dan bisa dilihat badanku kini sebesar gajah.
“Tuan Endruw saya sangat senang dengan kemajuan kesehatan Tuan yang semakin hari semakin pesat.”“Terimakasih dokter, ini semua karena dokter dan para perawat di sini.”“Ah Tuan Endruw terlalu berlebihan. Saya dan perawat di sini hanya membantu sesuai dengan kemampuan kami. Ibu Firza lah yang sangat berjasa Tuan, beliau selalu menjaga dan menemani Tuan. Tidak bisa dihitung berapa banyaknya air mata yang telah Ibu Firza keluarkan, apalagi Ibu Firza tengah hamil.”“Ah dokter bisa saja.” Aku menyela obrolan Endruw dan dokter sambil terus mengupas buah yang akan aku berikan kepada Endruw.“Dianya malu tuh dok dipuji terus sama dokter.” Kata Endruw pada laki-laki yang kira-kira berusia setengah abad itu.Endruw dan dokter itu pun tertawa bersama. Sementara aku menunduk sambil menahan malu. Namun aku merasa sangat lega. Endruwku kini sudah sembuh seperti sedia kala. Terimakas
Kupandangi suamiku dari kejauhan. Sudah lima bulan dia seperti ini. Hanya berbaring, sama sekali tidak bergerak. Bahkan untuk makan sekalipun harus memakai selang. Beberapa kabel menempel di tubuhnya. Bunyi tit tit tit dari sebuah alat untuk melihat detak jantungnya selalu membuat hatiku ngilu.Ya, setelah operasi itu, kondisi Endruw tak kunjung membaik. Endruw koma, dia tidak bisa bergerak ataupun membuka mata. Tapi dia bisa mendengar dan merasakan.Setiap hari aku menemuinya di rumah sakit. Menceritakan kepadanya tentang hari-hari yang telah aku lalui. Tentang Bunda, tentang Gavin, dan orang-orang di rumah. Juga menceritakan kepadanya tentang Indo Advertising yang kini semakin melejit dan merambah pasar Internasional.“Maaf ya Ndruw sepertinya Indo Advertising lebih melejit saat aku yang mengurusnya. Ganti bos aja gimana?” Aku tertawa sendiri akan gurauan yang aku berikan kepada Endruw. Sementara Endruw tetap terdiam.Waktu itu
“Firza, semakin lama kamu semakin cantik saja.” Bryan menyentuh ujung rambutku.“Aku tidak mau bertele-tele Bry. Cepat katakan apa yang kamu inginkan. Setelah itu jauhi aku dan juga keluargaku.”“Hai Firza, kenapa kamu tidak bisa calm down sedikit saja? Kamu lupa Sayang dulu kamu sangat nyaman saat bersamaku. Kamu selalu ceria, tertawa, dan bahagia saat ada di sampingku.”“Itu dulu saat aku belum menyadari kalau kamu adalah iblis.”“Aku mencintaimu Firza.”“Cinta yang seperti apa Bry? Menculikku, membunuh janinku, membuat Endruw terbaring tak berdaya seperti itu, menghancurkan perusahaan Endruw. Itu kah yang kamu bilang cinta. Seperti itukah cintamu kepadaku? Kamu hanya memanfaatkanku untuk menghancurkan suamiku menghancurkan Endruw.”“Diam Firza, diam.. Aku sangat tidak suka jika nama Endruw keluar dari bibir manismu.” Bryan mencoba memegang wa
“Randi, tolong cari tahu bagaimana Bryan bisa bebas dari penjara.” Perintahku kepada Randi.“Baik Bu.”Dengan kasar aku membuang tubuhku ke kursi kerja yang biasa Endruw duduki. Aku sama sekali tidak menyangka ini semua adalah perbuatan Bryan. Jika aku bisa mengulang waktu dan mengetahui rencana Bryan dari awal pasti aku tidak akan mau menjadi temannya bahkan menerima pinangannya. Ya Tuhan, apa lagi ini? Bryan kenapa kamu tidak pernah berhenti menggangguku?“Ibu Firza”, Randi masuk ke dalam ruanganku dengan wajah cemas.“Bagaimana Ran?”“Bryan berhasil keluar dari penjara karena dia mendapatkan jaminan. Dan yang menjamin Bryan adalah orang yang sangat berbahaya, dia adalah seorang mavia yang menjadi buronan polisi Singapura.”“Hahh.. Apa? Kenapa bisa se..”“Hal yang seperti ini mungkin sangat tabu bagi Ibu, tapi ini sangat sering terjadi di kal
“Tuan Endruw harus segera menjalani operasi. Tolong Ibu menandatangani dokumen ini sebagai persyaratan untuk dilakukannya operasi. Demi keselamatan Tuan Endruw operasi harus dilaksanakan secepat mungkin.” Kata seorang dokter sambil memberiku sebuah berkas. Aku terdiam, bibirku terasa ngilu. Kaki dan tanganku lemas. Kulirik suamiku yang saat ini sedang terbaring tak berdaya di bad UGD. Aku tidak tega melihatnya. Darah segar mengalir dari beberapa bagian tubuhnya. “Lakukan semua yang terbaik untuk suami saya dok.” Ucapku memohon kepada dokter di depanku, air mataku tak berhenti mengalir dari kedua mataku. Segera kuterima berkas itu dan kutandatangani di tempat yang telah mereka tunjukkan “Kami pasti melakukan yang terbaik untuk suami Ibu, semua ada di tangan Tuhan. Bantu kami dengan doa. Kami akan segera melakukan operasi.” *** Sudah dua jam aku berada di depan kamar operasi. Waktu yang sangat lama bagiku untuk menunggu seseorang keluar dari rua
“Kok aku belum haid juga ya.” Ucapku dalam hati sambil melihat kalender. Sebenarnya aku ingin meyakinkan diriku sendiri kalau aku sedang hamil. Apalagi beberapa hari ini aku sering kelelahan dan nafsu makanku semakin besar. Tapi aku tidak mau terlalu berharap, aku takut jika harus kehilangan bayiku lagi. Aku masih trauma. Masih ada sedikit ketakutan jika hal buruk itu akan terjadi lagi. “Sayang kamu lagi ngapain?” Endruw tiba-tiba datang membuyarkan lamunanku. “Ah nggak kok. Kamu kok udah rapi, mau kemana Ndruw?” Tanyaku yang melihat Endruw sudah memakai pakaian kantornya, padahal ini weekend. Tidak biasa Endruw mengambil pekerjaan di hari seperti ini. “Ada masalah di gudang, ada sedikit kebakaran.” “Hah, kebakaran? Kok bisa?” “Entahlah. Polisi sudah datang ke lokasi untuk memerikasa keadaan di sana. Aku akan kesana untuk melihatnya.” “Aku ikut ya Sayang.” Pintaku. Tidak tahu kenapa perasaanku tiba-tiba tidak enak. Ada s
“Masih jauh nggak Ndruw? Capek..” Aku menekuk kakiku sambil melihat ke tanah dan terengah-engah. Endruw mengajakku naik ke atas bukit agar kami bisa melihat sunrise dengan jelas. “Bentar lagi. Sini aku gendong.” Endruw memberikan punggungnya untukku naik. “Nggak Ndruw, aku kuat kok.” Dengan segala sisa tenaga yang aku miliki, aku mencoba untuk tetap berjalan. Aku tidak tega jika harus digendong oleh Endruw. Pasalnya beberapa hari terakhir berat badanku naik. “Akhirnya sampai juga.” Kataku sambil meregangkan kedua tangan. “Itu lihat”, Endruw memelukku dari belakang sambil menunjuk ke langit sebelah timur. “Waooww..” Inilah sunrise yang dari tadi aku perjuangkan untuk melihatnya. Sangat indah. Saat matahari yang bulat sempurna dengan malu-malu menampakkan tubuhnya sedikit demi sedikit. Seperti telur ceplok. Sempurna, mungkin hanya kata itu yang bisa aku gunakan untuk menggambarkan hal-hal yang telah aku lalui bersama
“Mama, Firza titip jagain anak Firza ya Ma di surga. Dia sekarang pasti bersama mama bersama Omanya.” Ucapku saat aku bersimpuh di makam mama setelah selesai mengirimkan doa kepadanya.Hari ini aku dan Rani pergi ke makam Mama setelah mengantar Gavin dan Suri ke sekolah. Ini hari pertama Endruw mengizinkanku keluar rumah sendiri setelah tiga bulan kejadian penculikan itu. Sebelumnya kemanapun aku pergi eselalu dikawal oleh beberapa orang bodyguard sewaan Endruw. Agak berlebihan memang, tapi Endruw tidak bisa ditolak. Dia selalu bilang, ini demi keamananku. Yasudahlah aku hanya bisa menurut sebagai bentuk aku menghormatinya. Dan hari ini entah kenapa dia mengizinkanku untuk mengantar Gavin berangkat ke sekolah dan juga pergi ke makam mama. Mungkin dia merasa kasihan kepadaku karena aku merasa tidak nyaman bersama para bodyguard itu“Sudah yuk Fir kita pulang.” Ajak Rani.Aku mengangguk, kemudian kami meninggalkan makam mama.