KUBUAT MEREKA KEPANASAN KARENA SUDAH MEREMEHKANKU
BAB 1"Jelita!" Suara seseorang memanggil namaku dari arah luar toko perlengkapan pakaian bayi.Aku memicingkan mata, melihat empat orang yang sedang berjalan semakin mendekat ke arahku.'Duh, malas sekali berhadapan dengan mereka,' batinku mengeluh."Tante Dira dan ketiga anak-anaknya, kamu pasti kenal dan belum lupa, 'kan?" ucap ibuku."Kenal lah, Bu. Baru juga lima tahun tidak ke Jakarta, mana mungkin Jelita lupa sama saudara-saudara Ibu, yang suka menghina dan mencaci-maki kita," sahutku.Aku baru pulang setelah lima tahun berada di Kota Pekanbaru. Biasanya, ibuku dan adik-adikku lah yang akan mengunjungiku, tentunya dengan ongkos yang kukirimkan untuk mereka datang."Kapan datang?" tanya Zahra, tanpa menanyakan keadaanku terlebih dulu, setidaknya basa-basi ya kan?Sepupuku itu melihatku dengan tatapan yang sulit untuk ku artikan. Kalau tidak salah, tatapannya masih sama seperti waktu Zahra mengataiku anak madesu. ( Masa depan suram)"Apa betul suamimu pengusaha kuliner?" tanya Zahra lagi, matanya masih sibuk melihatku dari atas sampai bawah. Di mana-mana memang akan selalu ada manusia yang memandangiku begitu."Memangnya ada apa?" Jujur, aku ingin pergi saja dari hadapan mereka. Tapi, aku juga ingin lihat, apa mereka masih sama seperti lima tahun yang lalu?"Mau memastikan saja, apa benar yang dikatakan ibumu ini? Kalau anaknya yang terkenal tidak pernah jajan saat sekolah, sudah menikah dengan pengusaha, apa benar?"Aku yang sedang memilih baju bayi pun mengangguk seraya tersenyum semanis mungkin. Sejenak aku menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan pelan, dunia terasa begitu sempit dan pengap saat aku berhadapan dengan saudara dan anak-anaknya dari adik ibuku ini."Ah! Sepertinya tidak mungkin, masa iya? Suaminya pengusaha? Coba lihat kakinya." Tante Dira menunjuk kebawah kakiku."Ck! Betul sekali, mana mungkin istri pengusaha pergi ke mal memakai sandal jepit! Ha-ha-ha ... tampangnya saja tidak cocok menjadi istri pengusaha, cocoknya jadi istri tukang kebun!" ejek Aldi, sepupu laki-lakiku yang bermulut lebar. Dari dulu memang suka mengejekku dalam hal apa saja."Ha-ha-ha! Ngaku-ngaku istri pengusaha, nyatanya istri pemul*ng! Tampilannya saja sudah seratus persen pemul*ng, sendal jepitnya saja sudah buluk begitu!" Tante Dira tertawa senang saat mengolok-olokku."Malu-maluin harga diri pengusaha saja, mimpi ketinggian kalau jatuh sakit, sadar diri lah Jelita, kamu itu cuma anak madesu. Ha-ha-ha!" Zahra tertawa keras sambil menepuk-nepuk bahuku.Anak dan ibu sama saja. Aku sampai heran dibuatnya. Ibuku yang baik dan lemah lembut ini, kenapa bisa mempunyai saudara yang seratus persen sangat tidak mirip dengan ibuku? Mereka sama sekali tidak mirip mau wajah mau pun dengan sifatnya. Apa jangan-jangan Tante Dira ini anak pung*t? Aku harap begitu."Memangnya kenapa kalau aku memakai sandal jepit? Apa aku merugikan kalian?" ucapku tanpa melihat ke arah mereka.Aku masih sibuk memilih-milih pakaian bayi bersama ibuku, sahabatku baru melahirkan, aku ingin memberikannya hadiah untuk bayinya.Suamiku ikut, hanya saja suamiku malas untuk masuk ke dalam mal. Dia memilih untuk menunggu kami di dalam mobil."Kalian ini kenapa? Kenapa selalu menghina Jelita? Dia ini memang sudah menikah dan suaminya juga ada dibawah. Dia menunggu di-" Aku memegangi pergelangan tangan ibuku, mengedipkan mata agar ibuku tidak melanjutkan ucapannya.Bukannya apa, aku hanya malas bila Ibu melanjutkan ucapannya. Maka, mereka akan puas menertawaiku lagi. Mereka mana percaya kalau aku bisa naik mobil, karena masa kecilku pernah naik mobil saat akan pergi ke acara nikahan saudara ibuku di Bandung. Dan aku mabuk berat saat menaikinya, kantong plastik tidak pernah jauh dari mulutku.Sebutan 'norak, katrok, kampungan' adalah sebutan yang mereka lontarkan saat aku belum berhenti muntah-muntah setelah turun dari dalam mobil."Alah, kami bukannya menghina, melainkan berbicara apa adanya, Mbak Jeni tidak perlulah menutupi masa depan suram Jelita, dengan meninggi-ninggikan derajatnya yang palsu, pasti Jelita belum menikah hingga sekarang, 'kan? Tidak perlu sok-sok'an memilih pakaian bayi." Tante Dira berbicara dengan lancar, sama seperti dulu. Semakin tua semakin jahat dan pedas saja sifat dan mulutnya."Jelita memang sudah menikah Tante, hanya saja Jelita yang meminta Ibu untuk tidak memberitahu atau pun mengundang saudara Ibu yang jahat seperti Tante," sahutku."Idih! Diundang sekali pun, ogah banget hadir, pasti nikahnya cuma di KUA saja, tanpa acara besar-besaran seperti Zahra, asal kamu tahu ya, Zahra itu menikah dengan konglomerat, pestanya mewah dan berkelas, kalau tidak percaya, tanyain sama Ibu kamu yang masih hidup itu." Tante Dira menyombongkan diri dengan membanggakan Zahra di depanku."Duh, kuku-kukuku harus di ganti warna yang baru, bosen sekali melihat warnanya, baru juga dua hari," ucap Zahra sambil memainkan kuku-kukunya. Norak!"Tuh, lihat, ini baru istri orang kaya, dua hari sudah mau ganti warna kuku, bukan seperti kamu, Jelita. Apaan tuh? Kukunya dikasih inai, pasti inai murahan yang daunnya harus ditumbuk dulu," sindir Tante Dira."Lain kali kita ke salon, yuk? Tenang saja, biar aku yang bayar, sekalian beli sandal yang bagus untuk kamu, biar tidak terus-menerus menghalu menikah dengan pengusaha. Ck, ck, ck!" Zahra tidak pernah berubah. Dia selalu memandang rendah kepada orang yang memakai sandal jepit.Apa masalahnya dengan sandal jepit? Aku nyaman memakainya, suamiku juga suka memakainya.Pernah suatu hari kami jalan-jalan ke Singapura. Suamiku menggunakan sandal jepit merk swalo*."Apa kamu tidak malu, Mas? Pakai jepit ke Singapura?" tanyaku padanya. Suamiku menjawab."Untuk apa malu? Kamu lihat orang-orang yang ada diruangan ini. Ada orang Korea, Jepang, Malaysia, India. Mereka tidak malu kan? Malahan mereka hanya memakai pakaian yang biasa-biasa saja, yang penting ini harus tebal." Suamiku menunjukkan dompet yang sedang kupegang."Oh, maksudmu, tidak apa-apa tampilan sederhana yang penting banyak duit, gitu?" Suamiku mengangguk seraya terkekeh kecil.Suamiku orang Pekanbaru. Jadi, aku tidak pernah pulang ke Jakarta sejak ayahku meninggal dunia. Ibu tinggal dengan kedua adikku. Yang bungsu masih sekolah SMP dan yang satunya lagi sudah kuliah. Sedangkan aku memilih merantau setelah lulus SMASiapa sangka? Aku yang lulus SMA dipinang dengan pemilik restoran besar di Kota Pekanbaru. Aku menikah dan menggelar resepsi pernikahan di Kota Pekanbaru tepatnya dua tahun yang lalu. Tentunya hanya dihadiri Ibu dan adik-adikku. Saudara-saudara Ibu tidak kami beritahu, hanya akan membuat rusuh saja bila mengundang mereka.Aku tersadar dalam lamunan saat Aldi melempar sesuatu ke arahku."Jangan kurang ajar, ya, Aldi!" hardikku. Tenyata Aldi melempar permen kapas ke rambutku dan membuat rambutku menjadi lengket."Lihatlah, Jelita termenung, pasti Jelita sedang meng-halu. Pastinya ingin mendapatkan suami seperti suamiku, biar bisa perawatan kecantikan sepertiku," ucap Zahra."Lagian ngapain berada di sini? Siapa yang punya bayi, kamu?" kata Aldi tersenyum remeh."Minimal, nikah dulu biar punya bayi, terus ganti dulu sandal jepitnya, biar terlihat berkelas gitu, ini toko pakaian bayi yang mahal, memangnya sanggup untuk bayar?" Tante Dira tersenyum jahat melihat ke arahku.Geram dan gerah sekali melihatnya."Memangnya, kalau memilih pakaian bayi harus nikah dan punya bayi dulu? Tidak, 'kan? Ya, pasti tidaklah! Zita saja dulunya punya anak tanpa menikah dan tanpa punya suami, 'kan?" ucapku yang pastinya sangat menohok sekali dihati Tante Dira.Bagaimana tidak, Zita anak bungsu Tante Dira hamil di luar nikah dan pacarnya kabur entah ke mana. Adikku Rindu yang memberitahunya, kalau ibuku tidak pernah memberitahu, karena Ibuku pasti takut menceritakan aib keponakannya. Takut akan terjadi kepada anak gadisnya yang masih tersisa dua yang belum menikah.Plak!Plak!BERSAMBUNG...KUBUAT MEREKA KEPANASAN KARENA SUDAH MEREMEHKANKUBAB 2"Memangnya, kalau memilih pakaian bayi harus nikah dan punya bayi dulu? Tidak, 'kan? Ya, pasti tidaklah! Zita saja dulunya punya anak tanpa menikah dan tanpa punya suami, 'kan?" ucapku yang pastinya sangat menohok sekali dihati Tante Dira.Bagaimana tidak? Zita anak bungsu Tante Dira hamil di luar nikah dan pacarnya kabur entah ke mana. Adikku Rindu yang memberitahunya, kalau ibuku tidak pernah memberitahu, karena Ibuku pasti takut menceritakan aib keponakannya. Takut akan terjadi kepada anak gadisnya yang masih tersisa dua yang belum menikah.Plak!Plak!"Awh!" Zita meringis kesakitan saat aku membalas menamparnya detik itu juga. Tamparanku lebih keras dari tamparannya. Aku tidak mau berpikir panjang untuk membalas perbuatannya itu.Plak!Lagi, aku kembali menampar pipinya yang penuh dengan kebencian terhadapku. Karena pipinya itu tidak pernah terlihat manis saat melihat keluargaku bahagia. Pipinya itu pernah terlihat manis saat
KUBUAT MEREKA KEPANASAN KARENA SUDAH MEREMEHKANKUBAB 3"Astagfirullah, ada apa ini? Kenapa bersikap kasar kepada istri saya?" Mas Ridwan berucap seraya memandang sekilas ke arah wanita pemilik toko itu."Saya sudah memperingatkan istrinya. Jangan dipegang-pegang sepatunya, nanti rusak! Ini harganya mahal, tahu tidak ini harganya berapa? Harganya empat ratus ribu, mana mungkin kalian bisa menggantikannya kalau rusak!" jawabnya ketus, matanya mengerling sinis melihat kebawah dan keatas."Saya akan membayar dua kali lipat bila sepatu yang dipegang istri saya rusak! Tapi, tolong! Bersikap sopan lah pada istri saya, lagi pula tidak sepantasnya memperlakukan pengunjung seperti itu, mampu atau tidak mampunya membeli, sebagai pemilik atau penjaga toko harus lah bersikap dengan baik dan sopan." Mas Ridwan berkata dengan tegas."Di sini tidak melayani pengunjung yang hanya pegang-pegang dan tanya-tanya, ujung-ujungnya tidak jadi beli setelah tahu harganya!" hardiknya."Siapa pemilik toko ini?"
KUBUAT MEREKA KEPANASAN KARENA SUDAH MEREMEHKANKUBAB 4Setelah selesai berbelanja, kado untuk sahabatku sudah dibungkus. Kami pun meluncur menuju ke lokasi tanah yang akan kami beli untuk membangun usaha. Kata ibuku ada dua lokasi dan kami ingin melihatnya langsung."Itu, ada papan tulisan tanah ini dijual, berhenti di situ," ujar Ibu."Satunya lagi di mana, Bu?" tanya Mas Ridwan. Setelah membuka kaca jendela mobil dan menutupnya kembali."Jalan lagi ke depan." Mas Ridwan menghidupkan kembali mesin mobil dan mobilnya kembali jalan."Tidak turun dulu, Mas?" tanyaku, heran juga. Padahal ingin membeli tanah tapi tidak turun untuk melihat-lihatnya."Letak tempatnya tidak bagus untuk membangun rumah makan, ada pembuangan sampah di sana, lagi pula kalau jadi membangun tempat parkirnya tidak ada, tidak mungkin 'kan, kalau pengunjung parkir kendaraan di bahu jalan? Bahaya," jelas Mas Ridwan. Aku menganggukkan kepala. Terkagum-kagum aku melihatnya, pengetahuannya mengenai tempat yang strateg
KUBUAT MEREKA KEPANASAN KARENA SUDAH MEREMEHKANKUBAB 5"Ranti, Ibu ke mana? Di dapur tidak ada, di kamarnya juga tidak ada." Aku bertanya saat adikku sedang memakai kaos kaki."Lah, Kakak lupa? Dari dulu Ibu memang tidak ada di rumah kalau pagi," jawab Ranti, sambil mengikat tali sepatunya dan bersiap berangkat sekolah untuk menimba ilmu."Duh, kok Ibu jualan lagi? Padahal, Kakak sudah melarang Ibu untuk jualan, apa uang yang Kakak kirim selama ini masih kurang?" ucapku sambil duduk di kursi teras."Ranti tidak tahu, Kak. Ranti berangkat sekolah dulu ya? Assalamualaikum." "Wa'alaikumsallam, hati-hati di jalan, pulang sekolah nanti Kakak jemput, kita jalan-jalan cari cemilan, tunggu aja di gerbang, oke?""Oke, siap!" Ranti pun berlalu, jarak dari rumah ke sekolahnya tidak lah terlalu jauh. Hanya memakan waktu lima belas menit saja."Jelita! Mana suamimu yang katanya pengusaha itu? Suruh suamimu keluar biar bisa kenalan sama konglomerat! Ini suamiku namanya Sultan, dia baru pulang tad
KUBUAT MEREKA KEPANASAN KARENA SUDAH MEREMEHKANKUBAB 6Dering ponsel suamiku berbunyi. Mas Ridwan mengangkat panggilannya sambil menghitung uang yang akan kami bawa untuk membeli tanah yang kami lihat kemarin."Perlu berapa, Jhon?" tanya suamiku, aku tidak tahu dari siapa, mungkin saja karyawannya."Maaf, Jhon, bukannya saya tidak mau meminjamkan uangnya, hutangmu yang dulu masih banyak, pakai apa kamu membayarnya nanti kalau kamu mau menambah hutang lagi? Kalau segitu tidak bisa,""Maaf, ya, Jhon, tidak bisa." Suamiku menutup telpon setelah mengucapkan salam."Siapa, Mas?""Jhoni, orang kepercayaan Mas yang mengelola restoran di Bandung, mau meminjam uang, katanya untuk berobat ibunya, Mas tidak bisa memberinya lagi karena sudah hampir seratus juta hutangnya dan belum lunas, tiap gajian mau dipotong bilangnya nanti," jelas Mas Ridwan."Oh." Aku hanya bisa ber'oh saja. Sebab, urusan begitu aku tidak mau ikut campur. Biarlah jadi urusan Mas Ridwan. Mas Ridwan lebih tahu dan bijak dala
KUBUAT MEREKA KEPANASAN KARENA SUDAH MEREMEHKANKUBAB 7"Ridwan, jangan, Nak," cegah Ibu, membuat Mas Ridwan menghentikan langkahnya."Mereka harus ditegur, Bu." "Kita tidak punya bukti kalau mereka yang melakukannya," ucap Ibu."Ibu benar, Mas, kita tidak punya bukti, kalau kamu nekad menegur mereka, mereka pasti akan marah dan menyebut kita telah memfitnah mereka," timpalku."Baiklah, Ridwan akan mencari bengkel, kalian tunggu saja di sini, kita akan langsung pergi setelah Ridwan kembali." Aku tersenyum seraya mengangguk cepat._______Setelah menunggu cukup lama, akhirnya Mas Ridwan kembali juga. Kami pun berangkat menuju langsung ke rumah pemilik tanah tersebut."Tadi saat di bengkel, Mas ketemu dengan teman lama Mas, kebetulan teman Mas itu kepala tukang, jadi setelah membangun restoran nanti, baru lah rumah Ibu direnovasi," ucap Mas Ridwan sambil fokus menyetir mobil."Yang penting, tujuan kalian ingin membuka cabang di sini sudah terlaksanakan, urusan rumah Ibu bisa nanti-nant
KUBUAT MEREKA KEPANASAN KARENA SUDAH MEREMEHKANKUBAB 8PoV Author."Astaga, Zita!" Bu Dira berteriak kesenangan dari luar rumah, saat melihat mobil pickup berhenti di depan jalan rumahnya."Zita! Sini cepat keluar!" Kembali Bu Dira memanggil Zita dengan suara yang keras."Astaga, Ibu!" Zita kesal karena suara ibunya membuat anaknya yang berumur delapan bulan itu terbangun dari tidurnya. Harapannya yang ingin ikut rebahan sambil bermain ponsel menjadi sirna seketika."Cepat, Zita! Lelet sekali!""Ada apa sih, Bu? Zita sudah susah payah menidurkan Jihan, Ibu malah teriak-teriak dan membuatnya bangun!" gerutu Zita sambil menyerahkan anaknya pada Bu Dira."Tenang, nanti Ibu yang akan menidurkan cucu Ibu, kamu lihat, itu pasti abang iparmu yang sudah membelikannya untuk kita," ucap Bu Dira seraya menunjuk ke arah jalan."Astaga! Motor? Untuk kita?" Zita berseru dan bertanya dengan binar mata yang bahagia."Kamu suruh mereka turunkan motornya, mereka pasti menunggu kakakmu yang tertinggal
KUBUAT MEREKA KEPANASAN KARENA SUDAH MEREMEHKANKUBAB 9"Rindu! Matiin motornya, pagi-pagi sudah bikin orang tidak nyaman mendengar suara berisik dari motor bekasmu itu. Matiin cepat!"Aku yang sedang menikmati teh bersama Mas Ridwan di depan rumah langsung menoleh ke arah rumah Tante Dira. Wanita yang umurnya tidak terlalu jauh dari ibuku itu sedang berkacak pinggang memarahi Rindu yang sedang memanasi motornya.Rindu hanya mencebik tanpa melihat ke arah Tante Dira yang tampak semakin marah."Rindu! Anak kurang ajar, matiin motornya! Memang dasar anak yang tidak punya etika!" teriak Tante Dira."Rindu, matikan motornya," titahku pada adikku itu. Rindu menuruti dan mematikan motornya."Besok-besok jangan gini lagi, mengganggu kenyamanan orang saja! Baru punya motor bekas saja sok nya minta ampun!" sentak Tante Dira."Gini amat ya? Punya saudara yang selalu kepanasan melihat kebahagiaan orang, ini baru beli motor, belum lagi kalau nanti kami beli pesawat, bisa-bisa kepala Tante Dira la