KUBUAT MEREKA KEPANASAN KARENA SUDAH MEREMEHKANKU
BAB 6Dering ponsel suamiku berbunyi. Mas Ridwan mengangkat panggilannya sambil menghitung uang yang akan kami bawa untuk membeli tanah yang kami lihat kemarin."Perlu berapa, Jhon?" tanya suamiku, aku tidak tahu dari siapa, mungkin saja karyawannya."Maaf, Jhon, bukannya saya tidak mau meminjamkan uangnya, hutangmu yang dulu masih banyak, pakai apa kamu membayarnya nanti kalau kamu mau menambah hutang lagi? Kalau segitu tidak bisa,""Maaf, ya, Jhon, tidak bisa." Suamiku menutup telpon setelah mengucapkan salam."Siapa, Mas?""Jhoni, orang kepercayaan Mas yang mengelola restoran di Bandung, mau meminjam uang, katanya untuk berobat ibunya, Mas tidak bisa memberinya lagi karena sudah hampir seratus juta hutangnya dan belum lunas, tiap gajian mau dipotong bilangnya nanti," jelas Mas Ridwan."Oh." Aku hanya bisa ber'oh saja. Sebab, urusan begitu aku tidak mau ikut campur. Biarlah jadi urusan Mas Ridwan. Mas Ridwan lebih tahu dan bijak dalam mengambil keputusan.____Setelah adzan subuh, ibuku sudah mulai berkemas. Membawa kue-kuenya yang sudah tersusun rapi ke depan halaman yang sudah tersedia warung kecil-kecilan agar ibu tidak perlu susah payah berjalan kaki pergi ke pasar.Aku pun ikut serta membantu Ibu berjualan di depan rumah. Kebiasaan warga di sekitar sini adalah mencari sarapan kue basah dengan berjalan kaki di pagi hari."Hai, ini Jelita, 'kan? Sudah lama tidak bertemu, apa kabarnya kamu?" Hera, teman sekolahku yang menjadi pembeli pertama."Iya, aku sehat, kamu sehat?""Aku sehat kok, ngomong-ngomong kamu sudah punya anak berapa? Kamu sudah nikah 'kan?" ucap Hera sembari mengusap perutnya yang agak membuncit, sepertinya Hera sedang hamil."Alhamdulillah, aku belum punya anak," sahutku sambil tersenyum getir. Rasa yang sama saat keluarga suamiku menanyakan tentang aku kapan hamil? Sedih dan kecewa saat aku masih belum diberi amanah dari yang Maha Kuasa."Aku pikir kamu sudah punya anak, aku pulang dulu," ucap Hera, lalu Hera pergi setelah membayar kue-kue yang diambilnya."Sabar, rezeki itu datangnya dari Allah, berbaik sangka lah padanya, insyaallah, kamu akan segera diberi kepercayaan," kata Ibu sambil mengusap punggung tanganku."Insyaallah, Bu."_________"Jelita, lihat nih, aku dibeliin suamiku kalung berlian loh, cantik 'kan?" ucap Zahra, seraya memamerkan kalung yang melingkar di lehernya yang jenjang."Jangan dipamerin, nanti Jelita iri dan meminta suaminya untuk membelinya juga. Kasihan suaminya nanti kalau dimintai berlian, mana sanggup untuk beli sedangkan membeli sandal bagus saja tidak mampu!" sambung Tante Dira sambil mengangkat tangannya ke udara. Pastinya untuk memamerkan gelangnya padaku dan Ibu."Sabar." Ibu mengusap punggung tanganku, aku tersenyum menanggapi."Kalian ke sini mau ngapain? Mau beli kue?" tanyaku, berusaha untuk bersikap sopan dan manis."Ish! Mana level kue yang beginian? tenggorokan kami sekeluarga bisa alergi kalau memakannya!" sahut Tante Dira dengan sombong."Masa iya? Tadi Om Herman beli kue di sini, banyak pula belinya," ucapku membuat Tante Dira kelagapan."Beli kue di sini? Pantasan tenggorokan Ibu gatal, Ibu pulang dulu, mau buang semua kue-kuenya, bisa-bisa Sultan keburu memakannya dan membuatnya sakit perut, Sultan mana bisa makan-makanan murah!"Aku menggeleng kepala sambil melihat Tante Dira pergi masuk ke halaman rumahnya. Gayanya seperti orang kaya saja, perasaan dulu tidak separah ini, apa karena Tante Dira mempunyai menantu yang katanya konglomerat? Jadi, membuatnya semakin bertambah sombong dan terlalu lebay menurutku."Maklum, suamiku itu terbiasa dengan makanan mahal, jadi, kalau setiap suamiku pulang ke sini, kami akan sama-sama menjaga kesehatannya. Makanan murah seperti itu kan pasti banyak bakteri jahatnya, jadi tidak sehat kalau suamiku sampai memakannya, apa lagi sampai menyentuhnya." Aku memutar bola mata malas mendengar celotehan Zahra."Tante Nur, mau beli kue apa?" Aku menyapa Tante Nur dan memberinya kantong keresek.Tante Nur menyambarnya dan mulai membuka tutup kue satu persatu dan memasukkan kue-kue yang dipilihnya ke dalam kantong kresek. Setelah memenuhi kresek yang berwarna oren, Tante Nur langsung berbalik badan untuk pergi."Belum bayar, Tante!" cegahku, volume suaraku naik beberapa oktaf karena Tante Nur sudah mulai melangkahkan kaki."Besok dibayar!" sahutnya dan langsung melanjutkan langkah."Tidak bisa Tante! Masa iya mau ngutang?" ucapku membuat Tante Nur langsung membalikkan badan."Kamu tidak dengar? Besok Tante bayar! Dua puluh ribu kok dipermasalahkan, apa suami pengusahamu itu tidak mampu memberimu uang? Sampai-sampai dua puluh ribu jadi dipermasalahan?"Apa-apaan ini? Apa hubungannya dengan suamiku?"Tante ini ngomong apa? Aku minta bayar kuenya, ini tidak ada sangkut-pautnya dengan suamiku, bayar!" ucapku yang sudah terpancing emosi."Sudah, Nak, biarkan saja," ujar ibuku."Tidak boleh dibiarkan, Bu, enak sekali kalau dibiarkan!" sahutku dengan hati yang dongkol."Jelita, Jelita, ini uangnya, ambil semua tidak perlu kembalian, cuma dua puluh ribu aja diributin!" Zahra melempar uang lima puluh ribu tepat dibawah kakiku. Tante Nur tersenyum puas dan melenggang pergi."Tunggu, Zahra!" cegahku saat Zahra ingin pergi. Aku mengeluarkan uang tiga puluh ribu dan melemparnya tepat diwajahnya.Zahra tampak menggeram melihatku. Dia pikir apa? Aku akan diam saja begitu?"Mis kin aja belagu!" hardiknya dan pergi berlalu."Lain kali, Ibu harus tegas, Bu. Biar saudara Ibu itu tidak berbuat semena-mena sama kita, kalau dibiarin terus menerus itu sama saja membenarkan perbuatan mereka," ucapku pada Ibu yang sedang memandangiku."Maafkan, Ibu, lain kali Ibu akan tegas," sahut Ibu."Buang ke dalam tong sampah! Biar sekalian diangkut sama tukang sampahnya, lain kali jangan beli di sana lagi kue-kuenya, makanan murah seperti itu tidak cocok untuk keluarga kita!"Aku dan ibu serentak menoleh ke asal suara yang melengking tinggi dan mengundang perhatian orang-orang yang sedang melintas di depan rumah Tante Dira.Om Herman berjalan menunduk menuju ke tempat sampah yang ada di depan jalan rumahnya. Kasihan sekali Om Herman.________Kami bersiap-siap untuk pergi menemui pemilik tanah yang akan kami beli. Ibu dan kedua adikku juga ikut. Rencananya, aku dan Mas Ridwan ingin membelikan motor untuk adikku Rindu. Biar pergi kuliah tidak naik angkot lagi."Kenapa, Mas?" tanyaku saat melihat Mas Ridwan berjongkok di samping ban mobil."Ban mobilnya kempis, Sayang.""Kok bisa? Jadi, gimana dong?" tanyaku yang mendadak lesu mendengarnya."Bengkel di sini jauh tidak?""Hi-hi-hi ..." Kami semua serentak menoleh ke rumah Tante Dira. Suara cekikikan terdengar tapi orangnya tidak kelihatan.Apa Tante Dira dan Zahra pelakunya? Yang sengaja mengempiskan ban mobil kami."Keterlaluan!" geram Mas Ridwan dan ingin melangkah menuju ke rumah Tante Dira.BERSAMBUNG...KUBUAT MEREKA KEPANASAN KARENA SUDAH MEREMEHKANKUBAB 7"Ridwan, jangan, Nak," cegah Ibu, membuat Mas Ridwan menghentikan langkahnya."Mereka harus ditegur, Bu." "Kita tidak punya bukti kalau mereka yang melakukannya," ucap Ibu."Ibu benar, Mas, kita tidak punya bukti, kalau kamu nekad menegur mereka, mereka pasti akan marah dan menyebut kita telah memfitnah mereka," timpalku."Baiklah, Ridwan akan mencari bengkel, kalian tunggu saja di sini, kita akan langsung pergi setelah Ridwan kembali." Aku tersenyum seraya mengangguk cepat._______Setelah menunggu cukup lama, akhirnya Mas Ridwan kembali juga. Kami pun berangkat menuju langsung ke rumah pemilik tanah tersebut."Tadi saat di bengkel, Mas ketemu dengan teman lama Mas, kebetulan teman Mas itu kepala tukang, jadi setelah membangun restoran nanti, baru lah rumah Ibu direnovasi," ucap Mas Ridwan sambil fokus menyetir mobil."Yang penting, tujuan kalian ingin membuka cabang di sini sudah terlaksanakan, urusan rumah Ibu bisa nanti-nant
KUBUAT MEREKA KEPANASAN KARENA SUDAH MEREMEHKANKUBAB 8PoV Author."Astaga, Zita!" Bu Dira berteriak kesenangan dari luar rumah, saat melihat mobil pickup berhenti di depan jalan rumahnya."Zita! Sini cepat keluar!" Kembali Bu Dira memanggil Zita dengan suara yang keras."Astaga, Ibu!" Zita kesal karena suara ibunya membuat anaknya yang berumur delapan bulan itu terbangun dari tidurnya. Harapannya yang ingin ikut rebahan sambil bermain ponsel menjadi sirna seketika."Cepat, Zita! Lelet sekali!""Ada apa sih, Bu? Zita sudah susah payah menidurkan Jihan, Ibu malah teriak-teriak dan membuatnya bangun!" gerutu Zita sambil menyerahkan anaknya pada Bu Dira."Tenang, nanti Ibu yang akan menidurkan cucu Ibu, kamu lihat, itu pasti abang iparmu yang sudah membelikannya untuk kita," ucap Bu Dira seraya menunjuk ke arah jalan."Astaga! Motor? Untuk kita?" Zita berseru dan bertanya dengan binar mata yang bahagia."Kamu suruh mereka turunkan motornya, mereka pasti menunggu kakakmu yang tertinggal
KUBUAT MEREKA KEPANASAN KARENA SUDAH MEREMEHKANKUBAB 9"Rindu! Matiin motornya, pagi-pagi sudah bikin orang tidak nyaman mendengar suara berisik dari motor bekasmu itu. Matiin cepat!"Aku yang sedang menikmati teh bersama Mas Ridwan di depan rumah langsung menoleh ke arah rumah Tante Dira. Wanita yang umurnya tidak terlalu jauh dari ibuku itu sedang berkacak pinggang memarahi Rindu yang sedang memanasi motornya.Rindu hanya mencebik tanpa melihat ke arah Tante Dira yang tampak semakin marah."Rindu! Anak kurang ajar, matiin motornya! Memang dasar anak yang tidak punya etika!" teriak Tante Dira."Rindu, matikan motornya," titahku pada adikku itu. Rindu menuruti dan mematikan motornya."Besok-besok jangan gini lagi, mengganggu kenyamanan orang saja! Baru punya motor bekas saja sok nya minta ampun!" sentak Tante Dira."Gini amat ya? Punya saudara yang selalu kepanasan melihat kebahagiaan orang, ini baru beli motor, belum lagi kalau nanti kami beli pesawat, bisa-bisa kepala Tante Dira la
KUBUAT MEREKA KEPANASAN KARENA SUDAH MEREMEHKANKUBAB 10Alhamdulillah, pembangunan tempat usaha baru kami sudah berjalan lima puluh persen, benar kata orang-orang. Kalau ada uang, pasti semuanya berjalan dengan cepat dan lancar.Setelah cukup puas melihat hasil kerja para tukang, kami pun pamit pulang. Tidak lupa beberapa lembar uang merah Mas Ridwan serahkan kepada salah satu dari mereka. Untuk membeli makanan dan minuman supaya mereka lebih semangat lagi untuk bekerja._____"Tadi aku ketemu Tika, dan aku mengundangnya untuk makan malam bersama dengan kita," ucapku sembari mencuci buah dan menatanya dalam tempat buah."Tika?" Kening Mas Ridwan tampak berlipat heran saat menyebut nama Tika, aku mengangguk dan beralih mencuci wortel dan sayuran lainnya."Apa Tika di sini bersama suaminya?" Aku berbalik badan melihat Mas Ridwan."Sepertinya, iya, Mas. Kamu tahu sendiri kan, kalau aku tidak pernah bertatap muka dengan teman kepercayaanmu itu? Tapi ... mungkin saja si Jhoni itu ada di s
KUBUAT MEREKA KEPANASAN KARENA SUDAH MEREMEHKANKUBAB 11"Iya, kamu benar, Jelita. Mas Jhoni pasti sudah bermain api di belakangku, kurang ajar sekali! Siapa wanita yang membuatnya sampai kehilangan arah? Berani-beraninya dia mengabaikan tanggungjawab-nya sebagai seorang suami dan Ayah, awas kamu, Mas Jhoni!" geram Tika, tangannya mengepal kuat bersamaan dengan giginya yang terdengar gemeletuk."Ya, kamu harus selidiki sekarang, kalau terbukti Jhoni berselingkuh, maka saya akan memecatnya dari pekerjaannya saat itu juga!" tegas Mas Ridwan."Kok dipecat sih, Mas? Kasihan anak-anaknya kalau Jhoni tidak bekerja," ucapku."Lebih baik begitu, Jelita, dari pada masih bekerja tapi tanggungjawab dia sebagai suami dan Ayah tidak ada sama sekali, akan kutunggu kepulangannya nanti." Tidak ada kesedihan diwajah Tika saat mengatakan itu. Syukurlah, memang lebih baik begitu daripada menangis dan meratapi nasibnya."Kamu yang sabar, ya? Semoga segala urusanmu cepat terselesaikan," ucapku sambil meny
KUBUAT MEREKA KEPANASAN KARENA SUDAH MEREMEHKANKUBAB 12PoV Author."Kayaknya, ada aroma-aroma tidak mengenakan nih, kenapa wajahmu cemberut begitu? Tidak punya duit?" Bu Dira bertanya kepada Bu Nur yang tiba-tiba datang dengan raut wajah cemberut."Mbak mau pinjam duit, Mas Gio belum gajian, nanti Mbak ganti kalau Mas Gio sudah gajian," sahut Bu Nur sembari menghempaskan tubuhnya duduk di samping Bu Dira. "Hutang yang kemarin-kemarin saja belum bayar, masa mau minjam lagi, Mbak?" sahut Bu Dira protes."Alah, tidak perlu lah perhitungan begitu, menantumu itu orang kaya, beda dengan menantuku yang hidupnya cuma pas-pasan, ngasih duit saja jarang, menyesal aku merestui pernikahannya dengan Yono dulu," ucap Bu Nur mengeluh, karena menantunya tidak sekaya yang dia inginkan."Sudah nasibmu, Mbak, terima saja," sahut Bu Dira seraya tersenyum kecut melihat Bu Nur."Kamu mau pinjamkan tidak? Kalau tidak mau, aku pinjam sama Mbak Jeni saja, sejak dia jualan kue di rumahnya, sepertinya Mbak J
KUBUAT MEREKA KEPANASAN KARENA SUDAH MEREMEHKANKUBAB 13PoV Author.Mobil yang dikendarai Tika masuk ke dalam halaman rumah Jelita. Jelita yang sengaja menunggu di teras langsung melambaikan tangan ke arahnya."Tika, masuk lah." Jelita cemas saat Tika keluar dari mobil sambil melihat ke arah rumah Bu Dira yang sudah tertutup rapat.Jelita menghela nafas lega saat melihat Tika membawa langkah kaki menuju ke arahnya. Jelita sempat berpikir, kalau Tika akan berlari menuju ke rumah Bu Dira dan melabrak Jhoni dan Zahra di saat adzan magrib tengah berkumandang."Tenang saja, kamu jangan tegang begitu, aku tidak akan mempermalukan diri sendiri hanya karena laki-laki yang tidak bertanggungjawab," ucap Tika.Jelita langsung menggandeng tangan Tika untuk dibawa masuk.___"Biar saya yang pergi ke rumah itu, Pak Ridwan dan Jelita sebaiknya jangan menampakkan diri dulu," ujar Tika."Jhoni tidak mengenalku, aku ikut temani kamu ke sana. Tapi, kamu janji, ya? Jangan bikin keributan," ucap Jelita.
KUBUAT MEREKA KEPANASAN KARENA SUDAH MEREMEHKANKUBAB 14"Sepertinya, sudah seminggu tanpa suara Tante Dira, ke mana dia?" tanya Mas Ridwan sembari melihatku mengupas kulit bawang."Aku tidak tahu, Mas. Biarin saja, dengan begitu hidup kita akan damai dan tentram." sahutku."Kalian membicarakan siapa?" tanya ibu mertuaku."Tetangga sebelah rumah, Bu. Adiknya ibu mertuaku, selama aku tinggal di sini, suaranya selalu menemani kami setiap hari, penuh dengan keramahan pokoknya," jelas Mas Ridwan, seraya mengulum senyum."Oh, ya? Bagus dong kalau begitu, itu artinya keluarga istrimu ramah-tamah. Tapi, selama Ibu di sini, kenapa adik ibumu itu tidak pernah datang? Ibu ingin sekali berkenalan dengannya, siapa tahu suatu hari nanti dia tersesat ke kampung kita. Ibu kan bisa menolongnya karena sudah kenal." Ibu mertuaku berujar.Ini lah ibu mertuaku, dia sangat ramah dan suka berbicara. Siapa pun yang datang ke rumahnya, pastinya akan diterima dengan baik dan akan dijamu dengan banyaknya makan