Kakaknya Calista berdiri tepat di sebelah Rifat. Mereka berjejer dan laki-laki yang bernama Hendra itu tersenyum. "Beliau pemilik panti asuhan, dimana saya tinggal selama hilang ingatan, Pak Rifat pula yang membayar utang-utang saya, dan juga orang yang memberikan informasi bahwa Calista sedang berbaring di rumah sakit," terang Mas Hendra. Jadi, kali ini kakaknya Calista punya utang budi terhadap orang yang nyaris mencelakai dia. Aku paham sekarang, ia mengambil keputusan yang sudah benar, walau bagaimana pun ini ungkapan rasa terima kasihnya pada Rifat. "Baiklah, kalau begitu kami pamit," ucap Mas Arlan berkata pada sang kakak. Mas Gerry mengantarkan kami sampai depan pintu, ia bicara pada kami lebih dulu. "Besar kemungkinan setelah ini aku dan Calista akan bekerja dengan Danang, sebelumnya kami minta maaf, tidak ada niat untuk berkhianat, tapi jujur aja aku masih butuh pekerjaan," ucap Mas Gerry seketika membuatku berpikir, ternyata aku menolong orang yang salah. Ia bersekutu de
[Nilam, meeting terbuka itu untuk mempermalukan kamu di hadapan umum, Ryan.]Aku menutup layar ponsel lagi, ternyata dugaanku benar, ini semua direncanakan. Tentu semuanya adalah ulah Kiara, buktinya ia tidak mengundang jajaran staff kantor cabang. "Kita balik ke tempat Mas Arlan aja, Om," ajakku sambil melangkah ke mobil dan ponsel sengaja aku masukan kembali ke dalam tas. Baru saja ingin membuka pintu mobil, suara panggilan dari dalam gedung terdengar. Ia menyerukan memanggil namaku dan Om Farhan. "Sampai dipanggil pakai pengumuman, Om?" tanyaku keheranan. "Berati benar yang dikatakan Ryan dalam pesan barusan, Om," tambahku. "Emang Ryan bicara apa?" tanya Om Farhan yang memang belum aku kasih tahu. "Katanya pertemuan ini untuk mempermalukan aku," timpalku lagi. "Berati kamu ikut mobilku aja," suruh Om Farhan. Aku paham maksudnya. Om Farhan menyuruhku untuk cepat masuk ke dalam mobilnya. Jadi untuk mengelabui satpam, mobilku sengaja ditinggal, sebab Kiara dan Danang tentu tida
"Om, speaker tolong aktifkan," bisikku pada Om Farhan. Ia pun melakukan apa yang kupinta. Kemudian, aku mendengar dengan seksama apa yang ingin dikatakan anak buahnya. "Halo, gimana?" tanya Om Farhan. "Pak, saya menemukan mobilnya, tapi tidak ada orang di dalamnya, saya share lokasi tempatnya ya, Pak," ucap anak buah Om Farhan. Kemudian, Om Farhan menutup teleponnya. Lalu ia langsung berdiri dan mengajakku untuk ikut bersamanya. "Mama ikut, Nilam," ucap Mama Desti sambil ikut berdiri. Aku dan Om Farhan saling beradu pandang. "Nanti Hesti nyariin, Mah," ucapku seraya melarang. "Nggak kok, Hesti pulang malam, sudah izin tadi," jawab Mama Desti. Akhirnya aku tidak bisa menolak permintaannya. Ia terpaksa aku ajak ke tempat mobil yang Mas Arlan bawa ditemukan. Mama mengunci pintu lalu ikut bersama kami satu mobil. Posisi duduk Om Farhan berada di kursi depan, sedangkan aku dan Mama Desti berada di belakang. Sepanjang jalan aku hanya diam menatap ke arah jendela sebelah kiri. Mama
Aku menghubungi nomor yang dipakai orang itu untuk kirim pesan. Namun, tidak aktif kembali. "Pengecut!" Aku teriak sambil melempar ponsel. Lalu menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Aku kembali bersedih, melihat isi chat itu. "Mas, kamu di mana? Kenapa nggak bisa lawan orang itu? Dalam bahaya kah kamu di sana?" Aku bicara sendirian sambil membayangkan wajahnya. Senyuman, wibawanya, semua hanya ada dalam bayangan saja. Aku memeluk guling sambil menangis, sesakit ini perpisahan, belum sampai 24 jam saja sudah perih. Rindunya hingga ke ulu hati. Pelukan guling membuatku tertidur hingga pagi hari. Bangun-bangun aku langsung turun dari ranjang mengambil air wudhu. Percikan air kubasuh ke wajah, air mata pun jatuh beriringan dengan air wudhu yang mengalir. Kemudian, selepas salat aku menadahkan tangan ini. Memanjatkan doa pada Sang Pencipta. "Ya Allah, lindungi suamiku di mana pun ia berada. Aku akan setia menunggunya di sini," ungkapku dalam doa. Air mata terus berjatuhan denga
"Tenang, Nilam, tenang, jangan panik, jangan emosi, ingat suamimu yang menunggumu untuk diselamatkan," ucapku bicara sendirian sambil mengelus dada seraya menguatkan diri. Sambungan video call sudah dimatikan, Pak Supri sudah selesai tugasnya, saat ini ia harus menunggu di tepi jalan lagi, supaya tahu mobil Mbak Dila pergi ke mana arahnya setelah dari rumah Ryan. Aku tidak akan bisa berpikir kalau dalam kondisi panik, takkan bisa mengetahui di mana Mas Arlan berada. Ini satu masalah yang menurutku paling menyesakkan hati. Sebab, aku dituntut untuk menyelesaikan sendirian, tidak ada Mas Arlan juga tidak ada papa. Ponsel genggam masih di tangan, ingin rasanya menghubungi Ryan dan tanya langsung maksudnya apa Mbak Dila masuk ke dalam rumah Ryan? Namun, hati kecil ini bicara untuk tidak gegabah dalam mengambil keputusan. Aku menghela napas, sesekali meneguk air putih supaya tenang dan mudah berpikir bagaimana tindakan selanjutnya. Pintu kantor ada yang ketuk dari luar, suara Om Farhan
Sulit dipercaya bahwa mereka bekerja sama, tapi masuk di akal juga bahwa semua yang dilakukan pasti karena cinta buta. Aku dan Om Farhan menyuruh sopir untuk cepat melajukan mobil supaya tiba di lokasi dengan cepat. Sampai akhirnya kami tiba di parkiran apartemen. "Mereka sudah naik, Om. Tapi di mana mereka?" Aku bertanya lagi. "Coba telepon Pak Supri," suruh Om Farhan. Aku kesulitan signal jadi sulit menghubungi Pak Supri. "Om ingat tempat Calista yang diinformasikan waktu itu?" tanyaku padanya. "Ingat, Om ingat saat kejadian itu, ayo kita ke sana!" ajak Om Farhan. Aku hanya yakin mereka menyewa apartemen Calista untuk menyembunyikan Mas Arkan, supaya aku tidak curiga sama sekali. Namun, ketika kami hendak naik lift, tiba-tiba suara wanita memanggil namaku dengan lantang. "Nilam!" teriaknya membuatku menoleh. "Calista," cetusku dengan wajah membeku. 'Astaga, apa ia sengaja untuk mencegahku ke atas, supaya tidak berhasil memergoki mereka yang ingin membawa Mas Arlan pergi dar
"Maksud kamu apa sih? Kenapa kamu masih di sini? Bukan di penjara!" Aku mulai meradang, karena dua kali Ryan malah bicara ngawur. Kemudian, muncul Calista dari balik pintu bersama sang kakak yang tadi membawa polisi ke apartemennya. Aku menyambut dengan baik, karena menurutku Calista lah sebagai penolong untuk meringkus penculik Mas Arlan. "Terima kasih Calista, aku berhutang budi padamu," kataku sambil mengalihkan tubuh ini ke arah Calista. "Ini bukan ideku sepenuhnya, tapi Ryan, ia yang membuka mata hatiku untuk menolong Arlan yang disandera di apartemen milikku oleh Kiara dan Rifat, mereka memang menghalalkan segala cara untuk mencapai ambisi," terang Calista. Ia menjelaskan setengah. Lalu bagaimana bisa Kiara dan Ryan bertemu di apartemen? Banyak pertanyaan yang mengganjal. "Ryan bertemu Kiara di apartemen setelah berjumpa dengan Mbak Dila, bagaimana bisa kamu sebut Ryan sebagai pencetus ide?" tanyaku penasaran. Om Farhan turut menghampiri kami, tapi ia malah mempersilakan s
Mas Arlan mengisyaratkan aku supaya diam, dengan melebarkan telapak tangannya. Aku jadi benar-benar penasaran sebenarnya siapa yang berada dalam sambungan telepon itu. "Tolong, jangan sakiti keluarga saya," ucap Mas Arlan. Ucapannya membuatku menangkap bahwa penelpon memberikan kabar buruk. "Siapa, Mas?" tanyaku penasaran. Mas Arlan masih serius bicara dengan orang dalam sambungan telepon. "Kalian pengecut, bisanya culik menculik!" cetus Mas Arlan. "Halo, Halo, halo! Argh!" sambung Mas Arlan dengan decakan kesal. Aku meraih ponsel yang ia genggam. Itu ponselku, berati orang yang menghubungi kenal denganku. "Apa keluargamu diculik, Mas?""Ya, barusan yang hubungi kamu itu Danang, ia meminta kamu cabut laporan dan membebaskan Kiara juga Rifat," terang Mas Arlan. Aku menghela napas dalam-dalam, ternyata Danang diam-diam langsung bertindak ketika tahu anak dan adiknya masuk bui. "Nggak, Mas, kalau laporan dicabut, kapan bikin jera mereka?" tanyaku padanya. "Aku juga berpikir se
"Apa yang diculik itu sekarang masih hidup, Mbok?" tanyaku menyelidik. Ini kesempatan emas untukku mencari tahu, khawatir hal ini ada kaitannya dengan cincin inisial C."Baru saja meninggal tadi, Non. Makanya Mbok ke sini, takut, Mbok punya firasat tidak enak. Ingat kejadian dulu Mama Desti yang telah membunuh mamanya Mas Arlan," ungkap Mbok Nur.Aku pun mendadak berkeringat, ini masalah yang dulu bisa diungkap kembali jika ada sesuatu yang terjadi dan Mama Desti membantunya."Om curiga ini Dila menculik Calista, dan kakaknya, sampai sekarang informasi itu masih simpang siur," ucap Om Farhan.Aku tertunduk, masih merasakan cucuran keringat yang keluar sedikit demi sedikit sebesar biji jagung."Kebenaran akan menang, Om, kejahatan pasti akan kalah," timpal Mas Arlan.***Akikah anak pertamaku telah tiba, acara banyak dikunjungi oleh tamu undangan. Semua sudah datang untuk mendoakan baby AN menjadi anak soleh.Acara dilaksanakan penuh khidmat. Lantunan ayat membuat acara yang netral me
Aku termenung sejenak, meneliti huruf inisial yang tertera di cincin. Namun, tiba-tiba saja Baby AN nangis, aku langsung menggendongnya, cincin itu digenggam Mas Arlan.Kami semua masuk dan menuju kamarku, pernak pernik bayi sudah terukir di sudut kamar, "Ah senangnya memiliki bayi, seperti punya kehidupan baru lagi," ucapku sambil menghela napas dan menyoroti ruangan.Tangan Mas Arlan berada di bahu, ia menepuk pundak ini pelan, lalu menciumi keningku dan Baby AN."Kesayanganku, kalian ini jantung hatiku," ungkap Mas Arlan.Aku tersenyum sambil menyandarkan kepala di bahunya.Inilah keluarga kecilku, setelah beberapa purnama mengharapkan kehadiran sang buah hati, kini bayi mungil berada di pangkuan kami.Mama keseringan bolak-balik karena tidak bisa mendengar Baby AN nangis, ia langsung buru-buru datang ketika tangisan cucunya memekikkan telinga. Padahal hanya buang air besar, mamaku sudah khawatir padanya."Kalau lihat dia ngejan langsung buru-buru salin dong jangan sampai lecet," s
"Itu dia, Nilam, Om obrolan Om belum selesai tapi Dila udah datang," kata Om Farhan.Papa melirik ke arah adiknya, lalu berpindah ke arahku."Apa kematian Calista sabotase Dila?" tanya papa tiba-tiba curiga."Masa iya kecelakaan kapal bisa salah? Waktu itu kita nggak datang sih ya ke rumah sanak saudara mengucapkan bela sungkawa," timpalku. "Lagian kalau sabotase, sembilan bulan masa iya tidak tercium," tambahku masih tidak percaya."Bukankah mamaku juga meninggal dunia karena sabotase Mama Desti? Dan baru ketahuan setelah puluhan tahun," sambung Mas Arlan.Aku terdiam sejenak, yang dikatakan oleh Mas Arlan ada benarnya, tapi ini juga termasuk buruk sangka, sebab saat Calista dinyatakan meninggal dunia, Mbak Dila itu berada di dalam jeruji besi."Ah sudahlah, tak usah memikirkan yang sudah tidak ada, lagi pula yang namanya bangkai pasti terkuak. Jika ada sabotase dalam kematian Calista dan kakaknya, cepat atau lambat akan terbongkar juga. Sekarang, kalian fokus dengan Baby AN, mau dik
"Kamu harus kuat, Nak. Demi Mama," lirih mamaku seraya memohon.Terlintas semua yang kulalui bersama Mas Arlan. Seketika kekuatan muncul dan perut terasa mulas ingin buang air besar."Mah, aku kepingin mengejan," kataku dengan suara pelan. Rasanya tenaga yang tersisa sudah tidak banyak.Mama menoleh ke area bawah, ia terkejut melihat sudah banyak darah yang mengalir dari area vagina. "Nilam, sepertinya kamu sudah pembukaan sembilan, ya sudah dicoba mengejan," suruh mama.Aku berhitung dalam hati lalu mengerang sambil mengejan, dan mama menyuruhku terus dan tambahkan kekuatan. Setelah mengejan ketiga kalinya, tiba-tiba saja seperti ada yang jatuh ke daerah jok mobil. Kemudian, suara bayi menangis pun melengking tinggi."Ya Allah anakmu sudah lahir, Nilam. Bayinya laki-laki," ungkap mama.Aku tersenyum sambil menurunkan bahu. Ada tangis mengiringi, akhirnya aku kuat mengeluarkan bayi di dalam mobil sendirian, hanya di bantu mama."Mah tapi aku masih mulas," kataku sambil menjerit kembal
Aku sudah kongkalikong saat melakukan pembayaran. Tadinya hanya minta tolong periksa, tapi kata Mas Arlan, sekalian kalau ada yang janggal bikin bagaimana caranya mengetahui bahwa Tante Sita ini berbohong. Jadi, ketika keluar ruangan aku pun melakukan sandiwara seperti Tante Sita. "Sekarang sudah jelas, Tante yang mengurung Om Farhan dua hari ini, kan?" cecarku sengaja. "Jangan sembarangan nuduh kamu, Nilam!" sanggah Tante Sita. "Aku nggak sembarangan, tentu disertai bukti. Dokter Lutfi adalah temanku, ia bilang obat bius itu takkan mungkin digunakan sendiri oleh Om Farhan, itu artinya ada orang yang masuk sebelum Tante Sita," terangku. "Tapi bukan Tante.""Lalu siapa wanita yang dia hari ini bolak balik ke sini? Sudahlah jangan bohong!" Aku bukan sembarangan menuduh tapi sudah bilang pada petugas hotel untuk mengirim rekaman CCTV-nya ke nomorku. "Jadi kamu?" Tante Sita mulai sadar. "Ya, tadi petugasnya aku bisikan sesuatu, aku minta dikirim rekaman CCTV saat Om Farhan datang,
"Kita ikutin aja, apa jangan-jangan Om Farhan dibius atau disekap?" Mas Arlan curiga dan langsung membuka sabuk pengamannya. Aku pun ikut membuka sabuk dan turun membuntuti Tante Sita. Kami berjalan dengan sembunyi-sembunyi, bersama dengan iringan langkah Tante Sita. Namun, kami kesulitan saat ia masuk lift. Tidak mungkin juga kami ikut masuk ke dalamnya. Akhirnya aku dan Mas Arlan membiarkan Tante Sita naik duluan. "Aku yakin dia ke apartemen Om Farhan, dan dua hari ini Tante Sita bersama dengannya," ucap Mas Arlan seakan menuduh bahwa Tante Sita yang menyembunyikan Om Farhan. "Aku sempat ketemu dengannya kemarin, Mas. Apa dia sengaja?" Aku jadi ikut curiga, sebab ia memohon untuk merayu Om Farhan. "Kalau gitu kita harus cepat ke kamarnya, kalau nggak nanti Tante Sita akan berbuat nekat, atau bahkan bisa memindahkannya," tutur suamiku. Kemudian lift kembali terbuka, kami segera menuju apartemen milik Om Farhan. Langkah kaki kami begitu cepat hingga mereka yang melihat pun menyo
"Gimana hasil sidang, Mas?" tanyaku padanya. "Mengecewakan, Dek. Aku bingung cerita di sini, nanti aja di rumah sakit ya," terang Mas Arlan.Aku terdiam, mengecewakan dalam arti bukan bebas kan? Kalau bebas aku sangat menyayangkan, ini semua gara-gara Mas Gerry dan Mama Desti. Mereka tidak tahu terima kasih, sudah diberikan kesempatan dan tidak dilaporkan masalah pembunuhan mamanya Mas Arlan, kini malah menikam. "Kalau misalnya mereka menantang, kamu buka kembali kasus mamamu dulu, Mas. Ini cara satu-satunya memenangkan," jawabku. Mas Arlan terdiam sejenak, tapi sambungan telepon masih tersambung. "Kamu nggak capek, Dek ngurusin seperti ini?" tanyaku Mas Arlan padaku. "Aku geregetan aja, Mas," jawabku. "Ya sudah, aku pulang ke rumah sakit ya, nanti cerita di sana," ungkap Mas Arlan. Lalu telepon pun terputus setelah kami saling mengucapkan salam. Aku meletakkan ponsel dengan wajah merengut. Papa sontak memberikan saran untuk melihat sosial media. Pasti ada pemberitaannya, karen
Aku tak bisa berkata apa-apa lagi ketika orang yang berada di belakangku selama ini kini dikabarkan sakit. Telepon pun sengaja aku putus setelah mengetahui papaku dirawat di rumah sakit. Mas Arlan pun langsung mengantarkan aku tanpa berpikir panjang. Semua jadwal meeting untuk siang ini ditunda. "Setelah antar aku ke rumah sakit, kamu balik aja ke kantor, Mas," suruhku."Nggak, aku juga ingin nunggu Papa," jawab Mas Arlan. "Tapi, Mas, jadwal meeting sudah dibuat masa dipending ulang, reschedule lagi gitu?" tanyaku balik. "Mertuaku adalah orang tuaku, Sayang," jawab Mas Arlan. "Kamu tahu kan aku sudah nggak punya orang tua? Jadi hanya mertua yang kupunya," kata Mas Arlan. Aku tak bisa berkata apa-apa, memang kesehatan lebih penting dari segalanya, dan keluarga adalah paling utama. Namun, entah kenapa Mas Gerry dan Mbak Dila tidak melakukan hal itu. Apa karena mereka saudara tiri? Mama Desti pun sama, mereka mudah terpengaruhi. "Kadang aku heran, Mas, kenapa kamu jauh berbeda deng
"Aduh mimpi apa aku semalam, dapat telepon dari kamu, Mbak. Calon narapidana," ejekku melalui sambungan telepon. Mas Arlan menoleh sambil memegang setir, matanya ikut menyorotiku. "Hari ini sidang ketiga, yang kemungkinan di akhir sidang nanti akan dibacakan vonis, kamu siapin mental ya, mental kalah," kata Mbak Dila sambil terkekeh. "Tapi tetap dihukum, kan? Menghirup udara melalui sel tahanan," jawabku. "Setelah keluar dari sini, kita akan bertemu lagi. Ingat Nilam, kita masih ada urusan!" ancam Mbak Dila. Kemudian, telepon pun terputus. Aku menghela napas, sambil meletakkan ponsel kembali ke atas dashboard mobil. "Kembali seperti awal lagi, Mas. Mbak Dila balik dengan Mas Gerry, Mama dan Hesti kini berpihak padanya juga." Aku mengeluh sambil mengusap pelipis. "Maafkan aku ya, Dek. Kalau saja semalam kita tolongin Mama, mungkin nggak akan seperti ini," ucap Mas Arlan. Namun aku hanya menepuk pundak sebelah kirinya. "Kita jadi tahu, Mas, itu artinya Mama dan Hesti tidak tulus