"Om, speaker tolong aktifkan," bisikku pada Om Farhan. Ia pun melakukan apa yang kupinta. Kemudian, aku mendengar dengan seksama apa yang ingin dikatakan anak buahnya. "Halo, gimana?" tanya Om Farhan. "Pak, saya menemukan mobilnya, tapi tidak ada orang di dalamnya, saya share lokasi tempatnya ya, Pak," ucap anak buah Om Farhan. Kemudian, Om Farhan menutup teleponnya. Lalu ia langsung berdiri dan mengajakku untuk ikut bersamanya. "Mama ikut, Nilam," ucap Mama Desti sambil ikut berdiri. Aku dan Om Farhan saling beradu pandang. "Nanti Hesti nyariin, Mah," ucapku seraya melarang. "Nggak kok, Hesti pulang malam, sudah izin tadi," jawab Mama Desti. Akhirnya aku tidak bisa menolak permintaannya. Ia terpaksa aku ajak ke tempat mobil yang Mas Arlan bawa ditemukan. Mama mengunci pintu lalu ikut bersama kami satu mobil. Posisi duduk Om Farhan berada di kursi depan, sedangkan aku dan Mama Desti berada di belakang. Sepanjang jalan aku hanya diam menatap ke arah jendela sebelah kiri. Mama
Aku menghubungi nomor yang dipakai orang itu untuk kirim pesan. Namun, tidak aktif kembali. "Pengecut!" Aku teriak sambil melempar ponsel. Lalu menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Aku kembali bersedih, melihat isi chat itu. "Mas, kamu di mana? Kenapa nggak bisa lawan orang itu? Dalam bahaya kah kamu di sana?" Aku bicara sendirian sambil membayangkan wajahnya. Senyuman, wibawanya, semua hanya ada dalam bayangan saja. Aku memeluk guling sambil menangis, sesakit ini perpisahan, belum sampai 24 jam saja sudah perih. Rindunya hingga ke ulu hati. Pelukan guling membuatku tertidur hingga pagi hari. Bangun-bangun aku langsung turun dari ranjang mengambil air wudhu. Percikan air kubasuh ke wajah, air mata pun jatuh beriringan dengan air wudhu yang mengalir. Kemudian, selepas salat aku menadahkan tangan ini. Memanjatkan doa pada Sang Pencipta. "Ya Allah, lindungi suamiku di mana pun ia berada. Aku akan setia menunggunya di sini," ungkapku dalam doa. Air mata terus berjatuhan denga
"Tenang, Nilam, tenang, jangan panik, jangan emosi, ingat suamimu yang menunggumu untuk diselamatkan," ucapku bicara sendirian sambil mengelus dada seraya menguatkan diri. Sambungan video call sudah dimatikan, Pak Supri sudah selesai tugasnya, saat ini ia harus menunggu di tepi jalan lagi, supaya tahu mobil Mbak Dila pergi ke mana arahnya setelah dari rumah Ryan. Aku tidak akan bisa berpikir kalau dalam kondisi panik, takkan bisa mengetahui di mana Mas Arlan berada. Ini satu masalah yang menurutku paling menyesakkan hati. Sebab, aku dituntut untuk menyelesaikan sendirian, tidak ada Mas Arlan juga tidak ada papa. Ponsel genggam masih di tangan, ingin rasanya menghubungi Ryan dan tanya langsung maksudnya apa Mbak Dila masuk ke dalam rumah Ryan? Namun, hati kecil ini bicara untuk tidak gegabah dalam mengambil keputusan. Aku menghela napas, sesekali meneguk air putih supaya tenang dan mudah berpikir bagaimana tindakan selanjutnya. Pintu kantor ada yang ketuk dari luar, suara Om Farhan
Sulit dipercaya bahwa mereka bekerja sama, tapi masuk di akal juga bahwa semua yang dilakukan pasti karena cinta buta. Aku dan Om Farhan menyuruh sopir untuk cepat melajukan mobil supaya tiba di lokasi dengan cepat. Sampai akhirnya kami tiba di parkiran apartemen. "Mereka sudah naik, Om. Tapi di mana mereka?" Aku bertanya lagi. "Coba telepon Pak Supri," suruh Om Farhan. Aku kesulitan signal jadi sulit menghubungi Pak Supri. "Om ingat tempat Calista yang diinformasikan waktu itu?" tanyaku padanya. "Ingat, Om ingat saat kejadian itu, ayo kita ke sana!" ajak Om Farhan. Aku hanya yakin mereka menyewa apartemen Calista untuk menyembunyikan Mas Arkan, supaya aku tidak curiga sama sekali. Namun, ketika kami hendak naik lift, tiba-tiba suara wanita memanggil namaku dengan lantang. "Nilam!" teriaknya membuatku menoleh. "Calista," cetusku dengan wajah membeku. 'Astaga, apa ia sengaja untuk mencegahku ke atas, supaya tidak berhasil memergoki mereka yang ingin membawa Mas Arlan pergi dar
"Maksud kamu apa sih? Kenapa kamu masih di sini? Bukan di penjara!" Aku mulai meradang, karena dua kali Ryan malah bicara ngawur. Kemudian, muncul Calista dari balik pintu bersama sang kakak yang tadi membawa polisi ke apartemennya. Aku menyambut dengan baik, karena menurutku Calista lah sebagai penolong untuk meringkus penculik Mas Arlan. "Terima kasih Calista, aku berhutang budi padamu," kataku sambil mengalihkan tubuh ini ke arah Calista. "Ini bukan ideku sepenuhnya, tapi Ryan, ia yang membuka mata hatiku untuk menolong Arlan yang disandera di apartemen milikku oleh Kiara dan Rifat, mereka memang menghalalkan segala cara untuk mencapai ambisi," terang Calista. Ia menjelaskan setengah. Lalu bagaimana bisa Kiara dan Ryan bertemu di apartemen? Banyak pertanyaan yang mengganjal. "Ryan bertemu Kiara di apartemen setelah berjumpa dengan Mbak Dila, bagaimana bisa kamu sebut Ryan sebagai pencetus ide?" tanyaku penasaran. Om Farhan turut menghampiri kami, tapi ia malah mempersilakan s
Mas Arlan mengisyaratkan aku supaya diam, dengan melebarkan telapak tangannya. Aku jadi benar-benar penasaran sebenarnya siapa yang berada dalam sambungan telepon itu. "Tolong, jangan sakiti keluarga saya," ucap Mas Arlan. Ucapannya membuatku menangkap bahwa penelpon memberikan kabar buruk. "Siapa, Mas?" tanyaku penasaran. Mas Arlan masih serius bicara dengan orang dalam sambungan telepon. "Kalian pengecut, bisanya culik menculik!" cetus Mas Arlan. "Halo, Halo, halo! Argh!" sambung Mas Arlan dengan decakan kesal. Aku meraih ponsel yang ia genggam. Itu ponselku, berati orang yang menghubungi kenal denganku. "Apa keluargamu diculik, Mas?""Ya, barusan yang hubungi kamu itu Danang, ia meminta kamu cabut laporan dan membebaskan Kiara juga Rifat," terang Mas Arlan. Aku menghela napas dalam-dalam, ternyata Danang diam-diam langsung bertindak ketika tahu anak dan adiknya masuk bui. "Nggak, Mas, kalau laporan dicabut, kapan bikin jera mereka?" tanyaku padanya. "Aku juga berpikir se
"Tapi, Om, Ryan kemarin datang bersama Kiara," tukas Mas Arlan lagi. Emosinya meledak karena saat ia disekap, Ryan datang bersama Kiara. Sedangkan saat Ryan dan Calista menjelaskan semuanya, Mas Arlan masih tertidur pulas. Om Farhan menghampiri kami, kemudian tangannya menepuk bahu Mas Arlan. Aku terdiam sejenak, sambil menyoroti Mas Arlan, ia cemburu sekaligus kesal karena suamiku pikir Ryan menculiknya demi mendapatkan aku. Kemudian, Ryan pun berani menghampiri Mas Arlan. Ia meraih ponsel dari sakunya. "Kebetulan, kemarin saat diinterogasi oleh pihak yang berwajib, semua terekam di sini, aku yakin kalau hanya menjelaskan tanpa bukti, kamu tidak akan percaya padaku, Arlan," ungkap Ryan membuatku menurunkan bahu seketika. Perasaan ini menjadi agak tenang, padahal saat ia datang tadi cukup menegangkan. Mas Arlan terdiam, tidak mempedulikan ucapan Ryan, kemudian, tangan Om Farhan yang menarik telapak tangan Mas Arlan, lalu menyuruhnya ambil ponsel tersebut. Hening, seketika semua
"Kamu pura-pura tergeletak, Pak Juna, jadi kalau misal orang itu Danang, ia akan mengira semua kena bius," suruh Ryan. Kemudian, kami saling mendekat, namun Mama Desti terlihat sudah tidak kuat berdiri. Jadi Ryan membantunya berjalan. Pintu luar terbuka, kemudian muncul seseorang yang ternyata adalah kakaknya Calista, yang bernama Hendra. "Kalian baik-baik aja?" tanya Mas Hendra sambil membantu Gerry. Laki-laki yang telah menghamili adiknya. "Mas Hendra tahu kita di sini dari Calista ya?" tanya Ryan penasaran. "Iya, Calista yang meminta untuk menyelamatkan Gerry, karena ia ingin bertemu untuk terakhir kalinya," terang Mas Hendra. "Ya, tadi saya sempat bicara pada Calista melalui sambungan telepon, ia sangat mencemaskan Mas Gerry," tambah Ryan. Mata Mas Gerry berkaca-kaca. Aku tahu ia pasti terharu dengan sikap Calista, ia rela pergi demi keutuhan rumah tangga Mas Gerry dengan Mbak Dila, tapi ternyata wanita itu tidak ada kapoknya, menghalalkan cara demi mendapatkan harta secar