**
Kemarin .... Aku melihatnya, suamiku dan kekasihnya atau entah ... apa hubungan mereka. Di dalam kamarku mereka memadu kasih dan berbagi mesra, diatas ranjangku wanita itu menggeliat dan suamiku mencumbunya dengan penuh gairah yang bergelora. Cara mereka bersama, bagaimana suamiku berbisik pelan ke telinganya, bagaimana bibir itu menyentuh bahu wanita berkulit putih dan bertubuh indah itu, aku ... kehilangan kata-kata untuk mendeskripsikan bahwa aku ... Sakit. Kurasa kalimat sakit terlalu universal untuk menggambarkan rasa sakit yang kedengarannya begitu-begitu saja, terdengar normal padahal tidak. Ketika melihatnya dari balik pintu kamar, lidahku keluh dan tenggorokanku tercekat untuk sekedar mengucap satu kata. Napasku tersengal-sengal dan sesal ketika melihat ritme permainan mereka semakin memburu. Dan ketika luapan kepuasaan itu terbang ke udara aku hanya mampu menahan tangisku dengan mulut dibekap kedua belah tangan. Aku memilih untuk menjauh, diam, bungkam dan mencari tahu mengapa ia berselingkuh, mengkhianatimu, cintaku, perngorbanan serta pengabdianku. Dan ya, dia melakukannya di kamar kami, diatas ranjang kami, tega sekali bukan? Suatu siang aku menyusuri kontak dan alamat kantor wanita itu, kuminta nomor teleponnya pada bagian informasi di loby lalu kuhubungi dan meminta waktu dengannya di jam istirahat siang. "Apa hubunganmu dengan suamiku," kataku pada wanita cantik dengan rambut tergerai panjang itu, kulitnya bak porselen dengan bibir tipis merah muda, wanita yang duduk di hadapanku saat ini. "Aku tak mengerti apa maksudmu," ucapnya dengan senyum yang terlihat dipaksakan. "Dengar, tak peduli apa yang telah terjadi antara kalian aku hanya ingin kau meninggalkan suamiku." Aku mengucapkan tetap dengan nada tenang meski napas ini tertahan. Kali ini dia mengangkat wajahnya dan menatapku tajam seolah sorot mata itu menyiratkan sesuatu, sebuah penolakan. "Andai pun aku meninggalkan dia, apa kamu yakin rumah tanggamu akan tetap bahagia, akan tetap utuh, kau punya jaminannya?" nada itu cukup menekan di pendengaranku. Berani sekali dia. Apalagi dia mengatakan itu dengan tatapan yang begitu percaya diri, sedikit sudut bibirnya melengkung dengan gestur mengejekku. "Aku mohon, suamiku ... Aku mencintainya, sedangkan kamu ... Kamu masih muda dan kuyakin banyak pria yang menyukaimu." Aku terbata-bata karena mencoba menahan emosi yang kian membuncah. Ia meletakkan cangkirnya dengan kasar sembari menggebrak meja, meraih tas lalu pergi begitu saja meninggalkanku. "Aku tak akan mengampunimu," ancamku namun masih dengan nada pelan. "Tak masalah, kita lihat siapa yang memenangkan pertaruhan memenangkan hati Mas Randy. Randy ... Ya nama itu, pria yang berhasil menundukkan hatiku dan berhasil meyakinkan Papa untuk membawaku pada ikatan pernikahan suci yang hingga saat ini belum dikaruniai seorang buah hati pun. Suamiku, ia pria yang baik, senyumnya ramah, berhidung mancung dan memiliki tatap mata yang selalu menyiratkan sebuah rasa yabg tersimpan untukku. Tiap kali aku bersitatap kusadari diriku tenggelam dan tersesat dalam sorot yang membiuskannya. Bila harus jujur, aku jatuh hati padanya tiap hari, tiap waktu, bahkan tiap detik dalam hidupku. Dia pemuda yang kukenal semasa kuliah, meski fakultas kami berbeda entah mengapa sebuah pertemuan yang tak disengaja di perpustakaan membuka jalan pertemanan untuk kami. Dia memang sosok yang menarik, supel dan pintar. Ia tak pernah kehabisan cara dan topik pembicaraan untuk menghabiskan waktu denganku. Candaaannya dan sorot matanya yang bersemangat adalah daya tarik yang telah melelehkan hatiku. "Uhm, mengapa kamu memilih berteman denganku," kataku kala itu, delapan tahun yang lalu ketika kami berada di semester 7. "Apa berteman butuh alasan?" tanyanya. "Tidak, hanya saya, kamu terlaku baik dan perhatian, aku takut aku akan menyukaiku," kataku dengan jujur. Ia tertawa kecil sambil menutup buku yang tadi ia baca. "Imelda, jika kau menyukaiku, aku tak punya alasan untuk menolak rasa itu." Ia kembali menatap lekat padaku. "Namun ... Aku mungkin tidak pantas, lihatlah diriku, ...." Aku memperhatikan tubuhku sendiri sambil meremas jemariku. "Apa yang salah dengan tubuhmu?" "Aku gemuk dan tidak cantik, apakah kamu tidak malu." Ia tersenyum kecil lalu meraih jemariku dan menggenggamnya erat. Membuatku sedikit salah tingkah dan berdebar-debar tak karuan. "Sebaliknya, jika tiba waktunya aku akan melamarmu." "Apa?!" Aku berusaha memastikan bahwa aku tidak salah dengar. "Setelah wisuda dan mendapatkan perkerjaan aku akan menemui orang tuamu dan memintamu menjadi istriku?" "Kau yakin?" "Ya." Kupeluk erat dirinya dengan hati yang bagai disiram bunga-bunga. Betapa hari ini ia memberiku kejutan, kebahagaian yang tak terduga. Dan pada tahun-tahun berikutnya ... Kini aku istrinya. Beberapa hari yang lalu ia memintaku menemui ibunya, sekedar mengunjungi, untuk menghibur karena anak lelakinya kurang memiliki waktu untuk menemui orang tua sendiri, jadi sebagai menantu yang berbakti aku menurut pada permintaan suamiku. Terlebih lagi dia memintaku dengan nada yang amat lembut dan merendah, seolah aku adalah bidadari yang selalu akan dia muliakan. Namun sekembalinya dari sana, adegan mengejutkan itu, terpampang jelas di mataku. Aku terpana, terluka, dan kini, luka itu bernanah dan menimbulkan sakit serta benih-benih dendam yang tak terlupa.Kini, aku tercenung sendiri di teras rumah, setelah kembali dari pertemuan dengan kekasih suamiku. Aku tak bisa sepenuhnya menyalahkan keadaan, karena tak mungkin ada asap tanpa api.Mungkinkah, Mas Randy memang tak pernah bahagia dengan pernikahan kita? Mungkinkah aku tidak pernah menjadi istri idamannya selama ini? Ataukah, dia telah bosan.Kuputar kembali semua ingatanku tentangnya, tentang semua ucapannya, tiap detailnya, tidak ada yang mencurigakan. Bahkan suamiku tergolong suami yang baik dan romantis. Kapan ia mulai mengkhianatimu? Sejak kapan cinta suci ini kalah pertahanan dengan setan yang mengembuskan jerat-jerat dan hasutan agar dia berpaling dan jatuh ke pelukan wanita lain.Aku sungguh tak habis pikir. Tapi jujur wanita cantik yang bernama ... ah, hatiku nyeri ketika hendak mengeja nama benalu yang telah menggerogoti mahligai kami. Elea, ya, itu namanya.Suara hentak kaki Mas Randi yang memasuki rumah dan terdengar di antara keheningan membuatku sedikit tersentak dan bur
Tring ...Pagi ini, ponsel itu berdering dan bergetar di atas meja kerjanya, aku yang saat itu berdiri tak jauh dari benda tersebut, sedang menyiapkan sarapan, merasa tergelitik dan ingin tahu, intuisiku mengatakan bahwa tidak akan ada seorang karyawan pun yang akan menghubungi General Manager sepagi ini, perlahan aku menghitung langkah mendekat dengan napas tertahan dan benar saja, layarnya berpendar dengan nama Eleanor di sana.Ingin kujawab panggilan itu, namun kulihat dari arah kamar suamiku datang untuk mengambil benda itu."Eh, Mas, ini lho, hapenya terus menerus bunyi," kataku berpura-pura."Oh, ya, makasih sayang," jawabnya sambil menyunggingkan senyum dan memberi isyarat dengan mimik wajah dan tangannya agar dia diberi waktu untuk menjauh sebentar dariku.Ia terlihat berjalan dengan santainya sambil menjawab telepon itu, "Ya ... Ini saya Randy, ada apa Bu?"Memuakkan permainannya."Siapa Mas," tanyaku sekembalinya ia dari menelepon dengan kekasihnya."Itu, kepala pemasaran da
Jadi setelah semua pekerjaan selesai di kantor aku memutuskan untuk kembali ke rumah saja, tubuh dan pikiranku penat ditambah lagi kulihat suamiku masih sibuk dan baik-baik saja di ruang kerjanya."Hai, sayang," sapaku dari balik pintu."Hai," balasnya dari balik layar laptopnya."Masih banyak kerjaan sayang?""Gak dikit lagi, kamu mau pulang?" tanyanya."Iya, sebaiknya aku pulang, aku sudah lelah.""Mau kuantar sayang?" tawarnya lembut. Sungguh kelembutan dan keramahannya, suamiku memiliki pesona suami idaman.Kutatap ia seksama, suamiku dari balik meja kerja masih terfokus pada ketikan dan gerakan tangannya di mouse komputer. Wajah yang maskulin dengan rahang tegas dan hidung mancung khas pria indo padahal ia asli Indonesia. Mata teduh dengan manik kecoklatan dan alisnya yang tebal, tinggi 172 Cm dan bentuk tubuh ateltis membuat pakaian apapun yang dia pakai terlihat sempurna di tubuhnya."Hei, kenapa melamun," katanya sambil mengibas-ibaskan tangannya ke udara. "A-aku ... tidak a
* Suamiku terlihat keluar dari loby utama, setelah satu jam aku menunggunya, ia sibuk menelepon entah siapa lalu beberapa detik kemudian petugas parkir membawakan mobilnya dan ia segera naik dan perlahan meninggalkan kantor kami.Dengan cepat kuikuti mobil hitam miliknya dari jarak yang lumayan cukup jauh agar dia tidak curiga. Mobil merayap membelah jalanan kota yang padat di jam pulang kerja, namun seperti dugaannku tadi, ia tak langsung pulang ke rumah, tapi pergi ke arah yang berbeda, bukan pula jalan D.I Panjaitan seperti yang ia katakan padaku pagi tadi.Rasa lelah dan laparku seperti menguap dikalahkan oleh rasa penasaran. Betapa gugup dan takutnya aku akan kenyataan yang akan kuhadapi berikutnya, tanganku sampai gemetar mengemudikan setir mobil ini.Mungkin ini pengalaman pertama menguntit suami yang mengkhianatiku, jadi mau tak mau ada rasa menggemuruh tak tentu di dalam benakku.Sesaat ia berhenti di sebuah toko kecil yang terlihat menjual bunga, dan coklat, khusus untuk ka
Kubuka perlahan pintu dengan ornamen ukiran tembaga, kuedarkan pandangan ke seluruh sudut rumah yang dulu adalah surga, ada canda, tawa, pelukan dan kehangatan.Setiap kali mengantarnya berangkat kerja aku akan selalu berdiri di sini, mencium punggung tangan Mas Randy lalu ia dengan lembut akan membelai wajahku dan mengatakan, "Tunggu aku pulang ya, Sayang."Sore hari, ia kembali dan aku kembali menyambutnya, lalu kami menikmati makan malam, bersantai di ruang tivi, aku akan bergelayut mesra di lengan atau merebahkan diri di pangkuannya.Atau dapur itu, ketika aku asyik memasak dia akan datang mengejutkanku dengan pelukan dan kecupannya dari belakang. Ah, mataku perlahan mengabur oleh air mata, semakin berusaha kutahan untuk tak menangis air mata ini luruh dengan sendirinya."Suamiku, teganya dia, bercinta di belakangku, dia mengabaikanku dan perasaanku. Bahagianya dia memeluk dan mencumbu gadis itu," gumamku tersedu-sedu dan luruh dan tergugu di ruang tamu.Sekian lama tenggelam da
**"Aku dengar kamu merevisi perjanjian dan bahkan kamu membatalkannya dengan beberapa investor, ada apa?" Ia yang pulang dari kantor terlihat tak senang.Setelah dua hari pertemuanku dengan investor, akhirnya berita itu sampai di pendengaran suamiku. Dan dia langsung menanyakannya ketika kami bertemu di meja makan."Nilai kontraknya begitu besar untuk membuat brand majalah baru, padahal jika fokus pada redaksi yang sudah kita juga bisa maju, tinggal tambahka rubrik dan halaman ekstra, ekplorasi ide-ide segar dan menarik.""Tapi itu majalah wanita dan majalah pria," bantahnya, "... aku ingin buat brand baru khusus bisnis dan politik.""Kita bisa satukan kedua tema itu dan menghemat ratusan juta biaya produksi dan distribusi," imbuhku menolak."Justru itu peluangnya ....""Saingan kita udah banyak," tolakku juga.Ia membuang napas kasar sambil mengacak rambutnya. Selalu begitu jika ada hal yang kami perdebatkan."Kenapa sih, wanita begitu perhitungan," gerutunya."Tentu saja, uang lim
Kulirik jam di dinding kantor waktu telah menunjukkan pukul 15:45 sore, kuhela napas panjang akhirnya setelah setelah berunding panjang lebar, aku dan dewan direksi serta beberapa staf penting sepakat pada satu keputusan, dan keputusan tersebut menyangkut banyak hal, termasuk merestruktur kepemimpinan, mengalihkan beberapa posisi penting ke orang yang lebih kompeten dan pengelolaan korporasi, tentu saja semua kulakukan demi kebaikan perusahaan.Memang dalam rapat tersebut aku dan beberapa staf yang mendukung sempat bersitegang dengan Mas Randy yang bersebrangan pendapat tentang beberapa hal namun tentu saja, yag berkuasa dia yang menang. Hal tersebut membuat suamiku terlihat makin geram dan sakit hati. Jadi setelah rapat ditutup ia memutuskan langsung meninggalkan ruang rapat tanpa banyak bicara lagi.Aku segera menuju lift dan langsung ke basement mengambil mobil, meluncur ke tempat di mana alamat yang tertulis di secarik kertas tadi pagi, ya, aku akan ke Laguna resort and hotel, seb
*Tok ... Tok ...Pintu di ketuk pelan lalu perlahan suamiku memanggil namaku."Sayang ... Ini aku Imelda."Aku yang masih duduk di meja kerja memeriksa data perusahaan melirik jam dinding yang telah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam dan merasa kesal dengan sikao suamiku yang semakin hari semakin berbuat sesuka hati. Mungkin, ia ingain balas dendam padaku yang juga berbuat sesuka hati di kantor.Mas Randy dan wanita itu, sejak sore tadi ... Sedang aku kembali ke rumah langsung bergelut dengan komputer, setumpuk data dan laporan."Sayang ... ini aku ...."Suaranya terdengar berat dan ah, mungkin dia teler. Namun, salutnya ia masih tetap ingat pulang dan berkendara dengan aman. Luar biasa.Kuputar kunci dan kugerakkan panel pintu lalu menggesernya dan suamiku terlihat lesu dari balik pintu. Penampilannya kusut dan acak acakan.Melihat itu, mungkin wanita lain akan prihatin dan mengira jika suami mereka amat lelah sehabis lembur mengerjakam tugas-tugas kantor. Namun lain dengank
Di pagi yang cerah di awal musim penghujan, istriku yang telah berbadan dua dan menjelang minggu-minggu terakhir kehamilannya terlihat sangat payah dan sejak pagi terus meringis memegangi perutnya."Ada apa, Sayang?" tanyaku menghampirinya yang sedang menggosok sepatuku di dekat meja sepatu."Gak apa-apa, Mas, lagi kontraksi palsu aja kali," jawabnya.Kuraih sepatu dari tanganya dan menuntunnya untuk duduk, "kalo akut gak usah merepotkan diri Sayang, aku masih bisa siapkan sendiri," kataku."Meski punya asisten, Mas tahu kan, kalo dari dulu aku lebih suka menyiapkan segala keperluan suami sendiri," balasnya."Iya, tapi perutmu sudah besar dan itu membuatku kepayahan, Sayang," ucapku sambil menciumi jemarinya."Gak apa, Mas." Ia bangkit perlahan lalu beringsut menuju meja makan namun sesaat kemudian ia terlihat menghentikan kegiatannya dan terlihat tegang sambil memegangi perut buncitnya."Ada apa, Imel?" Aku mendekatinya dan kulihat buliran peluh mulai timbul dari keningnya."A-aku ga
Aku mengenal dia di masa kuliah, gadis yang bertubuh sedikit tambun dan memiliki senyuman manis mencuri menawan hatiku. Dia sangat baik dan penuh dengan perhatian, pertama kali berjumpa dia bertanya padaku di mana lokasi perpustakan dan aku pun menunjukkan padanya, di awal pertemuan itulah hubungan kami berlanjut.Hari demi Hari berlalu dengan pertemanan yang semakin erat, aku merasa semakin hari semakin dekat padanya, Ia pun tidak pernah lupa untuk menyapa memberi perhatian kecil mengirimkan ucapan selamat pagi ditambah emoji lucu lewat ponsel juga sering mengingatkan diriku beribadah dan berbuat baik kepada sesama. Jujur, hal itu membuatku menjadi sangat menyukainya. Dialah Imelda Subroto gadis yang terkenal kaya namun rendah hati di lingkungan kampus kami.Karena kedekatan itu maka kuputuskan untuk serius melamarnya, meski aku tahu aku tak punya apa-apa. Tapi, kuberjanji bahwa aku akan memberinya kebahagiaan seutuhnya."Apakah Mas yakin mau menikahiku?" tanyanya dengan raut waj
Hari itu tanggal 12 November, dalam kesyahduan pagi yang penuh berkah.***Aku mengalami sakit kepala hebat dan entah mengapa sejak Agi tadi aku tak mengerti sebabnya. Kutinggalkan kantor dan menitipkan semua urusan lanjutan pada Mia, asisten setiaku yag kini sudah beerhijrah mengenakan pakaian syar'i dan makin Istiqomah."Mia aku pulang, ya," pamitku."Lho, Bu. Ibu mau mau kemana, kan ada rapat dengan para staf," jawabnya heran."Aku merasa mendadak pusing dan lemas," Jawabku."Bagaimana kalo kita bawa ke rumah sakit?""Ga usah aku aku pulang aja," tolakku.Baru saja akan kulangkahkan kaki keluar dari lobi utama tiba-tiba mataku berkunang kunang, telingaku berdenging lalu semuanya gelap seketika.**Kucoba membuka mata dengan sangat kuat, samar samar kulihat ruangan yang kini kupastikan adalah rumah sakit, berdinding putih, peralatan infus dan tensi, peerawat yang berlalu lalang dan bau obat, khas rumah sakit."Bu Imelda," sapa Mia yang terlihat khawatir padaku."Duh," aku berusaha b
Musim berganti setelah sekian purnama, matahari berpendar digantikan cahaya bulan yang silih berganti seperti itu, saling menyertai, namun tidak denganku. Aku masih betah menyendiri.Kususuri ruang dalam rumah ini, kuraba dinginnya dinding yang menjulang menemaniku selama bertahun-tahun merajut hari dalam sepi. Aku kesepian, sungguh, ketika di satu sisi kesendirian itu membuatku tangguh namun saat yang bersamaan juga membuatku rapuh.Aku merindukan seseorang dalam hidupku, kerena jujur aku masih normal dan aku butuh teman berbagi, namun sekali lagi trauma luka yang terdalam itu masih membekas dan membuatku, sedikit tertutup.*Kukenakan hijab dan memasang Bros sebagai pemanis,kupulas bedak dan sedikit lisptik, meraih tas lalu bersiap menjalani rutinitasku.Gawai berdering ketika aku sedang sarapan, kuambil benda itu dari dalam tas dan melihat nama kontak yang tengah memanggil adalah Mia, asisten pribadiku selama bertahun-tahun, ia ia telah menikah dan memiliki satu orang putra dan te
Beberapa tahun berlalu setelah perjumpaan terakhirnya dengannya. Semilir angin meniupkan ranting dan menggugurkan daun kering, menerbangkannya lalu terhemoas jatuh ke aspal jalan. Berkali kali kupandangi kejadian serupa di bangku taman ini, tempat yag kini selalu menjadi tempat favoritku untukelepas lelah taman dengan pepohonan yang tinggi dan rindang yang tak jauh dari lokasi kantorku.Peralihan musim dari kemarau ke musim hujan membuat beberapa pepohonan menggugurkan daunnya agar tidak merangas kekurangan air. Dan sinilah aku tiap sore melihat daun daun itu berguguran. Dalam cuaca seperti ini, beberpaa orang menikmatinya dengan berfoto ria dengan pasangannya, anak dengan orang tuanya, dan sebagiam lagi remaja dengan teman teman mereka berpose dengan gaya saling saling melempar daun daun kering ke udara. Sedangkan aku yang duduk di sini hanya tersenyum menatap mereka.Kubenahi jaket yang membalut tubuh, serasa angin yang berembus barusan mempermainkan anak rambut dan cukup menusukka
Siang ini aku berniat menemui Mas Randy untuk memintanya menandatangani berkas perceraian kami, sekaligus aku ingin memberi tahunya berita duka bahwa kekasihnya telah meninggal dunia.Begitulah, setelah 25 menit berkendara dari kantor, maka sampailah aku di rutan tempat mas Randy di tahan. Ia baru di pindahkan kemari setelah kemarin sempat satu bulan ditahan di kantor polisi."Bu Imelda," sapa salah seorang petugas yang pernah kutemui di pengadilan kemarin."Ya ... Ada ada Pak?""Ibu mau kemana?""Saya akan menemui Pak Randy," jawabku."Kebetulan ini saya mau menitipkan surat," katanya sambil menyodorkan kertas beramplop coklat."Dari siapa?""Dari mendiang Nona Elea, kami menggeledah selnya dan menemukan sepucuk surat yang ditujukan pada anda dan saudara Randy," jawabnya.Kupegang amplop itu dan berkali kali kutimbang untuk membuka dan membaca isinya. Kutepikan diri sejenak di bangku koridor rutan.Kubuka sisi amplop dan mengeluarkan selembar kertas yang bertulis di sana, Dear Mbak
Tring ...Suara ponselku berbunyi dan sebuah Pesan masuk dari mia, [Bu, petugas dari kantor polisi meminta ibu untuk datang menemui nona Elea]Begitu tulisannya.[Apa keinginanya,] balasku.[Katanya, ia hanya ingin bicara][Baiklah] meski berat tapi kucoba untuk meluaskan hati menemuinya, entah apa yang akan dia katakan, akan kutemui nanti setelah urusanku di kantor selesai.**Pukul tiga sore hari, kupacu mobil dengan cepat menuju kantor polisi di mana elea ditahan.Kutemui bagian informasi dan aku langsung dia arahkan ke ruangan di mana aku bisa bertemu langsung dengan Elea.Setelah menunggu sepuluh menit pintu baja itu terbuka dan ia diantar seorang petugas wanita, wajahnya terlihat pucat dengan kantung mata yang menghitam, bibir kering dan rambutnya yang dipotong sangat pendek, entah dipotong paksa atau ia sendiri yang meminta.Aku enggan untuk mengajaknya bicara lebih dahulu, duduk sambil kutunggu ia melontarkan ucapan selama lima menit sampai akhirnya,"Kalo kamu gak mau ngomon
Semilir angin meniupkan elegi hampa dan kidung sedih berdendang di telinga. Kutatap bias jingga di cakrawala senja, kuresapi makna dari rentetan cerita yang menjadi kisah dalam hidupku. Aku terjatuh dalam kecewa dan luka.Mas Randi ... Kueja namanya perlahan, Bukan inginku, jika akhir dari rumah tangga kami harus seperti ini, kupikir dari pengintaianku tadi aku hanya mendapat bukti hubungan saja namun lebih dari itu kenyataan yang membelalakkan mata membuatku tercengang dan kini meragukan arti sebuah cinta dan hubungan. Benarkah bahkan rumah tangga pun bisa jadi alibi untuk meraih ambisi.Dia ingin kaya, bersamaan dengan itu, ia juga ingin membahagiakan kekasihnya Eleanor. Entah sejak kapan mereka saling kenal dan menjalin asmara, yang jelas, aku telah lalai mengawasi suamiku sendiri atau sialnya, aku yang telah dibodohi dan tidak bisa membedakan mana orang yang memberi perhatian palsu atau asli.tok ...tok ...Kuhampiri pintu dengan pertanyaan siapa yang datang untuk menjumpaiku ket
Bismillah..Terima kasih telah berkenan membaca sejauh ini, ❤️❤️❤️❤️Aku masih terpaku di balik jendela kaca menewarang suasana sore yang digelayuti mendung yang gelap, sekelam perasaan kecewaku terhadap mas Randy.Aku tak pernah menyangka bahwa dia hanya memanfaatkanku, aku tak menyangka jika pernikahan ini hanya alibi untuk meraih ambisi akan harta dan tahta.Elea simaoannanya, sudah dibawa ke kantor polisi atas tuduhan penggelapan dan pemalsuan dokumen, begitupun mas Randy, ia juga telah di tahan di tempat berbeda karena perbuatannya yang mencoba untuk membunuhku, bahkan dua kali.Ponselku berdenting di meja ketika aku akan bersiap mandi, kuraih dan kujawab panggilannya."Halo," sapaku."Halo, Bu Imel, anda bisa datang ke kantor polisi," tanya detektif itu."Untuk apa?""Memberi kesaksian dan membawa bukti tambahan." "Baik siap, satu jam lagi saya meluncur ke kantor polisi," jawabku.**Pukul 14: 45 aku telah sampai di gedung berlantai dua dengan tulisan polres kota, kutemui d