Kubuka perlahan pintu dengan ornamen ukiran tembaga, kuedarkan pandangan ke seluruh sudut rumah yang dulu adalah surga, ada canda, tawa, pelukan dan kehangatan.
Setiap kali mengantarnya berangkat kerja aku akan selalu berdiri di sini, mencium punggung tangan Mas Randy lalu ia dengan lembut akan membelai wajahku dan mengatakan, "Tunggu aku pulang ya, Sayang." Sore hari, ia kembali dan aku kembali menyambutnya, lalu kami menikmati makan malam, bersantai di ruang tivi, aku akan bergelayut mesra di lengan atau merebahkan diri di pangkuannya. Atau dapur itu, ketika aku asyik memasak dia akan datang mengejutkanku dengan pelukan dan kecupannya dari belakang. Ah, mataku perlahan mengabur oleh air mata, semakin berusaha kutahan untuk tak menangis air mata ini luruh dengan sendirinya. "Suamiku, teganya dia, bercinta di belakangku, dia mengabaikanku dan perasaanku. Bahagianya dia memeluk dan mencumbu gadis itu," gumamku tersedu-sedu dan luruh dan tergugu di ruang tamu. Sekian lama tenggelam dalam tangisan hingga aku sadar sendiri bahwa mungkin saat ini suamiku sedang tertawa puas bersama kekasihnya. Jadi, untuk apa aku menangis? untuk apa aku bersedih dan meratapi kebodohanku. "Ya, aku masih punya waktu untuk bangkit dan memperbaiki semuanya, aku bisa ... Aku pasti bisa." Kuhapus air mataku dan bangkit menuju kamar lalu membersihkan diri. ** Makanan sudah terhidang dan tertata rapi membangkitkan nafsu makan, aromanya yang kaya rasa ditambah serta rasa lelah membuat laparku demikan meningkat. Kuraih piring dan kusendokkan makanan sebanyak mungkin dan mulai makan. "Hai, Sayang," sapa mas Randi dengan senyum indahnya dari balik pintu. Rupanya ia sudah pulang, tepatnya lagi, dia masih ingat pulang. Memuakkan. "Hmmm," gumamku cuek saja sambil terus menyendokkan makanan ke mulut. "Sayang, kok, tumben makan sendiri, gak tunggu Mas dulu," ucapnya dengan raut wajah yang sedikit ditekuk pura-pura merajuk. "Hah, aku tak termakan sandiwaramu, dasar sial," batinku. "Hei, kok diam aja? Kamu sakit, Sayang?" "Enggak, kok." "Mas bilang, tumben gak nunggu, biasanya nunggu," katanya sambil mulai menyendokkan nasi ke piringnya Tidak tahu malu. "Mas gak lihat," kataku sambil melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul setengah sembilan malam, "... mau ditunggu sampai kapan? aku begitu lelah karena setumpuk tugas di kantor hingga melewatkan makan siang, lagi pula siapa yang peduli aku sudah makan atau belum?" kataku dengan sinis. "Kok, ngomong gitu sih, aku peduli kok?" Aku hanya menggeleng sambil memutar bola mata, malas. "Besok minta supir untuk mengantarkan mobil jaguar merah milikku dari gudang mobil, aku akan ke kantor tiap hari mulai sekarang," kataku tegas. "Uhuk ... Huk ...." Ia terbatuk lalu sesegera mungkin meraih gelas air di sebelah kirinya dan meminumnya, " ... kamu bilang apa? Ke kantor?" tanyanya heran "Iya, kenapa?" "Kamu di rumah aja, Sayang, biar aku yang mengurus semuanya, kalo kamu capek program kita untuk punya bay ...." Prak ... ting! Kugebrak alat makan hingga menimbulkan bunyi yang keras sedang suamiku terlihat terperanjat apalagi di tambah tatapan tajamku saat ini. "Apa katamu, tadi?" Kutatap ia dengan seksama. "Eh, ehm, maksudku, apa kamu gak percaya kalo aku bisa handle semuanya?" katanya dengan nada memelas, jurus khas dia. "Apa kamu lupa dengan Imelda Subroto pemilik Subroto Media Corp, aku harus perlu izin untuk datang ke perusahaan sendiri?" "Gak, enggak gitu maksudku, Sayang, aku ... kan sudah ada aku sebagai general manager di sana." "Hanya general manager, kan? Aku adalah pemilik perusahaan dan wajar dong, kalo aku harus memastikan keadaan perusaanku," kataku. "Kamu seolah ga percaya sama aku," lirihnya dengan nada sedih, mulai melancarkan jurus jurus yang akan membuatku luruh, sayang tidak mempan! "Aku percaya, kalo gak percaya kamu gak bakal jadi General Manager, di mana posisi itu sangat diinginkan semua orang, aku hanya ingin turun tangan sendiri mengelola perusahaanku, aku sudah bosan di rumah terus, menunggu danenunggu saja." Aku menegaskannya. "Lalu ... tentang program kita," tanyanya. "Tuhan akan berikan anak jika sudah waktunya, kita sudah cek dan dokter menyatakan kita sehat, jadi tunggu aja." "Ya udah terserah kamu aja," jawabnya pasrah. Aku tak menanggapinya lagi, segera bangkit menuju kamar tidur dan beristirahat. Merebahkan diri menghilangkan penat, lelah tubuh dan hati. *** Mentari bersinar begitu cerah sehingga cahaya keemasannya menembus kaca gedung tempatku berada, bias-bias tersebut memantulkan bayanganku ke kaca meja tempat di mana aku duduk sekarang, meja Papa dulunya. "Aku tak akan membuat perusahaan yag sudah papa bangun dari nol jatuh ke tangan orang yang salah." Aku bersenandika. Kutekan salah satu tombol yang terhubung langsung ke ruangan asistenku, Mia. "Ya, Bu, selamat pagi," sapanya ramah. "Mia, temui saja di kantor, sekalian undang Pak Bastian," pintaku. "Baik, Bu." Lima menit berikutnya pintu di ketuk dan mereka datang menemuiku. Kedua orang yang sudah lama bekerja itu tampak ramah menyapaku. "Ada apa, Bu," kata pak bastian membuka percakapan. "Saya mau tanya sekaligus konfirmasi data ini." Kusodorkan data keuangan terakhir perusahaan." Ia meraihnya dan membukanya sambil mengangguk perlahan, "iya, ini benar, saya dan auditor sudah verifikasi, ada apa?" "Saya ingin laba perusahaan, dialihkan ke sebuah rekening ke bank luar negeri, 40 persen." "Untuk apa, Bu?" "Untuk investasi dan dana cadangan, saya tidak ingin teledor dalam mengelola keuangan, bisa saja kita sukses sekarang, namun belum tentu situasi akan selalu kondusif untuk bisnis kita," kataku menegaskan. "Apakah saya harus mendiskusikan dengan Pak Randy?" tanya pak Bastian. "Tidak usah, saya Direktur dan saya berhak menentukan," kataku. "Tapi, beliau sebagai Manager juga harus tahu regulasi uang tersebut." "Katakan saja, Ibu Imelda menandatangani proyek baru di luar negeri." "Tapi ...." Ia masih terlihat ragu. "Lakukan saja, saya akan bertanggung jawab." "Baik, Bu. Jika begitu saya mohon diri untuk mulai menyusunnya sekarang," pamitnya. Aku mengiyakan dan dia meninggalkan ruanganku. "Mia, saya ingin kamu selalu terhubung dengan saya, saya ingin kamu membelikan saya sebuah jam pintar dan canggih agar kamu mudah mendeteksi keberadaan saya," kataku. "Untuk apa, Bu? Saya merasa aneh, seolah olah akan terjadi sesuatu yang buruk," ujarnya. "Tidak ... tidak ada yang buruk, aku hanya merasa untuk lebih menjaga diri sendiri." "Baik, Bu." "Oh ya, atur jadwal dengan beberapa investor saya harus merevisi kontrak," kataku. "Tapi itu, tugas Pak Randy Bu," imbuhnya. "Aku akan mengambil alih," jawabku. Ia terlihat masih heran namun tak urung juga mengangguk dan mohon diri. "Dan ya, Mia, pastikan kamu dan Pak bastian tidak membocorkan ini pada Pak Randy," perintahku lagi. "Siap, Bu." "Makasih, ya." "Sama-sama Bu," jawabnya sambil tersenyum lalu berlalu. Suamiku ... aku akan turun langsung ke medan pertempuran ini sebagai ksatria yang akan membela harga diriku sendiri, lihat saja. Aku tak akan menangis atau meratap lagi, percuma semua itu.**"Aku dengar kamu merevisi perjanjian dan bahkan kamu membatalkannya dengan beberapa investor, ada apa?" Ia yang pulang dari kantor terlihat tak senang.Setelah dua hari pertemuanku dengan investor, akhirnya berita itu sampai di pendengaran suamiku. Dan dia langsung menanyakannya ketika kami bertemu di meja makan."Nilai kontraknya begitu besar untuk membuat brand majalah baru, padahal jika fokus pada redaksi yang sudah kita juga bisa maju, tinggal tambahka rubrik dan halaman ekstra, ekplorasi ide-ide segar dan menarik.""Tapi itu majalah wanita dan majalah pria," bantahnya, "... aku ingin buat brand baru khusus bisnis dan politik.""Kita bisa satukan kedua tema itu dan menghemat ratusan juta biaya produksi dan distribusi," imbuhku menolak."Justru itu peluangnya ....""Saingan kita udah banyak," tolakku juga.Ia membuang napas kasar sambil mengacak rambutnya. Selalu begitu jika ada hal yang kami perdebatkan."Kenapa sih, wanita begitu perhitungan," gerutunya."Tentu saja, uang lim
Kulirik jam di dinding kantor waktu telah menunjukkan pukul 15:45 sore, kuhela napas panjang akhirnya setelah setelah berunding panjang lebar, aku dan dewan direksi serta beberapa staf penting sepakat pada satu keputusan, dan keputusan tersebut menyangkut banyak hal, termasuk merestruktur kepemimpinan, mengalihkan beberapa posisi penting ke orang yang lebih kompeten dan pengelolaan korporasi, tentu saja semua kulakukan demi kebaikan perusahaan.Memang dalam rapat tersebut aku dan beberapa staf yang mendukung sempat bersitegang dengan Mas Randy yang bersebrangan pendapat tentang beberapa hal namun tentu saja, yag berkuasa dia yang menang. Hal tersebut membuat suamiku terlihat makin geram dan sakit hati. Jadi setelah rapat ditutup ia memutuskan langsung meninggalkan ruang rapat tanpa banyak bicara lagi.Aku segera menuju lift dan langsung ke basement mengambil mobil, meluncur ke tempat di mana alamat yang tertulis di secarik kertas tadi pagi, ya, aku akan ke Laguna resort and hotel, seb
*Tok ... Tok ...Pintu di ketuk pelan lalu perlahan suamiku memanggil namaku."Sayang ... Ini aku Imelda."Aku yang masih duduk di meja kerja memeriksa data perusahaan melirik jam dinding yang telah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam dan merasa kesal dengan sikao suamiku yang semakin hari semakin berbuat sesuka hati. Mungkin, ia ingain balas dendam padaku yang juga berbuat sesuka hati di kantor.Mas Randy dan wanita itu, sejak sore tadi ... Sedang aku kembali ke rumah langsung bergelut dengan komputer, setumpuk data dan laporan."Sayang ... ini aku ...."Suaranya terdengar berat dan ah, mungkin dia teler. Namun, salutnya ia masih tetap ingat pulang dan berkendara dengan aman. Luar biasa.Kuputar kunci dan kugerakkan panel pintu lalu menggesernya dan suamiku terlihat lesu dari balik pintu. Penampilannya kusut dan acak acakan.Melihat itu, mungkin wanita lain akan prihatin dan mengira jika suami mereka amat lelah sehabis lembur mengerjakam tugas-tugas kantor. Namun lain dengank
"kok cemberut aja?""Gak ada."Jawabku yang entah pagi-pagi ini merasa badmood."Kalau kamu ingin sarapan kamu tinggal pesan apa yang kamu inginkan, pembantu akan belikan, ataukah pengen jalan-jalan supir akan mengantar ke mana kau pergi," tawarnya.Aku hanya membuang nafas kasar sampai membalikkan badan lalu memeluk guling."Mestinya kau siapkan aku sarapan, karena posisimu adalah istriku.""Aduh Pak direktur anda punya banyak pembantu yang bisa siapkan makanan apapun yang anda inginkan, iya kan?" "Seingatku kau bekerja untukku," sanggahnya.Oh iya, aku lupa Aku adalah bawahannya, jadi dengan beringsut malas-malas aku turun dari ranjang dan pergi menyiapkan suamiku sarapan.Ah, suami, dia bukan suami, dia hanya orang yang kebetulan mengikatku dalam ikatan pernikahan, mana ada cinta atau hubungan selayaknya suami dan istri. Konyol!Kuedarkan pandangan ke seluruh sudut rumah ini lalu kembali menerawang, andai seseorang jadi menantu rumah ini dan mendapatkan cinta dari semua penghuni
Tatapan mata kami bertemu ketika aku membuka pintu kamar, dia masuk dengan langkah gontai namun ketika menatapku memakai baju tidur yang dihadiahkan salah satu Tante Mas Aldi, ia sedikit membulatkan mata.Gaun tidur satin warna merah maroon dengan sedokit pulasan make up natural dan sedikit percikan parfum dengan wangi yang sensual, membuatnya sulit mengalihkan pandangan mata.Berkali kali kulihat ia menelan ludah menatap belahan pakaian yang ukurannya di atas paha itu. Agaknya aku mengerti, dan mulai bersorak dalam hati berharap suamiku akan menyukai ini."Kenapa, Mas, ada yang aneh?""Tumben cantik banget," gumamnya pelan sambil melonggarkan ikatan dasi."Gak kok, aku coba mau cobain lingerie pemberian Tante Ririn," jawabku sambil tersipu pelan."Baju itu tipis, kamu gak masuk angin?"Duh, kalau dia bertanya seperti ini, aku jadi malu, dan terlihat konyol. Tidakkah dia mengerti bahwa aku mengenakan ini untuk menyenangkan pandangan matanya.Benar saja, Lima menit menatapku tanpa be
*Lantunan adzan mengalun indah dan menyadarkanku dari tidur, kusibak selimut lalu bangkit perlahan mengusap wajah dengan kedua belah tangan lalu membaca doa, semoga hari ini bisa kulalui dengan mudah. Kulirik suamiku masih terlelap dengan pulas, memandangnya tidur membuatku gamang, entah kenapa tiba-tiba ada rasa hampa dan rindu yang bergelayut tanpa tahu pada siapa semua rasa itu akan berlabuh.Maka aku segera bangkit menuju kamar mandi membuka keran air lalu mulai membasuh anggota wudhu, kemudian kuhamparkan sajadah, bersujud memohon ampun pada Yang Kuasa."Ya Allah, telah begitu jauh hamba darimu, telah begitu banyak kelalaian yang hamba lakukan hingga lupa pada Hak-Mu sebagai Sang Pencipta alam raya, aku telah tersesat jauh ya Allah, hamba buta dan dibutakan kepentingan, ampunilah hamba ya Allah." Begitu doa yang kupanjatkan sembari terus merafaljan istigfar dan menyebut nama Allah.Kutumpahkan segala keluh kesah dan kesedihan, aku memohon petunjuk kemana arah rumah tangga ini
Masih gamang memikirkan apa yang harus aku lakukan pada Mas Randy, apakah aku harus meninggalkannya atau aku harus bagaimana?Jujur bukan perceraian ujung yang aku inginkan dari rumah tanggaku, aku masih mencintainya namun terlampau perih jiwa ini tersakiti. Aku sungguh merindukan semua sisi indah tentangnya, pengabdian dan kesetiaan yang kubangun selama ini dihancurkan dengan mudah, ibarat perselingkuhannya adalah palu godam yang memukul kaca hingga luluh lantak berkeping-keping.**Aku telah siap mengenakan pakaian kantor dan sedang memakai sepatu ketika ia menghampiri dan duduk di sebelahku, sofa khusus wardrobe kamar utama. "Bantu aku mengenakan dasi," pintanya.Aku segera bangkit dan memasangkan dasi merah di kerah kemejanya sedang suamiku menatap lekat sambil sesekali tersenyum."Bagaimana penampilanku Sayang?" tanyanya"Bagus.""Sayang ...." Ia merangkulku dari belakang seusai aku mengenakan dasinya, pantulan kami di cermin meja rias terlihat indah meski kenyataan sebenarny
Kubanting pintu ruanganku dengan keras sambil menahan emosi yang memburu, kuhampiri dispenser lalu menuangkan segelas air dan kuteguk segera."Sial sekali, ia sampai mencariku ke kantor, untung saja Eleanor tak membuat keributan di loby, kalo tidak semuanya bisa kacau, aku akan menjadi pusat perhatian, dan iitu akan berpengaruh besar pada nama perusahaan," batinku."Aku harap setelah pukulanku barusan, dia tak akan berani lagi untuk mendatangi tempat ini, dan mencariku, tidak tahu malu sekali dia."Tok ... Tok ....Tiba-tiba ketukan di pintu menyentakkan lamunanku. Mas Randy masuk sedetik kemudian dan langsung menghampiriku."Kudengar kau menemui seorang tamu dan menamparnya, apa yang terjadi?"Wow, kilat, cepat sekali Mas Randy mengetahui semuanya."Siapa yang memberi-tahumu?""Uhm ...." Ia terlihat ragu."Suasana di loby sedang sepi karena saat ini adalah jam kerja, hanya petugas resepsionis dan bagian informasi saja, lantas dari mana kamu tahu, Apakah seseorang memberi tahu," cecar