Share

6 mengambil alih

Kubuka perlahan pintu dengan ornamen ukiran tembaga, kuedarkan pandangan ke seluruh sudut rumah yang dulu adalah surga, ada canda, tawa, pelukan dan kehangatan.

Setiap kali mengantarnya berangkat kerja aku akan selalu berdiri di sini, mencium punggung tangan Mas Randy lalu ia dengan lembut akan membelai wajahku dan mengatakan, "Tunggu aku pulang ya, Sayang."

Sore hari, ia kembali dan aku kembali menyambutnya, lalu kami menikmati makan malam, bersantai di ruang tivi, aku akan bergelayut mesra di lengan atau merebahkan diri di pangkuannya.

Atau dapur itu, ketika aku asyik memasak dia akan datang mengejutkanku dengan pelukan dan kecupannya dari belakang. Ah, mataku perlahan mengabur oleh air mata, semakin berusaha kutahan untuk tak menangis air mata ini luruh dengan sendirinya.

"Suamiku, teganya dia, bercinta di belakangku, dia mengabaikanku dan perasaanku. Bahagianya dia memeluk dan mencumbu gadis itu," gumamku tersedu-sedu dan luruh dan tergugu di ruang tamu.

Sekian lama tenggelam dalam tangisan hingga aku sadar sendiri bahwa mungkin saat ini suamiku sedang tertawa puas bersama kekasihnya. Jadi, untuk apa aku menangis? untuk apa aku bersedih dan meratapi kebodohanku.

"Ya, aku masih punya waktu untuk bangkit dan memperbaiki semuanya, aku bisa ... Aku pasti bisa."

Kuhapus air mataku dan bangkit menuju kamar lalu membersihkan diri.

**

Makanan sudah terhidang dan tertata rapi membangkitkan nafsu makan, aromanya yang kaya rasa ditambah serta rasa lelah membuat laparku demikan meningkat. Kuraih piring dan kusendokkan makanan sebanyak mungkin dan mulai makan.

"Hai, Sayang," sapa mas Randi dengan senyum indahnya dari balik pintu.

Rupanya ia sudah pulang, tepatnya lagi, dia masih ingat pulang. Memuakkan.

"Hmmm," gumamku cuek saja sambil terus menyendokkan makanan ke mulut.

"Sayang, kok, tumben makan sendiri, gak tunggu Mas dulu," ucapnya dengan raut wajah yang sedikit ditekuk pura-pura merajuk.

"Hah, aku tak termakan sandiwaramu, dasar sial," batinku.

"Hei, kok diam aja? Kamu sakit, Sayang?"

"Enggak, kok."

"Mas bilang, tumben gak nunggu, biasanya nunggu," katanya sambil mulai menyendokkan nasi ke piringnya

Tidak tahu malu.

"Mas gak lihat," kataku sambil melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul setengah sembilan malam, "... mau ditunggu sampai kapan? aku begitu lelah karena setumpuk tugas di kantor hingga melewatkan makan siang, lagi pula siapa yang peduli aku sudah makan atau belum?" kataku dengan sinis.

"Kok, ngomong gitu sih, aku peduli kok?"

Aku hanya menggeleng sambil memutar bola mata, malas.

"Besok minta supir untuk mengantarkan mobil jaguar merah milikku dari gudang mobil, aku akan ke kantor tiap hari mulai sekarang," kataku tegas.

"Uhuk ... Huk ...." Ia terbatuk lalu sesegera mungkin meraih gelas air di sebelah kirinya dan meminumnya, " ... kamu bilang apa? Ke kantor?" tanyanya heran

"Iya, kenapa?"

"Kamu di rumah aja, Sayang, biar aku yang mengurus semuanya, kalo kamu capek program kita untuk punya bay ...."

Prak ... ting!

Kugebrak alat makan hingga menimbulkan bunyi yang keras sedang suamiku terlihat terperanjat apalagi di tambah tatapan tajamku saat ini.

"Apa katamu, tadi?" Kutatap ia dengan seksama.

"Eh, ehm, maksudku, apa kamu gak percaya kalo aku bisa handle semuanya?" katanya dengan nada memelas, jurus khas dia.

"Apa kamu lupa dengan Imelda Subroto pemilik Subroto Media Corp, aku harus perlu izin untuk datang ke perusahaan sendiri?"

"Gak, enggak gitu maksudku, Sayang, aku ... kan sudah ada aku sebagai general manager di sana."

"Hanya general manager, kan? Aku adalah pemilik perusahaan dan wajar dong, kalo aku harus memastikan keadaan perusaanku," kataku.

"Kamu seolah ga percaya sama aku," lirihnya dengan nada sedih, mulai melancarkan jurus jurus yang akan membuatku luruh, sayang tidak mempan!

"Aku percaya, kalo gak percaya kamu gak bakal jadi General Manager, di mana posisi itu sangat diinginkan semua orang, aku hanya ingin turun tangan sendiri mengelola perusahaanku, aku sudah bosan di rumah terus, menunggu danenunggu saja." Aku menegaskannya.

"Lalu ... tentang program kita," tanyanya.

"Tuhan akan berikan anak jika sudah waktunya, kita sudah cek dan dokter menyatakan kita sehat, jadi tunggu aja."

"Ya udah terserah kamu aja," jawabnya pasrah.

Aku tak menanggapinya lagi, segera bangkit menuju kamar tidur dan beristirahat.

Merebahkan diri menghilangkan penat, lelah tubuh dan hati.

***

Mentari bersinar begitu cerah sehingga cahaya keemasannya menembus kaca gedung tempatku berada, bias-bias tersebut memantulkan bayanganku ke kaca meja tempat di mana aku duduk sekarang, meja Papa dulunya.

"Aku tak akan membuat perusahaan yag sudah papa bangun dari nol jatuh ke tangan orang yang salah." Aku bersenandika.

Kutekan salah satu tombol yang terhubung langsung ke ruangan asistenku, Mia.

"Ya, Bu, selamat pagi," sapanya ramah.

"Mia, temui saja di kantor, sekalian undang Pak Bastian," pintaku.

"Baik, Bu."

Lima menit berikutnya pintu di ketuk dan mereka datang menemuiku. Kedua orang yang sudah lama bekerja itu tampak ramah menyapaku.

"Ada apa, Bu," kata pak bastian membuka percakapan.

"Saya mau tanya sekaligus konfirmasi data ini." Kusodorkan data keuangan terakhir perusahaan."

Ia meraihnya dan membukanya sambil mengangguk perlahan, "iya, ini benar, saya dan auditor sudah verifikasi, ada apa?"

"Saya ingin laba perusahaan, dialihkan ke sebuah rekening ke bank luar negeri, 40 persen."

"Untuk apa, Bu?"

"Untuk investasi dan dana cadangan, saya tidak ingin teledor dalam mengelola keuangan, bisa saja kita sukses sekarang, namun belum tentu situasi akan selalu kondusif untuk bisnis kita," kataku menegaskan.

"Apakah saya harus mendiskusikan dengan Pak Randy?" tanya pak Bastian.

"Tidak usah, saya Direktur dan saya berhak menentukan," kataku.

"Tapi, beliau sebagai Manager juga harus tahu regulasi uang tersebut."

"Katakan saja, Ibu Imelda menandatangani proyek baru di luar negeri."

"Tapi ...." Ia masih terlihat ragu.

"Lakukan saja, saya akan bertanggung jawab."

"Baik, Bu. Jika begitu saya mohon diri untuk mulai menyusunnya sekarang," pamitnya.

Aku mengiyakan dan dia meninggalkan ruanganku.

"Mia, saya ingin kamu selalu terhubung dengan saya, saya ingin kamu membelikan saya sebuah jam pintar dan canggih agar kamu mudah mendeteksi keberadaan saya," kataku.

"Untuk apa, Bu? Saya merasa aneh, seolah olah akan terjadi sesuatu yang buruk," ujarnya.

"Tidak ... tidak ada yang buruk, aku hanya merasa untuk lebih menjaga diri sendiri."

"Baik, Bu."

"Oh ya, atur jadwal dengan beberapa investor saya harus merevisi kontrak," kataku.

"Tapi itu, tugas Pak Randy Bu," imbuhnya.

"Aku akan mengambil alih," jawabku.

Ia terlihat masih heran namun tak urung juga mengangguk dan mohon diri.

"Dan ya, Mia, pastikan kamu dan Pak bastian tidak membocorkan ini pada Pak Randy," perintahku lagi.

"Siap, Bu."

"Makasih, ya."

"Sama-sama Bu," jawabnya sambil tersenyum lalu berlalu.

Suamiku ... aku akan turun langsung ke medan pertempuran ini sebagai ksatria yang akan membela harga diriku sendiri, lihat saja. Aku tak akan menangis atau meratap lagi, percuma semua itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status