Share

7. hotel

**

"Aku dengar kamu merevisi perjanjian dan bahkan kamu membatalkannya dengan beberapa investor, ada apa?" Ia yang pulang dari kantor terlihat tak senang.

Setelah dua hari pertemuanku dengan investor, akhirnya berita itu sampai di pendengaran suamiku. Dan dia langsung menanyakannya ketika kami bertemu di meja makan.

"Nilai kontraknya begitu besar untuk membuat brand majalah baru, padahal jika fokus pada redaksi yang sudah kita juga bisa maju, tinggal tambahka rubrik dan halaman ekstra, ekplorasi ide-ide segar dan menarik."

"Tapi itu majalah wanita dan majalah pria," bantahnya, "... aku ingin buat brand baru khusus bisnis dan politik."

"Kita bisa satukan kedua tema itu dan menghemat ratusan juta biaya produksi dan distribusi," imbuhku menolak.

"Justru itu peluangnya ...."

"Saingan kita udah banyak," tolakku juga.

Ia membuang napas kasar sambil mengacak rambutnya. Selalu begitu jika ada hal yang kami perdebatkan.

"Kenapa sih, wanita begitu perhitungan," gerutunya.

"Tentu saja, uang lima ratus juta itu cukup untuk modal dan dana cadangan lain," jawabku.

"Ada baiknya kamu gak terlalu banyak ikut campur," sentaknya dengan nada tinggi.

"Apa?" Aku mendesis tak percaya.

"Apa, aku harus mengingatkan kamu posisiku?"

"Wow, kemarin-kemarin kamu istriku yang manis dan baik hati, kenapa tiba-tba kamu berubah, siapa yang mempengaruhi kamu?" tanyanya dengan nada tak percaya.

"Gak ada, aku hanya merasa sudah terlalu lama aku terpendap di rumah, kurasa aku pun harus bekerja."

"Kalo kamu sampai lelah dan stress, rencana kita untuk program kehamilan bisa gagal," desaknya.

"Cukup!" Aku langsung berteriak dan berdiri, " ... aku muak! hamil... bayi ... tak tahukah kamu betapa aku berusaha, betapa sakitnya diinjeksi hormon, menjalani serangkaian tes dan ambil darah, sudah berapa banyak pil yang aku tenggak, sudah berapa banyak rumah sakit yang aku kunjungi, semua itu kurang bagimu?" teriakku sambil bangkit dari meja makan.

Ia terpana mendengar teriakanku barusan, hingga ia ternganga dan kehilangan kata kata. Mungkin ini adalah teriakan pertama kali baginya, selama menjadi istrinya tak sekali pun aku pernah berselisih paham, karena kami pasangan yang selalu akur dan saling menyayangi.

"Kamu hanya bisa marah dan menuntut, tanpa menimbang bagaiamana aku selama ini berjuang ... aku ...."

"Aku selalu ada untukmu, iya kan? yang aku heran kan, tiba-tiba kamu mulai masuk kantor dan merombak segalanya sesukamu, kamu membuang peluang baik untuk perusahaan kita, kamu juga hampir membatalkan asuransi yang penting itu, apa masalahmu, imelda?" ratapnya dengan nada putus asa.

Aku tertawa getir, mendengar pembelaannya, asuransi? hah, mungkin ia berusaha agar perusahaan kami menandatangi berkas asuransi demi menaikkan jenjang karier Eleanor yang mungkin akan terlihat berprestasi mampu melobi kesepakatan dengan perusahaan media besar sekelas Subroto Corp.

Menjijikkan, memuakkan, aku benci manusia-manusia licik ini.

"Lupakan saja, kamu tak akan pernah mengerti, Mas," kataku sambil menuju kamar, percuma aku berdebat dengannya. Dan sialnya, aku belum makan malam karena ia sudah terlebih dahulu mengajakku bertengkar.

"Dan kamu, kekanak-kanakan Imelda, kamu pikir perusaan adalah mainan, kamu seperti anak kecil yang minta perhatian," rutuknya.

Berani sekali ia berbicara seolah-olah perusahaan itu adalah miliknya, tidak tahu malu!

"Terserah, aku akan lakukan apa yang kuanggap baik," jawabku sambil menutup pintu.

"Kamu akan menyesal," teriaknya.

"Masa bodoh."

"Aarggg ... Sial!"

Ia terndengar membanting sesuatu yang suaranya cukup memekakkan telinga.

**

Keesokan harinya,

Aku telah bangun pagi-pagi, berolah raga lalu menyiapkan sarapan, seusai mandi aku berpakaian rapi lalu turun menikmati sarapan bersiap-siap pergi ke kantor.

Suamiku terlihat sudah bersiap-siap juga, semalam setelah pertengkaran kami, dia memilih untuk tidur di sofa ruang tivi dan sampai saat ini kami belum saling bertegur sapa.

Ia mengambil beberapa berkas dari kabinet dan meraih tas kemudian beranjak pergi.

"Mas, sarapan dulu," tawarku. Meski kesal padanya, aku

Ia melirik sekilas lalu meninggalkanku sendiri, namun ia terlihat menjatuhkan sebuah kertas kecil dari sakunya.

Buru-buru aku bangkit dan memungut kertas itu, membukanya lalu membaca isinya.

Eleanor, Laguna hotel and resort bay, jam empat sore.

Hhmm apa lagi ini? apakah setiap hari mereka tak melewatkan waktu untuk bertemu dan memadu kasih? kemana saja aku selama ini?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status