**
"Aku dengar kamu merevisi perjanjian dan bahkan kamu membatalkannya dengan beberapa investor, ada apa?" Ia yang pulang dari kantor terlihat tak senang. Setelah dua hari pertemuanku dengan investor, akhirnya berita itu sampai di pendengaran suamiku. Dan dia langsung menanyakannya ketika kami bertemu di meja makan. "Nilai kontraknya begitu besar untuk membuat brand majalah baru, padahal jika fokus pada redaksi yang sudah kita juga bisa maju, tinggal tambahka rubrik dan halaman ekstra, ekplorasi ide-ide segar dan menarik." "Tapi itu majalah wanita dan majalah pria," bantahnya, "... aku ingin buat brand baru khusus bisnis dan politik." "Kita bisa satukan kedua tema itu dan menghemat ratusan juta biaya produksi dan distribusi," imbuhku menolak. "Justru itu peluangnya ...." "Saingan kita udah banyak," tolakku juga. Ia membuang napas kasar sambil mengacak rambutnya. Selalu begitu jika ada hal yang kami perdebatkan. "Kenapa sih, wanita begitu perhitungan," gerutunya. "Tentu saja, uang lima ratus juta itu cukup untuk modal dan dana cadangan lain," jawabku. "Ada baiknya kamu gak terlalu banyak ikut campur," sentaknya dengan nada tinggi. "Apa?" Aku mendesis tak percaya. "Apa, aku harus mengingatkan kamu posisiku?" "Wow, kemarin-kemarin kamu istriku yang manis dan baik hati, kenapa tiba-tba kamu berubah, siapa yang mempengaruhi kamu?" tanyanya dengan nada tak percaya. "Gak ada, aku hanya merasa sudah terlalu lama aku terpendap di rumah, kurasa aku pun harus bekerja." "Kalo kamu sampai lelah dan stress, rencana kita untuk program kehamilan bisa gagal," desaknya. "Cukup!" Aku langsung berteriak dan berdiri, " ... aku muak! hamil... bayi ... tak tahukah kamu betapa aku berusaha, betapa sakitnya diinjeksi hormon, menjalani serangkaian tes dan ambil darah, sudah berapa banyak pil yang aku tenggak, sudah berapa banyak rumah sakit yang aku kunjungi, semua itu kurang bagimu?" teriakku sambil bangkit dari meja makan. Ia terpana mendengar teriakanku barusan, hingga ia ternganga dan kehilangan kata kata. Mungkin ini adalah teriakan pertama kali baginya, selama menjadi istrinya tak sekali pun aku pernah berselisih paham, karena kami pasangan yang selalu akur dan saling menyayangi. "Kamu hanya bisa marah dan menuntut, tanpa menimbang bagaiamana aku selama ini berjuang ... aku ...." "Aku selalu ada untukmu, iya kan? yang aku heran kan, tiba-tiba kamu mulai masuk kantor dan merombak segalanya sesukamu, kamu membuang peluang baik untuk perusahaan kita, kamu juga hampir membatalkan asuransi yang penting itu, apa masalahmu, imelda?" ratapnya dengan nada putus asa. Aku tertawa getir, mendengar pembelaannya, asuransi? hah, mungkin ia berusaha agar perusahaan kami menandatangi berkas asuransi demi menaikkan jenjang karier Eleanor yang mungkin akan terlihat berprestasi mampu melobi kesepakatan dengan perusahaan media besar sekelas Subroto Corp. Menjijikkan, memuakkan, aku benci manusia-manusia licik ini. "Lupakan saja, kamu tak akan pernah mengerti, Mas," kataku sambil menuju kamar, percuma aku berdebat dengannya. Dan sialnya, aku belum makan malam karena ia sudah terlebih dahulu mengajakku bertengkar. "Dan kamu, kekanak-kanakan Imelda, kamu pikir perusaan adalah mainan, kamu seperti anak kecil yang minta perhatian," rutuknya. Berani sekali ia berbicara seolah-olah perusahaan itu adalah miliknya, tidak tahu malu! "Terserah, aku akan lakukan apa yang kuanggap baik," jawabku sambil menutup pintu. "Kamu akan menyesal," teriaknya. "Masa bodoh." "Aarggg ... Sial!" Ia terndengar membanting sesuatu yang suaranya cukup memekakkan telinga. ** Keesokan harinya, Aku telah bangun pagi-pagi, berolah raga lalu menyiapkan sarapan, seusai mandi aku berpakaian rapi lalu turun menikmati sarapan bersiap-siap pergi ke kantor. Suamiku terlihat sudah bersiap-siap juga, semalam setelah pertengkaran kami, dia memilih untuk tidur di sofa ruang tivi dan sampai saat ini kami belum saling bertegur sapa. Ia mengambil beberapa berkas dari kabinet dan meraih tas kemudian beranjak pergi. "Mas, sarapan dulu," tawarku. Meski kesal padanya, aku Ia melirik sekilas lalu meninggalkanku sendiri, namun ia terlihat menjatuhkan sebuah kertas kecil dari sakunya. Buru-buru aku bangkit dan memungut kertas itu, membukanya lalu membaca isinya. Eleanor, Laguna hotel and resort bay, jam empat sore. Hhmm apa lagi ini? apakah setiap hari mereka tak melewatkan waktu untuk bertemu dan memadu kasih? kemana saja aku selama ini?Kulirik jam di dinding kantor waktu telah menunjukkan pukul 15:45 sore, kuhela napas panjang akhirnya setelah setelah berunding panjang lebar, aku dan dewan direksi serta beberapa staf penting sepakat pada satu keputusan, dan keputusan tersebut menyangkut banyak hal, termasuk merestruktur kepemimpinan, mengalihkan beberapa posisi penting ke orang yang lebih kompeten dan pengelolaan korporasi, tentu saja semua kulakukan demi kebaikan perusahaan.Memang dalam rapat tersebut aku dan beberapa staf yang mendukung sempat bersitegang dengan Mas Randy yang bersebrangan pendapat tentang beberapa hal namun tentu saja, yag berkuasa dia yang menang. Hal tersebut membuat suamiku terlihat makin geram dan sakit hati. Jadi setelah rapat ditutup ia memutuskan langsung meninggalkan ruang rapat tanpa banyak bicara lagi.Aku segera menuju lift dan langsung ke basement mengambil mobil, meluncur ke tempat di mana alamat yang tertulis di secarik kertas tadi pagi, ya, aku akan ke Laguna resort and hotel, seb
*Tok ... Tok ...Pintu di ketuk pelan lalu perlahan suamiku memanggil namaku."Sayang ... Ini aku Imelda."Aku yang masih duduk di meja kerja memeriksa data perusahaan melirik jam dinding yang telah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam dan merasa kesal dengan sikao suamiku yang semakin hari semakin berbuat sesuka hati. Mungkin, ia ingain balas dendam padaku yang juga berbuat sesuka hati di kantor.Mas Randy dan wanita itu, sejak sore tadi ... Sedang aku kembali ke rumah langsung bergelut dengan komputer, setumpuk data dan laporan."Sayang ... ini aku ...."Suaranya terdengar berat dan ah, mungkin dia teler. Namun, salutnya ia masih tetap ingat pulang dan berkendara dengan aman. Luar biasa.Kuputar kunci dan kugerakkan panel pintu lalu menggesernya dan suamiku terlihat lesu dari balik pintu. Penampilannya kusut dan acak acakan.Melihat itu, mungkin wanita lain akan prihatin dan mengira jika suami mereka amat lelah sehabis lembur mengerjakam tugas-tugas kantor. Namun lain dengank
"kok cemberut aja?""Gak ada."Jawabku yang entah pagi-pagi ini merasa badmood."Kalau kamu ingin sarapan kamu tinggal pesan apa yang kamu inginkan, pembantu akan belikan, ataukah pengen jalan-jalan supir akan mengantar ke mana kau pergi," tawarnya.Aku hanya membuang nafas kasar sampai membalikkan badan lalu memeluk guling."Mestinya kau siapkan aku sarapan, karena posisimu adalah istriku.""Aduh Pak direktur anda punya banyak pembantu yang bisa siapkan makanan apapun yang anda inginkan, iya kan?" "Seingatku kau bekerja untukku," sanggahnya.Oh iya, aku lupa Aku adalah bawahannya, jadi dengan beringsut malas-malas aku turun dari ranjang dan pergi menyiapkan suamiku sarapan.Ah, suami, dia bukan suami, dia hanya orang yang kebetulan mengikatku dalam ikatan pernikahan, mana ada cinta atau hubungan selayaknya suami dan istri. Konyol!Kuedarkan pandangan ke seluruh sudut rumah ini lalu kembali menerawang, andai seseorang jadi menantu rumah ini dan mendapatkan cinta dari semua penghuni
Tatapan mata kami bertemu ketika aku membuka pintu kamar, dia masuk dengan langkah gontai namun ketika menatapku memakai baju tidur yang dihadiahkan salah satu Tante Mas Aldi, ia sedikit membulatkan mata.Gaun tidur satin warna merah maroon dengan sedokit pulasan make up natural dan sedikit percikan parfum dengan wangi yang sensual, membuatnya sulit mengalihkan pandangan mata.Berkali kali kulihat ia menelan ludah menatap belahan pakaian yang ukurannya di atas paha itu. Agaknya aku mengerti, dan mulai bersorak dalam hati berharap suamiku akan menyukai ini."Kenapa, Mas, ada yang aneh?""Tumben cantik banget," gumamnya pelan sambil melonggarkan ikatan dasi."Gak kok, aku coba mau cobain lingerie pemberian Tante Ririn," jawabku sambil tersipu pelan."Baju itu tipis, kamu gak masuk angin?"Duh, kalau dia bertanya seperti ini, aku jadi malu, dan terlihat konyol. Tidakkah dia mengerti bahwa aku mengenakan ini untuk menyenangkan pandangan matanya.Benar saja, Lima menit menatapku tanpa be
*Lantunan adzan mengalun indah dan menyadarkanku dari tidur, kusibak selimut lalu bangkit perlahan mengusap wajah dengan kedua belah tangan lalu membaca doa, semoga hari ini bisa kulalui dengan mudah. Kulirik suamiku masih terlelap dengan pulas, memandangnya tidur membuatku gamang, entah kenapa tiba-tiba ada rasa hampa dan rindu yang bergelayut tanpa tahu pada siapa semua rasa itu akan berlabuh.Maka aku segera bangkit menuju kamar mandi membuka keran air lalu mulai membasuh anggota wudhu, kemudian kuhamparkan sajadah, bersujud memohon ampun pada Yang Kuasa."Ya Allah, telah begitu jauh hamba darimu, telah begitu banyak kelalaian yang hamba lakukan hingga lupa pada Hak-Mu sebagai Sang Pencipta alam raya, aku telah tersesat jauh ya Allah, hamba buta dan dibutakan kepentingan, ampunilah hamba ya Allah." Begitu doa yang kupanjatkan sembari terus merafaljan istigfar dan menyebut nama Allah.Kutumpahkan segala keluh kesah dan kesedihan, aku memohon petunjuk kemana arah rumah tangga ini
Masih gamang memikirkan apa yang harus aku lakukan pada Mas Randy, apakah aku harus meninggalkannya atau aku harus bagaimana?Jujur bukan perceraian ujung yang aku inginkan dari rumah tanggaku, aku masih mencintainya namun terlampau perih jiwa ini tersakiti. Aku sungguh merindukan semua sisi indah tentangnya, pengabdian dan kesetiaan yang kubangun selama ini dihancurkan dengan mudah, ibarat perselingkuhannya adalah palu godam yang memukul kaca hingga luluh lantak berkeping-keping.**Aku telah siap mengenakan pakaian kantor dan sedang memakai sepatu ketika ia menghampiri dan duduk di sebelahku, sofa khusus wardrobe kamar utama. "Bantu aku mengenakan dasi," pintanya.Aku segera bangkit dan memasangkan dasi merah di kerah kemejanya sedang suamiku menatap lekat sambil sesekali tersenyum."Bagaimana penampilanku Sayang?" tanyanya"Bagus.""Sayang ...." Ia merangkulku dari belakang seusai aku mengenakan dasinya, pantulan kami di cermin meja rias terlihat indah meski kenyataan sebenarny
Kubanting pintu ruanganku dengan keras sambil menahan emosi yang memburu, kuhampiri dispenser lalu menuangkan segelas air dan kuteguk segera."Sial sekali, ia sampai mencariku ke kantor, untung saja Eleanor tak membuat keributan di loby, kalo tidak semuanya bisa kacau, aku akan menjadi pusat perhatian, dan iitu akan berpengaruh besar pada nama perusahaan," batinku."Aku harap setelah pukulanku barusan, dia tak akan berani lagi untuk mendatangi tempat ini, dan mencariku, tidak tahu malu sekali dia."Tok ... Tok ....Tiba-tiba ketukan di pintu menyentakkan lamunanku. Mas Randy masuk sedetik kemudian dan langsung menghampiriku."Kudengar kau menemui seorang tamu dan menamparnya, apa yang terjadi?"Wow, kilat, cepat sekali Mas Randy mengetahui semuanya."Siapa yang memberi-tahumu?""Uhm ...." Ia terlihat ragu."Suasana di loby sedang sepi karena saat ini adalah jam kerja, hanya petugas resepsionis dan bagian informasi saja, lantas dari mana kamu tahu, Apakah seseorang memberi tahu," cecar
Mia masih terpana mendengar permintaanku padanya, mungkin dia tak percaya apa yang dia dengar, bahwa aku memintanya untuk memberi tahu suamiku bahwa aku telah meninggal."Bu, Ibu direktur jangan melantur, fokus dulu pada kesembuhan Ibu, sungguh suatu keajaiban bisa menemukan ibu dalam keadaan hidup," ujarnya dengan nada prihatin."Suamiku belum datang hingga saat ini," tanyaku."Iya, Bu, sejak semalam saya mengubunginya namun Pak Randy tak kunjung mengaktifkan ponselnya.""Ya Tuhan apakah dia sama sekali tdak mengkhawatirkanku atau minimal ia tak mencariku? Tega sekali dia."Aku membatin sembari menahan kesedihan."Siapa saja yang sudah mengetahui masalah kecelakaan saya, Mia," sambungku bertanya."Baru saya dan Pak Bastian," jawabnya."Rahasiakan ini dari semua orang.""Tapi kenapa Bu, apa yang Anda rencanakan, jika ibu meninggal, tentu kondisi perusaahan akan mendadak tidak stabil, keadaan akan terguncang bahkan juga berpengaruh terhadap saham.""Saya akan handle semuanya dari jauh
Di pagi yang cerah di awal musim penghujan, istriku yang telah berbadan dua dan menjelang minggu-minggu terakhir kehamilannya terlihat sangat payah dan sejak pagi terus meringis memegangi perutnya."Ada apa, Sayang?" tanyaku menghampirinya yang sedang menggosok sepatuku di dekat meja sepatu."Gak apa-apa, Mas, lagi kontraksi palsu aja kali," jawabnya.Kuraih sepatu dari tanganya dan menuntunnya untuk duduk, "kalo akut gak usah merepotkan diri Sayang, aku masih bisa siapkan sendiri," kataku."Meski punya asisten, Mas tahu kan, kalo dari dulu aku lebih suka menyiapkan segala keperluan suami sendiri," balasnya."Iya, tapi perutmu sudah besar dan itu membuatku kepayahan, Sayang," ucapku sambil menciumi jemarinya."Gak apa, Mas." Ia bangkit perlahan lalu beringsut menuju meja makan namun sesaat kemudian ia terlihat menghentikan kegiatannya dan terlihat tegang sambil memegangi perut buncitnya."Ada apa, Imel?" Aku mendekatinya dan kulihat buliran peluh mulai timbul dari keningnya."A-aku ga
Aku mengenal dia di masa kuliah, gadis yang bertubuh sedikit tambun dan memiliki senyuman manis mencuri menawan hatiku. Dia sangat baik dan penuh dengan perhatian, pertama kali berjumpa dia bertanya padaku di mana lokasi perpustakan dan aku pun menunjukkan padanya, di awal pertemuan itulah hubungan kami berlanjut.Hari demi Hari berlalu dengan pertemanan yang semakin erat, aku merasa semakin hari semakin dekat padanya, Ia pun tidak pernah lupa untuk menyapa memberi perhatian kecil mengirimkan ucapan selamat pagi ditambah emoji lucu lewat ponsel juga sering mengingatkan diriku beribadah dan berbuat baik kepada sesama. Jujur, hal itu membuatku menjadi sangat menyukainya. Dialah Imelda Subroto gadis yang terkenal kaya namun rendah hati di lingkungan kampus kami.Karena kedekatan itu maka kuputuskan untuk serius melamarnya, meski aku tahu aku tak punya apa-apa. Tapi, kuberjanji bahwa aku akan memberinya kebahagiaan seutuhnya."Apakah Mas yakin mau menikahiku?" tanyanya dengan raut waj
Hari itu tanggal 12 November, dalam kesyahduan pagi yang penuh berkah.***Aku mengalami sakit kepala hebat dan entah mengapa sejak Agi tadi aku tak mengerti sebabnya. Kutinggalkan kantor dan menitipkan semua urusan lanjutan pada Mia, asisten setiaku yag kini sudah beerhijrah mengenakan pakaian syar'i dan makin Istiqomah."Mia aku pulang, ya," pamitku."Lho, Bu. Ibu mau mau kemana, kan ada rapat dengan para staf," jawabnya heran."Aku merasa mendadak pusing dan lemas," Jawabku."Bagaimana kalo kita bawa ke rumah sakit?""Ga usah aku aku pulang aja," tolakku.Baru saja akan kulangkahkan kaki keluar dari lobi utama tiba-tiba mataku berkunang kunang, telingaku berdenging lalu semuanya gelap seketika.**Kucoba membuka mata dengan sangat kuat, samar samar kulihat ruangan yang kini kupastikan adalah rumah sakit, berdinding putih, peralatan infus dan tensi, peerawat yang berlalu lalang dan bau obat, khas rumah sakit."Bu Imelda," sapa Mia yang terlihat khawatir padaku."Duh," aku berusaha b
Musim berganti setelah sekian purnama, matahari berpendar digantikan cahaya bulan yang silih berganti seperti itu, saling menyertai, namun tidak denganku. Aku masih betah menyendiri.Kususuri ruang dalam rumah ini, kuraba dinginnya dinding yang menjulang menemaniku selama bertahun-tahun merajut hari dalam sepi. Aku kesepian, sungguh, ketika di satu sisi kesendirian itu membuatku tangguh namun saat yang bersamaan juga membuatku rapuh.Aku merindukan seseorang dalam hidupku, kerena jujur aku masih normal dan aku butuh teman berbagi, namun sekali lagi trauma luka yang terdalam itu masih membekas dan membuatku, sedikit tertutup.*Kukenakan hijab dan memasang Bros sebagai pemanis,kupulas bedak dan sedikit lisptik, meraih tas lalu bersiap menjalani rutinitasku.Gawai berdering ketika aku sedang sarapan, kuambil benda itu dari dalam tas dan melihat nama kontak yang tengah memanggil adalah Mia, asisten pribadiku selama bertahun-tahun, ia ia telah menikah dan memiliki satu orang putra dan te
Beberapa tahun berlalu setelah perjumpaan terakhirnya dengannya. Semilir angin meniupkan ranting dan menggugurkan daun kering, menerbangkannya lalu terhemoas jatuh ke aspal jalan. Berkali kali kupandangi kejadian serupa di bangku taman ini, tempat yag kini selalu menjadi tempat favoritku untukelepas lelah taman dengan pepohonan yang tinggi dan rindang yang tak jauh dari lokasi kantorku.Peralihan musim dari kemarau ke musim hujan membuat beberapa pepohonan menggugurkan daunnya agar tidak merangas kekurangan air. Dan sinilah aku tiap sore melihat daun daun itu berguguran. Dalam cuaca seperti ini, beberpaa orang menikmatinya dengan berfoto ria dengan pasangannya, anak dengan orang tuanya, dan sebagiam lagi remaja dengan teman teman mereka berpose dengan gaya saling saling melempar daun daun kering ke udara. Sedangkan aku yang duduk di sini hanya tersenyum menatap mereka.Kubenahi jaket yang membalut tubuh, serasa angin yang berembus barusan mempermainkan anak rambut dan cukup menusukka
Siang ini aku berniat menemui Mas Randy untuk memintanya menandatangani berkas perceraian kami, sekaligus aku ingin memberi tahunya berita duka bahwa kekasihnya telah meninggal dunia.Begitulah, setelah 25 menit berkendara dari kantor, maka sampailah aku di rutan tempat mas Randy di tahan. Ia baru di pindahkan kemari setelah kemarin sempat satu bulan ditahan di kantor polisi."Bu Imelda," sapa salah seorang petugas yang pernah kutemui di pengadilan kemarin."Ya ... Ada ada Pak?""Ibu mau kemana?""Saya akan menemui Pak Randy," jawabku."Kebetulan ini saya mau menitipkan surat," katanya sambil menyodorkan kertas beramplop coklat."Dari siapa?""Dari mendiang Nona Elea, kami menggeledah selnya dan menemukan sepucuk surat yang ditujukan pada anda dan saudara Randy," jawabnya.Kupegang amplop itu dan berkali kali kutimbang untuk membuka dan membaca isinya. Kutepikan diri sejenak di bangku koridor rutan.Kubuka sisi amplop dan mengeluarkan selembar kertas yang bertulis di sana, Dear Mbak
Tring ...Suara ponselku berbunyi dan sebuah Pesan masuk dari mia, [Bu, petugas dari kantor polisi meminta ibu untuk datang menemui nona Elea]Begitu tulisannya.[Apa keinginanya,] balasku.[Katanya, ia hanya ingin bicara][Baiklah] meski berat tapi kucoba untuk meluaskan hati menemuinya, entah apa yang akan dia katakan, akan kutemui nanti setelah urusanku di kantor selesai.**Pukul tiga sore hari, kupacu mobil dengan cepat menuju kantor polisi di mana elea ditahan.Kutemui bagian informasi dan aku langsung dia arahkan ke ruangan di mana aku bisa bertemu langsung dengan Elea.Setelah menunggu sepuluh menit pintu baja itu terbuka dan ia diantar seorang petugas wanita, wajahnya terlihat pucat dengan kantung mata yang menghitam, bibir kering dan rambutnya yang dipotong sangat pendek, entah dipotong paksa atau ia sendiri yang meminta.Aku enggan untuk mengajaknya bicara lebih dahulu, duduk sambil kutunggu ia melontarkan ucapan selama lima menit sampai akhirnya,"Kalo kamu gak mau ngomon
Semilir angin meniupkan elegi hampa dan kidung sedih berdendang di telinga. Kutatap bias jingga di cakrawala senja, kuresapi makna dari rentetan cerita yang menjadi kisah dalam hidupku. Aku terjatuh dalam kecewa dan luka.Mas Randi ... Kueja namanya perlahan, Bukan inginku, jika akhir dari rumah tangga kami harus seperti ini, kupikir dari pengintaianku tadi aku hanya mendapat bukti hubungan saja namun lebih dari itu kenyataan yang membelalakkan mata membuatku tercengang dan kini meragukan arti sebuah cinta dan hubungan. Benarkah bahkan rumah tangga pun bisa jadi alibi untuk meraih ambisi.Dia ingin kaya, bersamaan dengan itu, ia juga ingin membahagiakan kekasihnya Eleanor. Entah sejak kapan mereka saling kenal dan menjalin asmara, yang jelas, aku telah lalai mengawasi suamiku sendiri atau sialnya, aku yang telah dibodohi dan tidak bisa membedakan mana orang yang memberi perhatian palsu atau asli.tok ...tok ...Kuhampiri pintu dengan pertanyaan siapa yang datang untuk menjumpaiku ket
Bismillah..Terima kasih telah berkenan membaca sejauh ini, ❤️❤️❤️❤️Aku masih terpaku di balik jendela kaca menewarang suasana sore yang digelayuti mendung yang gelap, sekelam perasaan kecewaku terhadap mas Randy.Aku tak pernah menyangka bahwa dia hanya memanfaatkanku, aku tak menyangka jika pernikahan ini hanya alibi untuk meraih ambisi akan harta dan tahta.Elea simaoannanya, sudah dibawa ke kantor polisi atas tuduhan penggelapan dan pemalsuan dokumen, begitupun mas Randy, ia juga telah di tahan di tempat berbeda karena perbuatannya yang mencoba untuk membunuhku, bahkan dua kali.Ponselku berdenting di meja ketika aku akan bersiap mandi, kuraih dan kujawab panggilannya."Halo," sapaku."Halo, Bu Imel, anda bisa datang ke kantor polisi," tanya detektif itu."Untuk apa?""Memberi kesaksian dan membawa bukti tambahan." "Baik siap, satu jam lagi saya meluncur ke kantor polisi," jawabku.**Pukul 14: 45 aku telah sampai di gedung berlantai dua dengan tulisan polres kota, kutemui d