Lembu Sora yang datang bersama Juru Demung dan Gajah Biru terkejut ketika mendadak beberapa prajurit Majapahit langsung menghadang mereka.“Apa-apaan ini? Aku ingin bertemu dengan Prabu Wijaya!” Seru Lembu Sora dengan marah.“Maaf Patih Sora, tetapi kami harus mennagkap anda karena anda ingin memberontak!” Kata Mahesa Taruna putra Kebo Anabrang.“Aku tidak ingin memberontak, apakah kalian semua meragukan kesetiaanku pada Majapahit? Aku hanya ingin bertemu dengan Gusti Prabu. Ijinkan aku masuk menemuinya!”“Kalau kau memang setia pada Majapahit, lalu mengapa kau membunuh ayahku? Padahal ayahku seorang pejabat yang loyal pada Prabu Kertanegara dan Prabu Wijaya. Dia telah membunuh Ranggalawe yang telah mempermalukan Prabu Wijaya dan menyerang Majapahit. Kau memihak Ranggalawe si pemberontak itu atau Majapahit?!” Tanya Mahesa Taruna.“Oh sekarang aku tahu, kau hanya ingin membalaskan dendam kematian ayahmu kan? Baiklah, kita akan bertarung satu lawan satu!” Seru Lembu Sora.Gajah Biru m
Setelah berbicara dengan Wijaya, hati Gajah Biru merasa lega. Dia segera pergi mngundurkan diri. Sementara itu Wijaya kembali tenggelam dalam nestapa dan rasa sesal yang kemudian tidak berguna lagi karena orang yang disayanginya sudah meninggal dunia.Setelah puas menangis, Prabu Wijaya menyuruh abdinya memanggilkan Rakryan Demung dan Rakryan Kanuruhan. Tak lama kemudian kedua pejabat itu datang menghadap di komplek kediaman Raja.“Ada perintah apa Gusti Prabu?” Tanya mereka setelah menghadap.Dari balik tabir Wijaya memberikan perintah pada mereka“Tolong perlakukan jenazah Paman Sora secara layak, kita akan memperabukan jenazahnya dengan sebuah upacara perabuan layaknya seorang bangsawan. Undang keluarganya ke istana untuk mengikuti prosesi upacara perabuannya.”“Segera kami akan mempersiapkan upacaranya,” kata Rakryan Kanuruhan yang bertugas mengurus urusan upacara kerajaan.*****Nyai Sora dan anak-anaknya hanya bisa menangisi kematian suaminya, ketika jenazah suaminya mulai diba
Satu persatu kawanan perampok keluar dari tempat persembunyian mereka di hutan. Rombongan keluarga Lembu Sora langsung berhenti dan menghunus senjata. Nyai Sora, Macan Garung dan Menur adik Macan Garung sudah bersiap menyerang para perampok itu. Tak lama kemudian terdengar suara seseorang yang sangat dikenalnya“Ndoro Garung, sebaiknya anda serahkan saja peta kuno peninggalan Gusti Sora kepadaku. Setelah itu aku akan membiarkan kalian pergi.”Macan Garung, Gajah Biru dan Juru Demung terkejut, dilihatnya Puguh pelayan keluarga Sora sedang bersama orang-orang yang mencegatnya. Puguh yang biasanya berpenampilan lugu dan tidak memiliki ilmu kanuragan, kali ini penampilannya jauh berbeda. Puguh menghunus senjata dan berpakaian seperti pendekar. Gaya bicaranya pun bukan seperti orang desa melainkan seperti seorang prajurit. Sekarang Macan Garung sadar bahwa Puguh abdi di rumahnya yang sehari-harinya bekerja sebagai pengurus kuda dan taman ternyata bukan orang desa biasa seperti yang diduga
“Abdi dalem itu siapa dia sebenarnya?” Tanya Wirota.“Dia adalah salah satu anggota Wukir Polaman yang berusaha menghancurkan Majapahit dari dalam dengan segala fitnah dan hasutan seperti yang terjadi saat ini. Hasutan mereka telah memakan banyak korban mulai dari Ranggalawe, Kebo Anabrang dan sekarang ayahku sendiri,” kata Macan Garung dengan sedih.“Lalu bagaimana kabarnya Gusti Patih Sora?” Tanya Wirota dengan cemas.Wajah Macan Garung mendadak berubah sedih“Ayahku sudah meninggal dibunuh oleh pasukan Majapahit. Saat itu ayahku bersama Gajah Biru dan Juru Demung bermaksud menemui Gusti Prabu Wijaya. Ayahku tidak bersedia dihukum buang, dia memilih mati secara ksatria dan rela menerima hukuman mati.”Wirota terkejut, air matanya berlinang“Gusti Sora sudah meninggal? Ah, seandainya saja beliau bersedia ikut ke Majapahit Timur, niscaya Gusti Prabu Wiraraja akan menolongnya menyelamatkannya dari hukuman buang. Aku sudah pernah menawarinya tetapi dia menolaknya.”“Romo sangat menyay
Mendadak Wirota teringat akan perjanjian Songenep yang ditandatangani Wijaya dengan Aria Wiraraja. Akankah perjanjian itu akan tetap dipatuhi oleh keturunan Wijaya? Apalagi Wijaya telah meninggal dan kelak setelah Wiraraja meninggal. Segala alasan akan dicari untuk merebut kembali wilayah Majapahit Timur.Setelah kematian Wijaya, Jayanegara anak Wijaya dengan Dara Pethak naik tahta menggantikan ayahnya. Banyak orang yang sebenarnya tidak setuju dengan pengangkatan Jayanegara sebagai Raja karena dia tidak memiliki darah Rajasa yang murni karena ibunya adalah Putri Kerajaan Melayu. Sedangkan dari ke 4 puteri Kertanegra, hanya Gayatri yang dapat memberikan keturunan 2 orang anak perempuan Tribuana Tunggadewi dan Dyah Wyat namun Tribuana Tunggadewi masih balita belum bisa menggantikan ayahnya. Wirota bisa memastikan anak Wijaya itu tidak akan memberikan kemajuan apapun bagi Majapahit.*****Arya Wiraraja telah mengijinkan Wirota mencari keberadaan harta karun itu bersama Macan Garung. M
Perlahan kabut mulai turun di desa itu Wirota memandang ke sekelilingnya“Lingkungannya sepi sekali, padahal pelayan tadi bercerita bahwa menjelang purnama banyak orang berkunjung kemari untuk bersemedhi atau ngalap berkah. Tapi jalan yang kita lalui ini sepi sekali. Apakah kita sudah salah jalan?”“Sepertinya begitu Kangmas Wirota, di kaki gunung tadi kita bertemu dengan beberapa orang yang akan bersemedhi, namun di tengaj jalan tiba-tiba saja kita kehilangan jejak mereka. Entah pergi kemana orang-orang itu,” kata Macan Garung“Sebaiknya kita mencari rumah penduduk untuk menginap dulu karena hari mulai gelap dank abut mulai turun,”ujar Wirota.“Ndoro, di sana ada rumah penduduk siapa tahu kita diperbolehkan menginap di tempat itu,” kata Blandhong.Mereka berjalan menuju rumah sederhana dari kayu diterangi lampu minyak. Wirota mengetuk pintu dan tak lama kemudian keluarlah seorang kakek tua.“Kalian pasti mau bersemedhi di atas ya?”“Benar Ki Sanak, kami kemalaman dan sudah kelelahan
Tidak sampai memakan banyak waktu, akhirnya dengan ilmu meringankan tubuh, Wirota dan rombongannya sampai di sebuah kuil yang besar dan megah. Beberapa bebatuan yang besar menyangga bangunan kuil itu.“Besar sekali kuil ini, bahkan jauh lebih besar daripada Kuil Bumi Sambhara peninggalan Kerajaan Medang di masa Dinasti Syailendra,” ujar Macan Garung penuh kekaguman.Di puncak gunung itu pemandangan di bawah terlihat begitu indah, sebuah kuil yang dikelilingi sungai. Sayangnya di beberapa bagian bangunan sudah runtuh, mungkin karena sudah sangat tua dan faktor alam seperti letusan gunung berapi dan gempa membuat bangunan kuil itu rusak.“Kita akan ke puncak kuil mencari batu pusaka itu,” kata Wirota.Ketika mereka hendak berjalan meniti tangga menuju puncak kuil, tiba-tiba sekelompok orang sudah berkelebat menghadang mereka. Orang-orang itu berjubah hitam, wajah mereka sedikit berbeda dengan wajah orang sunda atau jawa pada umumnya. Kulit mereka putih, rambutnya kecoklatan dan bermat
Dalam sekejap, orang-orang Sekte Gunung itu sudah bertumbangan dengan tubuh tersayat pedang Naga Bhumi.“Jika aku menggunakan tenagaku secara penuh, pasti nyawa kalian sudah pergi meninggalkan raga kalian,” kata Wirota.Kelima orang sekte Gunung itu tidak menjawab kecuali hanya mengeluh kesakitan.Wirota memberi tanda pada rombongannya untuk mengikutinya“Ayo kita pergi dari sini!”Kembali mereka berjalan mendekati kuil tua itu. Di puncaknya masih tersisa dinding kuil yang masih berdiri kokoh, namun beberapa batu panjang yang membentuk teras-teras itu sebagian sudah roboh bertumbangan. Di sekitar kuil terdapat banyak pohon kemenyan dan bunga cempaka, suasana di sekitar tempat itu begitu teduh, nyaman dan udaranya berbau harum bunga cempaka. Di dekat tempat itu ada sebuah sumur yang bersumber dari mata air yang selalu mengeluarkan air sepanjang tahun. Mereka beristirahat sejenak“Kangmas Wirota, menurutku ini bukan kuil tetapi sebuah punden berundak yang sangat besar. Permasalahannya
Namun sebelum sampai pada sasarannya, tiba-tiba terdengar suara berkelebat dan kesiur angin melewati tubuhnya. Belum sempat Wirota menyadari, seseorang telah menangkis pukulannya. "Wiro, hentikan!" Wirota menoleh, ternyata Mahesa Wagal yang menangkis serangannya. Di belakangnya menyusul Gajah Mada, Gayatri dan Banyak Wungu. "Gusti Wirota, tunggu!" Seru Banyak Wungu. Wirota terkejut melihat kedatangan Banyak Wungu bersama Gajah Mada dan Gayatri. Sebuah pikiran buruk terlintas di benaknya. Jangan-jangan, Majapahit sudah membantai seluruh pasukan Sadeng dan Keta lalu mereka menyandera Banyak Wungu batin Wirota cemas. "Banyak Wungu, apa yang terjadi? Mengapa kamu bisa bersama mereka?"Tanya Wirota. "Gusti Wirota, Gusti Ratu Tribuana telah memerintahkan tabib Majapahit untuk mengobati para prajurit kita yang terluka. Dia mengatakan bahwa dia ingin Gusti Wirota kembali ke Majapahit. Beliau berjanji akan memberi anda jabatan Juru Demung atau Patih di Daha," ujar Banyak Wungu.
Ditantang seperti itu membuat darah Wirota seketika mendidih. Tapi dia tak ingin terlihat emosional di depan Ra Kembar. Setelah menghela nafas panjang untuk meredakan amarahnya barulah Wirota menjawab "Siapa takut?! Aku bukan laki-laki pengecut. Baik, kuterima tantanganmu!" Saat itu hari sudah menjelang maghrib,, namun situasi di sekitar gelanggang masih terang benderang bagai di siang hari bolong. Energi batu pusaka dari Gunung Padang yang dibuat menjadi tombak Naga langit begitu kuat dan seolah tak ada habisnya. Cahayanya masih terus berpendar tanpa meredup sedikitpun. Wirota menancapkan pedangnya ke tanah, lalu berjalan mendekati Ra Kembar dan memasang sikap kuda-kuda. Ra Kembar tersenyum, dia sangat yakin akan menang. Sepanjang karirnya sebagai prajurit, Ajian Balung Ireng tak pernah gagal membunuh musuhnya hanya dalam satu dua jurus Ra Kembar berjalan mendekati Wirota, kini mereka sudah berdiri berhadapan siap bertarung. Ra Kembar mengatupkan kedua tangannya di dep
Suara derap kaki kuda di belakangnya semakin dekat. Siapa itu, mungkinkah Lembu Peteng, Ikal-ikalan Bang atau Jabung Taraweskah? Hanya mereka yang tahu jalur yang kulewati ini, batin Ra Kembar. Hatinya mulai tenang merasa ada yang menemani. Ra Kembar sengaja mengambil jalur yang berbeda, sebuah jalur tersembunyi, bukan jalan yang biasa dilewati para prajurit Majapahit untuk pulang menuju Trowulan. Jalur itu jalannya lebih sempit dan melewati hutan belantara. Ra Kembar menoleh, dilihatnya ada seorang penunggang kuda mengejarnya. Terkesiap Ra Kembar ketika melihat penunggangnya, dari pakaian dan wajahnya dia dapat mengenali penunggang kuda yang mengejarnya adalah Wirota. "Sial, gara-gara harus membebaskan diri dari totokan Resi tua tadi, waktuku terbuang di pondok itu. Sekarang Wirota sudah menemukanku. Aku lupa dia juga tahu jalur ini ketika melarikan diri bersama Prabu Wijaya ke Madura," gerutu Ra Kembar. Ra Kembar kembali memacu kudanya. Tiba-tiba terdengar suara kelebatan d
RA Kembar terkejut, ketika menoleh dilihatnya seorang bhiksuni berdiri di belakangnya "Siapa kamu? Tak usah ikut campur, sebaiknya kamu pergi bertapa saja. Tempat ini bukan untuk wanita sepertimu!" Ra Kembar ternyata tidak mengenali sosok Gayatri yang kini menjadi bhiksuni. Beberapa prajurit Araraman yang berjaga di tepi hutan segera menghadang Gayatri melindungi Ra Kembar. Gayatri mendengus marah "Aku akan pergi jika tombak itu kamu kembalikan pada pemiliknya! Usai berkata Gayatri berkelebat dengan cepat melompati para prajurit yang menghadangnya lalu mencoba merebut tombak. Ra Kembar panik, tangan kanannya masih kebas karena totokan Mahesa Wagal. Membuatnya tak bebas bergerak. Tetapi dia masih sempat menghindar sehingga Gayatri gagal merebut tombak. "Siapa kamu? Beraninya kamu melawanku.Baiklah aku akan membuatmu seperti para bhiksu di Kasogatan Bajraka!" "Prajurit, bereskan dia!" perintah Ra Kembar. Spontan para prajurit Araraman segera mengeroyok Gayatri. Terpaksa
Mahesa Wagal dan Gajah Mada terkejut karena hal ini jauh di luar rencana mereka. "Mada, siapa yang mengacaukan pertemuan ini?" Tanya Mahesa Wagal. Gajah Mada menggeleng, dia juga bingung melihat kejadian yang berlangsung di depannya. Mendadak Wirota menarik tubuh Gajah Mada dan mulai memukulinya. Sontak Gajah Mada berusaha menghindar dan membela diri. Wirota terus menerjang, sehingga pertarungan keduanya berlangsung sengit, namun Gajah Mada tidak pernah membalas serangan Wirota, hanya menghindar saja. Hal ini membuat Wirota semakin gusar, "Ayolah Mada, jangan jadi pengecut! Lawan aku, jangan hanya menghindar saja!" "Paman Wirota, sabar dulu...kami tidak tahu tentang serangan ini. Gusti Ratu tidak pernah memerintahkan penyerangan ini!" Seru Gajah Mada sambil berusaha menghindari serangan Wirota. "Bohong...jangan harap aku akan percaya pada kalian!" Wirota kembali menyabetkan pedang ke.leher Gajah Mada. Wirota yang sudah terlanjur marah, tangannya bergerak mencabut pedang Na
"Aneh. tak biasanya mereka begini. Baiklah, aku akan menemui mereka," kata Wirota. Setibanya di tepi hutan, Wirota terkejut ketika mendapati tamunya ternyata adalah Gajah Mada dan seorang lelaki tua berpakaian seperti seorang Resi/ pertapa yang berjalan tertatih dengan tongkat. Mereka berdua memberi salam setelah itu Gajah Mada berkata "Paman, saya mengantar Paman Mahesa Wagal kemari karena dia sangat ingin bertemu dengan anda. Kemarin dia mendatangi kemah kami dan minta diajak menemui anda." Wirota tampak terkejut, tak disangkanya Resi tua yang berjalan terpincang itu adalah rekannya di masa masih berjuang melawan pemberontakan Jayakatwang. Mahesa Wagal adalah seniornya di masa mereka masih berdinas di Singasari. Ah, waktu sudah lama berlalu, Mahesa Wagal sekarang hanyalah seorang lelaki tua yang sakit-sakitan, batin Wirota. Namun Wirota tak mau memperlakukan Mahesa Wagal layaknya seorang sahabat lama. Di mata Wirota siapapun yang bekerjasama dengan Majapahit adalah musuh.
Suara langkah kaki itu berhenti. Wirota berkelebat menghampiri asal suara. Dalam keremangan sinar bulan dia melihat satu sosok yang sangat dikenalnya. Gayatri, bagaimana dia bisa tahu aku ada di sini? pikir Wirota. Masa muda telah berlalu, namun Gayatri masih tetap memberikan atensi kepadanya, berada di sisinya di saat dia memerlukan teman. Di lubuk hatinya yang paling dalam, sesungguhnya dulu Wirota juga tertarik kepada Gayatri. Namun dia cukup tahu diri dan tak ingin menyakiti hati sahabatnya Dyah Wijaya walaupun di saat itu Gayatri selalu mencoba menarik perhatiannya. Mendadak Wirota salah tingkah, dadanya berdebar, tapi dia tak ingin Gayatri mengetahui apa yang sedang dirasakannya. Maka dia berusaha bersikap wajar dengan bertanya "Banthe? Bagaimana anda bisa tahu saya berada di sini?" Gayatri hanya tersenyum dan menjawab "Wirota, hutan bagaikan rumahku. Aku sudah tiga bulan bertapa di sekitar hutan ini, dan aku juga sudah melihat peperangan kalian." Ah. Gayatri. aku
"Siapa kamu dan mengapa kamu ada di sini?" gertak Banyak Wungu. "Ssa...saya penduduk di sini, Eeeh...saya mencari kucing saya yang lari ke sini, " jawab orang itu ketakutan. Banyak Wungu mengamati orang itu dengan seksama lalu bertanya lagi "Bukankah para penduduk yang masih ada di sini seharusnya beristirahat karena besok dini hari kalian sudah harus pergi dari sini!" Orang itu tampaknya sudah terlalu lemas dan sulit berkata-kata lagi. mungkin karena seluruh wajahnya sudah bengkak sehingga untuk bicarapun terasa sakit. "Baiklah, mungkin kamu perlu sedikit disiksa supaya mau bicara!" Banyak Wungu mengeluarkan sebilah pisau, bersiap mengiris kulit tawanannnya. Tiba-tiba Wirota mendengar suara kelebatan di balik pepohonan di antara para prajurit yang berkerumun. Sejurus kemudian, dia merasakan desir angin tipis melaju di depannya. Begitu samar sehingga hanya orang yang berilmu kanuragan tingkat tinggi saja yang bisa merasakannya. Mendadak Wirota menyadari sesuatu, tapi ter
Seketika Ra Kembar tersentak. Dia seolah mendapatkan energi baru."Blaaar...blaar...blaaar!"Suara ledakan dari hulu meriam rampasan dari pasukan Mongol, menembakan pelurunya ke arah dinding benteng. Setelah beberapa kali menembakan peluru meriam, benteng batu bata setinggi 10 meter itupun tak lama kemudian roboh. Beberapa prajurit yang berdiri di dekat tembok benteng seketika tertimbun reruntuhan batu tembok.Terdengar teriakan pasukan Majapahit menyerbu kota. Ra Kembar dengan semangat baru menghajar pasukan Tigangjuru yang mencoba mendekatinya dengan cambuknya. Beberapa prajurit Tigangjuru yang terkena sabetan cambuknya yang berujung pisau tajam terlempar dengan luka-luka di sekujur tubuh mereka. ujung-ujung pisau itu telah dilumuri ramuan racun. Sehingga dalam sekejap para prajurit itu sekarat dan gugur."Ha ha ha ha sekarang kalian sudah terkepung seperti tikus sawah yang digropyok petani!" Ra Kembar berseru sambil menyabetkan cambuknya ke segala arah.Celaka, mereka membawa meria