Mendadak Wirota teringat akan perjanjian Songenep yang ditandatangani Wijaya dengan Aria Wiraraja. Akankah perjanjian itu akan tetap dipatuhi oleh keturunan Wijaya? Apalagi Wijaya telah meninggal dan kelak setelah Wiraraja meninggal. Segala alasan akan dicari untuk merebut kembali wilayah Majapahit Timur.Setelah kematian Wijaya, Jayanegara anak Wijaya dengan Dara Pethak naik tahta menggantikan ayahnya. Banyak orang yang sebenarnya tidak setuju dengan pengangkatan Jayanegara sebagai Raja karena dia tidak memiliki darah Rajasa yang murni karena ibunya adalah Putri Kerajaan Melayu. Sedangkan dari ke 4 puteri Kertanegra, hanya Gayatri yang dapat memberikan keturunan 2 orang anak perempuan Tribuana Tunggadewi dan Dyah Wyat namun Tribuana Tunggadewi masih balita belum bisa menggantikan ayahnya. Wirota bisa memastikan anak Wijaya itu tidak akan memberikan kemajuan apapun bagi Majapahit.*****Arya Wiraraja telah mengijinkan Wirota mencari keberadaan harta karun itu bersama Macan Garung. M
Perlahan kabut mulai turun di desa itu Wirota memandang ke sekelilingnya“Lingkungannya sepi sekali, padahal pelayan tadi bercerita bahwa menjelang purnama banyak orang berkunjung kemari untuk bersemedhi atau ngalap berkah. Tapi jalan yang kita lalui ini sepi sekali. Apakah kita sudah salah jalan?”“Sepertinya begitu Kangmas Wirota, di kaki gunung tadi kita bertemu dengan beberapa orang yang akan bersemedhi, namun di tengaj jalan tiba-tiba saja kita kehilangan jejak mereka. Entah pergi kemana orang-orang itu,” kata Macan Garung“Sebaiknya kita mencari rumah penduduk untuk menginap dulu karena hari mulai gelap dank abut mulai turun,”ujar Wirota.“Ndoro, di sana ada rumah penduduk siapa tahu kita diperbolehkan menginap di tempat itu,” kata Blandhong.Mereka berjalan menuju rumah sederhana dari kayu diterangi lampu minyak. Wirota mengetuk pintu dan tak lama kemudian keluarlah seorang kakek tua.“Kalian pasti mau bersemedhi di atas ya?”“Benar Ki Sanak, kami kemalaman dan sudah kelelahan
Tidak sampai memakan banyak waktu, akhirnya dengan ilmu meringankan tubuh, Wirota dan rombongannya sampai di sebuah kuil yang besar dan megah. Beberapa bebatuan yang besar menyangga bangunan kuil itu.“Besar sekali kuil ini, bahkan jauh lebih besar daripada Kuil Bumi Sambhara peninggalan Kerajaan Medang di masa Dinasti Syailendra,” ujar Macan Garung penuh kekaguman.Di puncak gunung itu pemandangan di bawah terlihat begitu indah, sebuah kuil yang dikelilingi sungai. Sayangnya di beberapa bagian bangunan sudah runtuh, mungkin karena sudah sangat tua dan faktor alam seperti letusan gunung berapi dan gempa membuat bangunan kuil itu rusak.“Kita akan ke puncak kuil mencari batu pusaka itu,” kata Wirota.Ketika mereka hendak berjalan meniti tangga menuju puncak kuil, tiba-tiba sekelompok orang sudah berkelebat menghadang mereka. Orang-orang itu berjubah hitam, wajah mereka sedikit berbeda dengan wajah orang sunda atau jawa pada umumnya. Kulit mereka putih, rambutnya kecoklatan dan bermat
Dalam sekejap, orang-orang Sekte Gunung itu sudah bertumbangan dengan tubuh tersayat pedang Naga Bhumi.“Jika aku menggunakan tenagaku secara penuh, pasti nyawa kalian sudah pergi meninggalkan raga kalian,” kata Wirota.Kelima orang sekte Gunung itu tidak menjawab kecuali hanya mengeluh kesakitan.Wirota memberi tanda pada rombongannya untuk mengikutinya“Ayo kita pergi dari sini!”Kembali mereka berjalan mendekati kuil tua itu. Di puncaknya masih tersisa dinding kuil yang masih berdiri kokoh, namun beberapa batu panjang yang membentuk teras-teras itu sebagian sudah roboh bertumbangan. Di sekitar kuil terdapat banyak pohon kemenyan dan bunga cempaka, suasana di sekitar tempat itu begitu teduh, nyaman dan udaranya berbau harum bunga cempaka. Di dekat tempat itu ada sebuah sumur yang bersumber dari mata air yang selalu mengeluarkan air sepanjang tahun. Mereka beristirahat sejenak“Kangmas Wirota, menurutku ini bukan kuil tetapi sebuah punden berundak yang sangat besar. Permasalahannya
Macan Garung menunjuk dinding kaki kuil yang berlubang di belakang Wirota.“Lihat, dinding itu berongga!”Wirota menoleh ke arah yang ditunjuk Macan Garung, di dalam dinding itu ternyata ada sebuah ruang kosong.“Kita singkirkan batu-batu ini,” perintah Wirota. Macan Garung, Blandhong dan Glempo menyingkirkan bebatuan yang berserakan dan dengan hati-hati melepas susunan batu andesit agar bisa dimasuki.“Hati-hati jangan sampai temboknya runtuh,” kata Wirota.Setelah lubang cukup untuk dimasuki, Wirota mencoba memeriksanya tetapi di dalam sangat gelap. Dia menyuruh Blandhong membuat suluh.“Blandhong, tolong buat obor untuk masuk ke dalam dinding ini!”Setelah membuat obor Wirota dan Macan Garung memutuskan untuk masuk ke dalam.“Kangmas Wirota, sebaiknya kita sirih Blandhong dan Glempo berjaga di luar. Aku kuatir selagi kita berada di dalam, orang-orang sekte Gunung itu datang dan menutup dinding ini sehingga kita tidak bisa keluar dari sini,” Macan Garung menyarankan.“Blandhong, Gl
Macan Garung memeriksa dinding itu, ternyata dinding itu posisinya sedikit melesak ke dalam. Dia mengetuk-ngetuk dindingnya, ada bunyi bergema di dalamnya.“Dinding ini sedikit melesak ke dalam,jika diketuk bunyinya lebih nyaring daripada yang lain. Pasti di belakang dinding ini ada sebuah ruang kosong, bagaimana jika batu ini kita dorong? Siapa tahu di dalamnya memang ada ruangan kosong.”“Kita coba mendorongnya!”Wirota mencoba mendorong dinding tadi namun dinding itu tak bergerak. Garung mencoba membantu“Sini aku bantu mendorong.”Bersama-sama mereka mendorong dinding batu itu, tak lama kemudian terdengar suara bergerudug“Gludug…gludug…gludug!”Dinding itu bergeser, di dalamnya ada sebuah ruangan.“Nah, benar kan ada ruangan di dalamnya!” kata Macan Garung.Ruangan itu tidak ada obor namun suasana di dalamnya cukup terang, Wirota menengadah di setiap pojok dinding ada sebuah bola kristal yang memendarkan cahaya. Dinding batu di ruangan itu juga tampak licin tanpa sambungan nat.
Wirota, Macan Garung dan Blandhong saling berpandangan, mereka masih belum mengerti apa yang dimaksud Resi Ajiraga.“Maksud resi bagaimana?” Tanya Wirota.“Aku merasakan ada sebuah energi yang sangat kuat dari benda yang kalian bawa. Benda apa itu? Berhati-hatilah terhadap barang pusaka karena tidak semua orang cocok dan selaras dengan energi yang dipancarkannya. Jika kalian tidak kuat, kalian akan sakit dan bahkan dapat menyebabkan kematian secara perlahan-lahan karena sakit kalian,” kata Resi Ajiraga.Wirota mengambil buntalan berisi batu pusaka dari gunung Padang lalu membukanya. Resi itu terkejut ketika mendapati batu itu“Batu Pusaka Gunung Padang, energi itu dari batu ini,” desisnya sambil mendekatkan telapak tangannya ke arah batu itu.Ajiraga merasakan adanya pancaran energi yang sangat kuat memancar dari batu itu melawan energi yang dipancarkan dari tangannya. Resi itu kemudian menghela nafas“Bagaimana kalian bisa menemukan batu ini? Selama ribuan tahun batu itu tersimpan d
“Ya, kuil itu masih berdiri utuh, waah megah sekali, lebih besar daripada kuil Bumi Sambhara!” Seru Garung dengan perasaan kagum.Saat itu mereka berada di puncak kuil, di sekitar mereka orang-orang berlalu lalang memakai baju putih-putih. Saat berpapasan mereka melihat wajah orang-orang itu sangat berbeda dengan wajah orang Jawa pada umumnya. Kulit mereka lebih terang,tubuh mereka rata-rata tinggi semampai, hidungnya mancung matanya berwarna coklat, ada pula yang biru dengan rambut berwarna coklat gelap.“Duh, Gusti, cantik-cantik sekali gadis-gadis itu,” gumam Macan Garung yang terbengong-bengong melihat gadis-gadis yang berlalu di depan mereka.Mereka tersenyum melihat penampilan Macan Garung dan Wirota yang aneh. Angin semilir membawa harum bunga Cempaka.Resi Ajiraga menunjuk ke satu arah“Lihat ada kereta berjalan tanpa kuda, apa yang menggerakan mereka?” Tanya Garung dengan heran.Kereta itu lewat di depan mereka, meluncur tanpa suara mesin.“Resi, dengan apa mereka menggera