Sejenak Wahana terdiam di tempatnya, hari sudah gelap Wahana harus mencari tempat penginapan. Berada di tepi hutan seperti ini sangat berbahaya baginya. Dia harus menghadapi resiko menghadapi serangan binatang buas dan para penyerangnya tadi mungkin bisa saja kembali bersama-teman-temannya menyergapnya malam itu.Wahana akhirnya memutuskan untuk mencari tempat menginap. Setelah beberapa saat berjalan, tibalah dia di sebuah Kasogatan (Biara Budha) yang tampak tak terawat. Patung Sang Budha yang ada di bawah pohon Bodhi tampak sudah rusa, berlumut dan berjamur. Semak dan rumput tumbuh di depan halamannya. Walaupun tampak tak terawat dan sebagian tembok dan atapnya sudah roboh, namun ada bagian dari Kasogatan itu yang masih bisa dipakai untuk menginap.Wahana menambatkan kudanya di bawah pohon Bodhi, rumput dan semak belukar di tebasnya dengan pedang untuk menudahkannya berjalan. Ditatapnya kasogatan yang berdiri di depannya“Kasogatan ini pasti dulunya kuil yang ramai, sayang ben
Lembu Sora yang datang bersama Juru Demung dan Gajah Biru terkejut ketika mendadak beberapa prajurit Majapahit langsung menghadang mereka.“Apa-apaan ini? Aku ingin bertemu dengan Prabu Wijaya!” Seru Lembu Sora dengan marah.“Maaf Patih Sora, tetapi kami harus mennagkap anda karena anda ingin memberontak!” Kata Mahesa Taruna putra Kebo Anabrang.“Aku tidak ingin memberontak, apakah kalian semua meragukan kesetiaanku pada Majapahit? Aku hanya ingin bertemu dengan Gusti Prabu. Ijinkan aku masuk menemuinya!”“Kalau kau memang setia pada Majapahit, lalu mengapa kau membunuh ayahku? Padahal ayahku seorang pejabat yang loyal pada Prabu Kertanegara dan Prabu Wijaya. Dia telah membunuh Ranggalawe yang telah mempermalukan Prabu Wijaya dan menyerang Majapahit. Kau memihak Ranggalawe si pemberontak itu atau Majapahit?!” Tanya Mahesa Taruna.“Oh sekarang aku tahu, kau hanya ingin membalaskan dendam kematian ayahmu kan? Baiklah, kita akan bertarung satu lawan satu!” Seru Lembu Sora.Gajah Biru m
Setelah berbicara dengan Wijaya, hati Gajah Biru merasa lega. Dia segera pergi mngundurkan diri. Sementara itu Wijaya kembali tenggelam dalam nestapa dan rasa sesal yang kemudian tidak berguna lagi karena orang yang disayanginya sudah meninggal dunia.Setelah puas menangis, Prabu Wijaya menyuruh abdinya memanggilkan Rakryan Demung dan Rakryan Kanuruhan. Tak lama kemudian kedua pejabat itu datang menghadap di komplek kediaman Raja.“Ada perintah apa Gusti Prabu?” Tanya mereka setelah menghadap.Dari balik tabir Wijaya memberikan perintah pada mereka“Tolong perlakukan jenazah Paman Sora secara layak, kita akan memperabukan jenazahnya dengan sebuah upacara perabuan layaknya seorang bangsawan. Undang keluarganya ke istana untuk mengikuti prosesi upacara perabuannya.”“Segera kami akan mempersiapkan upacaranya,” kata Rakryan Kanuruhan yang bertugas mengurus urusan upacara kerajaan.*****Nyai Sora dan anak-anaknya hanya bisa menangisi kematian suaminya, ketika jenazah suaminya mulai diba
Satu persatu kawanan perampok keluar dari tempat persembunyian mereka di hutan. Rombongan keluarga Lembu Sora langsung berhenti dan menghunus senjata. Nyai Sora, Macan Garung dan Menur adik Macan Garung sudah bersiap menyerang para perampok itu. Tak lama kemudian terdengar suara seseorang yang sangat dikenalnya“Ndoro Garung, sebaiknya anda serahkan saja peta kuno peninggalan Gusti Sora kepadaku. Setelah itu aku akan membiarkan kalian pergi.”Macan Garung, Gajah Biru dan Juru Demung terkejut, dilihatnya Puguh pelayan keluarga Sora sedang bersama orang-orang yang mencegatnya. Puguh yang biasanya berpenampilan lugu dan tidak memiliki ilmu kanuragan, kali ini penampilannya jauh berbeda. Puguh menghunus senjata dan berpakaian seperti pendekar. Gaya bicaranya pun bukan seperti orang desa melainkan seperti seorang prajurit. Sekarang Macan Garung sadar bahwa Puguh abdi di rumahnya yang sehari-harinya bekerja sebagai pengurus kuda dan taman ternyata bukan orang desa biasa seperti yang diduga
“Abdi dalem itu siapa dia sebenarnya?” Tanya Wirota.“Dia adalah salah satu anggota Wukir Polaman yang berusaha menghancurkan Majapahit dari dalam dengan segala fitnah dan hasutan seperti yang terjadi saat ini. Hasutan mereka telah memakan banyak korban mulai dari Ranggalawe, Kebo Anabrang dan sekarang ayahku sendiri,” kata Macan Garung dengan sedih.“Lalu bagaimana kabarnya Gusti Patih Sora?” Tanya Wirota dengan cemas.Wajah Macan Garung mendadak berubah sedih“Ayahku sudah meninggal dibunuh oleh pasukan Majapahit. Saat itu ayahku bersama Gajah Biru dan Juru Demung bermaksud menemui Gusti Prabu Wijaya. Ayahku tidak bersedia dihukum buang, dia memilih mati secara ksatria dan rela menerima hukuman mati.”Wirota terkejut, air matanya berlinang“Gusti Sora sudah meninggal? Ah, seandainya saja beliau bersedia ikut ke Majapahit Timur, niscaya Gusti Prabu Wiraraja akan menolongnya menyelamatkannya dari hukuman buang. Aku sudah pernah menawarinya tetapi dia menolaknya.”“Romo sangat menyay
Mendadak Wirota teringat akan perjanjian Songenep yang ditandatangani Wijaya dengan Aria Wiraraja. Akankah perjanjian itu akan tetap dipatuhi oleh keturunan Wijaya? Apalagi Wijaya telah meninggal dan kelak setelah Wiraraja meninggal. Segala alasan akan dicari untuk merebut kembali wilayah Majapahit Timur.Setelah kematian Wijaya, Jayanegara anak Wijaya dengan Dara Pethak naik tahta menggantikan ayahnya. Banyak orang yang sebenarnya tidak setuju dengan pengangkatan Jayanegara sebagai Raja karena dia tidak memiliki darah Rajasa yang murni karena ibunya adalah Putri Kerajaan Melayu. Sedangkan dari ke 4 puteri Kertanegra, hanya Gayatri yang dapat memberikan keturunan 2 orang anak perempuan Tribuana Tunggadewi dan Dyah Wyat namun Tribuana Tunggadewi masih balita belum bisa menggantikan ayahnya. Wirota bisa memastikan anak Wijaya itu tidak akan memberikan kemajuan apapun bagi Majapahit.*****Arya Wiraraja telah mengijinkan Wirota mencari keberadaan harta karun itu bersama Macan Garung. M
Perlahan kabut mulai turun di desa itu Wirota memandang ke sekelilingnya“Lingkungannya sepi sekali, padahal pelayan tadi bercerita bahwa menjelang purnama banyak orang berkunjung kemari untuk bersemedhi atau ngalap berkah. Tapi jalan yang kita lalui ini sepi sekali. Apakah kita sudah salah jalan?”“Sepertinya begitu Kangmas Wirota, di kaki gunung tadi kita bertemu dengan beberapa orang yang akan bersemedhi, namun di tengaj jalan tiba-tiba saja kita kehilangan jejak mereka. Entah pergi kemana orang-orang itu,” kata Macan Garung“Sebaiknya kita mencari rumah penduduk untuk menginap dulu karena hari mulai gelap dank abut mulai turun,”ujar Wirota.“Ndoro, di sana ada rumah penduduk siapa tahu kita diperbolehkan menginap di tempat itu,” kata Blandhong.Mereka berjalan menuju rumah sederhana dari kayu diterangi lampu minyak. Wirota mengetuk pintu dan tak lama kemudian keluarlah seorang kakek tua.“Kalian pasti mau bersemedhi di atas ya?”“Benar Ki Sanak, kami kemalaman dan sudah kelelahan
Tidak sampai memakan banyak waktu, akhirnya dengan ilmu meringankan tubuh, Wirota dan rombongannya sampai di sebuah kuil yang besar dan megah. Beberapa bebatuan yang besar menyangga bangunan kuil itu.“Besar sekali kuil ini, bahkan jauh lebih besar daripada Kuil Bumi Sambhara peninggalan Kerajaan Medang di masa Dinasti Syailendra,” ujar Macan Garung penuh kekaguman.Di puncak gunung itu pemandangan di bawah terlihat begitu indah, sebuah kuil yang dikelilingi sungai. Sayangnya di beberapa bagian bangunan sudah runtuh, mungkin karena sudah sangat tua dan faktor alam seperti letusan gunung berapi dan gempa membuat bangunan kuil itu rusak.“Kita akan ke puncak kuil mencari batu pusaka itu,” kata Wirota.Ketika mereka hendak berjalan meniti tangga menuju puncak kuil, tiba-tiba sekelompok orang sudah berkelebat menghadang mereka. Orang-orang itu berjubah hitam, wajah mereka sedikit berbeda dengan wajah orang sunda atau jawa pada umumnya. Kulit mereka putih, rambutnya kecoklatan dan bermat