Telik sandi itu terkejut dan berusaha lari namun Wirota sudah berkelebat mengejarnya lalu kembali mencengkeram bahunya, menangkap dan mengunci tangannya.“Pengawal, tangkap orang ini, dia mata-mata Daha!”Beberapa prajurit berkelebat menangkap telik sandi itu, dikeroyok oleh banyak prajurit mambuat mata-mata itu hanya bisa pasrah dan membiarkan dirinya dibawa ke penjara. Terbayang sudah siksaan yang akan dialaminya jika dia tidak memberikan informasi yang diketahuinya kepada pihak Wijaya.Sementara itu Jalak Katengeng telah menyelidiki situasi di hutan Alas Tarik. Sebagai seorang telik sandi berpengalaman, dia telah menyelidiki keberadaan Alas Tarik secara mendalam. Di sana telik sandinya telah melaporkan adanya sebuah desa tersembunyi di dalam Alas Tarik, dia masih menunggu laporan lebih lanjut dari telik sandinya yang menyamar sebagai pendatang dari Singasari dan menjadi warga desa Majapahit.Di pesanggrahan sementaranya di desa Wirasabha, Jalak Katengeng menunggu telik sandinya y
“Kalau begitu kita harus segera menyiapkan pasukan ke Tegal Bobotsari untuk menghalau pasukan Madura,” kata Kebo Mudarang.Jayakatwang langsung menukasnya“Tidak, jangan terkecoh dengan serangan Wiraraja, aku tahu persis gaya perangnya, dia akan memecah pasukan kita, mengalihkan sebagian kekuatan kita ke tempat lain. Kalau kita mengerahkan pasukan ke Tegal Bobotsari, kita akan terjebak dalam tipuan Wiraraja.”“Lalu mana yang akan kita serang dulu? Mereka sudah mengepung dari segala penjuru,” kata Jalak Katengeng.“Pasukan Mongol itu, mereka datang dengan menggunakan kapal, pasti saat ini mereka sedang berada di pelabuhan sungai bersama kapal mereka yang mengangkut prajuritnya untuk dapat menjangkau Daha. Kita kerahkan pasukan ke Kali Mas untuk menghadang pasukan Mongol agar tidak masuk ke benteng kota dan sebagian menjaga benteng kota !”“Baik Gusti Prabu,”Kebo Mudarang segera pergi menyiapkan pasukan.Sebanyak 100 kapal perang Daha dengan dekorasi kepala raksasa menyerang pasukan Mo
Sementara itu Wijaya dan pasukannya segera mencari lokasi keputren. Mereka masuk dari arah belakang komplek istana“Gusti Wijaya, jangan sampai orang-orang Mongol itu lebih dulu menemukan keputren. Habislah mereka buat bancakan pasukan Mongol itu. Jumlah mereka kan tinggal sedikit, apalagi Gusti Gayatri masih di dalam,” ujar Wirota.“Tenang saja Wiro, denah Keputren itu sudah kuhapus, kuganti dengan nama ruangan beribadah,” ujar Wjaya dengan tenang.Wirota pun merasa lega mendengar keterangan Wijaya.Setelah menembus pertahanan pasukan Daha, akhirnya mereka menemukan keputren dan segera membuka gerbangnya setelah melumpuhkan penjaga keputren.Namun di sana mereka hanya menemukan jasad Ratna Kesari dan ibunya Turuk Bali. Mereka bunuh diri dengan menggunakan cundrik (keris kecil). Gayatri bersimpuh di dekat jasad Turuk Bali dan Ratna Kesari sambil menangis.“Kangmas Wijaya, tolong rawat jenazah mereka dengan baik, biarpun mereka adalah musuh politikmu, tetapi bagaimanapun juga, Bibi
“Mengapa kau begitu curiga kepada dia? Pasukan kita jauh lebih kuat daripada mereka, apa lagi yang kau kuatirkan?” Tanya Shih Pi.Namun Kao Hsing tetap bersikukuh pada pendapatnya“Aku hanya ingin melindungi kepentingan kita. Jangan sampai kita tertipu orang ini, kalau untuk mengambil upeti saja besok juga bisa diambil lagipula jarak kota Daha ke desa Majapahit tidak terlalu jauh. Kami bangsa China sudah ratusan tahun bergaul dan berhubungan dengan bangsa Jawa lewat perdagangan jadi kami tahu persis watak mereka. Kalian bangsa Mongol belum pernah sekalipun bergaul dengan bangsa Jawa, jadi kalian belum pernah kena batunya ketika mereka tiba-tiba menipu dan mengkhianati kalian.”“Baiklah, terserah kau sajalah!” Kao Hsing kembali minum arak dan menikmati hidangan di depannya.Kao Hsing kemudian menyuruh 200 prajurit Mongol untuk mengawal Wijaya kembali ke desa Majapahit malam itu. Dalam perjalanan ke desa Majapahit, Wirota, Jaran Bangkal dan beberapa prajurit lainnya ikut mendampingi Wi
Jayakatwang telah di tahan di Hujung Galuh bersama Ardharaja dan para pembesar Singasari. Mereka semua dipenjara di sebuah pulau di tengah kolam yang disektiarnya banyak terdapat buaya muara sungai yang saat itu banyak terdapat di Jawa. Sulit bagi Jayakatwang dan pengikutnya untuk lari dari pulau itu. Kalaupun mereka berhasil keluar dari penjara dan berenang menyeberang danau, mereka harus berhadapan dengan sekawanan buaya lapar yang sengaja dipiara di tempat itu. Jika beruntung bisa lolos dari serangan buaya, mereka masih harus berhadapan dengan pasukan Mongol yang berjaga di tepi kolam. Kecil kemungkinan untuk dapat menembus penjagaan Mongol karena seluruh lingkungan di pulau itu dijaga oleh para prajurit Mongol dengan pengamanan berlapis. Di tempat pengasingannya, Jayakatwang masih sempat menulis sebuah karya sastra ‘Kidung Wukir Polaman’. Warang seorang Senopati kerajaan Daha, anak dari Jalak Katengeng Kepala Telik Sandi Daha ingin membebaskan ayahnya dan juga Prabu Jayakatwa
Prajurit Mongol yang berhasil meloloskan diri dari sergapan pasukan Warang telah melaporkan adanya penyusup yang mencoba membebaskan Jayakatwang dari penjara. Pasukan Mongol segera berdatangan mengepung kolam. Perahu yang membawa Jayakatwang dan Warang dicegat di tengah jalan.“Celaka, upaya kita ketahuan, prajurit kita yang berjaga di tepi sungai telah berhasil disingkirkan, cepat lindungi prabu Jayakatwang, kita lawan pasukan Mongol itu!”Pasukan Mongol telah menyalakan obor menerangi tepian sungai lalu menghujani perahu Warang dan pasukannya yang sedang berlayar menuju saluran sungai dengan panah. Beberapa prajurit serentak menutupi tubuh Jayakatwang dan Ardharaja dengan perisai. Namun sial bagi Ardharaja, dia terkena panah tepat di dadanya. Sebagian dari prajurit Warang menceburkan diri ke sungai berenang menyelamatkan diri. Beruntung buaya-buaya itu sudah kelenger karena racun sehingga mereka tidak mendapatkan perlawanan yang berarti dari hewan-hewan reptil itu.“Warang, selam
Sungguh malang nasib Jayakatwang dari Raja yang dihormati kini menjadi orang yang paling hina. Pakaiannya kumal dan kotor, rambutnya yang panjang sudah tak pernah disentuh sisir dibiarkannya terurai dan kusut. Namun dia sudah tak peduli dengan nasibnya lagi. Lebih baik mati secara ksatria daripada terus menerus di hina musuh. Kehilangan anak, isteri, harta dan jabatan sekaligus dalam waktu bersamaan adalah hal yang sangat berat dan menyakitkan baginya. Kalaupun dia masih bertahan hidup pun juga percuma saja karena dia sudah kehilangan segalanya.Prajurit yang membawanya kemudian menghempaskannya di hadapan Jenderal Shih Pi yang telah menunggu di pelabuhan. Jenderal Utama ekspedisi Mongol ke Jawa itu benar-benar terlihat marah. Dia telah mengalami kekalahan dari Wijaya, prajuritnya banyak yang mati, maka dia melampiaskan kekesalannya pada Jayakatwang.“Kalian orang-orang Jawa yang licik, kau mencoba lari dari penjara dan membunuh prajurit kami. Sekarang kau harus menerima huku
Hari itu Kebo Anabrang baru saja datang dari ekspedisi Pamalayu. Dia membawa 2 orang Puteri dari kerajaan Dharmasraya yaitu Dara Jingga dan Dara Pethak. Di Bale Manguntur Kebo Anabrang menghadap Wijaya dan melaporkan hasil ekspedisi Pamalayu.“Ampun Paduka, hamba terkejut ketika datang ke Singasari ternyata kerajaan Singasari sudah hancur dan Prabu Kertanegara sudah wafat. Kami mendapat kan berita bahwa anda dan para pendukung Prabu Kertanegara lari ke Alas Tarik.”“Benar Paman Anabrang, saat Paman pergi Jayakatwang mengambil kesempatan untuk memberontak dan membunuh Prabu Kertanegara pada saat tidak ada pasukan di dalam kota Singasari. Saat itu kami sudah benar-benar terdesak, Ardharaja yang semula berpihak pada kami, tiba-tiba membelot setelah tahu ayahnya memenangkan pertempuran. Pasukan kami berkurang dari yang semula 500 orang jadi tinggal separonya. Sialnya saya terjebak dengan tipu daya pasukan Jaran Guyang, kami mengejar Jaran Guyang hingga ke desa Talaga, di sana pasukan ka
Namun sebelum sampai pada sasarannya, tiba-tiba terdengar suara berkelebat dan kesiur angin melewati tubuhnya. Belum sempat Wirota menyadari, seseorang telah menangkis pukulannya. "Wiro, hentikan!" Wirota menoleh, ternyata Mahesa Wagal yang menangkis serangannya. Di belakangnya menyusul Gajah Mada, Gayatri dan Banyak Wungu. "Gusti Wirota, tunggu!" Seru Banyak Wungu. Wirota terkejut melihat kedatangan Banyak Wungu bersama Gajah Mada dan Gayatri. Sebuah pikiran buruk terlintas di benaknya. Jangan-jangan, Majapahit sudah membantai seluruh pasukan Sadeng dan Keta lalu mereka menyandera Banyak Wungu batin Wirota cemas. "Banyak Wungu, apa yang terjadi? Mengapa kamu bisa bersama mereka?"Tanya Wirota. "Gusti Wirota, Gusti Ratu Tribuana telah memerintahkan tabib Majapahit untuk mengobati para prajurit kita yang terluka. Dia mengatakan bahwa dia ingin Gusti Wirota kembali ke Majapahit. Beliau berjanji akan memberi anda jabatan Juru Demung atau Patih di Daha," ujar Banyak Wungu.
Ditantang seperti itu membuat darah Wirota seketika mendidih. Tapi dia tak ingin terlihat emosional di depan Ra Kembar. Setelah menghela nafas panjang untuk meredakan amarahnya barulah Wirota menjawab "Siapa takut?! Aku bukan laki-laki pengecut. Baik, kuterima tantanganmu!" Saat itu hari sudah menjelang maghrib,, namun situasi di sekitar gelanggang masih terang benderang bagai di siang hari bolong. Energi batu pusaka dari Gunung Padang yang dibuat menjadi tombak Naga langit begitu kuat dan seolah tak ada habisnya. Cahayanya masih terus berpendar tanpa meredup sedikitpun. Wirota menancapkan pedangnya ke tanah, lalu berjalan mendekati Ra Kembar dan memasang sikap kuda-kuda. Ra Kembar tersenyum, dia sangat yakin akan menang. Sepanjang karirnya sebagai prajurit, Ajian Balung Ireng tak pernah gagal membunuh musuhnya hanya dalam satu dua jurus Ra Kembar berjalan mendekati Wirota, kini mereka sudah berdiri berhadapan siap bertarung. Ra Kembar mengatupkan kedua tangannya di dep
Suara derap kaki kuda di belakangnya semakin dekat. Siapa itu, mungkinkah Lembu Peteng, Ikal-ikalan Bang atau Jabung Taraweskah? Hanya mereka yang tahu jalur yang kulewati ini, batin Ra Kembar. Hatinya mulai tenang merasa ada yang menemani. Ra Kembar sengaja mengambil jalur yang berbeda, sebuah jalur tersembunyi, bukan jalan yang biasa dilewati para prajurit Majapahit untuk pulang menuju Trowulan. Jalur itu jalannya lebih sempit dan melewati hutan belantara. Ra Kembar menoleh, dilihatnya ada seorang penunggang kuda mengejarnya. Terkesiap Ra Kembar ketika melihat penunggangnya, dari pakaian dan wajahnya dia dapat mengenali penunggang kuda yang mengejarnya adalah Wirota. "Sial, gara-gara harus membebaskan diri dari totokan Resi tua tadi, waktuku terbuang di pondok itu. Sekarang Wirota sudah menemukanku. Aku lupa dia juga tahu jalur ini ketika melarikan diri bersama Prabu Wijaya ke Madura," gerutu Ra Kembar. Ra Kembar kembali memacu kudanya. Tiba-tiba terdengar suara kelebatan d
RA Kembar terkejut, ketika menoleh dilihatnya seorang bhiksuni berdiri di belakangnya "Siapa kamu? Tak usah ikut campur, sebaiknya kamu pergi bertapa saja. Tempat ini bukan untuk wanita sepertimu!" Ra Kembar ternyata tidak mengenali sosok Gayatri yang kini menjadi bhiksuni. Beberapa prajurit Araraman yang berjaga di tepi hutan segera menghadang Gayatri melindungi Ra Kembar. Gayatri mendengus marah "Aku akan pergi jika tombak itu kamu kembalikan pada pemiliknya! Usai berkata Gayatri berkelebat dengan cepat melompati para prajurit yang menghadangnya lalu mencoba merebut tombak. Ra Kembar panik, tangan kanannya masih kebas karena totokan Mahesa Wagal. Membuatnya tak bebas bergerak. Tetapi dia masih sempat menghindar sehingga Gayatri gagal merebut tombak. "Siapa kamu? Beraninya kamu melawanku.Baiklah aku akan membuatmu seperti para bhiksu di Kasogatan Bajraka!" "Prajurit, bereskan dia!" perintah Ra Kembar. Spontan para prajurit Araraman segera mengeroyok Gayatri. Terpaksa
Mahesa Wagal dan Gajah Mada terkejut karena hal ini jauh di luar rencana mereka. "Mada, siapa yang mengacaukan pertemuan ini?" Tanya Mahesa Wagal. Gajah Mada menggeleng, dia juga bingung melihat kejadian yang berlangsung di depannya. Mendadak Wirota menarik tubuh Gajah Mada dan mulai memukulinya. Sontak Gajah Mada berusaha menghindar dan membela diri. Wirota terus menerjang, sehingga pertarungan keduanya berlangsung sengit, namun Gajah Mada tidak pernah membalas serangan Wirota, hanya menghindar saja. Hal ini membuat Wirota semakin gusar, "Ayolah Mada, jangan jadi pengecut! Lawan aku, jangan hanya menghindar saja!" "Paman Wirota, sabar dulu...kami tidak tahu tentang serangan ini. Gusti Ratu tidak pernah memerintahkan penyerangan ini!" Seru Gajah Mada sambil berusaha menghindari serangan Wirota. "Bohong...jangan harap aku akan percaya pada kalian!" Wirota kembali menyabetkan pedang ke.leher Gajah Mada. Wirota yang sudah terlanjur marah, tangannya bergerak mencabut pedang Na
"Aneh. tak biasanya mereka begini. Baiklah, aku akan menemui mereka," kata Wirota. Setibanya di tepi hutan, Wirota terkejut ketika mendapati tamunya ternyata adalah Gajah Mada dan seorang lelaki tua berpakaian seperti seorang Resi/ pertapa yang berjalan tertatih dengan tongkat. Mereka berdua memberi salam setelah itu Gajah Mada berkata "Paman, saya mengantar Paman Mahesa Wagal kemari karena dia sangat ingin bertemu dengan anda. Kemarin dia mendatangi kemah kami dan minta diajak menemui anda." Wirota tampak terkejut, tak disangkanya Resi tua yang berjalan terpincang itu adalah rekannya di masa masih berjuang melawan pemberontakan Jayakatwang. Mahesa Wagal adalah seniornya di masa mereka masih berdinas di Singasari. Ah, waktu sudah lama berlalu, Mahesa Wagal sekarang hanyalah seorang lelaki tua yang sakit-sakitan, batin Wirota. Namun Wirota tak mau memperlakukan Mahesa Wagal layaknya seorang sahabat lama. Di mata Wirota siapapun yang bekerjasama dengan Majapahit adalah musuh.
Suara langkah kaki itu berhenti. Wirota berkelebat menghampiri asal suara. Dalam keremangan sinar bulan dia melihat satu sosok yang sangat dikenalnya. Gayatri, bagaimana dia bisa tahu aku ada di sini? pikir Wirota. Masa muda telah berlalu, namun Gayatri masih tetap memberikan atensi kepadanya, berada di sisinya di saat dia memerlukan teman. Di lubuk hatinya yang paling dalam, sesungguhnya dulu Wirota juga tertarik kepada Gayatri. Namun dia cukup tahu diri dan tak ingin menyakiti hati sahabatnya Dyah Wijaya walaupun di saat itu Gayatri selalu mencoba menarik perhatiannya. Mendadak Wirota salah tingkah, dadanya berdebar, tapi dia tak ingin Gayatri mengetahui apa yang sedang dirasakannya. Maka dia berusaha bersikap wajar dengan bertanya "Banthe? Bagaimana anda bisa tahu saya berada di sini?" Gayatri hanya tersenyum dan menjawab "Wirota, hutan bagaikan rumahku. Aku sudah tiga bulan bertapa di sekitar hutan ini, dan aku juga sudah melihat peperangan kalian." Ah. Gayatri. aku
"Siapa kamu dan mengapa kamu ada di sini?" gertak Banyak Wungu. "Ssa...saya penduduk di sini, Eeeh...saya mencari kucing saya yang lari ke sini, " jawab orang itu ketakutan. Banyak Wungu mengamati orang itu dengan seksama lalu bertanya lagi "Bukankah para penduduk yang masih ada di sini seharusnya beristirahat karena besok dini hari kalian sudah harus pergi dari sini!" Orang itu tampaknya sudah terlalu lemas dan sulit berkata-kata lagi. mungkin karena seluruh wajahnya sudah bengkak sehingga untuk bicarapun terasa sakit. "Baiklah, mungkin kamu perlu sedikit disiksa supaya mau bicara!" Banyak Wungu mengeluarkan sebilah pisau, bersiap mengiris kulit tawanannnya. Tiba-tiba Wirota mendengar suara kelebatan di balik pepohonan di antara para prajurit yang berkerumun. Sejurus kemudian, dia merasakan desir angin tipis melaju di depannya. Begitu samar sehingga hanya orang yang berilmu kanuragan tingkat tinggi saja yang bisa merasakannya. Mendadak Wirota menyadari sesuatu, tapi ter
Seketika Ra Kembar tersentak. Dia seolah mendapatkan energi baru."Blaaar...blaar...blaaar!"Suara ledakan dari hulu meriam rampasan dari pasukan Mongol, menembakan pelurunya ke arah dinding benteng. Setelah beberapa kali menembakan peluru meriam, benteng batu bata setinggi 10 meter itupun tak lama kemudian roboh. Beberapa prajurit yang berdiri di dekat tembok benteng seketika tertimbun reruntuhan batu tembok.Terdengar teriakan pasukan Majapahit menyerbu kota. Ra Kembar dengan semangat baru menghajar pasukan Tigangjuru yang mencoba mendekatinya dengan cambuknya. Beberapa prajurit Tigangjuru yang terkena sabetan cambuknya yang berujung pisau tajam terlempar dengan luka-luka di sekujur tubuh mereka. ujung-ujung pisau itu telah dilumuri ramuan racun. Sehingga dalam sekejap para prajurit itu sekarat dan gugur."Ha ha ha ha sekarang kalian sudah terkepung seperti tikus sawah yang digropyok petani!" Ra Kembar berseru sambil menyabetkan cambuknya ke segala arah.Celaka, mereka membawa meria