Hari itu Kebo Anabrang baru saja datang dari ekspedisi Pamalayu. Dia membawa 2 orang Puteri dari kerajaan Dharmasraya yaitu Dara Jingga dan Dara Pethak. Di Bale Manguntur Kebo Anabrang menghadap Wijaya dan melaporkan hasil ekspedisi Pamalayu.“Ampun Paduka, hamba terkejut ketika datang ke Singasari ternyata kerajaan Singasari sudah hancur dan Prabu Kertanegara sudah wafat. Kami mendapat kan berita bahwa anda dan para pendukung Prabu Kertanegara lari ke Alas Tarik.”“Benar Paman Anabrang, saat Paman pergi Jayakatwang mengambil kesempatan untuk memberontak dan membunuh Prabu Kertanegara pada saat tidak ada pasukan di dalam kota Singasari. Saat itu kami sudah benar-benar terdesak, Ardharaja yang semula berpihak pada kami, tiba-tiba membelot setelah tahu ayahnya memenangkan pertempuran. Pasukan kami berkurang dari yang semula 500 orang jadi tinggal separonya. Sialnya saya terjebak dengan tipu daya pasukan Jaran Guyang, kami mengejar Jaran Guyang hingga ke desa Talaga, di sana pasukan ka
“Wirota,” jawab Gayatri lirih.“Ah, kenapa harus dia Gayatri? Dia itu berkasta Sudra, keturunannya tidak jelas, mana bisa menikah denganmu? Gayatri, kita ini adalah anggota kerajaan. Jadi kita harus rela berkorban demi kerajaan ini. Kita menikah juga demi negara dan demi kelangsungan wangsa Rajasa. Lupakan soal cinta, kau bukanlah rakyat jelata yang bisa menikah dengan lelaki manapun yang kau cintai,” Tribuaneswari mulai panik, takut Gayatri tidak bersedia menikah dengan Wijaya.“Mbakyu, apa selamanya kita puteri keraton hanya berfungsi sebagai penghasil anak atau barang yang bisa diserahkan kepada siapapun yang berkuasa dengan alasan hadiah persahabatan atau demi langgengnya kekuasaan sebuah dinasti? Apa gunanya menikah tanpa ada perasaan cinta kepada pasangannya? Kangmas Wijaya telah menemukan wanita yang dicintainya, biarkan saja dia dengan selir kesayangannya. Aku sudah muak dengan segala macam intrik perebutan tahta di istana yang pada akhirnya hanya membuat rakyat menderita.
Tribuaneswari tertegun lalu buru-buru berkata“Oh, itu karena Wirota yang berjaga hari itu, suruh dia mencari Gayatri bersama para prajurit lainnya.” Wijaya kemudian memanggil Wirota dan pasukan Cahya Raja yang bertugas pada hari itu“Gayatri menghilang, bagaimana ini bisa terjadi? Besok adalah hari pernikahan kami, kalian harus bisa menemukan dia sebelum fajar!”“Maafkan kelalaian saya Gusti Wijaya, biar saya saja yang mencarinya sebagai perwujudan rasa tanggung jawab saya,” kata Wirota.“Baiklah Wiro, cari Gayatri dan bawa dia kemari sebelum fajar menyingsing. Karena paginya kami sudah harus menikah. Walaupun pernikahan ini dilaksanakan secara sederhana, tapi aku tak mau kehilangan muka karena ditinggal pergi pengantin wanita di hari pernikahanku!” Perintah Wijaya.“Wirota, apa kau perlu bantuan mencari Gusti Putri Gayatri?” Tanya Jaran Bangkal.“Tidak usah Kakang Bangkal, biar aku sendiri saja. Nanti kalau ramai-ramai di jemput prajurit dia malah tidak mau pulang, aku sudah hafa
Terkadang aku merasa para penguasa itu tidak adil, mereka hidup dalam kemewahan sementara rakyatnya hidup dalam kemiskinan dan selalu menjadi korban terparah jika ada perang atau perebutan kekuasaan.”Gayatri dan Wirota kembali terdiam memandang ombak yang berdebur ke pantai, terdengar Gayatri melanjutkan kata-katanya lagi“ Selama ini kukira rakyatku juga merasakan kemakmuran yang merata. Tapi setelah aku mengenal dunia luar saat aku sering keluar istana sendirian secara diam-diam, ternyata bayanganku salah. Kemakmuran itu tidak merata, jurang antara kaya dan miskin terbentang begitu jauh dan para pejabat korup merajalela terutama para pemungut pajak. Oh ya, dari mereka aku pernah mendengar ada maling tampan yang budiman. Dia mencuri harta dari para pejabat korup itu lalu membagikannya pada orang-orang miskin. Meskipun dia maling tetapi dia tidak pernah sekalipun membunuh korbannya. Apa kau kenal dengan orangnya? Jika kau kenal orangnya, aku ingin bertemu dengan dirinya.”Hampi
Setelah jauh dari gelanggang, barulah mereka berhenti mengatur nafas“Gusti Putri di mana anda menambatkan perahu?”“Waduh, perahu itu kutambatkan dekat pantai, kita harus kembali ke sana jika mau mengambil perahunya,” kata Gayatri kebingungan.“Kita tidak mungkin kembali ke sana karena orang-orang itu pasti sedang mencari kita,” kata Wirota.“Kalau kita lewat jalan darat, perlu waktu lebih lama karena kita harus melewati hutan yang tentunya banyak hewan buas di dalamnya. Kita harus menunggu pagi untuk dapat melewatinya,” kata Gayatri.Untuk sejenak Wirota dan Gayatri hanya bisa bengong di tepi sungai, tiba-tiba terdengar sebuah suara mengejutkan mereka“Kalian butuh tumpangan? Naiklah ke perahuku, aku akan membawa kalian ke Canggu!”Wirota menoleh ke arah suara itu, mendadak wajahnya gembira ketika matanya mengenali sosok di atas perahu“Nelayan, bagaimana kau bisa tahu aku di sini?” Tanya Wirota.“Aku mengikutimu pergi setelah Gusti Wijaya memberikan perintah mencari Gusti Putri Ga
Saat subuh, Tribuaneswari akhirnya bisa tertidur setelah lama menanti kedatangan Gayatri. Saat matahari sudah mulai tinggi, seorang abdi datang membangunkan Tribuaneswari“Gusti Prameswari, Gusti Putri Gayatri sudah kembali.”Tribuaneswari bangun dengan terkejut“Gayatri, di mana dia?”Dia sedang mandi kembang setaman dan luluran, sebentar lagi dia sudah siap,” kata abdi dalem itu.Tribuaneswari merasa lega akhirnya Gayatri sudah kembali, hari itu pesta pernikahan Wijaya dan Gayatri berjalan lancar. Setidaknya dia bisa mencegah langkah Dara Pethak menguasai Wijaya.Malamnya salah satu utusan Warang dari Gerakan Wukir Polaman menemui Halayuda.“Besok lusa sudah upacara penobatan Wijaya, apakah kau sudah mulai bergerak mempengaruhi orang-orang terdekatnya agar mereka tidak bersatu dan saling membenci?”“Sabar dulu, aku belum tahu siapa saja yang akan menempati jabatan-jabatan strategis di Majapahit,” jelas Halayuda.“Kami berharap kau dapat menjadi seorang Rakryan Mapatih Amangkubumi Ma
Ranggalawe berdiri di halaman dengan keris terhunus, kemarahan masih membayang di wajah Ranggalawe. Orang-orang yang berada di dalam Bale Manguntur berlarian keluar dan melihat dari jauh apa yang akan dilakukan Ranggalawe selanjutnya. Semua orang berdebar manakala Lembu Sora dengan langkah pasti dan tanpa rasa takut menghampiri Ranggalawe. “Mana Nambi? Bawa dia kemari!” Seru Ranggalawe dengan gusar.Dia menyangka Nambi yang akan datang menghadapinya namun ternyata yang datang justru Lembu Sora. Namun Lembu Sora tanpa rasa takut mendekat dan mulai membujuk keponakannya dengan kata-kata yang lemah lembut seperti seorang ayah membujuk anaknya yang sedang ngambek.“Lawe, sabarlah apa pantas kau menantang Nambi berkelahi di depan Gusti Prabu, Pengageng dan para Nayaka Praja di saat acara penobatan Gusti Prabu Wijaya? Bukankah kau sendiri pernah bilang bahwa kau sangat menyayangi Gusti Wijaya seperti saudara kandungmu sendiri? Apa kau tidak mengerti betapa sakitnya hati Gusti Prabu melih
Ranggalawe telah tiba di rumahnya di Tuban, kedua isterinya Martaraga dan Tirtawati kebingungan melihat Ranggalawe pulang dengan wajah galau. “Kangmas Lawe, apa yang terjadi dengamu?” Tanya Martaraga.Ranggalawe tidak menjawab dan langsung menuju ke belakang membersihkan diri.“Sudahlah, biarkan saja dia nanti setelah makan dan beristirahat baru kita tanyai lagi,” kata Tirtawati.Sampai pagi harinya, Ranggalawe belum masih terlihat murung, bahkan ketika sarapan dia juga hanya berdiam diri tidak mengatakan apa-apa pada kedua isterinya. Dia hanya meladeni kemanjaan Kuda Anjampiani, anaknya dengan Martaraga yang saat itu masih berusia 3 tahun.“Anjampiani, pergilah bermain dengan Mbok Mbanmu di luar sana ya,” kata Ranggalawe setelah bermain sejenak dengan anaknya.Anak itu berlari ke halaman bermain bersama Mbok Mbannya. Tak lama kemudian terdengar teriakan Kuda Anjampiani“Horeee…kakek datang!”Martaraga dan Tirtawati buru-buru ke depan melihat siapa yang datang.“Romo, silahkan masuk,