“Mengapa kau begitu curiga kepada dia? Pasukan kita jauh lebih kuat daripada mereka, apa lagi yang kau kuatirkan?” Tanya Shih Pi.Namun Kao Hsing tetap bersikukuh pada pendapatnya“Aku hanya ingin melindungi kepentingan kita. Jangan sampai kita tertipu orang ini, kalau untuk mengambil upeti saja besok juga bisa diambil lagipula jarak kota Daha ke desa Majapahit tidak terlalu jauh. Kami bangsa China sudah ratusan tahun bergaul dan berhubungan dengan bangsa Jawa lewat perdagangan jadi kami tahu persis watak mereka. Kalian bangsa Mongol belum pernah sekalipun bergaul dengan bangsa Jawa, jadi kalian belum pernah kena batunya ketika mereka tiba-tiba menipu dan mengkhianati kalian.”“Baiklah, terserah kau sajalah!” Kao Hsing kembali minum arak dan menikmati hidangan di depannya.Kao Hsing kemudian menyuruh 200 prajurit Mongol untuk mengawal Wijaya kembali ke desa Majapahit malam itu. Dalam perjalanan ke desa Majapahit, Wirota, Jaran Bangkal dan beberapa prajurit lainnya ikut mendampingi Wi
Jayakatwang telah di tahan di Hujung Galuh bersama Ardharaja dan para pembesar Singasari. Mereka semua dipenjara di sebuah pulau di tengah kolam yang disektiarnya banyak terdapat buaya muara sungai yang saat itu banyak terdapat di Jawa. Sulit bagi Jayakatwang dan pengikutnya untuk lari dari pulau itu. Kalaupun mereka berhasil keluar dari penjara dan berenang menyeberang danau, mereka harus berhadapan dengan sekawanan buaya lapar yang sengaja dipiara di tempat itu. Jika beruntung bisa lolos dari serangan buaya, mereka masih harus berhadapan dengan pasukan Mongol yang berjaga di tepi kolam. Kecil kemungkinan untuk dapat menembus penjagaan Mongol karena seluruh lingkungan di pulau itu dijaga oleh para prajurit Mongol dengan pengamanan berlapis. Di tempat pengasingannya, Jayakatwang masih sempat menulis sebuah karya sastra ‘Kidung Wukir Polaman’. Warang seorang Senopati kerajaan Daha, anak dari Jalak Katengeng Kepala Telik Sandi Daha ingin membebaskan ayahnya dan juga Prabu Jayakatwa
Prajurit Mongol yang berhasil meloloskan diri dari sergapan pasukan Warang telah melaporkan adanya penyusup yang mencoba membebaskan Jayakatwang dari penjara. Pasukan Mongol segera berdatangan mengepung kolam. Perahu yang membawa Jayakatwang dan Warang dicegat di tengah jalan.“Celaka, upaya kita ketahuan, prajurit kita yang berjaga di tepi sungai telah berhasil disingkirkan, cepat lindungi prabu Jayakatwang, kita lawan pasukan Mongol itu!”Pasukan Mongol telah menyalakan obor menerangi tepian sungai lalu menghujani perahu Warang dan pasukannya yang sedang berlayar menuju saluran sungai dengan panah. Beberapa prajurit serentak menutupi tubuh Jayakatwang dan Ardharaja dengan perisai. Namun sial bagi Ardharaja, dia terkena panah tepat di dadanya. Sebagian dari prajurit Warang menceburkan diri ke sungai berenang menyelamatkan diri. Beruntung buaya-buaya itu sudah kelenger karena racun sehingga mereka tidak mendapatkan perlawanan yang berarti dari hewan-hewan reptil itu.“Warang, selam
Sungguh malang nasib Jayakatwang dari Raja yang dihormati kini menjadi orang yang paling hina. Pakaiannya kumal dan kotor, rambutnya yang panjang sudah tak pernah disentuh sisir dibiarkannya terurai dan kusut. Namun dia sudah tak peduli dengan nasibnya lagi. Lebih baik mati secara ksatria daripada terus menerus di hina musuh. Kehilangan anak, isteri, harta dan jabatan sekaligus dalam waktu bersamaan adalah hal yang sangat berat dan menyakitkan baginya. Kalaupun dia masih bertahan hidup pun juga percuma saja karena dia sudah kehilangan segalanya.Prajurit yang membawanya kemudian menghempaskannya di hadapan Jenderal Shih Pi yang telah menunggu di pelabuhan. Jenderal Utama ekspedisi Mongol ke Jawa itu benar-benar terlihat marah. Dia telah mengalami kekalahan dari Wijaya, prajuritnya banyak yang mati, maka dia melampiaskan kekesalannya pada Jayakatwang.“Kalian orang-orang Jawa yang licik, kau mencoba lari dari penjara dan membunuh prajurit kami. Sekarang kau harus menerima huku
Hari itu Kebo Anabrang baru saja datang dari ekspedisi Pamalayu. Dia membawa 2 orang Puteri dari kerajaan Dharmasraya yaitu Dara Jingga dan Dara Pethak. Di Bale Manguntur Kebo Anabrang menghadap Wijaya dan melaporkan hasil ekspedisi Pamalayu.“Ampun Paduka, hamba terkejut ketika datang ke Singasari ternyata kerajaan Singasari sudah hancur dan Prabu Kertanegara sudah wafat. Kami mendapat kan berita bahwa anda dan para pendukung Prabu Kertanegara lari ke Alas Tarik.”“Benar Paman Anabrang, saat Paman pergi Jayakatwang mengambil kesempatan untuk memberontak dan membunuh Prabu Kertanegara pada saat tidak ada pasukan di dalam kota Singasari. Saat itu kami sudah benar-benar terdesak, Ardharaja yang semula berpihak pada kami, tiba-tiba membelot setelah tahu ayahnya memenangkan pertempuran. Pasukan kami berkurang dari yang semula 500 orang jadi tinggal separonya. Sialnya saya terjebak dengan tipu daya pasukan Jaran Guyang, kami mengejar Jaran Guyang hingga ke desa Talaga, di sana pasukan ka
“Wirota,” jawab Gayatri lirih.“Ah, kenapa harus dia Gayatri? Dia itu berkasta Sudra, keturunannya tidak jelas, mana bisa menikah denganmu? Gayatri, kita ini adalah anggota kerajaan. Jadi kita harus rela berkorban demi kerajaan ini. Kita menikah juga demi negara dan demi kelangsungan wangsa Rajasa. Lupakan soal cinta, kau bukanlah rakyat jelata yang bisa menikah dengan lelaki manapun yang kau cintai,” Tribuaneswari mulai panik, takut Gayatri tidak bersedia menikah dengan Wijaya.“Mbakyu, apa selamanya kita puteri keraton hanya berfungsi sebagai penghasil anak atau barang yang bisa diserahkan kepada siapapun yang berkuasa dengan alasan hadiah persahabatan atau demi langgengnya kekuasaan sebuah dinasti? Apa gunanya menikah tanpa ada perasaan cinta kepada pasangannya? Kangmas Wijaya telah menemukan wanita yang dicintainya, biarkan saja dia dengan selir kesayangannya. Aku sudah muak dengan segala macam intrik perebutan tahta di istana yang pada akhirnya hanya membuat rakyat menderita.
Tribuaneswari tertegun lalu buru-buru berkata“Oh, itu karena Wirota yang berjaga hari itu, suruh dia mencari Gayatri bersama para prajurit lainnya.” Wijaya kemudian memanggil Wirota dan pasukan Cahya Raja yang bertugas pada hari itu“Gayatri menghilang, bagaimana ini bisa terjadi? Besok adalah hari pernikahan kami, kalian harus bisa menemukan dia sebelum fajar!”“Maafkan kelalaian saya Gusti Wijaya, biar saya saja yang mencarinya sebagai perwujudan rasa tanggung jawab saya,” kata Wirota.“Baiklah Wiro, cari Gayatri dan bawa dia kemari sebelum fajar menyingsing. Karena paginya kami sudah harus menikah. Walaupun pernikahan ini dilaksanakan secara sederhana, tapi aku tak mau kehilangan muka karena ditinggal pergi pengantin wanita di hari pernikahanku!” Perintah Wijaya.“Wirota, apa kau perlu bantuan mencari Gusti Putri Gayatri?” Tanya Jaran Bangkal.“Tidak usah Kakang Bangkal, biar aku sendiri saja. Nanti kalau ramai-ramai di jemput prajurit dia malah tidak mau pulang, aku sudah hafa
Terkadang aku merasa para penguasa itu tidak adil, mereka hidup dalam kemewahan sementara rakyatnya hidup dalam kemiskinan dan selalu menjadi korban terparah jika ada perang atau perebutan kekuasaan.”Gayatri dan Wirota kembali terdiam memandang ombak yang berdebur ke pantai, terdengar Gayatri melanjutkan kata-katanya lagi“ Selama ini kukira rakyatku juga merasakan kemakmuran yang merata. Tapi setelah aku mengenal dunia luar saat aku sering keluar istana sendirian secara diam-diam, ternyata bayanganku salah. Kemakmuran itu tidak merata, jurang antara kaya dan miskin terbentang begitu jauh dan para pejabat korup merajalela terutama para pemungut pajak. Oh ya, dari mereka aku pernah mendengar ada maling tampan yang budiman. Dia mencuri harta dari para pejabat korup itu lalu membagikannya pada orang-orang miskin. Meskipun dia maling tetapi dia tidak pernah sekalipun membunuh korbannya. Apa kau kenal dengan orangnya? Jika kau kenal orangnya, aku ingin bertemu dengan dirinya.”Hampi