Dalam perjalanan pulang ke Lamajang, Wirota melalui jalanan desa dan hutan yang sepi. Hari sudah sore, namun Wirota belum juga menemukan pedesaan untuk tempat bermalam. Dari kejauhan Wirota melihat ada asap mengepul di beberapa tempat pertanda adanya perkampungan di sekitar itu. Segera dia memacu kudanya mendekati tempat itu. Namun baru beberapa langkah berjalan tiba-tiba sekelompok orang sudah menghadangnya. Tertegun Wirota ketika menyadari sekelompok orang sudah menahannya.“Apa yang kalian inginkan dariku?”Pemimpin rombongan itu lalu berkata“Kami menginginkan nyawamu!”Terkesiap Wirota, orang-orang ini bukanlah begal biasa yang hanya menginginkan uang dan ketika sudah diberi uang atau barang, mereka akan pergi. Menyadari mereka adalah orang yang berbahaya, Wirota segera menghunus pedang Naga Bumi. Tanpa membuang waktu orang-orang itu menghunus pedangnya dan menyerang Wirota. Tangan Wirota bergerak menangkis serangan mereka, pedangnya berkelebat melindungi dirinya dari serangan pe
“Kalau begitu mana kulit harimaunya?” Tagih Mada.“Mada, Romo dan Eyang tidak sempat mengambil kulit harimaunya karena hari sudah malam. Besok saja ya Ngger,” bujuk Macan Kuping.“Ah, Romo sama Eyang bohong!” Mada masih ngeyel dengan pendapatnya.Terdengar suara seorang wanita memanggil Mada“Mada, sudah jangan mengganggu, Romo dan Eyang sedang ada tamu.Wirota dapat melihat, anak itu walaupun masih kecil namun dia terlihat cerdas dan trengginas gerakannya.“Anak itu cerdas, dia tahu Romonya bohong,” ujar Wirota sambil tertawa.Gajah Pagon dan Macan Kuping terbahak mendengar ucapan Wirota“Ya memang, aku sampai pusing menghadapinya. Kelak setelah cukup umur, dia akan kukirim ke Kasatriyan Majapahit agar dia dapat menggantikan aku yang sudah tak berguna ini mengabdikan diri ke Majapahit,” kata Gajah Pagon dengan nada sedih.“Ndoro Pagon jangan sedih, anda tetap dapat berbakti kepada Majapahit dengan membangun desa ini agar menjadi desa yang makmur , aman dan tenteram. Apalagi Gusti P
“Ndoro Pagon, Ki Macan Kuping, terimakasih atas sambutannya, kapan-kapan berkunjunglah ke Keta ajak Mada juga,” ujar Wirota.“Tak usah sungkan-sungkan Wiro, kalau bukan karena kau dan Medang yang menghadang orang-orang Jayakatwang, aku dan Prabu Wijaya pasti sudah tidak berada di sini bersamamu. Kami berhutang nyawa kepadamu dan Medang,” ujar Gajah Pagon.******Pagi itu dalam pertemuan para Nayaka Praja di Bale Manguntur, Halayuda menyampaikan hasil pertemuannya dengan Lembu Sora.“Gusti Prabu, kemarin saya telah menemui Mpu Sora menyampaikan lontar yang berisi Surat Pencopotan Jabatan. Dia telah membaca isinya tapi….”Halayuda tidak meneruskan kata-katanya membuat semua orang yang hadir semakin penasaran dan bertanya“Bagaimana tanggapan Lembu Sora? Apa dia bisa menerimanya?” Tanya Prabu Wijaya.Halayuda menghela nafas panjang, wajahnya tampak ketakutan, dia menyemnbah dan berkata dengan nada suara bergetar“Ampun Gusti Prabu, saat itu Mpu Sora langsung marah-marah dan memaki-mak
Ketika sedang asyik berbincang tiba-tiba sekelompok orang sudah menghadang di tengah jalan.“Berhenti, kalian turun dari gerobak!” Kata salah satu dari orang-orang itu yang tampaknya adalah pemimpinnya.Terksesiap Wegig dan Sadura dihadang seperti itu“Sepertinya mereka mau merampok kita,” kata Wegig.Wegig dan Sadura menghunus pedang yang mereka sembunyikan di bawah tumpukan pisang setelah itu melompat keluar gerobak.“Apa yang kalian mau? Kami akan melawan kalian, majulah kalian semua!” Seru Sadura.Orang-orang itu langsung menyerang mereka berdua. Dalam sekejap terdengar denting senjata beradu, kelima orang asing itu benar-benar membuat Sadura dan Wegig kewalahan. Hingga akhirnya Wegig dan Sadura berghasil di tawan oleh para pencegatnya.“Ikat mereka dan bawa masuk ke hutan!”Dengan kasar mereka menyeret Sadura dan Wegig ke dalam hutan. Mereka berdua masih terus bergerak berusaha melepaskan diri namun mereka tak berdaya.“Hei mau dibawa kemana kami?!” Seru Sadura dengan kesal.“D
Sejenak Wahana terdiam di tempatnya, hari sudah gelap Wahana harus mencari tempat penginapan. Berada di tepi hutan seperti ini sangat berbahaya baginya. Dia harus menghadapi resiko menghadapi serangan binatang buas dan para penyerangnya tadi mungkin bisa saja kembali bersama-teman-temannya menyergapnya malam itu.Wahana akhirnya memutuskan untuk mencari tempat menginap. Setelah beberapa saat berjalan, tibalah dia di sebuah Kasogatan (Biara Budha) yang tampak tak terawat. Patung Sang Budha yang ada di bawah pohon Bodhi tampak sudah rusa, berlumut dan berjamur. Semak dan rumput tumbuh di depan halamannya. Walaupun tampak tak terawat dan sebagian tembok dan atapnya sudah roboh, namun ada bagian dari Kasogatan itu yang masih bisa dipakai untuk menginap.Wahana menambatkan kudanya di bawah pohon Bodhi, rumput dan semak belukar di tebasnya dengan pedang untuk menudahkannya berjalan. Ditatapnya kasogatan yang berdiri di depannya“Kasogatan ini pasti dulunya kuil yang ramai, sayang ben
Lembu Sora yang datang bersama Juru Demung dan Gajah Biru terkejut ketika mendadak beberapa prajurit Majapahit langsung menghadang mereka.“Apa-apaan ini? Aku ingin bertemu dengan Prabu Wijaya!” Seru Lembu Sora dengan marah.“Maaf Patih Sora, tetapi kami harus mennagkap anda karena anda ingin memberontak!” Kata Mahesa Taruna putra Kebo Anabrang.“Aku tidak ingin memberontak, apakah kalian semua meragukan kesetiaanku pada Majapahit? Aku hanya ingin bertemu dengan Gusti Prabu. Ijinkan aku masuk menemuinya!”“Kalau kau memang setia pada Majapahit, lalu mengapa kau membunuh ayahku? Padahal ayahku seorang pejabat yang loyal pada Prabu Kertanegara dan Prabu Wijaya. Dia telah membunuh Ranggalawe yang telah mempermalukan Prabu Wijaya dan menyerang Majapahit. Kau memihak Ranggalawe si pemberontak itu atau Majapahit?!” Tanya Mahesa Taruna.“Oh sekarang aku tahu, kau hanya ingin membalaskan dendam kematian ayahmu kan? Baiklah, kita akan bertarung satu lawan satu!” Seru Lembu Sora.Gajah Biru m
Setelah berbicara dengan Wijaya, hati Gajah Biru merasa lega. Dia segera pergi mngundurkan diri. Sementara itu Wijaya kembali tenggelam dalam nestapa dan rasa sesal yang kemudian tidak berguna lagi karena orang yang disayanginya sudah meninggal dunia.Setelah puas menangis, Prabu Wijaya menyuruh abdinya memanggilkan Rakryan Demung dan Rakryan Kanuruhan. Tak lama kemudian kedua pejabat itu datang menghadap di komplek kediaman Raja.“Ada perintah apa Gusti Prabu?” Tanya mereka setelah menghadap.Dari balik tabir Wijaya memberikan perintah pada mereka“Tolong perlakukan jenazah Paman Sora secara layak, kita akan memperabukan jenazahnya dengan sebuah upacara perabuan layaknya seorang bangsawan. Undang keluarganya ke istana untuk mengikuti prosesi upacara perabuannya.”“Segera kami akan mempersiapkan upacaranya,” kata Rakryan Kanuruhan yang bertugas mengurus urusan upacara kerajaan.*****Nyai Sora dan anak-anaknya hanya bisa menangisi kematian suaminya, ketika jenazah suaminya mulai diba
Satu persatu kawanan perampok keluar dari tempat persembunyian mereka di hutan. Rombongan keluarga Lembu Sora langsung berhenti dan menghunus senjata. Nyai Sora, Macan Garung dan Menur adik Macan Garung sudah bersiap menyerang para perampok itu. Tak lama kemudian terdengar suara seseorang yang sangat dikenalnya“Ndoro Garung, sebaiknya anda serahkan saja peta kuno peninggalan Gusti Sora kepadaku. Setelah itu aku akan membiarkan kalian pergi.”Macan Garung, Gajah Biru dan Juru Demung terkejut, dilihatnya Puguh pelayan keluarga Sora sedang bersama orang-orang yang mencegatnya. Puguh yang biasanya berpenampilan lugu dan tidak memiliki ilmu kanuragan, kali ini penampilannya jauh berbeda. Puguh menghunus senjata dan berpakaian seperti pendekar. Gaya bicaranya pun bukan seperti orang desa melainkan seperti seorang prajurit. Sekarang Macan Garung sadar bahwa Puguh abdi di rumahnya yang sehari-harinya bekerja sebagai pengurus kuda dan taman ternyata bukan orang desa biasa seperti yang diduga
Namun sebelum sampai pada sasarannya, tiba-tiba terdengar suara berkelebat dan kesiur angin melewati tubuhnya. Belum sempat Wirota menyadari, seseorang telah menangkis pukulannya. "Wiro, hentikan!" Wirota menoleh, ternyata Mahesa Wagal yang menangkis serangannya. Di belakangnya menyusul Gajah Mada, Gayatri dan Banyak Wungu. "Gusti Wirota, tunggu!" Seru Banyak Wungu. Wirota terkejut melihat kedatangan Banyak Wungu bersama Gajah Mada dan Gayatri. Sebuah pikiran buruk terlintas di benaknya. Jangan-jangan, Majapahit sudah membantai seluruh pasukan Sadeng dan Keta lalu mereka menyandera Banyak Wungu batin Wirota cemas. "Banyak Wungu, apa yang terjadi? Mengapa kamu bisa bersama mereka?"Tanya Wirota. "Gusti Wirota, Gusti Ratu Tribuana telah memerintahkan tabib Majapahit untuk mengobati para prajurit kita yang terluka. Dia mengatakan bahwa dia ingin Gusti Wirota kembali ke Majapahit. Beliau berjanji akan memberi anda jabatan Juru Demung atau Patih di Daha," ujar Banyak Wungu.
Ditantang seperti itu membuat darah Wirota seketika mendidih. Tapi dia tak ingin terlihat emosional di depan Ra Kembar. Setelah menghela nafas panjang untuk meredakan amarahnya barulah Wirota menjawab "Siapa takut?! Aku bukan laki-laki pengecut. Baik, kuterima tantanganmu!" Saat itu hari sudah menjelang maghrib,, namun situasi di sekitar gelanggang masih terang benderang bagai di siang hari bolong. Energi batu pusaka dari Gunung Padang yang dibuat menjadi tombak Naga langit begitu kuat dan seolah tak ada habisnya. Cahayanya masih terus berpendar tanpa meredup sedikitpun. Wirota menancapkan pedangnya ke tanah, lalu berjalan mendekati Ra Kembar dan memasang sikap kuda-kuda. Ra Kembar tersenyum, dia sangat yakin akan menang. Sepanjang karirnya sebagai prajurit, Ajian Balung Ireng tak pernah gagal membunuh musuhnya hanya dalam satu dua jurus Ra Kembar berjalan mendekati Wirota, kini mereka sudah berdiri berhadapan siap bertarung. Ra Kembar mengatupkan kedua tangannya di dep
Suara derap kaki kuda di belakangnya semakin dekat. Siapa itu, mungkinkah Lembu Peteng, Ikal-ikalan Bang atau Jabung Taraweskah? Hanya mereka yang tahu jalur yang kulewati ini, batin Ra Kembar. Hatinya mulai tenang merasa ada yang menemani. Ra Kembar sengaja mengambil jalur yang berbeda, sebuah jalur tersembunyi, bukan jalan yang biasa dilewati para prajurit Majapahit untuk pulang menuju Trowulan. Jalur itu jalannya lebih sempit dan melewati hutan belantara. Ra Kembar menoleh, dilihatnya ada seorang penunggang kuda mengejarnya. Terkesiap Ra Kembar ketika melihat penunggangnya, dari pakaian dan wajahnya dia dapat mengenali penunggang kuda yang mengejarnya adalah Wirota. "Sial, gara-gara harus membebaskan diri dari totokan Resi tua tadi, waktuku terbuang di pondok itu. Sekarang Wirota sudah menemukanku. Aku lupa dia juga tahu jalur ini ketika melarikan diri bersama Prabu Wijaya ke Madura," gerutu Ra Kembar. Ra Kembar kembali memacu kudanya. Tiba-tiba terdengar suara kelebatan d
RA Kembar terkejut, ketika menoleh dilihatnya seorang bhiksuni berdiri di belakangnya "Siapa kamu? Tak usah ikut campur, sebaiknya kamu pergi bertapa saja. Tempat ini bukan untuk wanita sepertimu!" Ra Kembar ternyata tidak mengenali sosok Gayatri yang kini menjadi bhiksuni. Beberapa prajurit Araraman yang berjaga di tepi hutan segera menghadang Gayatri melindungi Ra Kembar. Gayatri mendengus marah "Aku akan pergi jika tombak itu kamu kembalikan pada pemiliknya! Usai berkata Gayatri berkelebat dengan cepat melompati para prajurit yang menghadangnya lalu mencoba merebut tombak. Ra Kembar panik, tangan kanannya masih kebas karena totokan Mahesa Wagal. Membuatnya tak bebas bergerak. Tetapi dia masih sempat menghindar sehingga Gayatri gagal merebut tombak. "Siapa kamu? Beraninya kamu melawanku.Baiklah aku akan membuatmu seperti para bhiksu di Kasogatan Bajraka!" "Prajurit, bereskan dia!" perintah Ra Kembar. Spontan para prajurit Araraman segera mengeroyok Gayatri. Terpaksa
Mahesa Wagal dan Gajah Mada terkejut karena hal ini jauh di luar rencana mereka. "Mada, siapa yang mengacaukan pertemuan ini?" Tanya Mahesa Wagal. Gajah Mada menggeleng, dia juga bingung melihat kejadian yang berlangsung di depannya. Mendadak Wirota menarik tubuh Gajah Mada dan mulai memukulinya. Sontak Gajah Mada berusaha menghindar dan membela diri. Wirota terus menerjang, sehingga pertarungan keduanya berlangsung sengit, namun Gajah Mada tidak pernah membalas serangan Wirota, hanya menghindar saja. Hal ini membuat Wirota semakin gusar, "Ayolah Mada, jangan jadi pengecut! Lawan aku, jangan hanya menghindar saja!" "Paman Wirota, sabar dulu...kami tidak tahu tentang serangan ini. Gusti Ratu tidak pernah memerintahkan penyerangan ini!" Seru Gajah Mada sambil berusaha menghindari serangan Wirota. "Bohong...jangan harap aku akan percaya pada kalian!" Wirota kembali menyabetkan pedang ke.leher Gajah Mada. Wirota yang sudah terlanjur marah, tangannya bergerak mencabut pedang Na
"Aneh. tak biasanya mereka begini. Baiklah, aku akan menemui mereka," kata Wirota. Setibanya di tepi hutan, Wirota terkejut ketika mendapati tamunya ternyata adalah Gajah Mada dan seorang lelaki tua berpakaian seperti seorang Resi/ pertapa yang berjalan tertatih dengan tongkat. Mereka berdua memberi salam setelah itu Gajah Mada berkata "Paman, saya mengantar Paman Mahesa Wagal kemari karena dia sangat ingin bertemu dengan anda. Kemarin dia mendatangi kemah kami dan minta diajak menemui anda." Wirota tampak terkejut, tak disangkanya Resi tua yang berjalan terpincang itu adalah rekannya di masa masih berjuang melawan pemberontakan Jayakatwang. Mahesa Wagal adalah seniornya di masa mereka masih berdinas di Singasari. Ah, waktu sudah lama berlalu, Mahesa Wagal sekarang hanyalah seorang lelaki tua yang sakit-sakitan, batin Wirota. Namun Wirota tak mau memperlakukan Mahesa Wagal layaknya seorang sahabat lama. Di mata Wirota siapapun yang bekerjasama dengan Majapahit adalah musuh.
Suara langkah kaki itu berhenti. Wirota berkelebat menghampiri asal suara. Dalam keremangan sinar bulan dia melihat satu sosok yang sangat dikenalnya. Gayatri, bagaimana dia bisa tahu aku ada di sini? pikir Wirota. Masa muda telah berlalu, namun Gayatri masih tetap memberikan atensi kepadanya, berada di sisinya di saat dia memerlukan teman. Di lubuk hatinya yang paling dalam, sesungguhnya dulu Wirota juga tertarik kepada Gayatri. Namun dia cukup tahu diri dan tak ingin menyakiti hati sahabatnya Dyah Wijaya walaupun di saat itu Gayatri selalu mencoba menarik perhatiannya. Mendadak Wirota salah tingkah, dadanya berdebar, tapi dia tak ingin Gayatri mengetahui apa yang sedang dirasakannya. Maka dia berusaha bersikap wajar dengan bertanya "Banthe? Bagaimana anda bisa tahu saya berada di sini?" Gayatri hanya tersenyum dan menjawab "Wirota, hutan bagaikan rumahku. Aku sudah tiga bulan bertapa di sekitar hutan ini, dan aku juga sudah melihat peperangan kalian." Ah. Gayatri. aku
"Siapa kamu dan mengapa kamu ada di sini?" gertak Banyak Wungu. "Ssa...saya penduduk di sini, Eeeh...saya mencari kucing saya yang lari ke sini, " jawab orang itu ketakutan. Banyak Wungu mengamati orang itu dengan seksama lalu bertanya lagi "Bukankah para penduduk yang masih ada di sini seharusnya beristirahat karena besok dini hari kalian sudah harus pergi dari sini!" Orang itu tampaknya sudah terlalu lemas dan sulit berkata-kata lagi. mungkin karena seluruh wajahnya sudah bengkak sehingga untuk bicarapun terasa sakit. "Baiklah, mungkin kamu perlu sedikit disiksa supaya mau bicara!" Banyak Wungu mengeluarkan sebilah pisau, bersiap mengiris kulit tawanannnya. Tiba-tiba Wirota mendengar suara kelebatan di balik pepohonan di antara para prajurit yang berkerumun. Sejurus kemudian, dia merasakan desir angin tipis melaju di depannya. Begitu samar sehingga hanya orang yang berilmu kanuragan tingkat tinggi saja yang bisa merasakannya. Mendadak Wirota menyadari sesuatu, tapi ter
Seketika Ra Kembar tersentak. Dia seolah mendapatkan energi baru."Blaaar...blaar...blaaar!"Suara ledakan dari hulu meriam rampasan dari pasukan Mongol, menembakan pelurunya ke arah dinding benteng. Setelah beberapa kali menembakan peluru meriam, benteng batu bata setinggi 10 meter itupun tak lama kemudian roboh. Beberapa prajurit yang berdiri di dekat tembok benteng seketika tertimbun reruntuhan batu tembok.Terdengar teriakan pasukan Majapahit menyerbu kota. Ra Kembar dengan semangat baru menghajar pasukan Tigangjuru yang mencoba mendekatinya dengan cambuknya. Beberapa prajurit Tigangjuru yang terkena sabetan cambuknya yang berujung pisau tajam terlempar dengan luka-luka di sekujur tubuh mereka. ujung-ujung pisau itu telah dilumuri ramuan racun. Sehingga dalam sekejap para prajurit itu sekarat dan gugur."Ha ha ha ha sekarang kalian sudah terkepung seperti tikus sawah yang digropyok petani!" Ra Kembar berseru sambil menyabetkan cambuknya ke segala arah.Celaka, mereka membawa meria