Bagaimana Ayana tidak gusar, cemas dan takut? Dia tidak mendapati Jovan setelah berkali-kali mengetuk pintu.Ayana juga mengetuk kamar yang lainnya, hasilnya nihil."Hikz, Jovan meninggalkanku."Dia berlari ke luar hotel. Berlari ke sembarang arah hingga dia lelah. Kini, Ayana meringkuk terisak di depan hotel.Mendengar hentakan langkah tegas, Ayana mendongak. "Jo!" Langsung beranjak dan memeluk Jovan. "Kenapa meninggalkanku?" Ayana memeluk erat Jovan. "Aku takut."Jovan tidak membalas pelukan. "Kami ada urusan sebentar." "Ayana, kami tidak mungkin meninggalkanmu," jelas Vincent."Mana mungkin kami meninggalkan gadis manis sepertimu," sahut Leo."Kita masuk!" Jovan mengurai pelukan.Ayana mengusap sisa air matanya. Jovan menggandeng Ayana masuk ke dalam.Kini Jovan ada di kamar Ayana."Tidurlah kembali, aku akan di sini sampai kamu terlelap."Ayana menggeleng. "Kemarin kamu bilang tidak akan pergi, tapi kamu bohong.""Aku pergi mengambil barangmu."Ayana sejenak terpaku. "Benarkah, ke
Jovan mencoba tenang, dia tidak mau yang lain menangkap reaksinya."Ehem!" Vincent memang tidak mengabarkan hal itu pada yang lain agar tidak ada kehebohan.Jovan memalingkan wajah, dia mencari jawaban."Jo, kamu tidak sampai pagi, kan?" Leo menatap selidik."Aku pergi saat kamu tidur." Jovan tenang."Ya, aku melihatnya jelas." Vincent menahan tawa, aku lihat Jovan keluar kamar saat Ayana masih tidur."Kita bahas hal lebih penting!" ujar Jovan."Next project!" seru Robin.Jovan menatap Ayana. "Ayana, jika hal ini tidak kamu selesaikan sekarang, aku pastikan kamu akan tetap dalam ketakutan. Hidupmu juga tidak akan pernah aman." Jovan menatap serius.Ayana nampak bingung. "Aku tidak paham.""Febby, dia pasti akan tetap mencarimu sampai dapat." Jovan mendesah.Ayana mengangguk pelan, lalu merapatkan duduk pada Jovan."Mucikari itu sejenis manusia kejam. Dengan kekuatanmu, kamu pasti tidak akan mengelak." Vincent menatap Ayana."Statusmu di sana adalah barang milik, karna kamu telah diju
Jovan tersentak, dia belum pernah bersentuhan bibir dengan wanita."Hanya nafas buatan, bukan ciuman!" sentak Vincent."Benar, Jo. Cepat! Apa aku saja?!" Robin geram.Vincent menatap Jovan. "Lakukanlah!"Jovan menatap lekat Ayana, nafasnya kian berat.Jovan mulai menutup hidung Ayana. Menarik nafas, lalu dia tempelkan bibirnya dengan bibir Ayana, Jovan meniup nafas dari mulut ke mulut. Beberapa kali."Bagus, terus Jo!" seru Leo Jovan kembali melakukan CPR. Menekan dan terus menekan."Uhuh. Uhuk. Uhuk!" Ayana mengeluarkan air dari mulut, dia mulai mengerjap."Hahhhh ...." Semua lega. Jovan masih menatap lekat Ayana.Ayana membuka mata pelan. Melihat dia ada di kerumunan para Pria. Juga tatapan menghunus Jovan yang menakutkan. 'Aku masih hidup,' batin Ayana."Kamu baik-baik saja, sweet girl?" Robin tersenyum."Maafkan aku yang memanggilmu ke tengah," sesal Brox."Kami tidak tahu kalau kamu tidak bisa berenang." Leo mendesah.Ayana duduk, dia menatap Jovan. "Maaf," lirihnya."Kita akan
Sampai di Rumah sakit.Jovan mengangkatnya dengan berlari. "Dok ... Dokter, tolong obati dia! " Jovan meletakkan di brankar UGD."Anda tunggu di sana, kami akan melakukan tindakan!" Perawat menunjukkan tempat.Jovan pergi dengan tidak tenang. 'Kenapa aku bisa seperti ini? Pikiranku seakan buntu menghadapi gadis itu sakit,' batin Jovan. Dia duduk dan merangkup wajahnya dengan tangan.Selang beberapa waktu, seorang perawat memangggilnya."Keluarga pasien Ayana!"Jovan mendongak, dan mendekat. "Apa dia sudah sembuh?" tanya konyol Jovan."Pasien sangat lemah, kami menyarankan untuk menginap sampai besok.""Tidak masalah, asal dia sembuh.""Silahkan Anda mengurus administrasi.""Apa aku sudah bisa melihatnya?"Perawat mengangguk.Jovan mendekat pada brankar Ayana. Terlihat Ayana sudah lebih baik."Maaf." Sangat lirih Ayana."Lain kali aku tidak akan mengijinkanmu bermain di pantai."Ayana cemberut."Istirahatlah, aku akan mengurus administrasi!""Jangan lama!"Jovan mengangguk. Dia lalu pe
Di Mansion Kanigara.Rumah belakang adalah tempat favorit Kanigara, karena tempat itu seperti arena bermain baginya. Dia bisa melepas segala kepenatan pikiran.Kanigara sedang di area berlatih tembak. Dia baru saja kembali dari pemakaman Addy.Dor. Dor. Dor. Dia masih sama, membidik tepat sasaran. Rey, berdiri di samping Kanigara."Anda masih tetap sama." Rey mantap hasil bidikan."Aku tidak akan pernah melepas peluru sia-sia. Semua bidikanku harus aku dapatkan." Dor. Dor. Dor. Kanigara kembali melepas peluru."Anak Johan telah muncul, dia seperti ingin menggali kuburnya. Dia ingin menyerang Anda. Sepertinya ingin balas dendam kematian Papanya.""Johan pantas mati. Dia hanya menerima resiko, jelaskan pada anak itu siapa Papanya sebenarnya!" Dor. Dor. Dor."Dia sepertinya sudah merencanakan lama, hanya saja selama ini dia membesarkan perusahaan peninggalan Papanya dulu, untuk menghimpun kekuatan.""Dia bukan lawanmu, aku tidak mau mendengar kabar menyedihkan." Kanigara menatap Rey. "Ap
Jovan mengguyur tubuhnya di bawah shower. Pikirannya melayang tentang Ayana.Akhir-akhir ini, waktunya sudah tersita pada gadis itu. 'Apa aku salah telah membawanya pulang?' batin Jovan. Kembali berpikir. 'Jika tidak aku bawa, akan bagaimana dia?' gelut hatinya.Jovan mendongak merasakan guyuran air menyapu wajahnya.Selang berapa saat. Jovan keluar memakai bathrobe, dia menuju walk in closet mengganti pakaian kasual.Duduk di sisi king size, Jovan mencari tahu soal Light Club. Jovan menggeser layar mencoba memahami keadaan di sana dengan melihat informasi terbatas.Jovan kini bimbang, akankah tetap dengan rencana awal. Apa dia akan melibatkan Ayana dalam aksi ini? Jovan ragu.Di kamar Ayana.Ayana telah selesai mandi, dia kini berdiri dengan wajah sendu di depan cermin. Dia melihat dirinya. Pikirannya mengarah pada Jovan."Apa aku harus minta maaf karna sudah merepotkannya, bagaimana caraku minta maaf?" gumam Ayana, dia mulai berpikir.Ayana membuat posisi tubuh tegap, dia membayang
Mereka bukan hanya sekedar larut dengan air mata Ayana sang gadis malang. Mereka sungguh ingin membuat perlindungan, menciptakan rasa aman untuk gadis sebatang kara itu.Mereka melaju beriringan menuju Light Club. Perjalanan memakan waktu 1 jam lebih dengan laju cepat.Sampai di Light Club. Memasang earphone dan kamera kecil. Mereka turun, berjalan terpisah.Masuk ke dalam. Suara dentuman musik mulai merambat ke telinga, masuk dalam darah. Brox, Robin dan Leo langsung menghentakkan kepala merasakan alunan keras.Mereka menghambur ke beberapa sudut, mulai mencari informasi. Duduk dengan beberapa pelanggan lain.Jovan duduk di meja bartender, dia memesan wine terbaik.Segelas wine disodorkan, Jovan menjentikkan jari pada Bartender itu. Pria itu memajukan wajah, siap mendengarkan."Aku mau cari wanita berkualitas, aku dengar di Febby stay di tempat ini." Jovan tersenyum miring."Hanya untuk pelanggan lama. Hanganya pun cukup mahal, sesuai kualitas."Jovan menyodorkan sejumlah uang. Pria
Wanita itu kini takut. "Saya tidak tahu tempatnya. Mata kami ditutup saat masuk dan keluar tempat itu. Aku hanya tahu, tempat itu jauh dari rumah penduduk.""Tugasmu jangan keluar sampai besok, aku tidak butuh ditemani!" Jovan mengambil uang dari saku jaketnya. Melempar ke meja."Tutup mulutmu, jika masih ingin selamat!" Jovan berdiri.Wanita itu senang melihat tumpukan uang, dia mengambilnya.Bugh. Jovan memukul tengkuk wanita itu, seketika wanita itu tergeletak di sofa.Jovan menghubungi Vincent."Dimana kalian?""Kamar 110, tidak jauh dari kamarmu."Jovan langsung menuju kamar mereka.Jovan masuk. Mereka menyambut dengan tawa dan kekehan."Sang casanova datang!" seru Brox."Aku curiga kamu punya masa lalu di bidang ini. Kamu terlihat tenang dan biasa." Vincent terkekeh geli."Harusnya kamu bawa satu wanita untukku." Robin mendesis."Aku melihatnya sendiri, Jovan sangat menikmati alurnya." Leo membolakan matanya.Jovan duduk. "Hentikan omong kosong kalian, aku gerah. Kita cepat seles