Bagaskara kembali terperangah. Tidak tahan lagi, laki-laki itu menggebrak meja. Brakk!Elang masih bersikap santai menatap laki-laki yang mulai terpancing emosi itu. "Apa Anda tidak mengerti aturan berbisnis Saudara Elang? Kita sudah tanda tangan di atas berkas itu!" Elang mengangguk-angguk. "Anda salah, Pak Tua! Saya sangat memahami bisnis. Berkas itu hanya sampah, tidak ada nilainya sama sekali bagi saya!" ejeknya lagi.Kedua tangan Bagaskara terkepal erat. "Kurang ajar sekali, Anda. Saya akan bawa kasus ini ke jalur hukum!" Bagaskara mulai mengancam.Lagi-lagi, Elang bergeming dengan ancaman Bagaskara. Laki-laki sebaya Gerald itu hanya terkekeh sembari menggigit ujung ballpoint. Bagaskara tertegun melihat hal itu. Laki-laki tua itu menatap manik hitam pemuda kurang ajar di depannya."Sudahlah, katakan tujuan Anda ke sini, Saudara Elang!" ucap Bagaskara melunak.Elang sedikit mencondongkan badan ke arah Bagaskara. Dua pasang mata itu saling tatap mewakili pikiran masing-masing. Di
"Jalan!" perintah Coky pada laki-laki di belakang kemudi.Coky melirik tubuh Isma yang tergolek di jok belakang. Laki-laki itu terkekeh pelan. Mobil terus melaju sampai pada sebuah rumah. Coky segera menelepon seseorang.Byur!Isma mengerjap, merasakan air dingin mengguyur wajah dan kepalanya. Gadis itu memegangi kepalanya yang terasa berat. Lalu, menatap silau pada cahaya lampu ruangan itu.Pandangan Isma lantas berhenti pada tiga orang yang duduk santai di sofa seberangnya. Isma berusaha menggerakkan kaki dan tangan, namun dia sadar kaki dan tangannya ternyata diikat."Lepaskan aku! Siapa kalian?" Isma berteriak sambil terus berusaha menggerakkan kaki dan tangan. Berharap ikatan itu lepas. Coky terkekeh. "Semakin kamu bergerak, tali itu semakin melukaimu, Manis! Ck, nggak nyangka aku. Aruna punya asisten yang lumayan manis!" ucap Coky sambil mendekat."Jangan sentuh aku! Mau apa kamu?" Tangan Coky terulur dan mengusap pipi Isma. Isma segera memalingkan wajah. "Kamu pasti tahu kan,
Belum hilang rasa terkejutnya, Alexei kembali dikejutkan keadaan Aruna yang pingsan. Laki-laki itu segera menggendong Aruna dan membawanya kembali ke tempat tidur."Milyy, bangun!" Alexei menepuk pelan pipi istrinya. "Milyy, ya Allah, kamu kenapa?" Laki-laki itu mulai panik.Alexei hendak mengganti baju Aruna, bermaksud membawa sang istri ke klinik terdekat. Namun, terdengar rintihan lirih dari mulut wanita itu.Aruna mengerjap dan kembali menangis histeris. Dia tidak tahu, mengapa Julio yang selama ini dikenalnya begitu baik bisa membunuh Isma.Alexei mendekat sambil mengulurkan segelas air putih."Kita tidak tahu yang sebenarnya. Kamu tenanglah, aku akan menghubungi Julio lagi!" ujarnya menenangkan.Aruna mengubah posisi menjadi duduk dan meraih gelas dengan tangan gemetar. "Kita harus kembali ke Jakarta, Alex!" ucapnya tanpa bisa menghentikan air mata yang terus menetes."Besok pagi-pagi kita ke Jakarta. Sekarang, kamu tidurlah!" titah Alexei tegas."Mana bisa aku tidur, Alex? Aku
"Halah, nggak usah sok-sokan main rahasia untuk membenarkan kesalahanmu, Julio!" sembur Elang jengkel.Merasa diremehkan, Julio berdecak lirih. "Kamu akan mengucapkan terima kasih padaku nanti, Lang. Sudah, aku harus mengurus kedatangan Whu!" ujarnya tak ingin lagi berdebat.Mendengar nama Whu, Elang melunak. Laki-laki itu duduk di samping Julio dan... Plak! Menepuk keras lengan kekar sahabatnya itu. Julio mengumpat lirih, "Sialan. Kamu benar-benar pengin bunuh aku, ya?" todongnya sinis."Biar kamu bisa merasakan apa yang Isma rasakan!" Elang kembali mengungkit perihal Isma. "Katakan padaku, ngapain Tua Bangka Whu itu datang ke sini? Ingin menyerahkan diri pada polisi?" tanya Elang tanpa menghiraukan desisan ngilu Julio."Ingat, Bagaskara sudah curiga siapa kamu, Bay. Kamu harus lebih pintar lagi. Sebenarnya apa lagi yang akan kamu ambil dari papamu itu?" tanya Julio.Elang tersenyum penuh arti. "Semuanya. Karena itu milik Aruna. Aku akan kembalikan pada Aruna!" jawabnya santai."In
"Apa maksudmu, Milyy. Aku sudah mandi!" Aruna langsung menjauh. Tiba-tiba perasaannya begitu kesal melihat Alexei yang membantahnya. Alexei menoleh dan menggelengkan kepala samar. Dia menarik ujung lengan kaosnya, lalu mengendus kain itu. Tidak ada yang aneh.Alexei mengangkat bahu tak acuh. Dia justru sibuk berpikir mengenai nama Tiger yang baru ditemukannya. Alexei mengacak rambutnya kasar. Ternyata serumit itu mencari pembunuh Alenadra. Namun, dia tidak akan menyerah. Laki-laki tampan itu menarik napas panjang. Sekali lagi, Alexei melirik ke arah pintu kamar yang sedikit terbuka.Di dalam sana, Aruna memilih shalat Isya' sendirian tanpa menunggu suaminya. Aruna malas melihat Alexei yang bersikap menyebalkan dan tidak peka sedikit pun."Apa menurutmu, Tiger itu nama lain dari orang Indonesia itu, Lang?" Terdengar suara samar Alexei sibuk berbicara di telepon.Berkali-kali Aruna mendengus kasar. Dasar suami menyebalkan! Makinya dalam hati. Aruna segera merebahkan diri di tempat tidu
Pagi-pagi sekali, Alexei dan Aruna berpamitan pada Pak Halim juga para tetangga terdekat secara diam-diam. Mereka memang tidak bisa terus berada di Desa Semanding. Di mana pun, Aruna tetap mendapatkan teror dari orang-orang yang berniat membunuhnya."Apa keputusan kita pergi dari desa ini sudah benar, Alex?" tanya Aruna sambil memperhatikan hamparan sawah di sisi kiri jalan.Alexei menarik napas panjang dan tetap fokus mengemudi. "Benar tidak benar, kita harus kembali, Milyy. Keselamatan kamu memang penting, sama pentingnya dengan keselamatan papamu. Apalagi keberadaan kita di sini juga sudah tidak aman. Aku curiga dengan laki-laki yang semalam itu. Kalau dia tidak ada yang menyuruh, mana punya nyali?" jawabnya tanpa menoleh."Iya, kamu benar. Kenapa baru semalam dia membuat ulah, ya?" Aruna balik bertanya."Itulah yang terus aku pikirkan. Sepertinya dia bukan suruhan papamu, Milyy. Dia hanya orang desa yang polos. Ini sangat aneh, kenapa dia tiba-tiba berulah tepat ketika ada kabar W
"Aruna, Alexei, tunggu! Tunggu Papa, Nak!"Aruna langsung menunduk takut. Dia menggeser tubuhnya di belakang Alexei. Sepasang mata wanita itu berkaca-kaca. Kata-kata makian dan tamparan Bagaskara kembali memenuhi memori Aruna.Alexei menoleh sekilas pada istrinya, lalu menatap tanpa ekspresi ke arah Bagaskara. Alexei merasakan tangan sang istri berkeringat. Lalu, Alexei mengeratkan genggaman tangannya, menguatkan wanita itu."Jangan takut, Milyy," bisik laki-laki berwajah rupawan itu menenangkan.Bagaskara berdiri canggung di depan Alexei. Laki-laki tua itu menatap tangan Aruna dalam genggaman Alexei. Kemudian, pandangan Bagaskara tertuju pada cincin paladium berwarna perak yang melingkari jari manis Alexei. Bagaskara menyunggingkan senyum samar melihat penampilan baru Aruna yang tertutup.Beberapa detik kemudian, terdengar deheman lirih dari mulut Bagaskara. "Maaf, boleh Papa bicara?" tanyanya sambil menatap Alexei dan Aruna.Alexei menarik napas panjang kemudian mengangguk. "Ada apa
"Arrrgh!"Seorang laki-laki yang berdiri di antara kerumunan wartawan itu mengaduh sambil memegangi dahinya yang bocor. Darah menetes dari dahi atasnya akibat lemparan mic yang cukup keras. Dia mendesis sambil menatap benci pada Alexei. Sementara di depannya, tergeletak sebuah pistol yang tadi hendak digunakan menembak Aruna. "Tangkap dia! Isma, Ery, lindungi istriku!" teriak Alexei lalu mendekati laki-laki yang sudah diamankan oleh securitySemua orang terbelalak dengan wajah pucat. Ery segera menghubungi polisi. Alexei menatap nyalang pada pria yang masih meliriknya. Laki-laki itu meludah ke depan sembari menyeringai sinis.Beberapa wartawan mengarahkan kamera pada wartawan gadungan dan pistol di lantai bergantian.Di dekat meja, Aruna menatap ketakutan ke arah pistol yang masih teronggok di lantai.Ery menghalangi pandangan Aruna supaya tidak bersitatap dengan pria pembunuh bayaran itu. Selanjutnya, Isma segera membawa Aruna memasuki sebuah ruangan. Kedua wanita itu menangis ketak