Mendengar kata-kata Fatta membuat Arash menarik kembali Pedangnya yang terarah ke dada Calvin. Calvin yang sedari tadi sudah pasrah untuk menemui ajalnya kini bisa bernapas lega. Setidaknya masih ada waktu untuknya hidup. "Lalu mau kita apakan mereka?" tanya Arash, ia tidak marah melihat Fatta menahannya. Lagipula Arash tidak terlalu ambil pusing dengan manusia-manusia dari masa depan seperti Calvin. Bahkan bagi Arash, mau sebanyak apapun musuh yang akan datang, ia siap untuk menghadapi mereka semua. "Hmm... Kita tahan saja mereka di rumah, Pandu yang akan menjaga mereka, kamu bisakan Pandu?" tanya Fatta. "Tentu bisa kak Fatta, lagipula akhir-akhir ini aku menganggur dan nggak punya kerjaan, menjaga mereka bukan hal sulit buatku." sahut Pandu. Fatta kemudian meminta Arash untuk mengeluarkan Elixir AntiMagic potion yang berfungsi untuk menonaktifkan sihir yang ada pada Calvin dan teman-temannya. Serta menekan kekuatan mereka semua. "Lalu apa yang harus kita lakukan pada be
"Anak muda, kamu sungguh kejam!" kata Calvin, ia menatap Arash dengan tatapan serius, namun Arash tak menunjukkan ekspresi apapun di balik topeng. "Paman, karna aku kejam makanya cepatlah berikan aku puisi." sahut Arash acuh. "Haish!" Calvin kehabisan kata-kata melawan Arash, anak itu sungguh sulit diprovokasi. "Apa tema puisinya?" tanya Calvin kemudian. Arash terlihat bingung, melihat itu Calvin tau dari sikap yang Arash perlihatkan. Calvin bisa menduga kalau Arash tidak pernah mengikuti pelajaran satra jenis apapun. "Aku nggak tau tema seperti apa yang akan di bawakan di dalam lomba, apa kamu bisa memberiku sebuah puisi yang standar, tentang hidup mungkin." pinta Arash, kali ini ia meminta tolong dengan tulus. "Sebentar, aku sedang memikirkannya... Karena aku juga lemah dalam puisi." jelas Calvin, baru kali ini dalam hidup Calvin dimintai tolong bukan soal kekuatan. Melainkan mengolah puisi. "Baiklah, bagaimana kalau ini..." Mendengar puisi yang Calvin bacakan
Sementara itu Arash dan Fatta melakukan perjalanan selama 5 hari menuju pusat Kerajaan dengan kuda, sesekali mereka akan menginap di penginapan jika ada desa dan akan membuat tenda jika tempat mereka singgah jauh dari desa. Seperti kali ini, mereka membuat kemah yang Arash gambar, tak lupa Arash juga membuat kasur dan bantal yang empuk. Membuat keduanya tak khawatir meski tidur di dalam hutan. "Paman, seperti apa pusat Kerajaan?" tanya Arash, ia belum pernah ke pusat Kerajaan manapun. Bahkan saat ia berada di benua Asia. "Hmm... Ramai, banyak hiburan malam, banyak yang berjualan dan hal lainnya." jelas Fatta, menurut ingatan terakhirnya. Ia tak tau seperti apa keadaan pusat Kerajaan yang sekarang. "Yang pasti kamu harus menyiapkan beberapa uang kecil jika ingin menikmati suasana kota." sahut Fatta dengan senyum yang mengembang di wajahnya. Arash juga tersenyum, meski perjalanan mereka bertujuan untuk mencari foto ayahnya, Arash juga tak mau sekedar mencari, ia akan meni
Arash mengikuti Sonic dalam diam, berhubung Arash memang memakai baju gelap, ia dengan mudah berbaur dan bersembunyi di balik bayangan. Sesekali Sonic akan melihat-lihat sekelilingnya dengan tenang, memastikan tidak ada yang mengikutinya. Ia tak tau kalau Arash sedari tadi mengikuti setiap langkahnya. Sonic akhirnya menuju ke sebuah bangunan besar, terdapat beberapa rimbun pohon tak jauh dari tempat itu, jadi Arash bersembunyi dan melihat Sonic sedang menutupi semua area yang terbuka. Bahkan jendela juga ia tutup. "Haish!" Arash hanya menyunggingkan senyum dan melompat dengan ringan ke jendela yang lebih dekat. "Yang Mulia!" Itu suara Sonic, Arash bisa melihat kalau Sonic sedang bersujud kepada seseorang, dapat dipastikan dari gayanya berpakaian. orang itu adalah orang yang memiliki kuasa besar di Kerajaan ini. "Sonic, kudengar beberapa anak buahmu terluka?" tanya Raja Lingga. Sonic masih menunduk, "benar Yang Mulia, anak muda yang datang bersama pengawal pribad
"Kamu mau tau siapa aku? Nggak perlu, tugasmu hanya menjawab apa yang aku tanyakan." Arash menekan ujung kuasnya ke leher Raja Lingga. Membuat Raja Lingga bahkan tidak bisa menelan salivanya. "Apa kamu tau tentang manusia yang datang dari masa depan?" tanya Arash. Raja Lingga terkejut, orang yang kini bicara dengannya menanyakan tentang manusia yang datang dari masa depan. Padahal hanya segelintir orang yang mengetahui ini semua. "Mengapa kamu ingin tau? Akh!" tanya Raja Lingga, namun Arash tanpa sungkan menggeplak kepalanya. "Bukankah tadi sudah ku bilang, aku bertanya, kamu jawab! Dan jangan coba-coba untuk berbohong!" sahut Arash tanpa belas kasihan. Raja Iblies yang melihat itu terbahak, berani juga Arash memukul kepala seorang Raja. Yah, bahkan Raja Iblies pun ia lawan, jadi Raja Iblies hanya bisa maklum dengan sikap berani Arash. Semenjak lolos dari kematian, Arash tak pernah takut kepada apapun lagi. "Kamu nggak takut, aku adalah seorang Raja! Dan kini kamu be
"Ha! Bagaimana? kamu baru sadar dengan apa yang kukatakan, sudah kubilang aku memiliki segalanya." "Brukh!" Raja Lingga bersujud, Arash panik karena melihat seseorang dengan status tinggi, seorang Raja berlutut di depannya. "Arash, kumohon tolong Kerajaan ini, aku tau aku nggak bisa memberikan apapun kepadamu, tapi aku pasti akan mengingat jasamu ini, setidaknya pandanglah rakyat Kerajaan ini, jika kamu nggak mau membantuku..." pinta Raja Lingga dengan suara bergetar. "Hei... Hei... Mengapa kamu berlutut, berdirilah!" seru Arash. Pamannya mengajarkan kerendahan hati kepada Arash, meski terkadang Arash keras kepala dengan kemauannya. Tetap saja melihat seseorang dengan status tinggi berlutut di depannya, membuat Arash merasa bersalah. Tadi ia kira Raja Lingga sesuai dengan rumor, karena itulah Arash bersikap sombong di depannya. Rumornya Raja Lingga hanya seorang Raja manja yang suka berpesta dan berfoya-foya, serta tak pernah peduli dengan keadaan rakyatnya. Namun meliha
"Kakak!" seorang anak kecil melambaikan tangan, memanggil Arash yang berada di lantai dua penginapan. Arash menatap anak itu heran, kemudian menunjuk dirinya sendiri. Memastikan apakah anak gadis itu memang memanggilnya. "Aku?" "Ya! Sini kak..." Anak gadis itu kembali melambai. "Haish! Bahkan anak kecil pun menyukaiku." gumam Arash, kemudian memasang senyum ramah. Sedangkan Raja Iblies terbahak mendengar perkataan Arash barusan, tadi ia tak bersuara apapun saat bertemu Raja, sekarang ia malah mentertawakannya. Jika saja bisa bertatap muka, maka Arash sudah pasti akan memberi Raja Iblies pelajaran karna selalu mengejeknya. "Wush!" dengan satu kali lompatan ringan, Arash kini berada di depan anak gadis yang tadi memanggilnya. "Wah, kakak hebat! Tadi aku juga melihat kakak saat berlari diantara atap rumah." kata anak kecil itu, dia terlihat kumuh dengan beberapa debu di wajahnya. Baju yang ia kenakan juga memiliki beberapa tambalan. Namun ekspresi yang anak gadis itu perliha
"Kurang ajar, kamu sangat ceroboh masuk ke dalam kawasan kami bosan hidup rupanya?!" salah satu dari mereka mentertawakan Arash, sementara yang lainnya ikut tertawa dengan tatapan meremehkan. "Bocah, wajahmu jelek ya sampe kamu pakai topeng?" "Hahaha....!" "Lihatlah bahkan matanya merah seperti berdarah, aku kan jadi takuuutttt.... Uuuu.... Hahaha." "Bocah, entah seperti apa caramu masuk, namun setelah masuk kamu nggak akan bisa keluar dalam keadaan baik!" Arash berkacak pinggang, "He, tak kusangka kalian terlalu banyak omong!" "Ada apa?" Seorang pria keluar dari dalam kamar, tubuhnya tidak terlalu besar dari yang ada di ruangan, namun semua orang yang melihatnya selain Arash, terlihat segan dan takut kepada orang itu. Radika, pria itu adalah ketua yang bertanggung jawab saat ini, ia menatap Arash dengan tatapan tidak suka, kemudian memberikan kode agar anak buahnya membereskan Arash dengan cepat. "Bos, anak ini menerobos tempat kita!" "Kita akan berangkat sebentar lagi,