Risa berjalan menuju ruangannya dengan langkah cepat, berkas-berkas yang baru saja ditandatangani oleh Pram dalam genggamannya. Ia merasa puas dengan hasil kerjasama yang telah dicapai bersama grup Pramudya. Namun, kebahagiaan itu segera terganggu oleh getaran ponselnya. Drrt! Ponsel Risa bergetar di dalam saku blazernya. Ia segera merogohnya dan membaca pesan yang masuk dari Nuri, adik iparnya yang juga menekuni usaha jualan mereka hingga bekerja sama dengan grup Pramudya. [Mbak sedang sibuk tidak, kalau tidak, bisa ke toko sekarang juga,] bunyi pesan dari Nuri. [Seharusnya mbak harus menyelesaikan laporan akhir bulan ini dan akan menjemput Azki dan Meli. Memangnya ada apa?] Risa mengetik balasan dengan jari-jarinya yang lincah, rasa penasarannya mulai terpicu. [Sudah, yang penting mbak langsung saja ke toko, penting.] Nuri kembali membalas, kali ini dengan nada yang lebih mendesak. Risa mengerutkan kening, merasa ada sesuatu yang tidak beres. Merasa cemas, Risa segera mengakhir
Claudia menyeringai puas ketika melihat mobil Risa keluar dari parkiran. Ia mendengus kesal, sepulangnya dari luar negeri berharap jika Pram mengatakan sangat merindukan dan tidak bisa hidup tanpanya, eh ternyata ia mendapatkan kabar dan kenyataan jika Pram, sang adik, ralat, Claudia dan Pram tidak memiliki hubungan darah sama sekali, hanya saudara angkat. Claudia mendapatkan kabar jika Pram sedang dekat dengan seorang wanita yang statusnya justru telah menjadi janda. Itu yang membuat amarah Claudia semakin membuncah. “Entah apa istimewanya perempuan itu,” dengus Claudia, lalu ia menutup dengan kasar kaca jendela ruangan tersebut setelah mobil Risa memasuki jalan raya. “Bagaimanapun caranya, Pram harus menjadi milikku.” Tukasnya dengan nada penuh amarah, giginya bergemeletuk kasar, kedua tinjunya mengepal. Lalu ia beranjak bangkit, ia ingin menemui seseorang dan akan mencari tahu lebih lanjut tentang Risa. Ia akan menguliknya hingga tuntas dan akan menyingkirkan Risa. “Lihat sa
Risa dan Nuri langsung saja keluar dari mobil berjalan dengan sedikit terhuyung, perut terasa mual dan kepala seperti sedang berputar-putar.“Hueek!” Risa mengeluarkan isi perutnya, kepalanya tiba-tiba saja terasa berdenyut, begitu juga Nuri, ia juga muntah-muntah. Karena selama ini mereka tidak pernah mengendarai mobil seugal-ugalan ini.“Kalian tidak apa-apa?” Panik Pram, ia mengusap punggung Risa dan Nuri secara bersamaan.“Tidak apa-apa bagaimana? Mas Pram bisa lihat sendirikan, kami hampir mati karena kamu ngebut bawa mobilnya. Untung saja jantung ini buatan Allah, kalau gak sudah tercecer di jalanan.” Sentak Risa merasa kesal sembari menepiskan tangan Pram, ia menyeka mulut menggunakan punggung tangannya. Namun Pram langsung saja menyodorkan sapu tangannya pada Risa. Sedang Nuri memilih untuk duduk, meraup oksigen dengan rakus, karena tadi, ia merasa berhenti bernafas ketika mobil melaju dengan kencang.“Maaf, saya hanya tidak ingin Claudia lepas. Saya ingin memberi peringatan p
Claudia menelan ludah, merasakan kepalanya berputar dengan beban pikiran yang kini menghantamnya. Risa, yang berdiri tidak jauh dari mereka, menatap dengan tatapan yang penuh kemenangan, seolah sudah memenangkan pertarungan tanpa berkeringat. Pram, dengan sikap dominannya, menatap Claudia dengan tegas, menuntut kepatuhan. “Baiklah, aku akan menyelesaikan ini,” ucap Claudia dengan suara serak, hatinya berkecamuk antara rasa malu dan keinginan untuk melawan. Namun, di hadapan Pram yang berwibawa dan Risa yang menyeringai, pilihan tampak begitu terbatas. Claudia berjalan ke arah rak yang berantakan, tangannya gemetar saat ia mulai merapikan barang-barang yang berserakan. Setiap gerakan yang ia lakukan seakan menandakan kekalahan. Pram mengikutinya, mengawasi setiap detail dengan mata elang, tidak memberi ruang untuk kesalahan sedikit pun. Risa, di sisi lain, berdiri dengan tangan terlipat, matanya berkilat dengan kepuasan yang nyata. Nuri sesekali memberikan komentar kecil yang menyaki
Risa, Azki, dan Melisa dibawa ke sebuah rumah kosong yang terletak di pinggiran kota. Aroma lembab bercampur dengan bau kayu lapuk menyeruak begitu mereka memasuki tempat itu. Rumah tersebut terlihat tak terawat, dengan dinding yang penuh coretan dan lantai yang berdebu. Claudia berdiri di tengah ruangan dengan masker masih menutupi sebagian wajahnya, namun matanya yang penuh kebencian terlihat jelas."Jadi ini harga dirimu, Risa?" Claudia melepas maskernya, menampakkan senyuman sinis."Kau pikir bisa mengambil segalanya dariku dan mendekati Pram dengan seenaknya?" Sambungnya lagi dengan nada tidak senang, bahkan Claudia membuang salivanya asal ke arah Risa. Risa yang tangannya terikat di belakang tubuhnya menatap tajam ke arah Claudia."Aku tidak pernah ingin mengambil apapun darimu, Claudia. Semua ini hanya ada di kepalamu yang sakit. Kedekatanku dengan mas Pram juga berjalan begitu saja, kami juga tidak memiliki hubungan apapun. Hanya sebatas rekan kerja," teriak Risa, ia tidak mer
Di atas lemari kayu yang reyot, Risa berusaha menyeimbangkan tubuhnya sambil terus mencoba menghubungi seseorang dari ponsel Azki. Sayangnya, sinyal di tempat itu sangat lemah, membuat panggilannya tidak pernah tersambung.Dengan napas tersengal, ia menatap ke bawah. Azki dan Melisa bersembunyi di balik meja tua, berusaha menahan tangis mereka agar tidak menarik perhatian Claudia dan kedua temannya yang masih berada di ruangan sebelah.“Ya Tuhan, tolonglah...” gumam Risa pelan, jemarinya masih sibuk menekan layar ponsel, berharap sinyal kembali muncul. Ia mencoba menghubungi Pramudya, tapi tidak ada hasil.Sementara itu, di tempat lain, Pramudya dan Azzam melaju dengan kecepatan tinggi menuju lokasi yang dideteksi oleh pelacak cincin Risa. “Berapa lama lagi?” tanya Azzam dengan nada gelisah.“Sekitar lima belas menit,” jawab Pramudya sambil menatap peta di layar GPS.Di rumah kosong, Claudia mulai merasa tidak sabar. Ia mendekati ruangan tempat Risa dan anak-anaknya dikurung. “Kau pik
KAU HANCURKAN HATIKU, KUHANCURKAN ISTANAMU #1“Lepaskan!”“Apa-apaan ini? Kami tidak melakukan apapun!” Suara seorang pria membela diri. “Arak saja, bila perlu telanjangi!” Suara riuh saling bersahutan dan memblokade jalanan.Aku beranjak bangkit ketika mendengar keributan di jalanan sana, aku mengira jika ada kecelakaan. Karena banyak orang-orang yang berkerumun juga di sana. Bahkan beberapa teman sesama pemilik lapak di pinggiran kaki lima ini ikut heboh dan berlari menuju keramaian di sana. Akan tetapi, aku kurang tertarik, aku memilih berkemas karena malam semakin larut, apalagi sekarang sudah mulai gerimis mengundang.“Ada apa sih?” tanyaku pada teman yang baru saja kembali sambil mengepalkan kedua tangannya geram.“Huh, perempuan zaman sekarang ya, kok murah banget. Pelakor di pergoki istri sah di penginapan, di grebek noh sama warga dan RT, terus di arak, mereka hanya memakai pakaian dalam. Amit-amit, cantik mending, lah ini, auranya aura tengah malam, serem banget,” omel Atik
KAU HANCURKAN HATIKU, KUHANCURKAN ISTANAMU #2Aku segera memarkirkan motorku dengan asal di badan jalan, dengan langkah mantap menuju rumah warga tersebut. Memperhatikan dengan seksama motor tersebut, dan benar saja itu motor yang sama yang dipakai mas Azzam ketika berangkat bekerja tadi.“Tidak salah lagi, ini benar motorku.” Lirih, lalu aku berniat akan mengetuk pintu, tetapi dari dalam terdengar suara derap kaki dan orang sedang mengobrol.“Dadah, ayah berangkat kerja dulu ya, nanti ayah datang lagi. Janji, besok ayah akan menginap di sini,” suara pria yang sangat aku kenal. Dengan cepat aku berlari menuju motorku, menyembunyikan di balik rumah warga yang lain, lalu memperhatikan rumah tersebut. Jantung rasanya seperti akan melompat, ketika mendengar suara mas Azzam, apalagi dia menyebut dirinya dengan sebutan ayah, itu berarti…, ahk, otakku rasanya agak ngeblank sedikit.Tidak lama pintu terbuka, hampir saja tubuhku limbung, tangan segera berpegangan pada motor dan tubuh bersandar
Di atas lemari kayu yang reyot, Risa berusaha menyeimbangkan tubuhnya sambil terus mencoba menghubungi seseorang dari ponsel Azki. Sayangnya, sinyal di tempat itu sangat lemah, membuat panggilannya tidak pernah tersambung.Dengan napas tersengal, ia menatap ke bawah. Azki dan Melisa bersembunyi di balik meja tua, berusaha menahan tangis mereka agar tidak menarik perhatian Claudia dan kedua temannya yang masih berada di ruangan sebelah.“Ya Tuhan, tolonglah...” gumam Risa pelan, jemarinya masih sibuk menekan layar ponsel, berharap sinyal kembali muncul. Ia mencoba menghubungi Pramudya, tapi tidak ada hasil.Sementara itu, di tempat lain, Pramudya dan Azzam melaju dengan kecepatan tinggi menuju lokasi yang dideteksi oleh pelacak cincin Risa. “Berapa lama lagi?” tanya Azzam dengan nada gelisah.“Sekitar lima belas menit,” jawab Pramudya sambil menatap peta di layar GPS.Di rumah kosong, Claudia mulai merasa tidak sabar. Ia mendekati ruangan tempat Risa dan anak-anaknya dikurung. “Kau pik
Risa, Azki, dan Melisa dibawa ke sebuah rumah kosong yang terletak di pinggiran kota. Aroma lembab bercampur dengan bau kayu lapuk menyeruak begitu mereka memasuki tempat itu. Rumah tersebut terlihat tak terawat, dengan dinding yang penuh coretan dan lantai yang berdebu. Claudia berdiri di tengah ruangan dengan masker masih menutupi sebagian wajahnya, namun matanya yang penuh kebencian terlihat jelas."Jadi ini harga dirimu, Risa?" Claudia melepas maskernya, menampakkan senyuman sinis."Kau pikir bisa mengambil segalanya dariku dan mendekati Pram dengan seenaknya?" Sambungnya lagi dengan nada tidak senang, bahkan Claudia membuang salivanya asal ke arah Risa. Risa yang tangannya terikat di belakang tubuhnya menatap tajam ke arah Claudia."Aku tidak pernah ingin mengambil apapun darimu, Claudia. Semua ini hanya ada di kepalamu yang sakit. Kedekatanku dengan mas Pram juga berjalan begitu saja, kami juga tidak memiliki hubungan apapun. Hanya sebatas rekan kerja," teriak Risa, ia tidak mer
Claudia menelan ludah, merasakan kepalanya berputar dengan beban pikiran yang kini menghantamnya. Risa, yang berdiri tidak jauh dari mereka, menatap dengan tatapan yang penuh kemenangan, seolah sudah memenangkan pertarungan tanpa berkeringat. Pram, dengan sikap dominannya, menatap Claudia dengan tegas, menuntut kepatuhan. “Baiklah, aku akan menyelesaikan ini,” ucap Claudia dengan suara serak, hatinya berkecamuk antara rasa malu dan keinginan untuk melawan. Namun, di hadapan Pram yang berwibawa dan Risa yang menyeringai, pilihan tampak begitu terbatas. Claudia berjalan ke arah rak yang berantakan, tangannya gemetar saat ia mulai merapikan barang-barang yang berserakan. Setiap gerakan yang ia lakukan seakan menandakan kekalahan. Pram mengikutinya, mengawasi setiap detail dengan mata elang, tidak memberi ruang untuk kesalahan sedikit pun. Risa, di sisi lain, berdiri dengan tangan terlipat, matanya berkilat dengan kepuasan yang nyata. Nuri sesekali memberikan komentar kecil yang menyaki
Risa dan Nuri langsung saja keluar dari mobil berjalan dengan sedikit terhuyung, perut terasa mual dan kepala seperti sedang berputar-putar.“Hueek!” Risa mengeluarkan isi perutnya, kepalanya tiba-tiba saja terasa berdenyut, begitu juga Nuri, ia juga muntah-muntah. Karena selama ini mereka tidak pernah mengendarai mobil seugal-ugalan ini.“Kalian tidak apa-apa?” Panik Pram, ia mengusap punggung Risa dan Nuri secara bersamaan.“Tidak apa-apa bagaimana? Mas Pram bisa lihat sendirikan, kami hampir mati karena kamu ngebut bawa mobilnya. Untung saja jantung ini buatan Allah, kalau gak sudah tercecer di jalanan.” Sentak Risa merasa kesal sembari menepiskan tangan Pram, ia menyeka mulut menggunakan punggung tangannya. Namun Pram langsung saja menyodorkan sapu tangannya pada Risa. Sedang Nuri memilih untuk duduk, meraup oksigen dengan rakus, karena tadi, ia merasa berhenti bernafas ketika mobil melaju dengan kencang.“Maaf, saya hanya tidak ingin Claudia lepas. Saya ingin memberi peringatan p
Claudia menyeringai puas ketika melihat mobil Risa keluar dari parkiran. Ia mendengus kesal, sepulangnya dari luar negeri berharap jika Pram mengatakan sangat merindukan dan tidak bisa hidup tanpanya, eh ternyata ia mendapatkan kabar dan kenyataan jika Pram, sang adik, ralat, Claudia dan Pram tidak memiliki hubungan darah sama sekali, hanya saudara angkat. Claudia mendapatkan kabar jika Pram sedang dekat dengan seorang wanita yang statusnya justru telah menjadi janda. Itu yang membuat amarah Claudia semakin membuncah. “Entah apa istimewanya perempuan itu,” dengus Claudia, lalu ia menutup dengan kasar kaca jendela ruangan tersebut setelah mobil Risa memasuki jalan raya. “Bagaimanapun caranya, Pram harus menjadi milikku.” Tukasnya dengan nada penuh amarah, giginya bergemeletuk kasar, kedua tinjunya mengepal. Lalu ia beranjak bangkit, ia ingin menemui seseorang dan akan mencari tahu lebih lanjut tentang Risa. Ia akan menguliknya hingga tuntas dan akan menyingkirkan Risa. “Lihat sa
Risa berjalan menuju ruangannya dengan langkah cepat, berkas-berkas yang baru saja ditandatangani oleh Pram dalam genggamannya. Ia merasa puas dengan hasil kerjasama yang telah dicapai bersama grup Pramudya. Namun, kebahagiaan itu segera terganggu oleh getaran ponselnya. Drrt! Ponsel Risa bergetar di dalam saku blazernya. Ia segera merogohnya dan membaca pesan yang masuk dari Nuri, adik iparnya yang juga menekuni usaha jualan mereka hingga bekerja sama dengan grup Pramudya. [Mbak sedang sibuk tidak, kalau tidak, bisa ke toko sekarang juga,] bunyi pesan dari Nuri. [Seharusnya mbak harus menyelesaikan laporan akhir bulan ini dan akan menjemput Azki dan Meli. Memangnya ada apa?] Risa mengetik balasan dengan jari-jarinya yang lincah, rasa penasarannya mulai terpicu. [Sudah, yang penting mbak langsung saja ke toko, penting.] Nuri kembali membalas, kali ini dengan nada yang lebih mendesak. Risa mengerutkan kening, merasa ada sesuatu yang tidak beres. Merasa cemas, Risa segera mengakhir
Risa lalu mendekat pada Nuri, membisikkan suatu rencana yang menurutnya bisa membawa ibu mertuanya pulang ke rumahnya ini. Walau bagaimanapun, Risa masih menyayangi Hafsah, dia tidak pernah benci dengan mertuanya tersebut. Karena Risa sudah menganggap Hafsah seperti ibunya sendiri, itu sebabnya ia merasa tidak sakit hari meskipun Hafsah sudah kelewat batas memperlakukan dan memfitnahnya demi membela Azzam dan Imas.“Aduh, mbak, itu sudah tidak mempan. Aku sudah katakan tadi sama Ibu, tapi ibu tetap memilih hidup bersama mas Azzam dan pelakor itu. Kita lihat saja mbak, sebulan kedepan, ibu betah apa gak tinggal bareng mas Azzam di kontrakan sempit. Karena mas Azzam juga tidak punya uang sepeserpun, lalu mas Azzam juga sudah menjadi pengangguran besar-besaran,” papar Nuri setelah Risa membisikkan idenya, namun kenyataannya Hafsah tidak takut jika tabungannya habis ketika tinggal bersama dengan Azzam.“Kamu serius?” tanya Risa merasa lesu.“Benar mbak Risa, bu Hafsah dengan tegas memilih
Nuri tersenyum lebar ketika mendengar tebakan Imas terbukti benar. Namun, ia tak menyangka bahwa Jenny dan Siska akan cukup membantu dalam rencananya. Akting keduanya terlihat sangat natural dan meyakinkan. Jenny sesenggukan sambil memeluk Siska erat-erat, seolah merasakan kesedihan yang sama."Jika ibu mau hidup tenang dan tak lagi terbebani, silahkan ikut denganku," ujar Nuri dengan lembut."Tapi jika ibu mau memulai hidup baru dari awal, silahkan ikut mas Azzam. Aku melakukan semua ini karena sayang pada ibu, dan ingin melindungi ibu dari bahaya yang mengancam, karena agunan yang tertulis di surat perjanjian yang telah bapak tandatangani akan segera diambil alih oleh para rentenir ini." Sambung Nuri sambil menunjuk kedua pria berpakaian safari tersebut, mereka duduk tidak jauh dengan Nuri, ekspresi wajah Hafsah tampak bimbang, tangannya gemetar saat menerima penawaran dari Nuri. Ia menatap ke arah Azzam yang duduk di seberangnya, mencari petunjuk dan kepastian. Azzam memandang Hafs
Hafsah berdiri di tepi gundukan tanah merah, menatap nanar ke liang lahat yang baru saja ditutup. Di tangannya, ia menggenggam erat keranjang berisi bunga-bunga segar yang ia petik di kebun belakang rumahnya. Dalam hati, ia masih terisak dan tidak bisa menerima kenyataan bahwa suaminya, pak Harjo, telah pergi untuk selama-lamanya. Perlahan, Hafsah meraih bunga-bunga dari keranjang itu dan mulai menaburkannya di atas gundukan tanah merah. Setiap bunga yang jatuh seolah mewakili doa dan harapannya agar pak Harjo diberikan ketenangan di alam sana. Aroma bunga-bunga itu menggantikan bau tanah yang basah, namun tak mampu menghilangkan rasa sakit yang mendera hati Hafsah."Semoga Allah meringankan hukuman atas segala dosa-dosamu, pak." Lirih Hafsah sambil menyeka air yang masih mengalir dari pelupuk matanya.Di sebelah Hafsah, Imas berdiri dengan wajah penuh simpati."Ibu harus membalas rasa sakit ini pada Risa, jangan biarkan di bebas begitu saja, Bu." Imas semakin mengompori Hafsah, karen